Rabu, 23 Maret 2022

Legenda Miao Shan


 

Di masa lalu ada seorang raja yang bernama Miào-zhuāng wáng atau  妙庄王, yang berkuasa di Negeri Xing Lin, kira-kira pada akhir masa kekuasaan Dinasti Zhou pada abad ke-3 seb.M. Permaisurinya bernama Pao Ying. Dari perkawinan itu sang raja dikaruniai tiga orang puteri. Yang pertama bernama Miao Shu, yang kedua dipanggil Miao Yin, dan yang bungsu dinamakan Miào Shàn atau 妙善.

 

Pada malam saat sang puteri bungsu mulai dikandung oleh ibunya, sang permaisuri dalam tidurnya bermimpi, bahwa secara ganjil dia berhasil menelan sang rembulan. Ketika waktunya tiba bagi sang bayi untuk dilahirkan, bumi pun bergetar dengan lembutnya, bunga-bunga di seantero negeri bermekaran di saat yang berbarengan, dan kembang-kembang surgawi berjatuhan dari angkasa, menciptakan aroma harum semerbak di mana-mana. Orang-orang di negeri itu tercengang menyaksikan keajaiban yang terjadi dalam seketika. Saat bayi itu lahir ke dunia tubuhnya nampak bersih dan segar, walaupun dia belum sempat dimandikan. Sekujur badannya dilingkupi oleh awan-awan yang berwarna-warni. Orang-orang pintar dan bijaksana setelah menafsirkan tanda-tanda yang dibawa oleh sang bayi mengatakan, bahwa sang puteri tidak lain merupakan wujud-inkarnasi dari orang suci. Meskipun ayahnya menyaksikan anaknya yang baru lahir ini luar biasa, namun temperamen dan watak sang raja yang buruk, membuat dia enggan untuk mengakuinya.

 

Sang puteri bungsu pun hidup dalam keadaan berkecukupan dan berkemewahan di dalam istana ayahnya. Dia bertumbuh kembang dan beranjak dewasa laksana puteri raja yang cantik rupawan dan dimanjakan oleh kehidupan duniawi. Namun tidak seperti kebanyakan anak raja, sang puteri bungsu hanya mau mengenakan busana yang sederhana, dan dia pun hanya menyantap makanannya satu kali sehari. Sang puteri pun dikenal oleh rakyatnya sebagai wanita yang lembut, halus, dan penyayang. Di lingkungan istana dia dikenal sebagai "gadis berhati emas." Karena terbawa oleh aura dan perilakunya yang baik dan penyayang, para inang-pengasuhnya pun ikut terpengaruh. Semuanya memiliki moralitas yang tinggi dan sedikit demi sedikit mereka berlatih melepaskan diri dari berbagai keinginan duniawi.

 

Ketika sang puteri sudah melewati masa akil-balig, ayahnya sang raja bermaksud mencarikan seorang suami bagi Miao Shan. Namun secara halus dia menolak untuk dicarikan pasangan hidup, seraya berkata: "Kekayaan dan kehormatan tidak akan berlangsung untuk selamanya. Kemuliaan dan kemegahan ibarat gelembung sabun, terbentuk seketika dan kemudian lenyap. Segala kebesaran duniawi hanyalah ilusi belaka. Bahkan jika Yang Mulia memaksaku untuk melakukan pekerjaan kasar, aku tidak akan pernah berpaling dari tekadku untuk tetap menapaki kehidupan suci."

 

Ketika raja dan permaisuri memanggil Miao Shan keduanya mencoba untuk membujuknya, namun dia berkata: "Aku akan mematuhi perintah Yang Mulia jika hal itu dapat mencegah tiga kemalangan. Sang raja bertanya, "apa yang dimaksud dengan tiga kemalangan itu?" Miao Shan menyebutkan: "Yang pertama adalah kasus seperti ini: saat laki-laki masih berusia muda, wajahnya bundar seelok bulan-pualam, yang membuat langit malam menjadi cerah. Tetapi ketika lelaki itu beranjak menua, rambut mereka berubah menjadi putih, dan wajah mereka pun berkeriput dan berkerut-kerut. Sewaktu mereka bergerak atau beristirahat, dipandang dari segi mana pun, mereka lebih buruk ketimbang ketika mereka masih muda. Yang kedua adalah hal berikut ini: anggota tubuh seorang pria mungkin prima, bertenaga, dan bersemangat. Dia mungkin bergerak dengan lincah, seolah-olah dia sedang terbang di angkasa. Namun ketika tiba-tiba penyakit datang menghampirinya, dia hanya bisa berbaring di tempat tidurnya tanpa bisa mendapatkan kesenangan sedikit pun dalam hidup ini. Yang ketiga adalah kasus seperti ini: seorang pria memiliki banyak kerabat, mungkin dikelilingi oleh orang-orang terdekat dan tersayangnya, tetapi tiba-tiba suatu hari semuanya berakhir, dengan tibanya hari kematiannya. Meskipun ayahnya atau anaknya adalah kerabat dekatnya, dia tidak dapat meminta satu dari mereka untuk menggantikannya atau mewakilkannya menghadapi kematian. Jika Yang Mulia dapat mencegah tiga kemalangan ini, maka Paduka akan memenangkan persetujuanku untuk menikah. Jika tidak, aku lebih memilih pensiun untuk mengejar kehidupan religius. Ketika seseorang memperoleh pemahaman penuh tentang batin asali, semua kemalangan atas kemauannya sendiri tidak akan ada lagi.”

 

Mendengar kata-kata itu sang raja amat murka. Dia memaksa Miao Shan untuk bekerja di kebun serta mengurangi jatah makanan dan minumannya. Bahkan kedua kakak perempuannya membujuk dan merayunya agar dia berubah pikiran, tetapi Miao Shan memegang teguh pendiriannya dan tidak mau berkompromi barang sedikit pun juga. Ketika sang permaisuri secara pribadi mendekati dan menegurnya, Miao Shan berkata: "Dalam semua keterikatan dan kemelekatan emosional, di antara sesama saudara dan kerabat di dunia ini, tidak dikenal istilah pelepasan spiritual. Jika saudara atau pun kerabat dekat bersatu dalam hidup ini, suatu saat mereka pasti akan terpisah dan tercerai-berai pula. Bebaskanlah pikiran Ibunda dari beban ini. Beruntunglah, Yang Mulia masih memiliki dua anak perempuan, yang akan merawat Paduka di hari tua. Tidak usahlah mengkhawatirkan Miao Shan."

 

Sang permaisuri dan kedua saudara perempuan Miao Shan meminta sang raja untuk membebaskannya, agar dia bisa mengikuti keinginannya, namun sang raja menolak mentah-mentah. Raja bermaksud membuang puteri bungsunya ke sebuah biara di negeri itu. Dia memanggil para biarawati di Biara "Burung Pipit Putih", lalu dia memerintahkan agar Miao Shan diperlakukan secara keras dan kasar selama dia tinggal di kuil itu. Upaya itu dimaksudkan agar sang puteri akan berubah pikiran. Para biarawati diintimidasi agar Miao Shan setiap hari ditugaskan untuk menangani pekerjaan berat, seperti mengambil kayu dan air di hutan, bekerja dengan alu dan lesung, serta mengelola kebun dapur. Seolah tahu bahwa Miao Shan sengaja dibuat susah dalam menjalani hidupnya, alam pun tidak tinggal diam. Belum berapa lama dia tinggal di biara itu, tanaman sayur tumbuh dengan subur di pekarangan kuil, bahkan tumbuhan itu hidup selama musim dingin. Sebuah mata air tiba-tiba muncul dan mengalirkan air jernihnya di samping dapur biara.

 

Waktu pun berlalu dengan cepatnya namun Miao Shan masih tetap teguh menjalani hidupnya sesuai dengan aspirasinya. Ketika ayahnya mendengar kabar tentang keajaiban sayuran dan mata air, maka dipicu oleh kedengkian dan kebencian terhadap puteri bungsunya, dia menjadi sangat gusar. Dia lalu mengirimkan bala tentara serta memerintahkan mereka agar membawa kepala puterinya, sekaligus pula menghabisi para biarawati. Sungguh penguasa yang kejam, yang hendak menghukum orang-orang yang tidak bersalah! Saat pasukan itu mendekati kuil, sekonyong-konyong gumpalan awan dan kabut yang misterius tiba-tiba muncul, yang membuat semua yang ada di sana menjadi gelap. Ketika awan dan kabut itu lenyap dan pasukan itu menyerbu kuil, Miao Shan adalah satu-satunya orang yang tidak dapat mereka temukan. Kemana Miao Shan pergi? Dia ternyata telah diungsikan oleh sesosok roh ke sebuah tebing. Roh itu kemudian berkata: "Tanah di sini terlalu tandus untuk menopang kehidupan." Dia pun memindahkan Miao Shan hingga tiga kali, sebelum mereka mencapai Gunung Harum atau Xiāng Shān. Miao Shan selanjutnya memilih bertempat tinggal di sana, makan dari apa yang didapatnya di pepohonan, dan minum dari sungai jernih yang mengalir di gunung itu. Selama sembilan tahun Miao Shan bertapa di Gunung Harum untuk melatih berbagai keutamaan.

 

Waktu terus berlalu, dan raja lalim itu kini mendapat musibah. Dia terjangkit penyakit kuning yang membuat seluruh tubuhnya rusak dan bernanah, dan dia tidak bisa lagi tidur atau makan. Tidak ada tabib yang bisa menyembuhkannya. Ketika sang raja hampir mati seorang rahib datang menemuinya, mengatakan bahwa dia mampu menyembuhkannya hingga tuntas. Namun untuk bisa melakukannya sang rahib membutuhkan organ-lengan dan organ-mata dari seseorang yang telah bebas dari kemarahan. Raja menganggap syarat yang diminta mustahil untuk dipenuhi. Tetapi sang rahib berkata: “Di Gunung Harum, di daerah barat-daya dari wilayah yang dikuasai oleh Yang Mulia, ada seorang dewi welas-asih yang sedang mengembangkan praktik keagamaannya. Jika Paduka mengirim seorang utusan untuk menyampaikan permintaan kepadanya, Yang Mulia dapat mengandalkannya untuk mendapatkan bahan bagi pembuatan ramuan berharga itu.”

 

Sang raja tidak punya pilihan selain memerintahkan pasukan istana untuk pergi dan menyampaikan pesannya. Sesampainya di sana Miao Shan berkata: "Ayahku tidak menunjukkan rasa hormatnya pada Tiga Harta Karun, dan dia menganiaya Doktrin Sejati yang tertindas, tambahan lagi dia mengeksekusi para biarawati yang tidak bersalah. Ini menuntut pembalasan." Kemudian dia dengan senang hati memotong matanya dan lengannya, lalu menyerahkannya kepada utusan itu. Dia memberikan instruksi untuk disampaikan kepada sang raja, agar sang penguasa kembali kepada ajaran yang baik, dan tidak lagi tertipu oleh doktrin palsu. Ketika dua bagian-tubuh yang diminta itu diserahkan kepadanya, sang rahib kemudian mengolahnya menjadi ramuan obat. Sang raja meminumnya dan ajaib!!  Sedikit demi sedikit penyakit yang dideritanya berangsur-angsur lenyap. Dengan murah hati dia menghadiahi tabib-rahib itu emas dan perak. Tetapi rahib itu malah berkata: "Mengapa Paduka berterima kasih kepadaku? Yang Mulia seharusnya berterima kasih kepada orang yang menyediakan organ-lengan dan organ-mata itu." Setelah mengucapkan kata-kata itu sang rahib pergi begitu saja. Raja tersadar bahwa dia baru saja diselamatkan oleh pertolongan dewata. Selanjutnya dia memerintahkan seorang penunjuk jalan, agar membawanya beserta sang permaisuri dan dua puterinya ke Gunung Harum, untuk berterima kasih kepada sang dewi welas-asih itu.

 

Mereka akhirnya bertemu, dan sebelum kata-kata diucapkan, sang permaisuri sudah mengenalinya. Orang yang mereka cari tidak lain adalah Miao Shan. Mereka semua terperanjat, dan air mata membanjiri pipi empat orang itu. Miao Shan berkata: "Apakah Yang Mulia masih mengingat Miao Shan? Mengenang cinta ayahku, aku telah membalasnya dengan lengan dan mataku sendiri." Mendengar kata-katanya, raja dan permaisuri bermaksud memeluknya, dan keduanya menangis tersedu-sedu. Baru saja Permaisuri hendak menjamah wajah puteri bungsunya, namun alamak! Sebelum dia bisa melakukannya, awan keberuntungan segera menyelimuti Gunung Harum, musik surgawi terdengar dari atas langit, bumi berguncang, dan bunga-bunga menghujani mereka. Dan kemudian manifestasi suci dari Sang Dewi dengan Seribu Lengan dan Seribu Mata terungkap dengan jelas, dan dia melayang dengan anggunnya di tengah angkasa. Suara-suara yang menyuarakan welas-asih kembali bergema mengguncang gunung dan lembah. Lalu selang sekejap kemudian, Sang Dewi Welas-asih perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Raja, permaisuri, dan dua saudara perempuan dalam dukacita mereka berlutut dan menyembah sang dewi yang berangsur-angsur lenyap. Selanjutnya mereka membangun sebuah tempat pemujaan untuk mengenang jasa sang dewi welas-asih. Sebagai penghormatan kepada Miao Shan mereka semua mengikuti ajaran luhurnya, yang dijadikan panutan oleh sang puteri bungsu semasa hidupnya.

 

Legenda Puteri Miao Shan di atas menarik minat masyarakat sejak Zaman Kuno. “Gulungan Mestika Gunung Harum” atau "Xiāngshān bǎo juàn atau 香山寶卷", menceritakan bagaimana Puteri Miao Shan yang dipercaya orang sebagai manifestasi dari Bodhisattva Guanyin. Cerita Gulungan Mestika Gunung Harum bermuasal dari Biara Xiangshan (atau Xiāng Shānsì) atau 香山寺 di Rǔ zhōu ( 汝州). Kuil itu adalah tempat pemujaan Guanyin, dan kepala biara yang bernama Huái zhòu atau 懷晝 memberikan tulisan kisah Puteri Miao Shan pada pejabat kota Ruzhou yang bernama Jiǎngzhīqí atau 蔣之奇 (1031-1104), pada masa pemerintahan Dinasti Song Utara (960-1127). Dari situlah Legenda Guanyin sebagai puteri Miao Shan meluas dan menyebar hingga dikenal sampai sekarang. Jika kita merunut kisah itu sejak akhir masa pemerintahan Dinasti Zhou, sampai akhirnya dituliskan dalam manuskrip berbentuk gulungan kertas, diperlukan waktu sekitar 1.400 tahun. Tidak heran jika Anda membacanya dari sumber lain terdapat berbagai variasi dalam jalan ceritanya, walaupun kisah Miao Shan sebagai dewi welas-asih tetaplah serupa.

 

Jika benar bahwa Miao Shan adalah puteri seorang raja lokal di Tiongkok pada abad ke-3 seb.M., jelas pada masa ini agama Buddha belum masuk ke Tiongkok. Dengan demikian kepercayaan dan pemujaan terhadap dewi welas-asih jelas berasal dari agama asli orang Tionghoa itu sendiri. Di lain pihak narasi Guanyin sebagai sesosok bodhisattva, mencapai puncak popularitasnya di Asia Timur antara abad kedua-belas sampai abad kesembilan-belas. Pada saat itu muncul kepercayaan bahwa inkarnasi terakhir Sang Bodhisattva tidak lain Puteri Miao Shan. Hari lahir tanggal 19 bulan kedua, hari mendapatkan Sang Jalan tanggal 19 bulan keenam, dan hari memperoleh Kesempurnaan tanggal 19 bulan kesembilan, semuanya mengacu pada kalender Tionghoa, dirayakan oleh pengikutnya setiap tahun. Boleh dikatakan Guanyin merupakan sosok bodhisattva yang paling dikenal.

 

Membaca legenda Miao Shan, penulis pribadi memiliki pandangan tersendiri. Bukan saja sekali, tetapi dua sampai tiga kali Miao Shan menolak untuk menikah. Padahal sang raja tidak memiliki anak laki-laki dan dia memiliki kepentingan agar keturunannya kelak bisa meneruskan tahtanya. Miao Shan berdiri teguh melawan ayahnya dan lebih radikal lagi dia melawan konvensi, jadi Miao Shan ini seorang pemberontak. Apalagi sang puteri dibesarkan dalam kentalnya budaya berbakti terhadap orang tua dan leluhur, tradisi mana yang lebih dikenal sebagai atau Xiào atau hàu. Adalah hal yang melegakan pada akhirnya, bahwa Miao Shan benar dan menang. Dalam budaya patriarkhal yang kuat seperti yang dianut dalam masyarakat Tionghoa, adanya Guanyin sebagai sosok dewi welas asih yang dipuja secara luas tentu merupakan hal yang luar biasa.

 

Di penghujung hidupnya pada gunung yang disucikan, Miao Shan selama sembilan tahun bermeditasi, melantunkan mantram, memasuki keadaan mistik secara mendalam. Dia mengasah batin dan tubuhnya, mengembangkan kejernihan pikirannya, menumbuhkan kesadarannya atas saling-kebergantungannya dengan alam semesta, serta memupuk welas-asih tanpa dasar untuk semua makhluk. Seperti yang diceritakan dalam legenda itu, akhirnya dia menjelma menjadi Sang Avalokitesvara berlengan seribu, bermata seribu, bodhisattva yang maha welas-asih. Mendengar bahwa sang raja sangat menderita, dia cukup menawarkan sebuah lengan dan sebuah matanya untuk menyembuhkannya. Dan mengapa lengan dan mata? Sementara Miao Shan, dalam tubuh fisiknya, hanya memiliki dua lengan dan dua mata. Di sinilah misteri ini terungkap, bahwa bukan Miao Shan sebagai manusia fana yang melakukannya, melainkan Sang Bodhisattva Avalokitesvara yang menyerahkan salah satu dari seribu lengan dan seribu mata yang dimilikinya.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220323 

 


Rabu, 09 Maret 2022

ABSURDITAS



Pada satu ketika, Sang Buddha sedang berdiam di kota Anupiya yang merupakan tempat bermukimnya suku Mallia. Pada saat yang sama banyak pangeran Sakya yang terkemuka telah meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah di bawah naungan Yang Terberkahi. Tetapi ada dua orang kakak beradik, Mahānāma dan Anuruddha, putera Sakya yang masih menjalani kehidupan sebagai keluarga raja. Anuruddha tumbuh dewasa dalam keadaan yang menyenangkan. Dia memiliki tiga istana, satu untuk musim panas, satu untuk musim hujan, dan satu untuk musim dingin. Selama empat bulan ia akan dihibur di dalam istana musim hujan oleh para penghibur yang tidak ada seorang lelaki pun diantara mereka, serta selama waktu itu ia tidak pernah beranjak ke istana yang letaknya lebih rendah.

 

Hal ini terjadi pada Mahānāma: "Sekarang banyak pangeran Sakya yang terkemuka telah meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah di bawah naungan Yang Terberkahi. Adalah baik jika aku pergi menuju kehidupan tanpa-rumah, atau barangkali Anuruddha?"

 

Kemudian ia pergi menemui Anuruddha dan menceritakan apa yang selama ini dipikirkannya. Anuruddha berkata: "Tetapi aku tumbuh dewasa dalam keadaan yang menyenangkan. Aku tidak dapat pergi meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah. Engkau saja yang sebaiknya pergi ke kehidupan tanpa-rumah."

 

"Ayolah, Anuruddha, aku akan mengajarkanmu kehidupan seorang perumah tangga. Sekarang sawah harus dibajak. Lalu bibit harus ditaburkan. Setelah itu air harus dialirkan ke dalamnya. Kemudian sawah harus dikeringkan. Selanjutnya sawah harus disiangi, lalu tanaman harus dipotong. Setelah itu tanaman harus dikumpulkan, lalu tanaman harus ditumpuk. Selanjutnya tanaman itu harus dirangket, lalu jeraminya disingkirkan. Kemudian gabah harus ditampi. Lalu gabah harus diayak, dan kemudian disimpan di luar. Sekarang ketika semuanya selesai dikerjakan, pekerjaan yang sama harus pula diulang untuk tahun depan, serta untuk tahun yang sesudahnya. Pekerjaan itu tidak akan pernah selesai. Tidak ada akhir dari pekerjaan itu."

 

"Lalu kapankah ada akhir dari pekerjaan itu? Kapan kita punya waktu luang untuk memuaskan lima untaian keinginan-keinginan inderawi yang kita bisa penuhi dan lengkapi dengannya?"

 

"Saudaraku sayang Anuruddha, pekerjaan itu tidak akan pernah selesai. Tidak ada akhir dari pekerjaan itu. Ayah kita dan kakek kita keduanya meninggal selagi mereka melakukan pekerjaan yang masih belum selesai. Jadi sekarang giliran bagimu untuk belajar tentang kehidupan berumah tangga. Aku akan pergi dari kehidupan-berumah ke kehidupan tanpa-rumah."

 

Dialog kakak beradik itu sengaja penulis ambil untuk kita renungkan lebih jauh. Kita petik kalimat di atas : "Sekarang ketika semuanya selesai dikerjakan, pekerjaan yang sama harus pula diulang untuk tahun depan, serta untuk tahun yang sesudahnya. Pekerjaan itu tidak akan pernah selesai. Tidak ada akhir dari pekerjaan itu." Apa itu pekerjaan yang tidak akan pernah selesai? Dalam contoh di atas pekerjaan itu adalah bertani, bercocok tanam, dengan menumbuhkan padi di sawah. Mulai dari membajak sawah sampai didapatkan gabah yang akan disimpan dalam lumbung, inilah yang dinamakan satu siklus bertani-padi, yang akan diulang pada musim atau tahun berikutnya. Kita bisa mengatakan kepada Pak Tani atau Bu Tani, seperti yang dikatakan oleh Mahānāma kepada saudaranya, bahwa pekerjaan itu tidak akan pernah selesai. Tetapi bukankah sebagian besar dari kita juga melakukan hal yang sama di kehidupan modern ini? Para karyawan mulai berangkat pagi hari ke kantor atau pabrik atau unit usaha, lalu di sana mereka disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang itu-itu saja, hingga sore hari mereka pulang ke rumah dan beristirahat. Lalu esok hari pekerjaan itu diulangi kembali, dari hari Senin sampai Jumat atau Sabtu. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun; dan pekerjaan itu tidak pernah berakhir. Ayah kita dan kakek kita keduanya meninggal selagi mereka melakukan pekerjaan yang masih belum selesai.

 

Penulis ingin mengajak para pembaca untuk memahami dan mendalami gagasan yang dikemukakan oleh Mahānāma di atas. Adalah Albert Camus (7-Nov-1913 – 4-Jan-1960), seorang filsuf, penulis, dan wartawan berkebangsaan Perancis, yang mencetuskan filsafat absurdisme. Albert Camus (dibaca albɛʁ kamy) sendiri mendapat hadiah Nobel Kesusastraan pada tahun 1957 atas karya-karya tulisnya yang luar biasa. Salah satu bukunya yang akan kita bahas adalah Le Mythe de Sisyphe (1942), atau diindonesiakan sebagai Mitos Sisifus. Siapa gerangan Sisifus itu?

 

Sisifus adalah seorang tokoh dalam mitologi Yunani Kuno, seorang putera Raja Korintus atau Dewa Angin. Diceritakan bahwa Sisifus tidak lain seorang tokoh licik, tamak, dan jahat, yang menciptakan hal-hal yang mengerikan bagi rakyatnya. Tidak sampai di situ saja, Sisifus berkali-kali membangkang terhadap perintah para dewa, serta membuat dosa yang paling besar dengan membocorkan rahasia Dewa Zeus, raja para dewa. Mempertimbangkan bahwa Sisifus terlalu keji untuk disebut sebagai manusia, Dewa Zeus mencampakkan Sisifus dari bumi ini dan melemparkannya ke dunia bawah. Di kerak neraka Sisifus ditugaskan untuk mendorong sebuah batu besar menuju ke atas puncak bukit. Setelah sempat merasakan kelegaan dan kemenangan – karena batu besar itu telah sampai di puncak bukit – batu besar yang goyah di tempat barunya lalu menggelinding ke bawah. Sisifus pun turun kembali ke dasar neraka, mengulangi pekerjaannya mendorong batu besar yang serupa dengan yang sebelumnya, dan setelah sampai di puncak bukit, batu besar itu pun menggelinding kembali ke bawah.

 

Karena dikutuk oleh para dewa dan menuruti obsesinya sendiri, Sisifus bukan hanya mengulang pekerjaan yang tampaknya sia-sia itu dua atau tiga kali, tetapi selamanya. Mengerikan mendengar kisah Sisifus ini sesungguhnya, atau Anda para pembaca punya pendapat yang lain?

 

Sesungguhnya tiada hukuman yang lebih mengerikan daripada suatu "pekerjaan yang sia-sia dan tanpa harapan" (le travail inutile et sans espoir), demikianlah ujar Albert Camus dalam bukunya. Mendorong batu ke atas puncak bukit lalu menyaksikan batu yang sama kembali ke tempatnya semula, serta hal itu dilakukan berulang-ulang tanpa henti, inilah yang dinamakan sebagai "absurd". Dalam bahasa Indonesia pengertian "absurd" antara lain : konyol, yang bukan-bukan, tidak masuk akal, mustahil, lucu, menggelikan.

 

Lalu siapa itu Sisifus? Sisifus adalah kita-kita ini, termasuk saya. Penulis ingat masa sekolah atau saat menuntut ilmu. Bangun pagi-pagi, siap-siap sekolah atau kuliah sampai siang bahkan sore hari, belajar di rumah dan mengerjakan PR hingga malam hari. Selebihnya bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman atau sekedar melepas lelah. Meskipun terkadang ada jeda libur panjang, tetapi kewajiban bersekolah tetap dilakukan paling sedikit tujuh-belas tahun lamanya. Setelah lulus kuliah dilanjutkan dengan mencari nafkah seperti yang diceritakan di atas. Jadi sejak masih balita kita sudah mendorong batu kita masing-masing, dan mengulanginya terus-menerus. Oleh karena itu kita sesungguhnya menanggung kutukan Sisifus selama kita hidup.

 

Sesuatu yang tidak dapat disangkal kita punya tujuan yang jelas, entah dalam jangka pendek atau jangka panjang, dan kita akan berjuang untuk mencapainya. Inilah yang dimaksud dengan mendorong batu besar ke puncak bukit. Kemudian setelah kita berhasil sampai di puncak, apa yang akan kita kerjakan? Meraih satu tujuan atau sasaran bukanlah satu akhir, walaupun kita merasa lega untuk sementara dan merasakan kemenangan. Setelah itu kita tidak akan berpangku tangan, karena sifat manusia yang tidak kenal puas. Kita akan memasang target yang lebih tinggi dan tujuan yang lebih jauh lagi. Jadi kita harus turun lagi ke dasar dan mulai mendorong batu yang lain lagi. Lalu setelah giliran batu ini selesai, apakah kita akan berdiam diri? Pasti tidak, dan kita akan mendorong batu yang lain lagi. Lagi dan lagi, hingga kita mati. Inilah yang namanya absurditas.

 

Manusia adalah Sisifus yang memiliki sendiri masing-masing batunya dan memiliki hasrat untuk mendorongnya ke puncak, sampai dia melihat sendiri bahwa batunya menggelinding ke bawah. Lalu mengapa masih ada hasrat untuk mendorongnya kembali ke puncak? Camus menjawab inilah ketidakbermaknaan hidup. Kesadaran bahwa hidup adalah sebuah perjalanan yang harus ditempuh, dan bahwa hidup sejatinya berjalan begitu adanya. Banyak orang menganggap absurdisme Camus terkesan sedih, tanpa harapan, tak-bermakna, dan pesimistis. Namun Camus menolak anggapan itu dengan menyatakan bahwa Sisifus itu sebetulnya bahagia. "Perjuangan menuju puncak itu sendiri, sudah cukup mengisi hati manusia. Orang harus membayangkan Sisifus itu bahagia." (La lutte elle-même vers les sommets suffit à remplir un coeur d’homme; il faut imaginer Sisyphe heureux.)  Jadi Sisifus senang mendorong batu. Memang dalam kenyataannya banyak orang di dunia ini senang mengejar pencapaian duniawi.

 

Mendorong batu adalah hobi Sisifus karena dia senang melakukannya, apakah berarti Sisifus berbahagia? Namun bagi beberapa dari kita pasti merasa lelah terjebak dalam kutukan yang tak-berkesudahan ini. Bukankah tumbuhan atau hewan hidup monoton dengan melakukan kegiatan berulangnya untuk bertumbuh-kembang, bertahan hidup, berkembang biak, dan melestarikan spesiesnya? Absurdisme Sisifus itulah cerminan sebenarnya hidup kita. Kutukan untuk selalu terobsesi mencapai sasaran yang tidak berkesudahan menjangkiti kita semua, dan mendorong batu terus-menerus adalah bentuk penyiksaan yang mengerikan, serta itulah hidup yang kita jalani.

 

“Bagi kebanyakan orang yang berpikir sekarang, tidak ada lagi pertanyaan untuk mendamaikan teologi dengan kenyataan. Namun, tidak banyak yang memiliki keberanian untuk menghadapi fakta dan mengatakan, dengan kaum Eksistensialis, bahwa 'alam semesta itu absurd, karena tidak ada alasan untuk keberadaannya – tidak ada Tuhan yang menciptakannya untuk menyatakan kemuliaanNya atau berfungsi sebagai tempat tinggal – tempat untuk makhluknya – dan karena tidak ada sesuatu pun di dalamnya yang memiliki fungsi khusus untuk dipenuhi. Manusia tidak memiliki takdir atau posisi istimewa, dan bahkan kesadaran, yang ia miliki tentang dirinya sendiri, tidak dapat menyelamatkannya dari absurditas universal semua makhluk ciptaan.' " (Jean-Paul Sartre: A Literary and Political Study, by Philip Thody, 1960)

 

 

Sebelum menutup tulisan ini Penulis ingin menyitir sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Andy Lau. Judul lagu yang populer dan liriknya enak didengar berjudul 今生要回家 atau Jīnshēng yào huí jiā. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai : "Aku ingin pulang dalam hidup ini." Selanjutnya dengan lirik yang sama persis, syair lagu ini diubah menjadi "Sukacita Melafal Amituofo", yang isinya :

 

"Anak-anakku tidak patuh,

Stres menghadapi pekerjaan;

Tidak terhindar kita dari saling-mengelabui dan saling-curiga,

Tidak jelas pula mana yang benar dan yang salah.

 

Marilah menyedu seteko teh,

Lepaskanlah segala beban pikiran;

Dengarkan wejangan guru dengan saksama,

Berhasil dan gagal, untung dan rugi, biarkan saja apa adanya.

 

Buddha Amitabha memanggilku,

Kehidupan manusia singkat dan penuh derita;

Janganlah engkau menyia-nyiakan waktu.

 

Segala sesuatu yang tidak-kekal dan berubah-ubah,

Mesti diikhlaskan dan dilepaskan:

Hati yang suci memekarkan Bunga Teratai,

Ternyata mencerahkan diri sendiri juga mencerahkan orang lain.

 

Tumimbal lahir sungguh mengerikan,

Pada masa kehidupan ini mesti pulang ke Alam Sukhavati;

Mari bersama melafal Amituofo,

Kampung halamanku yang bahagia indah sempurna."

 

 

Jika hidup ini tidak memuaskan, jika hidup ini absurd; mengapa tidak kita ikuti nasihat Mahānāma kepada Anuruddha, untuk pergi meninggalkan hidup-berumah ke kehidupan tanpa-rumah? Lalu bukankah Buddha Amitabha telah memanggil agar kita segera pulang? Kemana? Ya, ke Surga Sukhavati, kampung halaman kita yang bahagia, indah, dan sempurna.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220309