Pada zaman dahulu kala di sebelah utara Pulau Bali ada sebuah kerajaan
kecil yang dinamakan Kerajaan Wanekeling Kalianget. Di sana hiduplah satu
keluarga sederhana, terdiri dari suami istri serta tiga anaknya, dua laki-laki
dan satu perempuan. Ketika wabah penyakit menyerang kerajaan itu banyak orang
tewas, baik dari kalangan kerajaan maupun rakyat jelata. Keluarga itu pun tidak
luput dari keganasan wabah, dengan empat orang meninggal dalam tempo singkat
dan hanya menyisakan satu orang yang selamat, yakni I Nyoman Jayaprana, si anak
bungsu.
Raja Kalianget juga merasakan duka yang mendalam atas banyaknya warga yang
meninggal, sehingga Raja memutuskan untuk mengunjungi rakyatnya. Sewaktu
menjenguk mereka yang tertimba musibah, pandangan Raja tertuju pada Jayaprana
yang tengah menangisi kematian kedua orang tua dan kedua saudaranya. Raja
merasa iba dan setelah dibujuk olehnya, Jayaprana pun dibawanya pulang ke
istana. Karena hidup sebatang kara, Jayaprana memohon agar dapat mengabdikan
dirinya pada kerajaan, yang mana permintaan itu disetujui oleh Sang Raja. Meski
sudah bekerja di istana, Jayaprana tetap tinggal di rumah peninggalan orang
tuanya. Dia seorang abdi yang baik dan sangat rajin. Pagi-pagi sekali dia sudah
berangkat ke istana untuk menjalankan tugas-tugasnya, sehingga tidak
mengherankan jika dia menjadi abdi kesayangan sang raja.
Satu hari ketika Jayaprana berjalan-jalan ke pasar di dekat istana, dia
melihat para gadis berlalu-lalang di sana. Sekonyong-konyong matanya terpukau
pada seorang gadis jelita, yang sedang membantu orang tuanya menjual bunga. Gadis
itu mengenakan pakaian yang sederhana dan dia sedang sibuk melayani para
pembeli. Dia memiliki paras cantik serta senyum yang manis mempesona. Keelokan
gadis itu benar-benar memikat hati Jayaprana. Pandangannya terus diarahkan
kepadanya, sementara si gadis cantik yang merasa terus diperhatikan tiba-tiba
mengalihkan pandangannya kepada Jayaprana. Sepasang mata pun beradu-pandang
seakan saling menyapa dan saling bicara. Walaupun tak ada kata-kata yang
terungkap, keduanya berbicara dengan bahasa cinta. Maka ketika Jayaprana
melemparkan senyum kepada gadis itu, sang dara pun membalas dengan senyuman
manis. Dalam kisaran waktu yang pendek itu, gayung bersambut dan kata pun
berjawab. Sang gadis merasa jengah, dan setelah meminta izin dari orang tuanya,
dia pun menghilang dari pandangan Jayaprana.
Jayaprana segera mencari informasi perihal gadis itu kepada orang-orang di
sekitarnya. Gadis itu ternyata bernama Ni Komang Layonsari, puteri Jero Bendesa
dari Banjar Sekar. Jayaprana selanjutnya melaporkan kepada Sang Raja bahwa dia
telah mendapatkan tambatan hatinya. Mendengar kabar itu, Raja Kalianget pun
segera menulis sepucuk surat kepada Jero Bendesa. "Besok pagi-pagi kamu
antar surat ini ke rumah orang tua gadis itu," titah Sang Raja. Setelah
Jero Bendesa menerima surat lamaran itu, dia kemudian bertanya kepada
puterinya. "Bagaimana puteriku, apakah kamu bersedia menikah dengan
Jayaprana?" Layonsari hanya tersenyum malu-malu. Walaupun tak terucap
sepatah kata dari mulut sang gadis pujaan, namun Jayaprana memahami cintanya
tidak bertepuk sebelah tangan.
Setelah itu, Jayaprana memohon diri kembali ke istana untuk menyampaikan
berita gembira itu kepada Raja Kalianget. Setelah meminta nasihat dari pandita
dan penasihatnya, Raja mengumumkan pada segenap hadirin bahwa pada hari
Selasa-Legi Wuku Kuningan, sang raja akan menyelenggarakan upacara perkawinan
Jayaprana dengan Layonsari. Raja pun memerintahkan kepada segenap perbekel, agar mereka menyiapkan
perlengkapan pernikahan yakni untuk upacara dan dekorasinya. Menjelang hari
perkawinan semua persiapan sudah selesai dikerjakan secara gotong royong. Di
depan gerbang sudah berdiri angkul-angkul
yang siap menerima kedatangan tamu, disertai dua buah penjor di kiri-kanannya. Setiap tiang bangunan sudah diselimuti
oleh kain-poleng, dan sepasang tedung (payung) yang terbuat dari kain
yang elok pun sudah terpasang di kiri kanan pelaminan. Gebogan yang merupakan sesaji berisi aneka buah-buahan pun sudah
disiapkan sebagai pelengkap upacara.
Saat hari pesta perkawinan itu tiba, Jayaprana bersama para punggawa istana,
abdi dalem, dan warga sedesanya menuju ke rumah Jero Bendesa untuk menjemput
mempelai perempuan. Setelah melalui berbagai macam upacara di rumah itu, kedua
pengantin kemudian diangkut ke istana dengan menggunakan joli. Ketika rombongan
pengantin itu tiba di depan istana, kedua mempelai turun dari atas joli untuk
memohon doa restu dari Raja Kalianget. Saat kedua mempelai memberi hormat di
hadapannya, sang raja hanya membisu. Ia terpana dan terperanjat melihat
kecantikan Layonsari.
Setelah pesta perkawinan usai dan hingga beberapa lama kemudian, Sri
Baginda Paduka Wanekeling Kalianget, lebih banyak berdiam diri dan tidak ingin
menerima orang yang ada di sekitarnya. Dia merasa serba salah, makan pun tak
enak, tidur pun tak nyenyak. Masih terbayang dengan jelas di hadapannya
pasangan Jayaprana dan Layonsari. Yang laki-laki sangat gagah dan tampan dan
yang perempuan begitu molek dan amat jelita. "Sungguh keduanya merupakan
perwujudan Dewa Semarajaya dan Dewi Semararatih yang baru turun dari kahyangan
ke bumi. Betapa bodoh dan teledornya aku! Sang bidadari dari Banjar Sekar, yang
hanya sepelemparan batu dari istanaku, selama ini luput dari
pengamatanku." Ya, tanpa bisa disembunyikan lagi ternyata sang raja sudah
jatuh cinta kepada Layonsari. Demikianlah ketika rasa iri dan dengki sang raja
berkelebat sehingga mengaburkan hati dan pikirannya, disusul keinginannya untuk
memiliki isteri dari abdinya sendiri!
Kemudian sang raja memanggil orang-orang kepercayaannya untuk berembuk.
Rasa cintanya pada Layonsari mengalahkan akal sehatnya, padahal sebelumnya dia
dikenal sebagai tokoh yang bijaksana. Tanpa malu-malu lagi dia berkata,
"jika Layonsari tidak segera menjadi permaisuriku, maka aku akan menjadi
gila." Patih yang bernama I Saunggaling memberikan saran, agar raja
menitahkan Jayaprana pergi ke Celuk Terima untuk menyelidiki insiden perahu
yang hancur, dan kasus orang-orang Bajo yang berburu hewan di Kawasan Pengulan.
Rencana ini sebetulnya merupakan siasat untuk menghabisi nyawa Jayaprana, tanpa
sepengetahuan orang lain termasuk Layonsari.
Setelah mempersiapkan rencana jahat itu hingga matang, beberapa hari
kemudian sang raja memanggil Jayaprana agar menghadap ke paseban. Jayaprana pun segera menghadap raja yang teramat dihormatinya.
"Ampun, Baginda. Ada apa gerangan hamba diminta untuk menghadap?"
tanya Jayaprana. "Ada tugas penting untukmu. Besok pagi engkau didampingi
oleh Patih Saunggaling dan sepasukan prajurit, harus berangkat ke Celuk Terima
untuk menyelidiki perahu yang kandas, serta mengatasi kekacauan-kekacauan yang
terjadi di sana," titah sang raja.
Tanpa merasa curiga sedikit pun, sesampainya di rumah Jayaprana
menceritakan perintah yang diberikan oleh sang raja. Mendengar kabar itu,
Layonsari dengan penuh rasa khawatir berkata kepada suaminya, "Memang sri baginda raja telah
memerintahkan, kakanda harus berangkat untuk menumpas gerombolan pengacau di
wilayah yang jauh, namun hati kecilku berkata lain. Adinda tadi malam bermimpi
rumah kita dihanyutkan oleh banjir besar dan kita berdua terbawa air bah.
Bisakah kakanda Jayaprana membatalkan saja keberangkatan ke Celuk Terima?
Bukankah mimpi itu pertanda bahwa kita berdua akan terkena marabahaya?"
Sambil sesenggukan menahan tangisnya Layonsari menambahkan: "Tadi sore
adinda melihat dan mendengar burung gagak tua berkaok-kaok dekat rumah kita;
dan anjing melolong bagaikan melihat ada sesuatu yang seram dimana-mana.
Mungkinkah anak buah Dewa Yama sedang mengintai sasarannya. Akankah mereka
mencabut nyawa kita berdua?"
Jayaprana tersenyum membesarkan hati istrinya Layonsari, "Adinda,
kanda tidak takut pada kematian. Kehidupan ini selalu diikuti oleh kematian.
Hidup dan mati pun berada di tangan Sang Hyang Widhi Wasa. Seandainya kakanda
gugur dalam menjalankan tugas negara, percayalah sukma kita berdua akan bersatu
kembali di kehidupan yang akan datang."
Pagi harinya Jayaprana pun berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan istrinya
yang sedang bersedih. Sepanjang perjalanan Jayaprana merasakan firasat yang
tidak beres, perasaannya mengatakan bahwa dia akan dibinasakan tapi dia malahan
bersikap acuh tak acuh. Sesampainya di tengah hutan Patih Saunggaling dengan
sedih dan berat hati menyerahkan sepucuk surat dari sang raja kepada Jayaprana.
Surat itu bertuliskan: "Hai engkau Jayaprana; Manusia tidak tahu membalas
budi; Berjalanlah engkau ke hutan; Aku menyuruh membunuh engkau; Dosamu sangat
besar; Kau melampaui tingkah raja; Istrimu sungguh milik orang besar; Kuambil
kujadikan istri raja; Serahkanlah jiwamu sekarang; Janganlah engkau melawan; Layonsari
jangan kau kenang; Kuperistri hingga akhir zaman."
Jayaprana menangis sesenggukan membaca surat tersebut, lalu dia berkata,
"lakukanlah Patih, jika ini memang titah Raja. Hamba siap dicabut nyawanya
demi kepentingannya. Dahulu Raja yang merawat dan membesarkan hamba; kini dia
pula yang ingin mencabut nyawa hamba." Setelah itu Patih Saunggaling
mencabut keris yang berada di pinggangnya, menghunus senjata itu, dan
menusukkannya ke ulu hati Jayaprana. Jayaprana pun tewas dengan tubuh bersimbah
darah.
Jayaprana boleh mati berkalang tanah, tetapi alam pun menangisi
kepergiannya. Jasadnya mengeluarkan aroma harum semerbak, dan pohon-pohon di
hutan itu pun menggugurkan bunga-bunganya seolah-olah menyatakan rasa dukacita
mereka. Para prajurit yang ikut dalam rombongan itu terpana menyaksikan
Jayaprana, sahabat setia mereka telah tewas mengenaskan dengan sebuah keris
tertancap di tubuhnya. Setelah itu Patih Saunggaling memerintahkan mereka untuk
menguburkan jenazah Jayaprana di tempat itu juga. Kemudian di tengah situasi
yang mencekam itu, mereka semua diperintahkan untuk kembali ke istana. Mereka
berpandangan satu sama lain namun tidak berani berkata sepatah pun; bukankah
kepergian mereka semula itu hendak menumpas pemberontakan?
Rombongan itu pun segera meninggalkan tempat itu dengan hati sedih dan
diliputi rasa penasaran. Ada apa gerangan di balik pembunuhan Jayaprana oleh
pimpinan mereka sendiri? Mereka sadar ada kejahatan yang hendak ditutup-tutupi.
Seperti yang dikatakan oleh Hyang Buddha, 'Jika manusia berbuat jahat, maka
benda langit pun akan melenceng dari orbitnya.' Alam pun murka. Tidak berapa
jauh dari tempat itu, seekor harimau putih menerkam Patih Saunggaling dan
meninggalkan tubuhnya yang sudah tercabik-cabik. Sang patih pun tewas
mengenaskan. Selama kepulangan rombongan itu ada saja kejadian yang menghambat
perjalanan mereka. Dua orang mati dipagut ular berbisa, sebagian lagi hanyut
terbawa arus sungai, beberapa orang keracunan makanan, dan sebagian lagi
tersesat tidak kembali lagi. Dari dua-puluh-empat orang yang turut serta dalam
rombongan semula, hanya tersisa tujuh orang yang berhasil selamat.
Rombongan yang tersisa pun bergegas ke istana. Namun sebelum sampai ke sana
satu di antara mereka kesurupan. Dalam keadaan setengah sadar, orang ini
membuka kisah duka Jayaprana. Warga pun gempar mendengar kisah pembunuhan ini,
sekaligus mengutuk kebejatan yang dilakukan oleh sang penguasa negeri. Berita
duka itu pun sampai ke telinga Layonsari, dan dia pun menangis sejadi-jadinya.
Apa yang pernah dikhawatirkan ternyata benar-benar terjadi. Alangkah malangnya
sang pengantin baru ini!
Setelah menerima kabar tentang kematian Jayaprana dan Saunggaling, keesokan
harinya, Raja Kalianget memerintahkan agar Layonsari diundang ke istana. Di
hadapan isteri abdinya itu, dia berpura-pura sedih atas kematian Jayaprana.
Setelah itu raja mencoba merayu agar Layonsari bersedia menjadi permaisurinya.
Namun, Layonsari menolaknya dengan kata-kata halus, "maafkan hamba,
Baginda. Hamba belum bisa melupakan suami hamba," jawab Layonsari.
Mendengar penolakan itu, raja jahat itu menjadi murka. Dia langsung meraih dan
menarik lengan perempuan muda itu agar ikut bersamanya. Layonsari
berteriak-teriak dan meronta-ronta dalam dekapan orang yang sangat dibencinya
itu. Pada saat yang kritis itulah, Layonsari mencabut keris yang terselip di
pinggang sang raja. "Lebih baik hamba mati daripada harus menikah dengan
orang yang telah membunuh suamiku,” ucap Layonsari seraya menikam dirinya
sendiri dengan keris itu.
Raja Kalianget buru-buru mencegah perempuan itu berlaku nekat seperti itu,
namun terlambat. Tubuh Layonsari telah tergeletak di lantai bersimbah darah.
Melihat Layonsari tengah meregang nyawa, sang raja pun :
Tersinggung, cintanya pada seorang gadis desa ditolak mentah-mentah,
Jatuh harga dirinya, dihina perempuan jelata.
Sesal tanpa bisa dicegah, pusaka berharga pun lenyap dalam sekejap;
Kecewa setelah seluruh upaya jahatnya kandas sia-sia.
Belum lama sang raja pernah mengungkapkan, "jika Layonsari tidak
segera menjadi permaisuriku, maka aku akan menjadi gila." Sungguh ucapan
itu seperti doa, dan doanya langsung dikabulkan oleh dewata. Ya Sang Paduka
Wanekeling Kalianget benar-benar menjadi gila!! Seketika itu juga dicabutnya
keris pusaka yang masih menancap di tubuh Layonsari. Lalu dengan senjata
terhunus orang-orang di sekitarnya ditusuk oleh keris bertuah itu
satu-per-satu. Dalam sekejap istana pun menjadi ladang pembantaian. Tubuh-tubuh
para punggawa dan abdi-istana yang tak-berdosa bergelimpangan tanpa daya
memenuhi balairung istana. Dan sang angkara-murka baru usai, setelah sang raja
yang gelap mata itu menusukkan kerisnya ke tubuhnya sendiri.
Setelah peristiwa tragis itu, warga kerajaan membawa jasad Layonsari untuk
ditempatkan di sebelah jasad Jayaprana, agar sepasang kekasih ini dapat selalu
bersama. Di tempat kematian Jayaprana kemudian dibangun sebuah monumen tanda
cinta mereka, lengkap dengan patung Jayaprana dan Layonsari, serta sebuah
tempat pemujaan. Celuk Terima kini ramai dikunjungi dan diziarahi oleh mereka
yang merindukan cinta sejati
sdjn/dharmaprimapustaka/220223