Di masa lalu ada seorang raja yang
bernama Miào-zhuāng wáng atau 妙庄王, yang berkuasa
di Negeri Xing Lin, kira-kira pada akhir masa kekuasaan Dinasti Zhou pada abad
ke-3 seb.M. Permaisurinya bernama Pao Ying. Dari perkawinan itu sang raja
dikaruniai tiga orang puteri. Yang pertama bernama Miao Shu, yang kedua
dipanggil Miao Yin, dan yang bungsu dinamakan Miào Shàn atau 妙善.
Pada malam saat sang puteri bungsu
mulai dikandung oleh ibunya, sang permaisuri dalam tidurnya bermimpi, bahwa secara
ganjil dia berhasil menelan sang rembulan. Ketika waktunya tiba bagi sang bayi
untuk dilahirkan, bumi pun bergetar dengan lembutnya, bunga-bunga di seantero
negeri bermekaran di saat yang berbarengan, dan kembang-kembang surgawi
berjatuhan dari angkasa, menciptakan aroma harum semerbak di mana-mana.
Orang-orang di negeri itu tercengang menyaksikan keajaiban yang terjadi dalam
seketika. Saat bayi itu lahir ke dunia tubuhnya nampak bersih dan segar,
walaupun dia belum sempat dimandikan. Sekujur badannya dilingkupi oleh
awan-awan yang berwarna-warni. Orang-orang pintar dan bijaksana setelah
menafsirkan tanda-tanda yang dibawa oleh sang bayi mengatakan, bahwa sang
puteri tidak lain merupakan wujud-inkarnasi dari orang suci. Meskipun ayahnya
menyaksikan anaknya yang baru lahir ini luar biasa, namun temperamen dan watak
sang raja yang buruk, membuat dia enggan untuk mengakuinya.
Sang puteri bungsu pun hidup dalam
keadaan berkecukupan dan berkemewahan di dalam istana ayahnya. Dia bertumbuh
kembang dan beranjak dewasa laksana puteri raja yang cantik rupawan dan
dimanjakan oleh kehidupan duniawi. Namun tidak seperti kebanyakan anak raja,
sang puteri bungsu hanya mau mengenakan busana yang sederhana, dan dia pun
hanya menyantap makanannya satu kali sehari. Sang puteri pun dikenal oleh
rakyatnya sebagai wanita yang lembut, halus, dan penyayang. Di lingkungan
istana dia dikenal sebagai "gadis berhati emas." Karena terbawa oleh
aura dan perilakunya yang baik dan penyayang, para inang-pengasuhnya pun ikut
terpengaruh. Semuanya memiliki moralitas yang tinggi dan sedikit demi sedikit
mereka berlatih melepaskan diri dari berbagai keinginan duniawi.
Ketika sang puteri sudah melewati masa
akil-balig, ayahnya sang raja bermaksud mencarikan seorang suami bagi Miao Shan.
Namun secara halus dia menolak untuk dicarikan pasangan hidup, seraya berkata:
"Kekayaan dan kehormatan tidak akan berlangsung untuk selamanya. Kemuliaan
dan kemegahan ibarat gelembung sabun, terbentuk seketika dan kemudian lenyap.
Segala kebesaran duniawi hanyalah ilusi belaka. Bahkan jika Yang Mulia
memaksaku untuk melakukan pekerjaan kasar, aku tidak akan pernah berpaling dari
tekadku untuk tetap menapaki kehidupan suci."
Ketika raja dan permaisuri memanggil Miao
Shan keduanya mencoba untuk membujuknya, namun dia berkata: "Aku akan
mematuhi perintah Yang Mulia jika hal itu dapat mencegah tiga kemalangan. Sang
raja bertanya, "apa yang dimaksud dengan tiga kemalangan itu?" Miao
Shan menyebutkan: "Yang pertama adalah kasus seperti ini: saat laki-laki
masih berusia muda, wajahnya bundar seelok bulan-pualam, yang membuat langit
malam menjadi cerah. Tetapi ketika lelaki itu beranjak menua, rambut mereka
berubah menjadi putih, dan wajah mereka pun berkeriput dan berkerut-kerut.
Sewaktu mereka bergerak atau beristirahat, dipandang dari segi mana pun, mereka
lebih buruk ketimbang ketika mereka masih muda. Yang kedua adalah hal berikut
ini: anggota tubuh seorang pria mungkin prima, bertenaga, dan bersemangat. Dia
mungkin bergerak dengan lincah, seolah-olah dia sedang terbang di angkasa.
Namun ketika tiba-tiba penyakit datang menghampirinya, dia hanya bisa berbaring
di tempat tidurnya tanpa bisa mendapatkan kesenangan sedikit pun dalam hidup
ini. Yang ketiga adalah kasus seperti ini: seorang pria memiliki banyak kerabat,
mungkin dikelilingi oleh orang-orang terdekat dan tersayangnya, tetapi
tiba-tiba suatu hari semuanya berakhir, dengan tibanya hari kematiannya. Meskipun
ayahnya atau anaknya adalah kerabat dekatnya, dia tidak dapat meminta satu dari
mereka untuk menggantikannya atau mewakilkannya menghadapi kematian. Jika Yang
Mulia dapat mencegah tiga kemalangan ini, maka Paduka akan memenangkan
persetujuanku untuk menikah. Jika tidak, aku lebih memilih pensiun untuk
mengejar kehidupan religius. Ketika seseorang memperoleh pemahaman penuh
tentang batin asali, semua kemalangan atas kemauannya sendiri tidak akan ada
lagi.”
Mendengar kata-kata itu sang raja amat
murka. Dia memaksa Miao Shan untuk bekerja di kebun serta mengurangi jatah
makanan dan minumannya. Bahkan kedua kakak perempuannya membujuk dan merayunya
agar dia berubah pikiran, tetapi Miao Shan memegang teguh pendiriannya dan
tidak mau berkompromi barang sedikit pun juga. Ketika sang permaisuri secara
pribadi mendekati dan menegurnya, Miao Shan berkata: "Dalam semua
keterikatan dan kemelekatan emosional, di antara sesama saudara dan kerabat di
dunia ini, tidak dikenal istilah pelepasan spiritual. Jika saudara atau pun
kerabat dekat bersatu dalam hidup ini, suatu saat mereka pasti akan terpisah
dan tercerai-berai pula. Bebaskanlah pikiran Ibunda dari beban ini.
Beruntunglah, Yang Mulia masih memiliki dua anak perempuan, yang akan merawat
Paduka di hari tua. Tidak usahlah mengkhawatirkan Miao Shan."
Sang permaisuri dan kedua saudara
perempuan Miao Shan meminta sang raja untuk membebaskannya, agar dia bisa
mengikuti keinginannya, namun sang raja menolak mentah-mentah. Raja bermaksud
membuang puteri bungsunya ke sebuah biara di negeri itu. Dia memanggil para
biarawati di Biara "Burung Pipit Putih", lalu dia memerintahkan agar Miao
Shan diperlakukan secara keras dan kasar selama dia tinggal di kuil itu. Upaya
itu dimaksudkan agar sang puteri akan berubah pikiran. Para biarawati
diintimidasi agar Miao Shan setiap hari ditugaskan untuk menangani pekerjaan
berat, seperti mengambil kayu dan air di hutan, bekerja dengan alu dan lesung,
serta mengelola kebun dapur. Seolah tahu bahwa Miao Shan sengaja dibuat susah
dalam menjalani hidupnya, alam pun tidak tinggal diam. Belum berapa lama dia
tinggal di biara itu, tanaman sayur tumbuh dengan subur di pekarangan kuil,
bahkan tumbuhan itu hidup selama musim dingin. Sebuah mata air tiba-tiba muncul
dan mengalirkan air jernihnya di samping dapur biara.
Waktu pun berlalu dengan cepatnya namun
Miao Shan masih tetap teguh menjalani hidupnya sesuai dengan aspirasinya.
Ketika ayahnya mendengar kabar tentang keajaiban sayuran dan mata air, maka
dipicu oleh kedengkian dan kebencian terhadap puteri bungsunya, dia menjadi
sangat gusar. Dia lalu mengirimkan bala tentara serta memerintahkan mereka agar
membawa kepala puterinya, sekaligus pula menghabisi para biarawati. Sungguh
penguasa yang kejam, yang hendak menghukum orang-orang yang tidak bersalah!
Saat pasukan itu mendekati kuil, sekonyong-konyong gumpalan awan dan kabut yang
misterius tiba-tiba muncul, yang membuat semua yang ada di sana menjadi gelap.
Ketika awan dan kabut itu lenyap dan pasukan itu menyerbu kuil, Miao Shan
adalah satu-satunya orang yang tidak dapat mereka temukan. Kemana Miao Shan
pergi? Dia ternyata telah diungsikan oleh sesosok roh ke sebuah tebing. Roh itu
kemudian berkata: "Tanah di sini terlalu tandus untuk menopang
kehidupan." Dia pun memindahkan Miao Shan hingga tiga kali, sebelum mereka
mencapai Gunung Harum atau Xiāng Shān. Miao Shan selanjutnya memilih bertempat
tinggal di sana, makan dari apa yang didapatnya di pepohonan, dan minum dari
sungai jernih yang mengalir di gunung itu. Selama sembilan tahun Miao Shan
bertapa di Gunung Harum untuk melatih berbagai keutamaan.
Waktu terus berlalu, dan raja lalim itu
kini mendapat musibah. Dia terjangkit penyakit kuning yang membuat seluruh
tubuhnya rusak dan bernanah, dan dia tidak bisa lagi tidur atau makan. Tidak
ada tabib yang bisa menyembuhkannya. Ketika sang raja hampir mati seorang rahib
datang menemuinya, mengatakan bahwa dia mampu menyembuhkannya hingga tuntas.
Namun untuk bisa melakukannya sang rahib membutuhkan organ-lengan dan
organ-mata dari seseorang yang telah bebas dari kemarahan. Raja menganggap
syarat yang diminta mustahil untuk dipenuhi. Tetapi sang rahib berkata: “Di
Gunung Harum, di daerah barat-daya dari wilayah yang dikuasai oleh Yang Mulia,
ada seorang dewi welas-asih yang sedang mengembangkan praktik keagamaannya.
Jika Paduka mengirim seorang utusan untuk menyampaikan permintaan kepadanya,
Yang Mulia dapat mengandalkannya untuk mendapatkan bahan bagi pembuatan ramuan
berharga itu.”
Sang raja tidak punya pilihan selain
memerintahkan pasukan istana untuk pergi dan menyampaikan pesannya. Sesampainya
di sana Miao Shan berkata: "Ayahku tidak menunjukkan rasa hormatnya pada
Tiga Harta Karun, dan dia menganiaya Doktrin Sejati yang tertindas, tambahan
lagi dia mengeksekusi para biarawati yang tidak bersalah. Ini menuntut
pembalasan." Kemudian dia dengan senang hati memotong matanya dan lengannya,
lalu menyerahkannya kepada utusan itu. Dia memberikan instruksi untuk
disampaikan kepada sang raja, agar sang penguasa kembali kepada ajaran yang
baik, dan tidak lagi tertipu oleh doktrin palsu. Ketika dua bagian-tubuh yang
diminta itu diserahkan kepadanya, sang rahib kemudian mengolahnya menjadi
ramuan obat. Sang raja meminumnya dan ajaib!! Sedikit demi sedikit penyakit yang dideritanya
berangsur-angsur lenyap. Dengan murah hati dia menghadiahi tabib-rahib itu emas
dan perak. Tetapi rahib itu malah berkata: "Mengapa Paduka berterima kasih
kepadaku? Yang Mulia seharusnya berterima kasih kepada orang yang menyediakan organ-lengan
dan organ-mata itu." Setelah mengucapkan kata-kata itu sang rahib pergi
begitu saja. Raja tersadar bahwa dia baru saja diselamatkan oleh pertolongan
dewata. Selanjutnya dia memerintahkan seorang penunjuk jalan, agar membawanya
beserta sang permaisuri dan dua puterinya ke Gunung Harum, untuk berterima
kasih kepada sang dewi welas-asih itu.
Mereka akhirnya bertemu, dan sebelum
kata-kata diucapkan, sang permaisuri sudah mengenalinya. Orang yang mereka cari
tidak lain adalah Miao Shan. Mereka semua terperanjat, dan air mata membanjiri
pipi empat orang itu. Miao Shan berkata: "Apakah Yang Mulia masih mengingat
Miao Shan? Mengenang cinta ayahku, aku telah membalasnya dengan lengan dan
mataku sendiri." Mendengar kata-katanya, raja dan permaisuri bermaksud
memeluknya, dan keduanya menangis tersedu-sedu. Baru saja Permaisuri hendak
menjamah wajah puteri bungsunya, namun alamak! Sebelum dia bisa melakukannya,
awan keberuntungan segera menyelimuti Gunung Harum, musik surgawi terdengar
dari atas langit, bumi berguncang, dan bunga-bunga menghujani mereka. Dan
kemudian manifestasi suci dari Sang Dewi dengan Seribu Lengan dan Seribu Mata
terungkap dengan jelas, dan dia melayang dengan anggunnya di tengah angkasa.
Suara-suara yang menyuarakan welas-asih kembali bergema mengguncang gunung dan
lembah. Lalu selang sekejap kemudian, Sang Dewi Welas-asih perlahan-lahan meninggalkan
tempat itu. Raja, permaisuri, dan dua saudara perempuan dalam dukacita mereka
berlutut dan menyembah sang dewi yang berangsur-angsur lenyap. Selanjutnya
mereka membangun sebuah tempat pemujaan untuk mengenang jasa sang dewi
welas-asih. Sebagai penghormatan kepada Miao Shan mereka semua mengikuti ajaran
luhurnya, yang dijadikan panutan oleh sang puteri bungsu semasa hidupnya.
Legenda Puteri Miao Shan di atas
menarik minat masyarakat sejak Zaman Kuno. “Gulungan Mestika Gunung Harum” atau
"Xiāngshān bǎo juàn atau 香山寶卷", menceritakan bagaimana
Puteri Miao Shan yang dipercaya orang sebagai manifestasi dari Bodhisattva
Guanyin. Cerita Gulungan Mestika Gunung Harum bermuasal dari Biara Xiangshan
(atau Xiāng Shānsì) atau 香山寺 di Rǔ zhōu ( 汝州). Kuil itu adalah tempat pemujaan Guanyin, dan kepala biara
yang bernama Huái zhòu atau 懷晝 memberikan tulisan kisah
Puteri Miao Shan pada pejabat kota Ruzhou yang bernama Jiǎngzhīqí atau 蔣之奇 (1031-1104), pada masa pemerintahan Dinasti Song Utara
(960-1127). Dari situlah Legenda Guanyin sebagai puteri Miao Shan meluas dan menyebar
hingga dikenal sampai sekarang. Jika kita merunut kisah itu sejak akhir masa
pemerintahan Dinasti Zhou, sampai akhirnya dituliskan dalam manuskrip berbentuk
gulungan kertas, diperlukan waktu sekitar 1.400 tahun. Tidak heran jika Anda
membacanya dari sumber lain terdapat berbagai variasi dalam jalan ceritanya,
walaupun kisah Miao Shan sebagai dewi welas-asih tetaplah serupa.
Jika benar bahwa Miao Shan adalah
puteri seorang raja lokal di Tiongkok pada abad ke-3 seb.M., jelas pada masa
ini agama Buddha belum masuk ke Tiongkok. Dengan demikian kepercayaan dan
pemujaan terhadap dewi welas-asih jelas berasal dari agama asli orang Tionghoa
itu sendiri. Di lain pihak narasi Guanyin sebagai sesosok
bodhisattva, mencapai puncak popularitasnya di Asia Timur antara abad
kedua-belas sampai abad kesembilan-belas. Pada saat itu muncul kepercayaan
bahwa inkarnasi terakhir Sang Bodhisattva tidak lain Puteri Miao Shan. Hari
lahir tanggal 19 bulan kedua, hari mendapatkan Sang Jalan tanggal 19 bulan
keenam, dan hari memperoleh Kesempurnaan tanggal 19 bulan kesembilan, semuanya
mengacu pada kalender Tionghoa, dirayakan oleh pengikutnya setiap tahun. Boleh
dikatakan Guanyin merupakan sosok bodhisattva yang paling dikenal.
Membaca legenda Miao Shan, penulis pribadi memiliki
pandangan tersendiri. Bukan saja sekali, tetapi dua sampai tiga kali Miao Shan
menolak untuk menikah. Padahal sang raja tidak memiliki anak laki-laki dan dia
memiliki kepentingan agar keturunannya kelak bisa meneruskan tahtanya. Miao
Shan berdiri teguh melawan ayahnya dan lebih radikal lagi dia melawan konvensi,
jadi Miao Shan ini seorang pemberontak. Apalagi sang puteri dibesarkan dalam
kentalnya budaya berbakti terhadap orang tua dan leluhur, tradisi mana yang
lebih dikenal sebagai 孝 atau Xiào atau hàu.
Adalah hal yang melegakan pada akhirnya, bahwa Miao Shan benar dan menang.
Dalam budaya patriarkhal yang kuat seperti yang dianut dalam masyarakat
Tionghoa, adanya Guanyin sebagai sosok dewi welas asih yang dipuja secara luas
tentu merupakan hal yang luar biasa.
Di penghujung hidupnya pada gunung yang disucikan,
Miao Shan selama sembilan tahun bermeditasi, melantunkan mantram, memasuki
keadaan mistik secara mendalam. Dia mengasah batin dan tubuhnya, mengembangkan
kejernihan pikirannya, menumbuhkan kesadarannya atas saling-kebergantungannya
dengan alam semesta, serta memupuk welas-asih tanpa dasar untuk semua makhluk. Seperti
yang diceritakan dalam legenda itu, akhirnya dia menjelma menjadi Sang Avalokitesvara
berlengan seribu, bermata seribu, bodhisattva yang maha welas-asih. Mendengar
bahwa sang raja sangat menderita, dia cukup menawarkan sebuah lengan dan sebuah
matanya untuk menyembuhkannya. Dan mengapa lengan dan mata? Sementara Miao
Shan, dalam tubuh fisiknya, hanya memiliki dua lengan dan dua mata. Di sinilah
misteri ini terungkap, bahwa bukan Miao Shan sebagai manusia fana yang
melakukannya, melainkan Sang Bodhisattva Avalokitesvara yang menyerahkan salah
satu dari seribu lengan dan seribu mata yang dimilikinya.
sdjn/dharmaprimapustaka/220323