Tiongkok menjelang akhir abad kedua
setelah Masehi. Kekaisaran Tiongkok yang fenomenal di bawah Dinasti Han sedang
mendekati masa surutnya. Setelah berjaya selama hampir empat ratus tahun,
periode panjang itu kerap dikenang sebagai masa keemasan bagi peradaban
Tiongkok. Kelompok etnis mayoritas Tionghoa modern menamakan diri mereka
sebagai 'Orang Han' atau 'Bangsa Han', bahasa resmi mereka disebut 'Bahasa
Han', dan tulisan mereka dinamakan pula 'Aksara Han'. Dimulai dari pemerintahan
Kaisar Líng (atau 漢靈帝, Hàn Líng Dì, 168-189 M),
kemunduran mesin birokrasi imperium tersebut semakin nyata. Urusan negara
banyak diserahkan kepada pimpinan orang kasim, di antaranya kepada Zhào Zhōng (趙忠) dan Zhāng Ràng
(張讓), sedangkan Sang Kaisar sendiri lebih sibuk mengurusi selir-selirnya dan
mengikuti parade militer.
Dengan berkuasanya dewan orang kasim
yang terkenal korup, mereka juga menentang pembentukan partisan atau kelompok
birokrasi yang terdiri dari orang-orang terpelajar. Pada tahun 184 M terjadi
Pemberontakan Serban Kuning dan Pemberontakan Lima Takar Padi, yang dipelopori
oleh kelompok keagamaan Daois. Masa itu ditandai pula oleh munculnya para Jūnfá
(军阀) atau panglima perang (atau warlord, Inggr.). Seorang panglima
perang dapat berkuasa karena memiliki banyak tentara pribadi, yang mana para
tentara ini memiliki kesetiaan kepada atasannya. Seorang panglima juga harus
mempunyai kepribadian yang kuat, berani, serta juga bakat untuk memimpin. Para
serdadu ini biasanya direkrut dari pemuda-pemuda setempat, yang karena terbentur
pada situasi buruk saat itu, terpaksa penduduk dusun yang malang itu memilih
hidup sebagai tentara. Selain itu adalah lazim bagi seorang panglima perang,
setelah dia mengalahkan musuhnya dan memiliki banyak tawanan, dia akan
memasukkan orang taklukkan itu ke dalam korps tentara mereka.
Seorang panglima perang yang berkuasa
dapat menarik pajak di daerah yang dikuasainya. Dengan begitu dia bisa menambah
pundi-pundi kekayaannya, serta uang pajak itu digunakan pula untuk membiayai
tentara-tentaranya. Panglima perang adalah produk dari melemahnya pemerintah
pusat dan sentralisasi suatu negara. Panglima perang umumnya mengabaikan
keberadaan pemerintah pusat, bahkan ada yang bersaing dengan pemerintah pusat.
Tokoh kita kali ini bernama Guān Yǔ
atau 關羽,yang berasal dari Jiě Xiàn (解縣) atau Kadipaten
Xie. Nama kehormatan aslinya adalah Cháng Shēng (長生). Tidak
diketahui secara pasti kapan Guān Yǔ dilahirkan, tetapi berdasarkan perkiraan
dia kelahiran tahun 160 atau 164. Guān Yǔ sangat rajin belajar dan dia tertarik
pada buku sejarah kuno Zuo Zhuan, serta setelah mempelajarinya beberapa lama
dia mampu melafalkan baris-baris dalam kitab itu dengan lancar. Dia melarikan
diri dari kampung halamannya untuk alasan yang tidak diketahui dan pergi untuk
mengabdikan diri ke seorang panglima perang di Kadipaten Zhuō.
Guān Yǔ dikenal sebagai sosok pria yang
besar tubuhnya dan kuat, yang membuatnya berbakat menjadi petarung dan prajurit
handal. Tidak ada lukisan-diri atau deskripsi tentang penampilan fisik Guān Yǔ
dalam catatan sejarah, namun Sānguózhì (atau 三國志 yakni 'Catatan
Tiga Kerajaan', sebagai dokumen resmi Sejarah Tiongkok yang ditulis oleh 陳壽 / Chén Shòu)
mencatat bahwa Zhūgé Liàng pernah menyebut Guān Yǔ memiliki "jenggot tak
tertandingi", bagaikan serumpun buah anggur. Secara tradisional, Guān Yǔ
digambarkan sebagai prajurit berwajah merah dengan janggut panjang dan lebat.
Gagasan tentang wajah merahnya mungkin berasal dari deskripsi dirinya dalam Bab
1 dari novel sejarah abad ke-14 'Romansa Tiga Kerajaan' (Sānguó Yǎnyì atau 三國演義), pada frasa
berikut ini: "Xuande melihat ke arah pria itu, yang memiliki wajah dengan
tinggi sembilan chi, dan memiliki
janggut panjang dua chi. Wajahnya
berwarna zao gelap, dengan bibir yang
merah dan montok. Matanya seperti burung-api merah tua, dan alisnya mirip ulat
sutra yang sedang berbaring. Dia memiliki penampilan yang bermartabat dan
terlihat sangat anggun." Wajah yang berwarna merah mungkin dipinjam dari
penampilan opera Tiongkok Kuno, yang mana wajah merah mewakili kesetiaan dan
kebenaran. Dalam ilustrasi novel terkenal itu Guān Yǔ secara tradisional
digambarkan mengenakan jubah hijau di luar baju zirahnya. Konon, senjata Guān Yǔ
yang sangat diandalkannya adalah guan dao
bernama 'Pedang Bulan Sabit Naga Hijau' dan dikatakan memiliki berat 82 kati
(sekitar 49,2 kg).
Kisah pertemuan antara Guān Yǔ dengan
dua orang yang kelak menjadi saudara angkatnya diceritakan pada Bab 1 'Romansa
Tiga Kerajaan', yang bercerita tentang kisah perebutan kekuasaan oleh Sepuluh Orang
Kasim dan Pemberontakan Serban Kuning, yang selanjutnya mengacaukan Kekaisaran
Han. Ketika pemberontak Serban Kuning menyerbu Provinsi Yōu Zhōu (幽州), Gubernur setempat
memasang pemberitahuan wajib-militer di wilayahnya. Melihat pemberitahuan itu, Liú
Bèi atau 劉備 (28 tahun),
keturunan jauh dari rumah penguasa kekaisaran, menghela nafas panjang. Dia kemudian
dimarahi oleh Zhāng Fēi (張飛), yang bekerja sebagai penjual daging,
karena tidak melayani negara. Liú Bèi kemudian berbagi aspirasi untuk
menyelamatkan negara dan rakyat, dan Zhāng Fēi menyarankan agar mereka
bersama-sama merekrut milisi sukarela untuk memerangi Pemberontakan Serban
Kuning. Saat minum di sebuah kedai-arak, mereka bertemu Guān Yǔ, yang sedang
dalam perjalanan untuk bergabung dengan milisi. Liú Bèi memberitahu rencana
mereka dan ketiga pria itu pergi ke rumah Zhāng Fēi untuk berdiskusi.
Zhāng Fēi menyarankan mereka harus
melakukan upacara pengorbanan ke langit dan bumi, serta mengambil sumpah
sebagai saudara di bawah pohon persik yang mekar di tamannya, yang disetujui Liú
Bèi dan Guān Yǔ. Sumpah itu begitu terkenal dan Penulis akan kembali
menyitirnya: "Ketika menyebut nama Liú Bèi, Guān Yǔ, dan Zhāng Fēi;
meskipun nama-marganya berbeda, namun kami telah bersatu sebagai saudara. Mulai
hari ini kami akan bergabung untuk tujuan bersama: 'menyelamatkan yang
bermasalah dan membantu yang terancam punah.' Di atas kami akan membalaskan
dendam bangsa, dan di bawah kami akan memenangkan warga. Kami memang tidak
dilahirkan pada hari yang sama, di bulan yang sama, atau pada tahun yang sama.
Semoga para Dewa, Langit, dan Bumi membuktikan apa pun yang ada di hati kami.
Jika kami harus melakukan sesuatu untuk mengkhianati persahabatan kami, semoga
Surga dan orang-orang di Bumi bersama-sama akan membunuh kami." Setelah
melakukan sumpah, Liú Bèi dinyatakan sebagai kakak tertua, diikuti oleh Guān Yǔ,
dan Zhāng Fēi sebagai yang bungsu. Liú Bèi memerintahkan seorang pengrajin
untuk menempa sepasang senjata; Guān Yǔ memperoleh 'Pedang Bulan Sabit Naga
Hijau', dan Zhāng Fēi mendapatkan 'Tombak Ular'. Khusus untuk Zhāng Fēi, publik
di Indonesia di masa lalu lebih mengenalnya dengan nama Tio Hoei, berdasarkan
kisah yang diambil dari 'Romansa Tiga Kerajaan'. Segera setelah persiapan
mereka rampung, ketiganya bergabung dengan milisi sukarelawan untuk membantu
seorang kolonel, Zōu Jìng (鄒靖), seorang petinggi militer dari
Kekaisaran Han Timur, yang ditugaskan untuk meredam pemberontakan itu.
Di atas telah dijelaskan bahwa
Pemberontakan Serban Kuning mulai berkecamuk pada tahun 184, serta perpecahan
di pusat pemerintahan makin menjadi-jadi antara faksi orang kasim melawan para
partisan. Puncaknya terjadi pada tahun 189 dengan terjadinya kekacauan di
kotaraja dan terbunuhnya Kaisar Líng. Pada saat itu ada seorang negarawan
bernama Dǒng Zhuō (董卓) yang menguasai kota Luoyang. Dǒng Zhuō segera mengambil
alih tahta dan mengangkat 'Kaisar Muda' (劉辯, Liú Biàn) sebagai penggantinya, dengan dirinya sendiri
bertindak sebagai perdana menteri. Tidak sampai di situ, pada tahun 190 Dǒng Zhuō memberhentikan 'Kaisar Muda' dan digantikan oleh
Kaisar Xiàn (漢獻帝, Hàn Xiàn Dì), yang merupakan kaisar
boneka, dan serta merta dia sendiri berubah menjadi seorang diktator. 'Catatan
Tiga Kerajaan' mencatat insiden ketika Dǒng Zhuō memimpin pasukannya ke Yáng Chéng
(阳城), dia menyuruh anak buahnya memenggal semua penduduk
laki-laki. Para serdadu merampok kota dan membawa pergi para perempuan, sapi,
dan semua harta berharga; dengan mengklaim bahwa mereka telah menaklukan
pasukan pemberontak. Kebejatan Dǒng Zhuō tidak
sampai di situ, dia juga tidur dengan para wanita istana bahkan dengan sang
permaisuri. Namun kekejamannya menimbulkan kemarahan rakyat di mana-mana. Para
panglima perang di seluruh kekaisaran segera membentuk koalisi guna melawannya,
seperti Yuán Shù (袁术), Cáo Cāo (曹操), Liú Bèi, dan
Sūn Jiān (孫堅), sehingga Dǒng Zhuō terpaksa memindahkan
ibukota ke Chang'an. Kekuasaan Dǒng Zhuō pun berakhir setelah dia dikhianati dan dibunuh oleh anak angkatnya sendiri,
Lǚ Bù (呂布), pada tahun 192.
Keterampilan Guān Yǔ dalam bertarung
dan berperang bisa dilihat pada saat dia dan kedua saudaranya bergabung dalam
angkatan perang Gōngsūnzàn (公孫瓚),yang
mana Gōng saat itu berada dalam satu koalisi yang menentang Dǒng Zhuō. Dǒng
menempatkan petarung andalannya, Huá Xióng (華雄)untuk
menjaga Sishu. Huá Xióng seakan tidak terkalahkan setelah membunuh empat
perwira pasukan koalisi, yaitu Bao Zhong, Zu Mao, Yu Shen, dan Pan Feng. Saat itu tak ada pemimpin koalisi yang percaya saat Guān Yǔ
menawarkan diri untuk menghabisi Huá, serta dia mempertaruhkan untuk memberikan
kepalanya apabila upayanya gagal. Guān Yǔ kemudian beraksi seorang diri,
menerobos pertahanan Huá Xióng, dan lewat pertarungan singkat berhasil
memenggal kepala lawannya. Dia kembali dengan kepala Huá Xióng yang berada
dalam genggaman tangannya, saat anggur merah yang dituang Cáo Cāo masih
terasa hangat, padahal minuman itu baru
dituang sebelum Guān Yǔ pergi.
Ketika
Liú Bèi diangkat sebagai Menteri, Guān Yǔ dan Zhāng Fēi mendapatkan jabatan
mayor dengan masing-masing memimpin
detasemen tentara di bawah Liú Bèi. Liú Bèi menyayangi mereka seolah-olah
mereka adalah saudaranya sendiri, dan mereka bertiga berbagi kebersamaan ini
sampai-sampai menempati kamar yang sama; tidur di tikar yang sama dan makan
dari panci yang sama. Guān Yǔ dan Zhāng Fēi juga terus berjaga di samping Liú
Bèi saat dia sedang menghadiri pertemuan. Mereka mengikutinya pula dalam
petualangan militernya, dan melindunginya dari segala ancaman bahaya. Guān Yǔ
terkenal karena kebaikannya terhadap anak buahnya yang mana mereka diperlakukan
sebagai keluarganya sendiri, tetapi dia kurang menjaga tata krama ketika
bertemu dengan para bangsawan.
Persekutuan antara panglima perang tidak
berlangsung lama, karena mereka saling gontok-gontokan satu sama lain. Pada
tahun 200, Cáo Cāo memimpin pasukannya untuk menyerang Liú
Bèi, mengalahkannya dan merebut kembali Provinsi Xu. Liú
Bèi melarikan diri ke Tiongkok Utara dan mencari
perlindungan di bawah Yuán Shào (袁紹), seorang saingan Cáo Cāo, sementara Guān Yǔ ditangkap oleh pasukan Cáo Cāo
dan dibawa kembali ke Xu. Cáo Cāo
memperlakukan Guān Yǔ dengan hormat dan meminta
Kaisar Xiàn untuk mengangkat Guān
Yǔ sebagai Letnan Jenderal (偏將軍
atau Piān Jiāngjūn). Belakangan tahun itu, Yuán Shào mengirim jenderalnya Yán Liáng
(顔良) untuk memimpin pasukan guna menyerang garnisun Cáo Cāo di Báimǎ (白馬) dekat
Kabupaten Hua, sekarang Henan, yang dipertahankan oleh Liu Yan (劉延). Cáo Cāo mengirim Zhāng
Liáo (張遼) dan Guān Yǔ untuk memimpin barisan
depan guna menyerang musuh. Di tengah pertempuran, Guān Yǔ mengenali payung Yán Liáng sehingga dia menyerang jenderal
musuhnya itu, memenggal kepalanya, dan membawa kepala itu. Anak buah Yán Liáng
tidak bisa menghentikannya. Dengan kematian Yán Liáng, pengepungan terhadap Báimǎ
dicabut. Atas rekomendasi Cáo Cāo, Kaisar Xiàn memberikan Guān Yǔ gelar bangsawan 'Marquis
dari Dusun Hàn Shòu' (漢壽亭侯,
Hàn Shòu Tíng Hóu).
Meskipun Cáo Cāo
mengagumi karakter Guān Yǔ, dia juga merasakan bahwa Guān
Yǔ tidak berniat untuk mengabdi di bawahnya untuk
waktu yang lama. Dia berkata kepada Zhāng Liáo, "Mengapa kamu tidak
menggunakan persahabatanmu dengan Guān Yǔ untuk mencari tahu apa yang dia inginkan?" Ketika Zhāng
Liáo menanyainya, Guān Yǔ menjawab, "Saya sadar
bahwa Tuan Cáo memperlakukan saya dengan
sangat murah hati. Namun saya juga telah menerima banyak bantuan dari Jenderal Liú, dan saya telah bersumpah untuk mengikutinya sampai saya
mati. Saya tidak dapat melanggar sumpah saya. Saya akan pergi pada akhirnya,
jadi mungkin Anda bisa membantu saya menyampaikan pesan saya kepada Tuan Cáo." Zhāng Liáo melakukannya, dan Cáo Cāo bahkan lebih terkesan terhadap Guān
Yǔ.
Nasib malang menimpa Guān Yǔ di penghujung tahun 219. Saat
itu Guān
Yǔ mundur dari Fancheng karena pasukan Sūn Quán (孫權) telah menduduki Jiangling
dan menangkap pengawal keluarga Guān Yǔ. Sebagian besar tentara Guān Yǔ telah kehilangan semangat juang, dan mereka melakukan
desersi dengan kembali ke Provinsi Jing untuk bersatu kembali dengan keluarga
mereka. Guān Yǔ tahu bahwa dia telah
diisolasi sehingga dia mengungsi ke Distrik Zhāng Xiān (漳鄉),
tempat anak buahnya yang tersisa meninggalkannya dan menyerah kepada musuh. Guān
Yǔ, bersama puteranya Guān Píng (關平) ditangkap hidup-hidup oleh musuh dalam sebuah
penyergapan. Guān Yǔ dan Guān Píng kemudian
dieksekusi oleh pasukan Sūn Quán di Lín Jǔ (臨沮),
sekarang Nanzhang, Hubei. Kematian Guān Yǔ diperkirakan terjadi pada Januari atau Februari 220.
Kehidupan Guān Yǔ diagungkan dan prestasinya dimuliakan sedemikian rupa
setelah kematiannya, sehingga ia didewakan pada zaman Dinasti Sui. Melalui cerita
yang diturunkan dari generasi ke generasi, yang berpuncak pada novel sejarah
abad ke-14 'Romansa Tiga Kerajaan'; suri
tauladan dan kualitas moralnya mendapat perhatian besar, menjadikan Guān
Yǔ salah satu paradigma kesetiaan dan kebenaran
paling populer di Asia Timur. Sosok ini masih dipuja oleh banyak orang Tionghoa
baik di Tiongkok Daratan maupun di manca negara, hingga saat ini. Dalam agama orang
Tionghoa, Guān Yǔ dimuliakan dan dipanggil sebagai 'Kaisar
Guān' (關帝;
Guān Dì), menyiratkan status kedewaannya, serta 'Tuan
Guān' atau Guān Gōng (關公) atau istilah Hokkian-nya 'Kwan Kong'. Sedangkan gelar Tao-nya
adalah 'Kaisar Suci Tuan Guan' (關聖帝君, Guān Shèng Dì Jūn). Dalam aliran Buddha Mahāyāna, sosok Guān Yǔ dikenal pula dengan sebutan 'Bodhisattva
Saṅgharama'.
Di Indonesia kuil yang mendedikasikan dirinya untuk
dijadikan pemujaan Guān Gōng adalah Kelenteng Kwan Sing Bio, artinya 'Rumah Pemujaan Dewa Kwan Kong'. Seperti namanya kelenteng ini memang
dipersembahkan bagi Guān Gōng, dewa pelindung utama yang sosoknya digambarkan
sebagai panglima perang zaman Dinasti Han. Setiap tahun, tepatnya tanggal 24
bulan keenam pada penanggalan Tionghoa, banyak peziarah yang datang ke Tuban
untuk memperingati ulang tahunnya. Kelenteng Kwan Sing Bio berada di pinggir Jalan
Raya Pantura, tepatnya di Jalan Martadinata No.1, Kelurahan Karangsari,
Kecamatan Kota Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kelenteng ini merupakan
satu-satunya bio yang menghadap
langsung ke arah laut.
sdjn/dharmaprimapustaka/220518