Rabu, 23 Februari 2022

JAYAPRANA DAN LAYONSARI


 

Pada zaman dahulu kala di sebelah utara Pulau Bali ada sebuah kerajaan kecil yang dinamakan Kerajaan Wanekeling Kalianget. Di sana hiduplah satu keluarga sederhana, terdiri dari suami istri serta tiga anaknya, dua laki-laki dan satu perempuan. Ketika wabah penyakit menyerang kerajaan itu banyak orang tewas, baik dari kalangan kerajaan maupun rakyat jelata. Keluarga itu pun tidak luput dari keganasan wabah, dengan empat orang meninggal dalam tempo singkat dan hanya menyisakan satu orang yang selamat, yakni I Nyoman Jayaprana, si anak bungsu.

 

Raja Kalianget juga merasakan duka yang mendalam atas banyaknya warga yang meninggal, sehingga Raja memutuskan untuk mengunjungi rakyatnya. Sewaktu menjenguk mereka yang tertimba musibah, pandangan Raja tertuju pada Jayaprana yang tengah menangisi kematian kedua orang tua dan kedua saudaranya. Raja merasa iba dan setelah dibujuk olehnya, Jayaprana pun dibawanya pulang ke istana. Karena hidup sebatang kara, Jayaprana memohon agar dapat mengabdikan dirinya pada kerajaan, yang mana permintaan itu disetujui oleh Sang Raja. Meski sudah bekerja di istana, Jayaprana tetap tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Dia seorang abdi yang baik dan sangat rajin. Pagi-pagi sekali dia sudah berangkat ke istana untuk menjalankan tugas-tugasnya, sehingga tidak mengherankan jika dia menjadi abdi kesayangan sang raja.

 

Jayaprana tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan. Dirinya pun menjadi idola dayang-dayang istana. Suatu ketika, Raja Kalianget pun menitahkan Jayaprana untuk memilih seorang di antaranya untuk dijadikan istri. Namun, rupanya Jayaprana lebih memilih untuk mencari calon istri dari luar istana. "Ampun, Baginda. Hamba bukan bermaksud menolak titah Baginda. Hamba ingin menikah, tapi bukan dengan dayang-dayang istana. Jika diperkenankan, izinkanlah hamba mencari calon istri di luar istana ini," kata Jayaprana. "Baiklah Jayaprana, jika itu yang menjadi keinginanmu. Aku pun tidak akan menghalangimu engkau memilih calon istri yang sesuai dengan pilihan hatimu," jawab Raja Kalianget.

Satu hari ketika Jayaprana berjalan-jalan ke pasar di dekat istana, dia melihat para gadis berlalu-lalang di sana. Sekonyong-konyong matanya terpukau pada seorang gadis jelita, yang sedang membantu orang tuanya menjual bunga. Gadis itu mengenakan pakaian yang sederhana dan dia sedang sibuk melayani para pembeli. Dia memiliki paras cantik serta senyum yang manis mempesona. Keelokan gadis itu benar-benar memikat hati Jayaprana. Pandangannya terus diarahkan kepadanya, sementara si gadis cantik yang merasa terus diperhatikan tiba-tiba mengalihkan pandangannya kepada Jayaprana. Sepasang mata pun beradu-pandang seakan saling menyapa dan saling bicara. Walaupun tak ada kata-kata yang terungkap, keduanya berbicara dengan bahasa cinta. Maka ketika Jayaprana melemparkan senyum kepada gadis itu, sang dara pun membalas dengan senyuman manis. Dalam kisaran waktu yang pendek itu, gayung bersambut dan kata pun berjawab. Sang gadis merasa jengah, dan setelah meminta izin dari orang tuanya, dia pun menghilang dari pandangan Jayaprana.

 

Jayaprana segera mencari informasi perihal gadis itu kepada orang-orang di sekitarnya. Gadis itu ternyata bernama Ni Komang Layonsari, puteri Jero Bendesa dari Banjar Sekar. Jayaprana selanjutnya melaporkan kepada Sang Raja bahwa dia telah mendapatkan tambatan hatinya. Mendengar kabar itu, Raja Kalianget pun segera menulis sepucuk surat kepada Jero Bendesa. "Besok pagi-pagi kamu antar surat ini ke rumah orang tua gadis itu," titah Sang Raja. Setelah Jero Bendesa menerima surat lamaran itu, dia kemudian bertanya kepada puterinya. "Bagaimana puteriku, apakah kamu bersedia menikah dengan Jayaprana?" Layonsari hanya tersenyum malu-malu. Walaupun tak terucap sepatah kata dari mulut sang gadis pujaan, namun Jayaprana memahami cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

 

Setelah itu, Jayaprana memohon diri kembali ke istana untuk menyampaikan berita gembira itu kepada Raja Kalianget. Setelah meminta nasihat dari pandita dan penasihatnya, Raja mengumumkan pada segenap hadirin bahwa pada hari Selasa-Legi Wuku Kuningan, sang raja akan menyelenggarakan upacara perkawinan Jayaprana dengan Layonsari. Raja pun memerintahkan kepada segenap perbekel, agar mereka menyiapkan perlengkapan pernikahan yakni untuk upacara dan dekorasinya. Menjelang hari perkawinan semua persiapan sudah selesai dikerjakan secara gotong royong. Di depan gerbang sudah berdiri angkul-angkul yang siap menerima kedatangan tamu, disertai dua buah penjor di kiri-kanannya. Setiap tiang bangunan sudah diselimuti oleh kain-poleng, dan sepasang tedung (payung) yang terbuat dari kain yang elok pun sudah terpasang di kiri kanan pelaminan. Gebogan yang merupakan sesaji berisi aneka buah-buahan pun sudah disiapkan sebagai pelengkap upacara.

 

Saat hari pesta perkawinan itu tiba, Jayaprana bersama para punggawa istana, abdi dalem, dan warga sedesanya menuju ke rumah Jero Bendesa untuk menjemput mempelai perempuan. Setelah melalui berbagai macam upacara di rumah itu, kedua pengantin kemudian diangkut ke istana dengan menggunakan joli. Ketika rombongan pengantin itu tiba di depan istana, kedua mempelai turun dari atas joli untuk memohon doa restu dari Raja Kalianget. Saat kedua mempelai memberi hormat di hadapannya, sang raja hanya membisu. Ia terpana dan terperanjat melihat kecantikan Layonsari.

 

Setelah pesta perkawinan usai dan hingga beberapa lama kemudian, Sri Baginda Paduka Wanekeling Kalianget, lebih banyak berdiam diri dan tidak ingin menerima orang yang ada di sekitarnya. Dia merasa serba salah, makan pun tak enak, tidur pun tak nyenyak. Masih terbayang dengan jelas di hadapannya pasangan Jayaprana dan Layonsari. Yang laki-laki sangat gagah dan tampan dan yang perempuan begitu molek dan amat jelita. "Sungguh keduanya merupakan perwujudan Dewa Semarajaya dan Dewi Semararatih yang baru turun dari kahyangan ke bumi. Betapa bodoh dan teledornya aku! Sang bidadari dari Banjar Sekar, yang hanya sepelemparan batu dari istanaku, selama ini luput dari pengamatanku." Ya, tanpa bisa disembunyikan lagi ternyata sang raja sudah jatuh cinta kepada Layonsari. Demikianlah ketika rasa iri dan dengki sang raja berkelebat sehingga mengaburkan hati dan pikirannya, disusul keinginannya untuk memiliki isteri dari abdinya sendiri!

 

Kemudian sang raja memanggil orang-orang kepercayaannya untuk berembuk. Rasa cintanya pada Layonsari mengalahkan akal sehatnya, padahal sebelumnya dia dikenal sebagai tokoh yang bijaksana. Tanpa malu-malu lagi dia berkata, "jika Layonsari tidak segera menjadi permaisuriku, maka aku akan menjadi gila." Patih yang bernama I Saunggaling memberikan saran, agar raja menitahkan Jayaprana pergi ke Celuk Terima untuk menyelidiki insiden perahu yang hancur, dan kasus orang-orang Bajo yang berburu hewan di Kawasan Pengulan. Rencana ini sebetulnya merupakan siasat untuk menghabisi nyawa Jayaprana, tanpa sepengetahuan orang lain termasuk Layonsari.

 

Setelah mempersiapkan rencana jahat itu hingga matang, beberapa hari kemudian sang raja memanggil Jayaprana agar menghadap ke paseban. Jayaprana pun segera menghadap raja yang teramat dihormatinya. "Ampun, Baginda. Ada apa gerangan hamba diminta untuk menghadap?" tanya Jayaprana. "Ada tugas penting untukmu. Besok pagi engkau didampingi oleh Patih Saunggaling dan sepasukan prajurit, harus berangkat ke Celuk Terima untuk menyelidiki perahu yang kandas, serta mengatasi kekacauan-kekacauan yang terjadi di sana," titah sang raja.

 

Tanpa merasa curiga sedikit pun, sesampainya di rumah Jayaprana menceritakan perintah yang diberikan oleh sang raja. Mendengar kabar itu, Layonsari dengan penuh rasa khawatir berkata kepada suaminya,  "Memang sri baginda raja telah memerintahkan, kakanda harus berangkat untuk menumpas gerombolan pengacau di wilayah yang jauh, namun hati kecilku berkata lain. Adinda tadi malam bermimpi rumah kita dihanyutkan oleh banjir besar dan kita berdua terbawa air bah. Bisakah kakanda Jayaprana membatalkan saja keberangkatan ke Celuk Terima? Bukankah mimpi itu pertanda bahwa kita berdua akan terkena marabahaya?" Sambil sesenggukan menahan tangisnya Layonsari menambahkan: "Tadi sore adinda melihat dan mendengar burung gagak tua berkaok-kaok dekat rumah kita; dan anjing melolong bagaikan melihat ada sesuatu yang seram dimana-mana. Mungkinkah anak buah Dewa Yama sedang mengintai sasarannya. Akankah mereka mencabut nyawa kita berdua?"

 

Jayaprana tersenyum membesarkan hati istrinya Layonsari, "Adinda, kanda tidak takut pada kematian. Kehidupan ini selalu diikuti oleh kematian. Hidup dan mati pun berada di tangan Sang Hyang Widhi Wasa. Seandainya kakanda gugur dalam menjalankan tugas negara, percayalah sukma kita berdua akan bersatu kembali di kehidupan yang akan datang."

 

Pagi harinya Jayaprana pun berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan istrinya yang sedang bersedih. Sepanjang perjalanan Jayaprana merasakan firasat yang tidak beres, perasaannya mengatakan bahwa dia akan dibinasakan tapi dia malahan bersikap acuh tak acuh. Sesampainya di tengah hutan Patih Saunggaling dengan sedih dan berat hati menyerahkan sepucuk surat dari sang raja kepada Jayaprana. Surat itu bertuliskan: "Hai engkau Jayaprana; Manusia tidak tahu membalas budi; Berjalanlah engkau ke hutan; Aku menyuruh membunuh engkau; Dosamu sangat besar; Kau melampaui tingkah raja; Istrimu sungguh milik orang besar; Kuambil kujadikan istri raja; Serahkanlah jiwamu sekarang; Janganlah engkau melawan; Layonsari jangan kau kenang; Kuperistri hingga akhir zaman."

 

Jayaprana menangis sesenggukan membaca surat tersebut, lalu dia berkata, "lakukanlah Patih, jika ini memang titah Raja. Hamba siap dicabut nyawanya demi kepentingannya. Dahulu Raja yang merawat dan membesarkan hamba; kini dia pula yang ingin mencabut nyawa hamba." Setelah itu Patih Saunggaling mencabut keris yang berada di pinggangnya, menghunus senjata itu, dan menusukkannya ke ulu hati Jayaprana. Jayaprana pun tewas dengan tubuh bersimbah darah.

 

Jayaprana boleh mati berkalang tanah, tetapi alam pun menangisi kepergiannya. Jasadnya mengeluarkan aroma harum semerbak, dan pohon-pohon di hutan itu pun menggugurkan bunga-bunganya seolah-olah menyatakan rasa dukacita mereka. Para prajurit yang ikut dalam rombongan itu terpana menyaksikan Jayaprana, sahabat setia mereka telah tewas mengenaskan dengan sebuah keris tertancap di tubuhnya. Setelah itu Patih Saunggaling memerintahkan mereka untuk menguburkan jenazah Jayaprana di tempat itu juga. Kemudian di tengah situasi yang mencekam itu, mereka semua diperintahkan untuk kembali ke istana. Mereka berpandangan satu sama lain namun tidak berani berkata sepatah pun; bukankah kepergian mereka semula itu hendak menumpas pemberontakan?

 

Rombongan itu pun segera meninggalkan tempat itu dengan hati sedih dan diliputi rasa penasaran. Ada apa gerangan di balik pembunuhan Jayaprana oleh pimpinan mereka sendiri? Mereka sadar ada kejahatan yang hendak ditutup-tutupi. Seperti yang dikatakan oleh Hyang Buddha, 'Jika manusia berbuat jahat, maka benda langit pun akan melenceng dari orbitnya.' Alam pun murka. Tidak berapa jauh dari tempat itu, seekor harimau putih menerkam Patih Saunggaling dan meninggalkan tubuhnya yang sudah tercabik-cabik. Sang patih pun tewas mengenaskan. Selama kepulangan rombongan itu ada saja kejadian yang menghambat perjalanan mereka. Dua orang mati dipagut ular berbisa, sebagian lagi hanyut terbawa arus sungai, beberapa orang keracunan makanan, dan sebagian lagi tersesat tidak kembali lagi. Dari dua-puluh-empat orang yang turut serta dalam rombongan semula, hanya tersisa tujuh orang yang berhasil selamat.

 

Rombongan yang tersisa pun bergegas ke istana. Namun sebelum sampai ke sana satu di antara mereka kesurupan. Dalam keadaan setengah sadar, orang ini membuka kisah duka Jayaprana. Warga pun gempar mendengar kisah pembunuhan ini, sekaligus mengutuk kebejatan yang dilakukan oleh sang penguasa negeri. Berita duka itu pun sampai ke telinga Layonsari, dan dia pun menangis sejadi-jadinya. Apa yang pernah dikhawatirkan ternyata benar-benar terjadi. Alangkah malangnya sang pengantin baru ini!

 

Setelah menerima kabar tentang kematian Jayaprana dan Saunggaling, keesokan harinya, Raja Kalianget memerintahkan agar Layonsari diundang ke istana. Di hadapan isteri abdinya itu, dia berpura-pura sedih atas kematian Jayaprana. Setelah itu raja mencoba merayu agar Layonsari bersedia menjadi permaisurinya. Namun, Layonsari menolaknya dengan kata-kata halus, "maafkan hamba, Baginda. Hamba belum bisa melupakan suami hamba," jawab Layonsari. Mendengar penolakan itu, raja jahat itu menjadi murka. Dia langsung meraih dan menarik lengan perempuan muda itu agar ikut bersamanya. Layonsari berteriak-teriak dan meronta-ronta dalam dekapan orang yang sangat dibencinya itu. Pada saat yang kritis itulah, Layonsari mencabut keris yang terselip di pinggang sang raja. "Lebih baik hamba mati daripada harus menikah dengan orang yang telah membunuh suamiku,” ucap Layonsari seraya menikam dirinya sendiri dengan keris itu.

 

Raja Kalianget buru-buru mencegah perempuan itu berlaku nekat seperti itu, namun terlambat. Tubuh Layonsari telah tergeletak di lantai bersimbah darah. Melihat Layonsari tengah meregang nyawa, sang raja pun :

 

Tersinggung, cintanya pada seorang gadis desa ditolak mentah-mentah,

Jatuh harga dirinya, dihina perempuan jelata.

Sesal tanpa bisa dicegah, pusaka berharga pun lenyap dalam sekejap;

Kecewa setelah seluruh upaya jahatnya kandas sia-sia.

 

Belum lama sang raja pernah mengungkapkan, "jika Layonsari tidak segera menjadi permaisuriku, maka aku akan menjadi gila." Sungguh ucapan itu seperti doa, dan doanya langsung dikabulkan oleh dewata. Ya Sang Paduka Wanekeling Kalianget benar-benar menjadi gila!! Seketika itu juga dicabutnya keris pusaka yang masih menancap di tubuh Layonsari. Lalu dengan senjata terhunus orang-orang di sekitarnya ditusuk oleh keris bertuah itu satu-per-satu. Dalam sekejap istana pun menjadi ladang pembantaian. Tubuh-tubuh para punggawa dan abdi-istana yang tak-berdosa bergelimpangan tanpa daya memenuhi balairung istana. Dan sang angkara-murka baru usai, setelah sang raja yang gelap mata itu menusukkan kerisnya ke tubuhnya sendiri.

 

Setelah peristiwa tragis itu, warga kerajaan membawa jasad Layonsari untuk ditempatkan di sebelah jasad Jayaprana, agar sepasang kekasih ini dapat selalu bersama. Di tempat kematian Jayaprana kemudian dibangun sebuah monumen tanda cinta mereka, lengkap dengan patung Jayaprana dan Layonsari, serta sebuah tempat pemujaan. Celuk Terima kini ramai dikunjungi dan diziarahi oleh mereka yang merindukan cinta sejati

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220223 

 



Rabu, 09 Februari 2022

ANAGĀRIKA DHARMAPĀLA DAN KEBANGKITAN BUDDHISME DI CEYLON



"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Kutipan preambul Undang-Undang Dasar 1945 itu didasarkan pada kisah hidup para founding father atau pendiri republik kita. Kisah tentang penjajahan lebih banyak menggambarkan betapa kelam dan pahitnya satu bangsa yang terjajah, tanpa memandang penduduk mana yang mengalaminya dan pada zaman kapan penjajahan itu terjadi.

 

Di tenggara anak benua India terdapat pulau permai yang sejak zaman kuno disebut Sailan atau Ceylon. Peradaban negeri pulau ini dikenal sejak abad ke-6 seb.M. sejak Kerajaan Tambapanni berkuasa, dan berdasarkan catatan sejarah penguasa pertama Ceylon adalah Pandukabhaya dari Kerajaan Anuradhapura pada abad ke-4 seb.M. Agama Buddha diperkenalkan oleh Arahant Mahinda (putera dari Kaisar Ashoka) pada abad ke-3 seb.M. Intervensi asing pernah terjadi ketika orang Tamil dari India Selatan menginvasi Ceylon pada abad ketiga. Kemudian Portugis menaklukkan sebagian besar pulau itu pada akhir abad ke-16. Sedikit lebih dari satu abad kemudian, giliran Belanda mengalahkan Portugis di Eropa dan negeri kincir angin ini ganti menduduki Ceylon. Selanjutnya Belanda ditaklukkan oleh Imperium Britania dan Ceylon dijadikan koloni mahkotanya pada 1798, serta seluruh pulau dikuasai Inggris tahun 1815, sekaligus menandai berakhirnya garis kuno raja-raja Sinhala yang selama hampir 2.500 tahun menguasai Ceylon. Imperialis Inggris kemudian mendirikan perkebunan karet, teh, dan kopi; juga memperkenalkan sekolah misionaris dan perguruan tinggi kepada rakyat Ceylon.

 

Prospek warga asli Sinhala (Penulis memakai istilah "Sinhala" untuk merujuk pada etnis, budaya, dan bahasa mayoritas orang Ceylon), serta masyarakat minoritas Tamil di pertengahan abad ke-19 untuk maju memang gelap. Kondisi warga asli Ceylon sendiri bercirikan masyarakat feodal setelah berabad-abad dipimpin oleh beberapa kerajaan. Masyarakatnya hanya menyisihkan segelintir golongan ningrat dan pengusaha, serta mayoritas sisanya rakyat jelata. Mereka kebanyakan tidak berpendidikan dan menganut agama Buddha dan Hindu. Gelombang invasi Portugis, Belanda, dan Inggris yang berturut-turut telah menyapu banyak budaya tradisional negara itu. Para misionaris telah turun ke Mutiara Samudera Hindia itu seperti awan belalang. Sekolah-sekolah Kristen dari setiap denominasi yang mungkin telah dibuka, di mana anak laki-laki dan perempuan Buddhis dan Hindu dijejali dengan teks-teks Alkitab dan diajarkan untuk malu terhadap agama mereka, budaya mereka, bahasa mereka, ras mereka, dan warna kulit mereka.

 

Di seluruh wilayah di bawah pendudukan Belanda, warga pribumi telah dipaksa untuk menyatakan diri mereka sebagai orang Barat dengan nama kebarat-baratan atau kekristenan, dan selama periode pemerintahan Inggris hukum ini diberlakukan selama tujuh puluh tahun, yang baru disudahi pada tahun 1884. Pada saat itu mayoritas dari mereka malu atau takut untuk menyatakan diri mereka Buddhis, dan hanya di desa-desa di pedalaman, Dhamma Sang Bhagavā masih menyisakan popularitas dan kejayaan dari zaman silam. Meskipun demikian di sini pun mereka tidak bebas dari serangan para katekis, yang siap merekrut antek-antek penjajah dengan upah dua-puluh rupee sebulan, yang siap berkampanye mengolok-olok serta menghina budaya dan agama nenek moyang mereka. Anggota Sangha, dengan beberapa pengecualian, secara intelektual dan spiritual hampir mati, disiplin monastik lemah, dan praktik meditasi telah diabaikan dan dilupakan orang. Bagi mereka dari ras Sinhala yang benar-benar mencintai Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta kenangan manis selama lebih dari dua-puluh abad yang gemilang; mereka sepertinya ditakdirkan untuk "dibuang seperti sampah ke dalam kehampaan dan disapu ke perairan biru Laut Arab" oleh legiun penjajah yang militan. Akankah harkat dan harga diri mereka bisa terangkat ke posisi, yang bahkan lebih tinggi daripada posisi mereka sekarang?

 

Di antara beberapa keluarga kaya yang masih berdiri teguh dan tanpa rasa takut menganut kepercayaan leluhur mereka adalah keluarga Hewavitarne dari Matara di Ceylon Selatan. Hewavitarne Dingiri Appuhamy, anggota pertama dari keluarga ini termasuk dalam kelas goigama atau kultivator yang agung dan dihormati. Dia memiliki dua putera, dan keduanya menunjukkan pengabdian yang sama pada Dhamma seperti ayah mereka. Salah satu dari mereka menjadi seorang bhikkhu yang dikenal sebagai Hittatiye Atthadassi Thera dan yang kedua adalah Don Carolis Hewavitarne. Sang adik bermigrasi ke Kolombo dan mendirikan bisnis manufaktur furnitur di daerah Pettah. Di sana dia menikahi Mallikā Dharmagunawardene, anak perempuan Andris Perera, saudagar terkaya di Ceylon saat itu.

 

Setiap pagi sebelum matahari terbit, pengantin muda yang baru melepaskan masa remajanya, akan mempersembahkan sebaki bunga vihara berkelopak-lima yang harum bersama dengan lampu minyak-kelapa dan dupa, di kaki patung Buddha di cetiya keluarga. Keduanya berdoa kepada para dewa agar Mallikā bisa melahirkan seorang putera yang akan menyalakan kembali pelita-Dhamma di tanah yang gelap. Mallikā, sangat menginginkan seorang putera, dan ketika mereka tahu bahwa seorang anak akan lahir bagi mereka, kegembiraan mereka pun meluap-luap. Saat waktunya semakin dekat, para bhikkhu diundang ke rumah, dan pada malam bulan purnama selama tiga bulan berturut-turut, atmosfer tempat tinggal mereka dipenuhi dengan getaran teks-teks suci Pali, yang didaraskan dari senja hingga fajar. Kemudian, pada malam 17 September 1864, di distrik Pettah, Kolombo, tempat budaya dan agama nasional telah jatuh ke tingkat kemerosotan terendah, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama David Hewavitarne muda.

 

David, demikian panggilannya, tumbuh dalam suasana kesalehan tradisional Sinhala. Setiap hari, pagi dan sore, ia akan berlutut di cetiya bersama ayah dan ibunya, berlindung pada Sang Tiga Permata dan berjanji untuk menjalankan Lima Sila, seraya melantunkan syair-syair pemujaan yang pernah dilakukan pula oleh jutaan leluhurnya selama abad-abad yang telah lewat. Penerapan praktis Dhamma juga tidak dilupakan, karena dengan manis dan masuk akal ibunya akan menunjukkan kepadanya setiap pelanggaran sila, dan dengan lembut menegurnya agar mematuhi semuanya dengan cermat. Kehidupan seperti itulah yang ditanamkan kepada David cilik, yang mungkin diragukan kelayakannya untuk membesarkan anak-anak Buddhis dalam suasana tradisional. Tanpa pelatihan agama awal itu, David Hewavitarne muda mungkin telah tumbuh dengan mengenakan topi dan celana panjang, berbicara bahasa Inggris kepada keluarganya dan bahasa Sinhala kepada para pelayannya, seperti ribuan orang sezamannya.

 

Setelah David berumur lima tahun dia dimasukkan ke Sekolah Sinhala, tempat dia mempelajari bahasa dan budaya leluhurnya. Bahkan ketika berumur sembilan tahun ayahnya mengantarkan ke penahbisan praktik brahmacarya yang mengajarkan para siswanya mengikuti hidup kepetapaan. David muda juga dikirim ke sekolah misionaris untuk pendidikan dasar dan menengah, yaitu ke Sekolah Anglikan Saint Benedictus dan kemudian Kolese Saint Thomas. Masuk institusi ini nilai-nilai Kekristenan ditekankan dan pelajaran agama serta kehadiran di gereja diharuskan. David yang sejak kanak-kanak dididik seperti pribumi Sinhala sekarang harus menuntut ilmu di sekolah yang diasuh oleh kaum penjajah, dampaknya tentu bisa diterka akan seperti apa. Anda mungkin pernah membaca cerita tentang Mahatma Gandhi sebagai seorang mahasiswa yang dipandang rendah oleh salah satu dosennya, Profesor Peters dari College of London. Sang profesor yang merasa dirinya superior memandang mahasiswanya dengan hina dan malahan menyindirnya sebagai "babi". Di Kolose sekolah menengah itu pemimpinnya adalah Warden Miller, yang terkenal keras dan disiplin. Sekali waktu David yang sudah remaja meminta izin untuk pulang ke rumah guna beribadah memperingati hari Waisak di rumahnya. Tercengang atas permintaan siswanya yang kurus kering itu, Miller melarangnya dan Institusi sekolah itu tidak mengakui perayaan keagamaan kafir seperti itu. Sang pemberontak David tidak mematuhi larangannya dan dengan membawa payung serta bukunya dia pun membolos. Keesokan harinya David pun mendapat hukuman caci maki dan beberapa pukulan rotan di kakinya di hadapan teman sekelasnya. Tetapi si pemberontak itu tidak kapok, karena di tahun berikutnya dia mengulangi pembangkangan itu.

 

Setiap hari dalam perjalanannya ke Kolese David biasa melewati Kuil Kotahena. Kepala biaranya adalah Megettuvatte Guṇānanda, orator dan pendebat terbesar Ceylon di zaman modern. Pada Sabtu malam, selama dekade 70-an hingga awal 80-an di abad ke-19, tempat itu akan dipenuhi umat. Pada saat itu orator yang kharismatik itu akan menyerang doktrin penciptaan sambil menguji nalar orang Ceylon, lalu lain kali kritiknya mengarah pada kepercayaan jiwa individu yang kekal, dan dogma-dogma yang diajarkan oleh para misionaris. Merasa kuping mereka panas, para misionaris bertekad membungkam antagonis yang begitu tangguh itu, sekali dan untuk selamanya. Akhirnya pada tahun 1873 diadakan pertemuan publik besar-besaran di Pānadura, sebuah lokasi dekat Kolombo, dan Guṇānanda ditantang untuk bertemu dalam debat terbuka. Sendirian tetapi tidak gentar, ia menghadapi kesatuan kekuatan ortodoksi Kristen, dan begitu mengesankan kefasihannya, begitu kuat argumen dan alasannya, sehingga Debat Pānadura, yang semula dimaksudkan untuk mendiskreditkan penganut Buddhis, malah membunyikan lonceng kematian pengaruh Nasrani di negeri Ceylon. Dampaknya, tidak pernah lagi dogmatisme Katolik atau Protestan berani bersilangan dengan kebijaksanaan Buddhis. Anda para pembaca yang berminat mengetahui isi perdebatan itu dapat mencarinya di internet dengan kata kunci: "Panadura Debate".

 

Pada bulan Maret 1878 kerusuhan terjadi ketika prosesi Buddhis yang sedang melakukan arak-arakan keagamaan melewati Gereja St. Lucia di Kotahena. Prosesi damai itu tiba-tiba diserang secara brutal oleh massa yang datang dari gereja tersebut. Ayah David yang marah tidak lagi mengizinkan anaknya belajar di sekolah Anglikan, meskipun David belum lulus. Anehnya pada saat ke luar dari sekolahnya, Warden Miller memberinya sertifikat yang sangat baik; mungkin dia kagum atas kejujuran anak didiknya itu. Beberapa bulan berikutnya David menghabiskan waktunya dengan penuh semangat melahap buku-buku di Perpustakaan Pettah, tempat dia menjadi anggotanya. Meskipun David putus sekolah, anak ini sudah nampak kejeniusannya. Dia mampu menghafal separuh isi Alkitab, menguasai bahasa Inggris dengan sangat baik, dan pandai menulis. Minat studinya pun sangat luas meliputi etika, filsafat, psikologi, biografi, dan sejarah.

 

Seperti yang disebutkan sebelumnya, kakek David dari pihak ibu, Andris Perera jauh sebelumnya telah menyumbangkan sebidang tanah di Maligakanda, yang di atasnya kelak didirikan Vidyodaya Pirivena atau perguruan tinggi monastik Buddhis pertama di Ceylon, dan membawa seorang bhikkhu dari desa terpencil Hikkaduwa untuk menjadi rektornya. Bhikkhu kepala yang sangat terpelajar ini kelak menjadi orang terkenal di Ceylon dengan nama Hikkaduwa Siri Sumaṅgala Mahā Nāyaka Thera. Di bawah asuhan Siri Sumaṅgala dan Guṇānanda, David pun memperluas cakrawala pengetahuannya. Berlawanan dengan keinginan ayahnya namun sejalan dengan aspirasi ibunya, David tidak berniat meneruskan usaha dagang keluarganya. Menjelang usia kedewasaannya dia sangat terkesan dengan gaya hidup kedua gurunya itu. Tidak ingin menikah tapi juga tidak berminat untuk menjadi biarawan. David pun mengambil ketetapan untuk tetap berselibat, melaksanakan delapan sila dalam kesehariannya, memakai jubah layaknya seorang bhikkhu tetapi dia tidak mencukur rambutnya. Orang kemudian mengenalnya sebagai Anagārika Dharmapāla, dengan "Dharmapāla" diartikan sebagai "Pengawal Dharma."

 

Dampak dari perdebatan bersejarah di Pānadura ternyata lebih besar daripada yang pernah dibayangkan oleh Guṇānanda, dan pastilah sangat mengejutkan dan menyenangkan bagi umat Buddha di Ceylon. Beberapa tahun kemudian, dia menerima surat dari seorang kolonel Amerika dan seorang wanita bangsawan Rusia yang menyatakan kepuasan atas kemenangannya, dan memperkenalkan dia dengan pembentukan Theosophical Society di New York pada tahun 1875. Dengan surat itu datang pula dua bundel besar makalah berjudul Isis Unveiled. Guṇānanda segera mengadakan korespondensi reguler dengan dua simpatisan asing tersebut, serta dia mulai menerjemahkan surat-surat mereka, kemudian menerbitkan makalah itu kembali ke dalam bahasa Sinhala.

 

David Hewavitarne termasuk di antara mereka yang melompat kegirangan setelah mendengar sokongan yang tak terduga ini, dan pada tahun 1879 penantiannya terpuaskan setelah mendengar kabar gembira dari gurunya. Pendiri Theosophical Society telah tiba di Mumbai dan bahwa mereka akan segera datang ke Ceylon untuk membantu kebangkitan Buddhisme. Mei 1880, kedua pendiri akhirnya tiba di Ceylon dari India. Setelah berabad-abad penganiayaan dan penindasan Barat, umat Buddha di Ceylon hampir tidak percaya bahwa Kolonel Olcott orang Amerika yang bermartabat itu, dengan janggut abu-abu, dahi yang tinggi, hidung bengkok, dan mata biru yang cerdas, serta Mme. Blavatsky, Wanita Rusia dengan jari-jarinya yang bercincin, pipi besar, dan tatapan yang menghipnotis. Merupakan hal yang luar biasa ada anggota ras kulit putih yang berkuasa, datang ke Ceylon bukan untuk menyerang Dhamma, seperti yang telah dilakukan ribuan misionaris, tetapi untuk membela dan mendukung mereka. Bahwa mereka datang bukan sebagai musuh atau penakluk, tetapi sebagai sahabat dan saudara. Puncaknya pada 21 Mei yang tak terlupakan itu, ribuan umat Buddha berbondong-bondong dari desa-desa sekitar ke Galle, dan melihat keduanya berlutut di depan Siri Sumaṅgala. Mereka mendengar keduanya mengucapkan ikrar Tiga Perlindungan dan Lima Sila, hal yang belum pernah dilakukan orang Barat sebelumnya.

 

Penindasan terhadap warga terjajah pun berangsur-angsur pudar, setelah Kol. Olcott membuat representasi kepada Sekretaris Negara untuk Koloni di London, hukum bahwa penduduk lokal menjadi orang Kristen dibatalkan pada tahun 1884. David pun giat membantu Olcott membuka banyak sekolah Buddhis di Ceylon. David dengan keahliannya sebagai penulis dan wartawan menjadi penerjemah untuk buku panduan Buddhis yang ditulis oleh Olcott. Keduanya pun mencari dana untuk membiayai kebangkitan atau kelahiran agama Buddha di Ceylon. Tentu menarik untuk mencari tahu apa itu Thesophical Society, misi dan sumbangsihnya untuk rakyat Ceylon. David yang kelak dikenal sebagai Anagārika Dharmapāla masih berkiprah membangkitkan kembali Buddhisme di tanah asalnya yakni di India, dan kemudian memperkenalkannya ke dunia barat. Kita akan membahas Theosophical Society ini serta kiprah Sang Pengawal Dharma ini dalam artikel yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220209