Rabu, 18 Mei 2022

GUAN GONG




Tiongkok menjelang akhir abad kedua setelah Masehi. Kekaisaran Tiongkok yang fenomenal di bawah Dinasti Han sedang mendekati masa surutnya. Setelah berjaya selama hampir empat ratus tahun, periode panjang itu kerap dikenang sebagai masa keemasan bagi peradaban Tiongkok. Kelompok etnis mayoritas Tionghoa modern menamakan diri mereka sebagai 'Orang Han' atau 'Bangsa Han', bahasa resmi mereka disebut 'Bahasa Han', dan tulisan mereka dinamakan pula 'Aksara Han'. Dimulai dari pemerintahan Kaisar Líng (atau 漢靈帝, Hàn Líng Dì, 168-189 M), kemunduran mesin birokrasi imperium tersebut semakin nyata. Urusan negara banyak diserahkan kepada pimpinan orang kasim, di antaranya kepada Zhào Zhōng (趙忠) dan Zhāng Ràng (張讓), sedangkan Sang Kaisar sendiri lebih sibuk mengurusi selir-selirnya dan mengikuti parade militer.

 

Dengan berkuasanya dewan orang kasim yang terkenal korup, mereka juga menentang pembentukan partisan atau kelompok birokrasi yang terdiri dari orang-orang terpelajar. Pada tahun 184 M terjadi Pemberontakan Serban Kuning dan Pemberontakan Lima Takar Padi, yang dipelopori oleh kelompok keagamaan Daois. Masa itu ditandai pula oleh munculnya para Jūnfá (军阀) atau panglima perang (atau warlord, Inggr.). Seorang panglima perang dapat berkuasa karena memiliki banyak tentara pribadi, yang mana para tentara ini memiliki kesetiaan kepada atasannya. Seorang panglima juga harus mempunyai kepribadian yang kuat, berani, serta juga bakat untuk memimpin. Para serdadu ini biasanya direkrut dari pemuda-pemuda setempat, yang karena terbentur pada situasi buruk saat itu, terpaksa penduduk dusun yang malang itu memilih hidup sebagai tentara. Selain itu adalah lazim bagi seorang panglima perang, setelah dia mengalahkan musuhnya dan memiliki banyak tawanan, dia akan memasukkan orang taklukkan itu ke dalam korps tentara mereka.

 

Seorang panglima perang yang berkuasa dapat menarik pajak di daerah yang dikuasainya. Dengan begitu dia bisa menambah pundi-pundi kekayaannya, serta uang pajak itu digunakan pula untuk membiayai tentara-tentaranya. Panglima perang adalah produk dari melemahnya pemerintah pusat dan sentralisasi suatu negara. Panglima perang umumnya mengabaikan keberadaan pemerintah pusat, bahkan ada yang bersaing dengan pemerintah pusat.

 

Tokoh kita kali ini bernama Guān Yǔ atau 關羽,yang berasal dari Jiě Xiàn (解縣) atau Kadipaten Xie. Nama kehormatan aslinya adalah Cháng Shēng (長生). Tidak diketahui secara pasti kapan Guān Yǔ dilahirkan, tetapi berdasarkan perkiraan dia kelahiran tahun 160 atau 164. Guān Yǔ sangat rajin belajar dan dia tertarik pada buku sejarah kuno Zuo Zhuan, serta setelah mempelajarinya beberapa lama dia mampu melafalkan baris-baris dalam kitab itu dengan lancar. Dia melarikan diri dari kampung halamannya untuk alasan yang tidak diketahui dan pergi untuk mengabdikan diri ke seorang panglima perang di Kadipaten Zhuō.

 

Guān Yǔ dikenal sebagai sosok pria yang besar tubuhnya dan kuat, yang membuatnya berbakat menjadi petarung dan prajurit handal. Tidak ada lukisan-diri atau deskripsi tentang penampilan fisik Guān Yǔ dalam catatan sejarah, namun Sānguózhì (atau 三國志 yakni 'Catatan Tiga Kerajaan', sebagai dokumen resmi Sejarah Tiongkok yang ditulis oleh 陳壽 / Chén Shòu) mencatat bahwa Zhūgé Liàng pernah menyebut Guān Yǔ memiliki "jenggot tak tertandingi", bagaikan serumpun buah anggur. Secara tradisional, Guān Yǔ digambarkan sebagai prajurit berwajah merah dengan janggut panjang dan lebat. Gagasan tentang wajah merahnya mungkin berasal dari deskripsi dirinya dalam Bab 1 dari novel sejarah abad ke-14 'Romansa Tiga Kerajaan' (Sānguó Yǎnyì atau 三國演義), pada frasa berikut ini: "Xuande melihat ke arah pria itu, yang memiliki wajah dengan tinggi sembilan chi, dan memiliki janggut panjang dua chi. Wajahnya berwarna zao gelap, dengan bibir yang merah dan montok. Matanya seperti burung-api merah tua, dan alisnya mirip ulat sutra yang sedang berbaring. Dia memiliki penampilan yang bermartabat dan terlihat sangat anggun." Wajah yang berwarna merah mungkin dipinjam dari penampilan opera Tiongkok Kuno, yang mana wajah merah mewakili kesetiaan dan kebenaran. Dalam ilustrasi novel terkenal itu Guān Yǔ secara tradisional digambarkan mengenakan jubah hijau di luar baju zirahnya. Konon, senjata Guān Yǔ yang sangat diandalkannya adalah guan dao bernama 'Pedang Bulan Sabit Naga Hijau' dan dikatakan memiliki berat 82 kati (sekitar 49,2 kg).

 

Kisah pertemuan antara Guān Yǔ dengan dua orang yang kelak menjadi saudara angkatnya diceritakan pada Bab 1 'Romansa Tiga Kerajaan', yang bercerita tentang kisah perebutan kekuasaan oleh Sepuluh Orang Kasim dan Pemberontakan Serban Kuning, yang selanjutnya mengacaukan Kekaisaran Han. Ketika pemberontak Serban Kuning menyerbu Provinsi Yōu Zhōu (幽州), Gubernur setempat memasang pemberitahuan wajib-militer di wilayahnya. Melihat pemberitahuan itu, Liú Bèi atau 劉備 (28 tahun), keturunan jauh dari rumah penguasa kekaisaran, menghela nafas panjang. Dia kemudian dimarahi oleh Zhāng Fēi (張飛), yang bekerja sebagai penjual daging, karena tidak melayani negara. Liú Bèi kemudian berbagi aspirasi untuk menyelamatkan negara dan rakyat, dan Zhāng Fēi menyarankan agar mereka bersama-sama merekrut milisi sukarela untuk memerangi Pemberontakan Serban Kuning. Saat minum di sebuah kedai-arak, mereka bertemu Guān Yǔ, yang sedang dalam perjalanan untuk bergabung dengan milisi. Liú Bèi memberitahu rencana mereka dan ketiga pria itu pergi ke rumah Zhāng Fēi untuk berdiskusi.

 

Zhāng Fēi menyarankan mereka harus melakukan upacara pengorbanan ke langit dan bumi, serta mengambil sumpah sebagai saudara di bawah pohon persik yang mekar di tamannya, yang disetujui Liú Bèi dan Guān Yǔ. Sumpah itu begitu terkenal dan Penulis akan kembali menyitirnya: "Ketika menyebut nama Liú Bèi, Guān Yǔ, dan Zhāng Fēi; meskipun nama-marganya berbeda, namun kami telah bersatu sebagai saudara. Mulai hari ini kami akan bergabung untuk tujuan bersama: 'menyelamatkan yang bermasalah dan membantu yang terancam punah.' Di atas kami akan membalaskan dendam bangsa, dan di bawah kami akan memenangkan warga. Kami memang tidak dilahirkan pada hari yang sama, di bulan yang sama, atau pada tahun yang sama. Semoga para Dewa, Langit, dan Bumi membuktikan apa pun yang ada di hati kami. Jika kami harus melakukan sesuatu untuk mengkhianati persahabatan kami, semoga Surga dan orang-orang di Bumi bersama-sama akan membunuh kami." Setelah melakukan sumpah, Liú Bèi dinyatakan sebagai kakak tertua, diikuti oleh Guān Yǔ, dan Zhāng Fēi sebagai yang bungsu. Liú Bèi memerintahkan seorang pengrajin untuk menempa sepasang senjata; Guān Yǔ memperoleh 'Pedang Bulan Sabit Naga Hijau', dan Zhāng Fēi mendapatkan 'Tombak Ular'. Khusus untuk Zhāng Fēi, publik di Indonesia di masa lalu lebih mengenalnya dengan nama Tio Hoei, berdasarkan kisah yang diambil dari 'Romansa Tiga Kerajaan'. Segera setelah persiapan mereka rampung, ketiganya bergabung dengan milisi sukarelawan untuk membantu seorang kolonel, Zōu Jìng (鄒靖), seorang petinggi militer dari Kekaisaran Han Timur, yang ditugaskan untuk meredam pemberontakan itu.

 

Di atas telah dijelaskan bahwa Pemberontakan Serban Kuning mulai berkecamuk pada tahun 184, serta perpecahan di pusat pemerintahan makin menjadi-jadi antara faksi orang kasim melawan para partisan. Puncaknya terjadi pada tahun 189 dengan terjadinya kekacauan di kotaraja dan terbunuhnya Kaisar Líng. Pada saat itu ada seorang negarawan bernama Dǒng Zhuō (董卓) yang menguasai kota Luoyang. Dǒng Zhuō segera mengambil alih tahta dan mengangkat 'Kaisar Muda' (劉辯, Liú Biàn) sebagai penggantinya, dengan dirinya sendiri bertindak sebagai perdana menteri. Tidak sampai di situ, pada tahun 190 Dǒng Zhuō memberhentikan 'Kaisar Muda' dan digantikan oleh Kaisar Xiàn (漢獻帝, Hàn Xiàn Dì), yang merupakan kaisar boneka, dan serta merta dia sendiri berubah menjadi seorang diktator. 'Catatan Tiga Kerajaan' mencatat insiden ketika Dǒng Zhuō memimpin pasukannya ke Yáng Chéng (阳城), dia menyuruh anak buahnya memenggal semua penduduk laki-laki. Para serdadu merampok kota dan membawa pergi para perempuan, sapi, dan semua harta berharga; dengan mengklaim bahwa mereka telah menaklukan pasukan pemberontak. Kebejatan Dǒng Zhuō tidak sampai di situ, dia juga tidur dengan para wanita istana bahkan dengan sang permaisuri. Namun kekejamannya menimbulkan kemarahan rakyat di mana-mana. Para panglima perang di seluruh kekaisaran segera membentuk koalisi guna melawannya, seperti Yuán Shù (袁术), Cáo Cāo (曹操), Liú Bèi, dan Sūn Jiān (孫堅), sehingga Dǒng Zhuō terpaksa memindahkan ibukota ke Chang'an. Kekuasaan Dǒng Zhuō pun berakhir setelah dia dikhianati dan dibunuh oleh anak angkatnya sendiri, Lǚ Bù (呂布), pada tahun 192.

 

Keterampilan Guān Yǔ dalam bertarung dan berperang bisa dilihat pada saat dia dan kedua saudaranya bergabung dalam angkatan perang Gōngsūnzàn (公孫瓚),yang mana Gōng saat itu berada dalam satu koalisi yang menentang Dǒng Zhuō. Dǒng menempatkan petarung andalannya, Huá Xióng (華雄)untuk menjaga Sishu. Huá Xióng seakan tidak terkalahkan setelah membunuh empat perwira pasukan koalisi, yaitu Bao Zhong, Zu Mao, Yu Shen, dan Pan Feng. Saat itu tak ada pemimpin koalisi yang percaya saat Guān Yǔ menawarkan diri untuk menghabisi Huá, serta dia mempertaruhkan untuk memberikan kepalanya apabila upayanya gagal. Guān Yǔ kemudian beraksi seorang diri, menerobos pertahanan Huá Xióng, dan lewat pertarungan singkat berhasil memenggal kepala lawannya. Dia kembali dengan kepala Huá Xióng yang berada dalam genggaman tangannya, saat anggur merah yang dituang Cáo Cāo masih terasa hangat, padahal minuman itu baru dituang sebelum Guān Yǔ pergi.

 

Ketika Liú Bèi diangkat sebagai Menteri, Guān Yǔ dan Zhāng Fēi mendapatkan jabatan mayor dengan  masing-masing memimpin detasemen tentara di bawah Liú Bèi. Liú Bèi menyayangi mereka seolah-olah mereka adalah saudaranya sendiri, dan mereka bertiga berbagi kebersamaan ini sampai-sampai menempati kamar yang sama; tidur di tikar yang sama dan makan dari panci yang sama. Guān Yǔ dan Zhāng Fēi juga terus berjaga di samping Liú Bèi saat dia sedang menghadiri pertemuan. Mereka mengikutinya pula dalam petualangan militernya, dan melindunginya dari segala ancaman bahaya. Guān Yǔ terkenal karena kebaikannya terhadap anak buahnya yang mana mereka diperlakukan sebagai keluarganya sendiri, tetapi dia kurang menjaga tata krama ketika bertemu dengan para bangsawan.

 

Persekutuan antara panglima perang tidak berlangsung lama, karena mereka saling gontok-gontokan satu sama lain. Pada tahun 200, Cáo Cāo memimpin pasukannya untuk menyerang Liú Bèi, mengalahkannya dan merebut kembali Provinsi Xu. Liú Bèi melarikan diri ke Tiongkok Utara dan mencari perlindungan di bawah Yuán Shào (袁紹), seorang saingan Cáo Cāo, sementara Guān Yǔ ditangkap oleh pasukan Cáo Cāo dan dibawa kembali ke Xu. Cáo Cāo memperlakukan Guān Yǔ dengan hormat dan meminta Kaisar Xiàn untuk mengangkat Guān Yǔ sebagai Letnan Jenderal (偏將軍 atau Piān Jiāngjūn). Belakangan tahun itu, Yuán Shào mengirim jenderalnya Yán Liáng (顔良) untuk memimpin pasukan guna menyerang garnisun Cáo Cāo di Báimǎ (白馬) dekat Kabupaten Hua, sekarang Henan, yang dipertahankan oleh Liu Yan (劉延). Cáo Cāo mengirim Zhāng Liáo (張遼) dan Guān Yǔ untuk memimpin barisan depan guna menyerang musuh. Di tengah pertempuran, Guān Yǔ mengenali payung Yán Liáng sehingga dia menyerang jenderal musuhnya itu, memenggal kepalanya, dan membawa kepala itu. Anak buah Yán Liáng tidak bisa menghentikannya. Dengan kematian Yán Liáng, pengepungan terhadap Báimǎ dicabut. Atas rekomendasi Cáo Cāo, Kaisar Xiàn memberikan Guān Yǔ gelar bangsawan 'Marquis dari Dusun Hàn Shòu' (漢壽亭侯, Hàn Shòu Tíng Hóu).

 

Meskipun Cáo Cāo mengagumi karakter Guān Yǔ, dia juga merasakan bahwa Guān Yǔ tidak berniat untuk mengabdi di bawahnya untuk waktu yang lama. Dia berkata kepada Zhāng Liáo, "Mengapa kamu tidak menggunakan persahabatanmu dengan Guān Yǔ untuk mencari tahu apa yang dia inginkan?" Ketika Zhāng Liáo menanyainya, Guān Yǔ menjawab, "Saya sadar bahwa Tuan Cáo memperlakukan saya dengan sangat murah hati. Namun saya juga telah menerima banyak bantuan dari Jenderal Liú, dan saya telah bersumpah untuk mengikutinya sampai saya mati. Saya tidak dapat melanggar sumpah saya. Saya akan pergi pada akhirnya, jadi mungkin Anda bisa membantu saya menyampaikan pesan saya kepada Tuan Cáo." Zhāng Liáo melakukannya, dan Cáo Cāo bahkan lebih terkesan terhadap Guān Yǔ.

 

Nasib malang menimpa Guān Yǔ di penghujung tahun 219. Saat itu Guān Yǔ mundur dari Fancheng karena pasukan Sūn Quán (孫權) telah menduduki Jiangling dan menangkap pengawal keluarga Guān Yǔ. Sebagian besar tentara Guān Yǔ telah kehilangan semangat juang, dan mereka melakukan desersi dengan kembali ke Provinsi Jing untuk bersatu kembali dengan keluarga mereka. Guān Yǔ tahu bahwa dia telah diisolasi sehingga dia mengungsi ke Distrik Zhāng Xiān (漳鄉), tempat anak buahnya yang tersisa meninggalkannya dan menyerah kepada musuh. Guān Yǔ, bersama puteranya Guān Píng (關平) ditangkap hidup-hidup oleh musuh dalam sebuah penyergapan. Guān Yǔ dan Guān Píng kemudian dieksekusi oleh pasukan Sūn Quán di Lín Jǔ (臨沮), sekarang Nanzhang, Hubei. Kematian Guān Yǔ diperkirakan terjadi pada Januari atau Februari 220.

 

 

Kehidupan Guān Yǔ diagungkan dan prestasinya dimuliakan sedemikian rupa setelah kematiannya, sehingga ia didewakan pada zaman Dinasti Sui. Melalui cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, yang berpuncak pada novel sejarah abad ke-14 'Romansa Tiga Kerajaan'; suri tauladan dan kualitas moralnya mendapat perhatian besar, menjadikan Guān Yǔ salah satu paradigma kesetiaan dan kebenaran paling populer di Asia Timur. Sosok ini masih dipuja oleh banyak orang Tionghoa baik di Tiongkok Daratan maupun di manca negara, hingga saat ini. Dalam agama orang Tionghoa, Guān Yǔ dimuliakan dan dipanggil sebagai 'Kaisar Guān' (關帝; Guān Dì), menyiratkan status kedewaannya, serta 'Tuan Guān' atau Guān Gōng (關公) atau istilah Hokkian-nya 'Kwan Kong'. Sedangkan gelar Tao-nya adalah 'Kaisar Suci Tuan Guan' (關聖帝君, Guān Shèng Dì Jūn). Dalam aliran Buddha Mahāyāna, sosok Guān Yǔ dikenal pula dengan sebutan 'Bodhisattva Sagharama'.

 

Di Indonesia kuil yang mendedikasikan dirinya untuk dijadikan pemujaan Guān Gōng adalah Kelenteng Kwan Sing Bio, artinya 'Rumah Pemujaan Dewa Kwan Kong'. Seperti namanya kelenteng ini memang dipersembahkan bagi Guān Gōng, dewa pelindung utama yang sosoknya digambarkan sebagai panglima perang zaman Dinasti Han. Setiap tahun, tepatnya tanggal 24 bulan keenam pada penanggalan Tionghoa, banyak peziarah yang datang ke Tuban untuk memperingati ulang tahunnya. Kelenteng Kwan Sing Bio berada di pinggir Jalan Raya Pantura, tepatnya di Jalan Martadinata No.1, Kelurahan Karangsari, Kecamatan Kota Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kelenteng ini merupakan satu-satunya bio yang menghadap langsung ke arah laut.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220518


 

Rabu, 04 Mei 2022

TIGA PENAMPAKAN



Siang hari di musim gugur adalah saat yang menyenangkan dengan cuacanya yang cerah, karena hawa udara tidak terlalu dingin, pun tidak kelewat panas. Pepohonan meranggaskan daun-daunnya yang tadinya berwarna kuning-jingga, kemudian mendadak mengubah sisanya menjadi merah-merona, menyala-nyala bagaikan bara api. Berharap untuk mendapatkan buahnya, mereka membiarkan tudung hijaunya berguguran. Dalam puncak mekarnya, pohon-pohon akan membuat hati siapa pun yang menyaksikannya bersenandung riang, seraya menghembuskan aroma wanginya ke empat penjuru. Namun eloknya siang hari itu tak mampu meneduhkan hati Śuddhodana, sang penguasa Shakya, yang sedang gundah gulana memikirkan takdir sang penerus tahtanya. Masih terbayang dalam ingatannya peristiwa beberapa belas tahun lalu, saat para brahmana-peramal mengemukakan peneropongan mereka, ikhwal masa depan sang putera mahkota.

 

Saat sang pewaris tahta yang baru berumur lima hari ditunjukkan kepada mereka, tujuh ahli nujum itu tanpa ragu berkata, "Sang Putera Mahkota adalah seorang Chakravartīn, sesosok calon Raja Diraja, yang hanya muncul sekali dalam ribuan tahun. Namun jika dia tidak menjadi Penguasa Dunia dan meninggalkan istananya, dia akan menjadi seorang Buddha, yang akan menyelamatkan para dewa dan manusia." Bahkan Sang Petapa Asita, seorang suciwan sepuh yang mampu menguping pembicaraan para dewata, telah memberi tahu bahwa putera mahkota tidak lain Sang Manusia Agung yang telah lahir di lingkungan keluarga penguasa Shakya. Ketika Śuddhodana menanyai kelompok tujuh brahmana itu, dengan cara apa pangeran sampai meninggalkan istananya; mereka pun menjawab, "peristiwa itu akan terjadi jika Pangeran Mahkota melihat orang tua, orang sakit, sesosok jenazah, dan seorang petapa suci." Peristiwa itu dikenal dengan sebutan "empat pertanda" atau "empat penampakan".

 

Sekarang Siddhārtha, sang putera mahkota, telah mencapai masa akil-balig dan tahun depan dia akan berusia enam-belas tahun. Ayahnya memerintahkan para bawahannya untuk membangun istana yang khusus diperuntukkan bagi putera kesayangannya. Tiga bangunan megah yang masing-masing memiliki sembilan lantai dibangun; satu paviliun sejuk untuk digunakan pada musim panas, kediaman kedap-air yang cocok ditinggali pada musim hujan, dan kastil hangat yang nyaman dihuni ketika berlangsungnya musim dingin. Istana-istana ini dibangun di atas lanskap yang permai, dengan taman dan kebun bunga dan buah yang terawat dengan apiknya. Tiga buah kolam buatan pun begitu sedap dipandang mata, lengkap dengan lotus dan teratai seukuran roda dengan bunganya yang berwarna merah, biru, dan putih. Semuanya terjaga dan terawat dengan baik, sehingga tidak ada nyamuk, lalat, serangga pengganggu, atau ular yang dapat masuk ke dalamnya. Kawanan burung datang ke istana dari pegunungan Himalaya, sang raja pegunungan. Ada pattragupta, beo, mynas, cuckoo, angsa liar, burung gajahan, merak, flamingo, burung bulbul, burung pegar, dan banyak lainnya. Burung-burung itu memiliki sayap yang elok dalam berbagai warna dan mereka bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Mereka bertengger di beranda, menara, pintu masuk, paviliun, dan teras atas kediaman agung Raja Śuddhodana.

 

Di tiga istana ini semua perbekalan seperti beras-nasi, beras-ketan, bulir gandum, milet, barley, sorghum, mentega, ghee, minyak wijen, madu, gula mentah, dan air tebu tidak pernah habis dan tampak penuh meskipun digunakan secara melimpah. Di dalam kamar-kamar tersedia jubah atas, jubah bawah, gaun, saree, selendang, serban, sabuk pinggang, sandal, dan sepatu; semuanya indah dan berkualitas baik. Di dalam kamar penyimpanan pusaka penuh dengan barang kerajinan dan karya seni yang luar biasa. Belum lagi khazanah yang dipenuhi berbagai barang berharga, seperti emas, perak, permata, mutiara, beril, kerang, kristal, dan koral; yang jika dibuka tutupnya akan menunjukkan kesempurnaan dan kelimpahannya yang tanpa cela. Di ruang-hiburan tersedia piranti musik, seperti gendang besar, gendang tanah-liat, seruling, kecapi, pipa-buluh, kecapi tiga senar, genta, dan simbal; yang jika dimainkan dengan benar mampu mengeluarkan musik yang merdu. Dan ini yang paling penting, aura murni dan tak bernoda, yang jauh lebih cemerlang daripada cahaya matahari dan bulan, muncul dalam komplek istana dan mampu memberikan kesenangan jiwa dan raga bagi semua penghuninya.

 

Pada tahun itu juga Siddhārtha dinikahkan dengan Yasodhara yang cantik rupawan, yang masih merupakan saudara sepupunya, puteri dari Raja Suppabuddha dan Permaisuri Amita. Pesta perkawinan keduanya bertepatan pula dengan ulang tahun ke-delapan-puluh-enam era pemerintahan kakeknya dari pihak ayah. Pada kesempatan itu sang putera mahkota dikuduskan, dengan cara menuangkan air yang diberkati ke atas kepalanya.

 

Setelah ketiga istana itu rampung dan sang putera menikah, kegundahan Śuddhodana pun berkurang. Dia pun memerintahkan agar gadis-gadis penghibur, yang pandai bernyanyi dan terampil memainkan alat musik serta mereka yang piawai dalam sendratari, selalu hadir di hadapan sang pangeran. Mereka semua ditantang untuk tampil mempesona dalam setiap momen, dengan tarian dan musik yang tiada henti. Siddhārtha muncul di tengah mereka dengan ketampanan dan martabat sesosok dewa, dikelilingi oleh rombongan besar para dewi. Selaras dengan pergantian musim, dia berpindah dari satu istana ke istana lain, bergerak seolah-olah dalam lingkaran kesenangan dan hiburan yang selalu diperbaharui. Raja Śuddhodana, yang sangat ingin melihat puteranya menjadi raja-dunia, yang kekuasaannya akan meluas hingga ke empat pulau besar dan dua ribu pulau yang lebih kecil; memberikan perintah yang paling tegas bahwa tidak satu pun dari empat pertanda itu, yang boleh dilihat oleh sang pangeran mahkota. Penjaga-penjaga ditempatkan di segala arah pada jarak setiap seratus kaki, dibebankan hanya dengan satu tingkat kewaspadaan, yaitu menjaga agar tidak terlihat oleh Siddhārtha munculnya penampakan fatal ini.

 

Dikurung dalam tiga istananya yang megah, apakah sang pangeran hidup bahagia? Kehidupan dalam istana memang nyaman dan terlindung-penuh. Pangeran kita pun tumbuh menjadi pribadi yang suka merenung. Mungkinkah pangeran selalu diusik oleh bayangan gelap yang berasal dari kehidupan sebelum yang sekarang ini?  Apakah dia curiga dunia di luar lingkungan istana tidak sebahagia, tidak seelok, tidak sebagus dunia yang diciptakan secara buatan khusus untuk dirinya?  Atau apakah dia memiliki pengetahuan bawah-sadar bahwa kehidupannya akan diabdikan untuk sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang dilakoninya sekarang, serta adakah misi yang lebih agung yang sesuai dengan kata hatinya yang perlu diembannya? Para kerabat Raja Śuddhodana mengeluh kepada Raja tentang perilaku sang putera mahkota. Mereka mempertanyakan apakah Siddhārtha mampu mengambil-alih tahta ketika tiba waktunya kelak. Sadar akan celaan ini, Śuddhodana memanggil puteranya, yang kepadanya dia sampaikan keluhan yang ditujukan kepadanya oleh kerabatnya. Tanpa menunjukkan emosi apa pun, pangeran mahkota itu menjawab, "Biarlah diumumkan melalui suara genderang di seluruh negeri, bahwa satu minggu dari sekarang aku akan menunjukkan kepada para kerabatku di hadapan para guru dan pakar terbaik. Silahkan dilakukan penilaian secara obyektif, apakah aku sepenuhnya fasih dalam delapan-belas seni beladiri, kemampuan berperang, dan penguasaan ilmu pengetahuan." Pada hari yang ditentukan, dia menunjukkan kepada mereka semuanya betapa cekatannya dia memperagakan seni beladiri, betapa terampilnya dia memainkan berbagai jenis senjata, serta betapa luas wawasan pengetahuannya. Mereka pun puas, dan keraguan serta kecemasan mereka atas dirinya sepenuhnya sirna.

 

 

Kita tinggalkan dulu Siddhārtha, dan kita menuju Tuṣita, satu istana kahyangan yang dikenal sebagai "Surga Kesukacitaan". Di sana para kerabat Siddhārtha dalam kehidupan sebelumnya sedang berbincang-bincang. Mari kita dengarkan pembicaraan mereka. "Saudara-saudaraku, dulu sewaktu Svetaketu baru saja wafat dan meninggalkan kita, kita pernah berjanji: 'Siapa di antara kita yang memiliki keberanian untuk melayani Bodhisattva terus-menerus dan tanpa henti, saat dia melakukan perjalanan ke rahim ibunya? Siapa yang akan melayaninya saat dia berada di dalam kandungan, saat dia lahir, saat dia tumbuh dan bermain sebagai anak kecil? Siapa yang akan melayaninya ketika dia berada di istananya, ketika dia dihibur oleh para gadis yang pandai bermain musik, menyanyi, dan menari? Siapa yang akan melayaninya ketika dia meninggalkan rumahnya dan melatih tapa-brata? Siapa yang akan melayaninya saat dia melanjutkan ke takhta pencerahan, menjinakkan siluman, mencapai pencerahan sempurna? Siapa yang akan melayaninya saat dia memutar Roda-Dharma? Siapa yang akan melayaninya menjelang dia menuju ke Parinirvāṇa yang agung?' "

 

"Sekarang Svetaketu sudah mendekati usia yang ketiga-puluh dan belum ada tanda-tanda dia akan melakukan pelepasan-agung untuk melakukan pencaharian guna mencapai pencerahan." Sesosok dewa lain berkomentar, "bagaimana mungkin Svetaketu bisa meninggalkan istananya, jikalau ayahnya menjaganya sedemikian ketatnya?" Dewa yang lain menanggapi, "Svetaketu baru akan tergerak melakukan pelepasan-agung setelah dia melihat empat penampakan." Dewa yang pertama kali bicara lalu berkata, "oleh karena itu kita harus campur tangan agar Bodhisattva dapat segera melanjutkan misinya ke tahap selanjutnya."

 

 

Hingga tibalah saatnya Sang Pangeran Mahkota dan isterinya melakukan kunjungan ke kotaraja. Seluruh kotaraja telah didekorasi dengan indah, dengan taman-kota dihiasi dengan kanopi-kain dalam berbagai warna, serta payung, bendera, dan umbul-umbul. Jalan yang akan dilalui sang pangeran telah disapu bersih, disemprot dengan air wangi, dan ditaburi kelopak bunga segar. Pembakar dupa mengeluarkan asap harumnya, dan di sepanjang jalan jambangan bunga ditempatkan, serta pohon pisang raja ditanam. Jalan itu dinaungi oleh kanopi sutra dalam berbagai warna, dan dihiasi jaring-jaring lonceng permata kecil serta karangan bunga dan jumbai dekoratif. Empat divisi tentara juga telah mengambil posisi di sepanjang rute, dan anggota rombongan sibuk mendandani permaisuri pangeran muda. Di tengah semua kesibukan ini, rombongan pangeran ke luar melalui gerbang-timur kota dalam perjalanannya ke taman. Sesosok dewa dari Surga Tuṣita yang telah turun ke bumi, menggunakan kemampuan magisnya dengan menyalin-rupa menjadi sesosok manusia. Beginilah penampakannya :

 

Seorang kakek, tua-renta, dengan tubuh yang sangat kurus,

Satu wajah yang dipenuhi oleh kisut dan keriput;

Serta sepasang mata yang hampir buta,

Mulutnya tak dapat menahan angin karena gigi-giginya sudah tanggal.

Punggungnya bengkok seperti kasau-pelana, dan otot-ototnya pun kaku.

Lemah dan lunglai, digunakannya tongkat agar dirinya tidak jatuh,

Sekujur tubuhnya gemetar kesakitan;

Dan vitalitasnya telah lama hilang.

 

Penampakan dewa dalam bentuk manusia hanya bisa dilihat oleh sang pangeran dan ajudan atau kusirnya. Orang-orang lain di luar keduanya terlena dalam urusan mereka masing-masing. Siddhārtha dalam keheranannya berkata kepada kusirnya Channa, makhluk apa gerangan yang muncul di hadapannya. Channa menjawabnya dengan menyebut, itulah 'orang tua'. "Apakah ia dilahirkan dalam keadaan seperti itu?", demikian tanya sang pangeran. "Tidak, Tuanku. Dia dulunya muda dan gagah seperti Paduka." "Masih bisakah kita temukan orang tua lain yang seperti dia?", tanya sang pangeran dengan raut wajah yang semakin bingung. "Amat banyak, Yang Mulia." "Dan bagaimana ia bisa tiba pada kondisi yang menyedihkan itu?" "Kondisi itu berasal dari hakikat kehidupan, bahwasanya  semua manusia bertumbuh-kembang sampai menjadi tua dan lemah, bila manusia itu tidak mati muda" "Jadi aku juga akan menjadi tua juga, Channa?" "Paduka sendiri juga tidak terkecuali. Begitulah kenyataannya, Yang Mulia." Penampakan singkat itu membuat sang pangeran begitu berduka dan dia minta diantar pulang. Hilang juga rasa senangnya meskipun semua yang ada di lingkungannya tampak begitu indah bagi orang lain.

 

Śuddhodana merasa heran mengapa rombongan kerajaan melakukan perjalanan ke kota dalam tempo yang singkat. Para peserta lain yang menyertai rombongan itu pun tidak mengetahui, apa alasan pangeran memperpendek lawatannya itu. Barulah setelah mendengar pengakuan Channa, sang raja pun maklum, tetapi dia pun kebingungan karena tidak ada orang lain yang menyaksikan pertanda yang pertama ini.

 

Waktu pun berjalan terus dan selang beberapa lama kemudian, ketika Siddhārtha sedang menuju taman-kota melalui gerbang selatan dengan disertai dengan rombongan besar, kejadian serupa berulang kembali. Sesosok dewa Tuṣita menyamar sebagai manusia. Beginilah penampakannya :

 

Laki-laki setengah baya itu terbaring lemah di tepi jalan,

Dia terbatuk-batuk dengan dahak dan air liurnya ke luar dari mulutnya;

Napasnya tersengal-sengal dan kedua matanya berputar-putar,

Sambil memegang dadanya yang nyeri, dia pun merintih-rintih.

Pada wajah dan tubuhnya tampak bercak-bercak ungu,

Kulit badannya pun menghitam di beberapa tempat;

Tak ada lagi orang yang peduli padanya,

Dan orang malang itu semakin menderita dalam kubangan kotorannya sendiri.

 

Sang pangeran dikenal sebagai orang yang welas-asih, dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya, meletakkan kepalanya di atas pangkuannya, dan dengan suara menghibur dia bertanya, "mengapa engkau seperti ini, wahai sahabat." Orang sakit itu sudah tidak dapat menjawab dan dia menangis tersedu-sedu. "Channa, katakanlah, mengapa orang ini? Adakah yang salah dengan napasnya? Mengapa dia tidak bicara?" "Oh, Tuanku, jangan menyentuh orang itu lebih lama lagi. Orang itu sakit dan darahnya beracun. Dia diserang demam sampar dan seluruh badannya terasa terbakar. Oleh karena itulah dia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara lagi." "Tetapi masih adakah orang lain yang seperti dia?" "Ada, dan Paduka mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti itu. Mohon dengan sangat agar Paduka meletakkannya kembali di tanah, dan jangan menyentuhnya lagi karena sampar itu sangat menular." "Channa, masih banyakkah hal-hal buruk seperti ini selain penyakit sampar?" "Sesungguhnya, Paduka, ada puluhan penyakit lainnya yang sama hebatnya seperti sakit sampar." "Apakah semua orang dapat diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak?" "Betul, Tuanku, semua orang di dunia ini dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya, dan itu dapat terjadi setiap saat." Mendengar penjelasan ini, pangeran pun menjadi semakin sedih dan dia pun segera pulang ke istananya.

 

Śuddhodana, semakin terganggu dengan berita yang disampaikan kepadanya. "Apa? Bagaimana bisa pangeran melihat pertanda buruk itu sekali lagi? Raja kemudian melipatgandakan kesenangan dan kenikmatan untuk puteranya, dan dia juga menambahkan jumlah penjaga yang harus mengawasinya.

 

Waktu pun berjalan terus dan selang beberapa lama kemudian, ketika Siddhārtha sedang menuju taman-kota melalui gerbang barat dengan disertai dengan rombongan besar, kejadian serupa berulang kembali. Sekelompok dewa Tuṣita menyamar sebagai sekumpulan orang. Beginilah penampakan mereka :

 

Sesosok tubuh tak berdaya diusung di atas tandu,

Dengan badan yang kurus kering dan dibungkus kain kafan;

Tubuh yang sudah kaku itu pun tak mampu bergerak lagi,

Orang-orang yang mengiringinya tenggelam dalam sedu sedan.

Di bantaran sungai rombongan itu berhenti,

Mereka semua menyiapkan tumpukan kayu bakar;

Jenazah pun diletakkan di atasnya, dan api pun segera disulut,

Si mati tetap diam walaupun si jago merah melahapnya hingga musnah.

 

Dalam keterkejutannya Siddhārtha berteriak ketakutan. "Channa! Mengapa orang itu terbaring di sana dan membiarkan orang lain membakar dirinya?" "Dia sudah tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati." "Mati! Channa! Apakah ini yang dinamakan mati? Dan apakah aku suatu waktu akan mati juga?" "Betul, Paduka, semua makhluk hidup pada suatu waktu akan mati. Tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya. Dia tidak akan pernah bertemu lagi dengan orang tua, isteri, atau anak-anaknya. Dia harus meninggalkan harta miliknya, rumahnya, teman-temannya, dan kerabatnya. Setelah mati dia akan melanjutkan hidupnya ke dunia berikutnya, tempat dia tidak akan pernah bertemu lagi dengan mereka semua." Pangeran heran dan kaget sekali, sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dia berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut 'mati' itu, yang mesti dialami oleh setiap orang, tak peduli ia seorang raja atau anak dari seorang raja.

 

Sekali lagi Channa melaporkan kejadian ini kepada Śuddhodana, yang langsung membuatnya terhenyak lemas di kursinya. Para peramal istana dipanggil kembali untuk mengetahui takdir Siddhārtha. Mereka semua mengatakan: "Pangeran muda akan pergi melalui 'Gerbang Keberuntungan'." Jadi sang raja memasang panel pintu besar di 'Gerbang Keberuntungan'. Begitu besarnya sehingga dibutuhkan lima ratus orang untuk membuka atau menutupnya.

 

Sekeliling tembok-pembatas kotaraja dibangun semakin tinggi,

Parit pembatas-kota pun telah diperlebar:

Demikian juga lebih banyak pengawas ditempatkan di menara,

Di gerbang-kota sudah bersiaga pasukan berbaju zirah.

 

Semua warga Kapilavastu khawatir dan berjaga siang-malam,

Kota dilingkupi kebisingan besar, para tentara berpatroli di mana-mana;

"Semoga sang pangeran tercinta tidak akan pergi,

Jika pemegang silsilah Shakya pergi, kerajaan ini akan hancur!"

 

Para gadis-penghibur dipanggil dan perintah pun diterbitkan,

"Keluarkan kebisaan kalian disertai segenap naluri kewanitaan;

Buatlah sang pangeran gembira agar dia melupakan penderitaan duniawi,

Awasi dan ciptakan pula penghalang agar Sang Manusia Agung tidak jadi pergi!"

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220504