Sebagai siswa sekolah yang mengenyam
pendidikan dasar dan menengah di sekolah swasta Katolik, penulis mengenal dan
bahkan hafal kisah-kisah yang terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan
Baru. Salah satu cerita yang mengesankan dan tidak terlupakan terjadi sewaktu
kami duduk di kelas tiga atau empat sekolah dasar, yakni Kisah Nabi Nuh.
Sebagai bocah ingusan generasi kami mudah mencerna dan mengingat narasi-narasi
dengan tokoh-tokoh dunia yang menakjubkan, terutama yang pernah terjadi di
zaman kuno atau jauh di masa silam.
Bagaimana kisah Nabi Nuh ini? Demikianlah
pada masa itu orang berasal dari satu komunitas. Mereka menjalani kehidupan
yang sederhana. Mereka bercocok tanam dan berburu hewan. Hari, bulan, dan tahun
pun berganti. Sekarang mereka yang merasa kuat mulai menindas golongan yang
lemah. Yang tertekan ini hidup dalam kesusahan, dan kedudukan mereka tidak
lebih dari budak. Pada saat itu mungkin empat ribu tahun yang lalu, Nabi Nuh
hidup di tanah yang dibatasi oleh Sungai Tigris dan Eufrat.
Demikianlah Nuh mengetahui bahwa sebagian
besar rakyat menjalani kehidupan yang penuh dengan kebusukan dan mereka telah
jauh melenceng dari kebenaran. Pada satu hari orang-orang mendengar Nuh
berkata, "Wahai, kalian. Aku telah diutus oleh Tuhan. Kalian sudah berbuat
jahat dan melanggar perintahNya. Dia telah banyak memberikan karunianya kepada
kalian, namun kini kalian mengikuti hawa nafsu kalian dan tidak mentaati apa
yang telah digariskannya. Bertobatlah!"
Orang banyak memprotesnya, "mengapa si tukang kayu ini (Nuh) menyalahkan
kita? Apa hak dia mengatasnamakan Tuhan?"
Bukannya menuruti kata-kata Nuh, mereka
justru memusuhinya dan berkali-kali ingin mencelakakannya. Ternyata orang yang
menentang Nuh lebih banyak daripada orang yang mentaatinya. Sampai akhirnya
Tuhan Allah mengutus malaikatnya dan meminta Nuh untuk membuat satu bahtera
yang berukuran besar. Ukuran bahtera itu panjang 450 kaki, lebar 75 kaki, dan
tinggi 45 kaki, dan sampan besar itu tidak dilengkapi dengan layar, dayung, atau
pun kemudi. Bahtera pun dibangun tiga tingkat, dengan lantai dasar, lantai
tengah, dan lantai atas. Walaupun Nuh memiliki keahlian sebagai tukang kayu,
tetap dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun perahu besar itu, karena
tidak banyak orang yang mau membantu dan menuruti kemauannya.
Demikianlah hingga mendekati hari yang
dijanjikan. Tuhan meminta Nuh untuk mengisi bahtera itu sampai terisi penuh.
Apa saja yang dimuat ke dalamnya? Ya, makanan dan perlengkapan untuk hidup bagi
Nuh dan para pengikutnya. Kemudian benih tumbuh-tumbuhan, dan lalu segala macam
hewan, sepasang demi sepasang dinaikkan ke dalam bahtera. Orang-orang yang
tidak percaya kepada Tuhan, mengejek Nuh dan bahteranya. Namun, tidak berapa
lama kemudian langit menjadi gelap, angin dingin datang menyergap, kilat
menyambar-nyambar, disertai guntur yang memekakkan telinga. Hujan pun mulai
turun, mulanya sedikit, tetapi lambat laun hujan deras datang bagai dicurahkan
dari langit. Bukan saja air hujan yang turun ke bumi, tetapi sungai pun
mengamuk, danau bergolak, mata air mengucurkan tirta murninya tanpa henti, dan
ketinggian air samudera pun naik terus. Hujan yang amat dahsyat berlangsung
selama 40 hari dan 40 malam, bahkan puncak pegunungan tertinggi pun turut
disapu air bah.
Tidak ada orang atau makhluk hidup lainnya
yang selamat dari banjir besar tersebut, kecuali yang berada di dalam bahtera
Nabi Nuh. Bahtera itu terombang-ambing mengikuti gelombang dan arus air. Akhirnya,
air mulai surut, dan bahtera itu berhenti di Pegunungan Ararat, yakni di daerah
Turki saat ini. Nuh mengambil seekor burung gagak, yang dilepaskannya dari
bahtera, dan kemudian seekor merpati. Dua kali dia mencobanya pada burung
merpati dan dua kali itu pula merpati kembali kepadanya dengan tangan hampa.
Baru pada penerbangan ketiga, burung itu kembali dengan cabang zaitun di
paruhnya, menunjukkan bahwa air telah surut cukup jauh, dan pepohonan telah
menumbuhkan daun baru. Turun dari bahtera, Nuh membangun sebuah mezbah bagi
Tuhan, mezbah pertama yang disebutkan dalam Alkitab, dan memberikan
persembahan. Dan ketika Tuhan mencium bau anggur yang menyenangkan, Tuhan
berkata dalam hatinya, "Aku tidak akan pernah lagi mengutuk tanah karena
manusia. Aku juga tidak akan pernah lagi menghancurkan setiap makhluk hidup
seperti yang telah Aku lakukan sebelumnya. Selama bumi masih ada, waktu menabur
dan menuai, dingin dan panas, musim panas dan musim dingin, siang dan malam,
tidak akan pernah berhenti."
Cerita tentang terjadinya banjir besar
yang meluluhlantakkan peradaban manusia bukan hanya bersumber dari Alkitab
saja. Berikut ini penulis menceritakan kembali kisah serupa yang berasal dari
India. Menurut Matsyapurana dan Shatapatha Brahmana (I-8, 1-6), ada seorang
Menteri dari Raja Dravida, yang bernama Manu. Sang
Menteri adalah orang yang konsisten mencari kebenaran. Karena Manu benar-benar
jujur, ia awalnya dikenal sebagai Satyavrata
(artinya: "Satu dengan sumpah kebenaran"). Dikisahkan sekali waktu
ketika Manu sedang mencuci tangannya di sebuah sungai, seekor ikan kecil masuk
ke tangannya. Sang Ikan memohon kepada Manu agar dia diselamatkan jiwanya.
Dengan welas-asih yang dimilikinya, Manu membawa ikan itu pulang dan dia
menyimpannya di dalam sebuah stoples. Manu tidak mengetahui bahwa ikan kecil
itu sesungguhnya sesosok Avatar, yakni penjelmaan dari Dewa Vishnu.
Sang ikan yang
dipelihara di kediaman Manu itu terus tumbuh semakin besar, sampai Manu
memasukkannya ke dalam kendi. Tidak berselang lama, dia harus mencari wadah
yang lebih lapang karena si ikan terus membesar. Kali ini tidak ada jalan
lain, Manu menempatkannya di dalam
sumur. Ketika sumur itu juga terbukti tidak cukup untuk ikan yang terus tumbuh,
dia memindahkannya ke sebuah waduk, yang
panjangnya dua yojana (sekitar 25 km) dan lebarnya satu yojana. Ketika ikan itu
tumbuh lebih jauh lagi, Manu harus membawanya ke sungai yang besar. Dan bahkan
ketika sungai itu terbukti tidak mencukupi, dia akhirnya menempatkan sang ikan
di lautan.
Saat itulah Sang Avatar memberi tahu Manu
tentang ancaman banjir besar yang akan segera melanda bumi. Dia minta agar Manu
membangun sebuah perahu besar yang dapat menampung keluarganya, berbagai benih,
dan hewan untuk mengisi kembali bumi. Hal itu diperlukan karena setelah banjir
reda, lautan akan surut dan daratan perlu diisi kembali dengan tetumbuhan,
hewan, dan manusia. Selama banjir besar, Manu mengikat perahu ke tanduk ikan
yang pernah diipeliharanya sejak kecil. Perahunya terdampar setelah banjir
surut dan ternyata Manu mendarat di sebuah puncak gunung. Dia kemudian turun
dari gunung dan mengadakan upacara kurban dan sesembahan sebagai rasa syukur
atas penyelamatannya. Konon semua orang di bumi saat ini adalah keturunan dari
Manu.
Cerita banjir besar yang melanda bumi bukan
saja terdapat dalam Alkitab dan Kitab Veda saja. Mitos Sumeria menceritakan
bagaimana Dewa Enki memperingatkan Raja Shuruppak, atas keputusan para dewata
untuk membinasakan umat manusia dengan air bah. Peradaban Babilonia mengenal
Epos Gilgames, mengisahkan bagaimana Sang Pahlawan (Gilgames) diminta oleh Dewa
Ea untuk membangun sebuah kapal, yang akan digunakan untuk menyelamatkannya
kaumnya dari bencana banjir besar. Legenda Yunani menceritakan air bah
Deukalion yang menenggelamkan Athena dan Atlantis. Semua kisah tentang air bah
memiliki tema yang serupa, yakni satu banjir besar dalam skala global pernah
terjadi di bumi. Musibah itu terjadi karena manusia banyak melakukan perbuatan
yang jahat dan tercela, dan sebagai hukumannya Yang Maha Kuasa atau Dewa
Penguasa mendatangkan bencana besar. Setelah air bah reda, dunia dan manusia
dimuliakan kembali.
Kisah-kisah tentang banjir besar di atas
menceritakan bahwa bencana dahsyat tersebut terjadi di zaman lampau yang tidak
disebutkan tahunnya, atau kita sebut berlangsung di waktu-mitis. Kita sekarang
akan meninjau musibah air bah yang benar-benar berlangsung di zaman prasejarah
di daerah lain. "Seperti air mendidih
yang tak ada habisnya, banjir membawa kehancuran.
Tak mengenal batas dan meluap, melebihi bukit
dan gunung. Air naik dan naik terus hingga mengancam
langit. Pastilah orang-orang yang berada di sana sedang mengerang dan
menderita!" Demikianlah ungkapan kegundahan Kaisar Yáo
(堯), yang
mengangkat tangannya tinggi-tinggi, putus
asa menghadapi kekejaman alam. Peristiwa itu berlangsung
menjelang akhir milenium ketiga sebelum Masehi,
dan selama dua generasi kekacauan telah menjadi musibah
langganan. Semua sungai diantaranya
Sungai Kuning dan Sungai Yangtze telah meluapkan air hingga jauh dari tepiannya, merusak
daratan dan kehidupan manusia, dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Air bah itu diabadikan
sebagai “Banjir Besar” dalam legenda Tiongkok.
Sampai akhirnya
ketika penerus Yao menunjuk seorang pria bernama Yu,
guna memecahkan masalah klasik itu. Yu Agung (大禹 dà yǔ) – atau "大禹治水 Dà Yǔ Zhì Shuǐ atau Yu Agung yang mengendalikan air"
– adalah sosok yang tidak
meninggalkan catatan sejarah, sehingga
tidak dapat ditelusuri sebagai tokoh yang benar-benar
ada. Tetapi warisan yang ditinggalkannya,
yaitu sistem pengerukan, tanggul, dan pembagian
air di hilir, menjadikan kisah keberhasilannya mampu memberikan
kemanfaatan dan kemaslahatan hingga ribuan tahun
sesudah kematiannya. Ini menyiratkan bahwa peradaban Tiongkok sesungguhnya
ditopang dengan memanfaatkan
kekuatan air.
Siapa Yu Agung? Anda tidak akan pernah mendapatkan
jawaban yang pasti, meskipun namanya pertama
kali disebutkan pada masa Dinasti Zhou, dan dia hidup dari tahun
2123 sampai 2025 seb. M. Catatan
kehidupannya sendiri ditulis setidaknya
2.000 tahun kemudian, yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Han. Puluhan kota di Tiongkok mengklaim sebagai tempat kelahirannya. Satu-satunya peninggalan
yang mengidentifikasikan dirinya adalah
"musi", sejenis cangkul tradisional
dan alat kuno untuk pengendalian banjir. Sejarawan
Agung dari masa Dinasti Han, Sīmǎ Qiān atau 司马迁, yakin
bahwa kakek buyut Yu adalah Kaisar Kuning yang termasyhur itu.
Menurut beberapa
penutur, ayah Yu sendiri, Gun, telah berupaya untuk mengendalikan banjir yang acapkali melanda wilayah kekaisaran itu, tetapi dia gagal total. Kaisar Shun, seorang pria yang
berbudi luhur, memerintahkan Yu untuk
melanjutkan proyek ayahnya. Yu bertekad untuk belajar
dari kesalahan ayahnya , "Untuk mengalirkan sembilan sungai ke empat
lautan, saya memperdalam saluran dan kanal, dan menghubungkannya dengan
sungai," Melalui sistem kanal, Yu membagi sungai, mengurangi kekuatan
arusnya yang tidak terkendali, dan menyiapkan saluran irigasi yang memungkinkan
dibangunnya pemukiman permanen di tepi sungai yang subur di Tiongkok. Dia
juga ditugaskan membangun
infrastruktur bangunan air, areal pertanian, dan
sarana transportasi sungai.
Beginilah kehidupan Yu selama 13 tahun berikutnya. "Dengan
pakaian compang-camping dan pola makan yang buruk, dia mengabdikan diri sepenuhnya pada
pekerjaannya, siang dan malam, sampai gubuk yang ditempatinya pun runtuh ke dalam
parit ... . Di satu sisi dia menggunakan garis
penanda, dan di sisi lain dia memanfaatkan kompas,"
tulis Sima Qian. "Selama 13 tahun dia
bekerja keras melintasi negeri, tidak pernah kembali ke rumah dan istrinya. Dia
melewati pintu depan rumahnya tanpa menyinggahinya
tiga kali selama dekade itu, tetapi tidak
pernah masuk, bahkan ketika putranya yang
masih kecil melihat dia untuk pertama kalinya dan memanggil nama ayahnya. Dia
bukan pengawas yang menyendiri, tetapi membantu
anak buahnya menggali lumpur dari tanggulnya, hari demi hari, tahun demi tahun."
Upaya Yu membuat Sungai Kuning
tidak banjir lagi akan terbukti kelak, paling tidak selama
lebih dari satu milenium. Kaisar Shun sangat
terkesan dengan dedikasi dan kebajikan Yu sehingga dia menyerahkan
ahli waris takhtanya kepada Yu. Reputasinya
sebagai penguasa yang bijaksana dan berbudi luhur, kelak
dijadikan suri tauladan oleh Nabi Kong Zi. Ketokohannya dijadikan
panutan bagi kaisar Han dan kaisar yang selanjutnya.
Sang Guru pun berkata, “Pada diri Yu saya tidak dapat menemukan letak kesalahannya,”
sembari memuji karena
Yu secara teratur berkorban kepada leluhur, mengenakan pakaian kasar,
dan menyantap makanan sederhana. Setelah 10
tahun memerintah dia jatuh sakit sewaktu mengadakan
tur ke daerah timur, tepatnya
di sebelah selatan Shaoxing modern. Kota ini sendiri memiliki kuil kuno untuk menghormati Yu Agung, yang dikunjungi oleh para
kaisar di setiap dinasti, untuk memberi penghormatan
kepada sang pahlawan penakluk-banjir.
sdjn/dharmaprimapustaka/211117