Kamis, 18 November 2021

BANJIR BESAR


 

Sebagai siswa sekolah yang mengenyam pendidikan dasar dan menengah di sekolah swasta Katolik, penulis mengenal dan bahkan hafal kisah-kisah yang terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru. Salah satu cerita yang mengesankan dan tidak terlupakan terjadi sewaktu kami duduk di kelas tiga atau empat sekolah dasar, yakni Kisah Nabi Nuh. Sebagai bocah ingusan generasi kami mudah mencerna dan mengingat narasi-narasi dengan tokoh-tokoh dunia yang menakjubkan, terutama yang pernah terjadi di zaman kuno atau jauh di masa silam.

 

Bagaimana kisah Nabi Nuh ini? Demikianlah pada masa itu orang berasal dari satu komunitas. Mereka menjalani kehidupan yang sederhana. Mereka bercocok tanam dan berburu hewan. Hari, bulan, dan tahun pun berganti. Sekarang mereka yang merasa kuat mulai menindas golongan yang lemah. Yang tertekan ini hidup dalam kesusahan, dan kedudukan mereka tidak lebih dari budak. Pada saat itu mungkin empat ribu tahun yang lalu, Nabi Nuh hidup di tanah yang dibatasi oleh Sungai Tigris dan Eufrat.

 

Demikianlah Nuh mengetahui bahwa sebagian besar rakyat menjalani kehidupan yang penuh dengan kebusukan dan mereka telah jauh melenceng dari kebenaran. Pada satu hari orang-orang mendengar Nuh berkata, "Wahai, kalian. Aku telah diutus oleh Tuhan. Kalian sudah berbuat jahat dan melanggar perintahNya. Dia telah banyak memberikan karunianya kepada kalian, namun kini kalian mengikuti hawa nafsu kalian dan tidak mentaati apa yang telah digariskannya.  Bertobatlah!" Orang banyak memprotesnya, "mengapa si tukang kayu ini (Nuh) menyalahkan kita? Apa hak dia mengatasnamakan Tuhan?"

 

Bukannya menuruti kata-kata Nuh, mereka justru memusuhinya dan berkali-kali ingin mencelakakannya. Ternyata orang yang menentang Nuh lebih banyak daripada orang yang mentaatinya. Sampai akhirnya Tuhan Allah mengutus malaikatnya dan meminta Nuh untuk membuat satu bahtera yang berukuran besar. Ukuran bahtera itu panjang 450 kaki, lebar 75 kaki, dan tinggi 45 kaki, dan sampan besar itu tidak dilengkapi dengan layar, dayung, atau pun kemudi. Bahtera pun dibangun tiga tingkat, dengan lantai dasar, lantai tengah, dan lantai atas. Walaupun Nuh memiliki keahlian sebagai tukang kayu, tetap dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun perahu besar itu, karena tidak banyak orang yang mau membantu dan menuruti kemauannya.

 

Demikianlah hingga mendekati hari yang dijanjikan. Tuhan meminta Nuh untuk mengisi bahtera itu sampai terisi penuh. Apa saja yang dimuat ke dalamnya? Ya, makanan dan perlengkapan untuk hidup bagi Nuh dan para pengikutnya. Kemudian benih tumbuh-tumbuhan, dan lalu segala macam hewan, sepasang demi sepasang dinaikkan ke dalam bahtera. Orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan, mengejek Nuh dan bahteranya. Namun, tidak berapa lama kemudian langit menjadi gelap, angin dingin datang menyergap, kilat menyambar-nyambar, disertai guntur yang memekakkan telinga. Hujan pun mulai turun, mulanya sedikit, tetapi lambat laun hujan deras datang bagai dicurahkan dari langit. Bukan saja air hujan yang turun ke bumi, tetapi sungai pun mengamuk, danau bergolak, mata air mengucurkan tirta murninya tanpa henti, dan ketinggian air samudera pun naik terus. Hujan yang amat dahsyat berlangsung selama 40 hari dan 40 malam, bahkan puncak pegunungan tertinggi pun turut disapu air bah.

 

Tidak ada orang atau makhluk hidup lainnya yang selamat dari banjir besar tersebut, kecuali yang berada di dalam bahtera Nabi Nuh. Bahtera itu terombang-ambing mengikuti gelombang dan arus air. Akhirnya, air mulai surut, dan bahtera itu berhenti di Pegunungan Ararat, yakni di daerah Turki saat ini. Nuh mengambil seekor burung gagak, yang dilepaskannya dari bahtera, dan kemudian seekor merpati. Dua kali dia mencobanya pada burung merpati dan dua kali itu pula merpati kembali kepadanya dengan tangan hampa. Baru pada penerbangan ketiga, burung itu kembali dengan cabang zaitun di paruhnya, menunjukkan bahwa air telah surut cukup jauh, dan pepohonan telah menumbuhkan daun baru. Turun dari bahtera, Nuh membangun sebuah mezbah bagi Tuhan, mezbah pertama yang disebutkan dalam Alkitab, dan memberikan persembahan. Dan ketika Tuhan mencium bau anggur yang menyenangkan, Tuhan berkata dalam hatinya, "Aku tidak akan pernah lagi mengutuk tanah karena manusia. Aku juga tidak akan pernah lagi menghancurkan setiap makhluk hidup seperti yang telah Aku lakukan sebelumnya. Selama bumi masih ada, waktu menabur dan menuai, dingin dan panas, musim panas dan musim dingin, siang dan malam, tidak akan pernah berhenti."

 

Cerita tentang terjadinya banjir besar yang meluluhlantakkan peradaban manusia bukan hanya bersumber dari Alkitab saja. Berikut ini penulis menceritakan kembali kisah serupa yang berasal dari India. Menurut Matsyapurana dan Shatapatha Brahmana (I-8, 1-6), ada seorang Menteri dari Raja Dravida, yang bernama Manu. Sang Menteri adalah orang yang konsisten mencari kebenaran. Karena Manu benar-benar jujur, ia awalnya dikenal sebagai Satyavrata (artinya: "Satu dengan sumpah kebenaran"). Dikisahkan sekali waktu ketika Manu sedang mencuci tangannya di sebuah sungai, seekor ikan kecil masuk ke tangannya. Sang Ikan memohon kepada Manu agar dia diselamatkan jiwanya. Dengan welas-asih yang dimilikinya, Manu membawa ikan itu pulang dan dia menyimpannya di dalam sebuah stoples. Manu tidak mengetahui bahwa ikan kecil itu sesungguhnya sesosok Avatar, yakni penjelmaan dari Dewa Vishnu.

 

Sang ikan yang dipelihara di kediaman Manu itu terus tumbuh semakin besar, sampai Manu memasukkannya ke dalam kendi. Tidak berselang lama, dia harus mencari wadah yang lebih lapang karena si ikan terus membesar. Kali ini tidak ada jalan lain,  Manu menempatkannya di dalam sumur. Ketika sumur itu juga terbukti tidak cukup untuk ikan yang terus tumbuh, dia memindahkannya ke  sebuah waduk, yang panjangnya dua yojana (sekitar 25 km) dan lebarnya satu yojana. Ketika ikan itu tumbuh lebih jauh lagi, Manu harus membawanya ke sungai yang besar. Dan bahkan ketika sungai itu terbukti tidak mencukupi, dia akhirnya menempatkan sang ikan di lautan.

 

Saat itulah Sang Avatar memberi tahu Manu tentang ancaman banjir besar yang akan segera melanda bumi. Dia minta agar Manu membangun sebuah perahu besar yang dapat menampung keluarganya, berbagai benih, dan hewan untuk mengisi kembali bumi. Hal itu diperlukan karena setelah banjir reda, lautan akan surut dan daratan perlu diisi kembali dengan tetumbuhan, hewan, dan manusia. Selama banjir besar, Manu mengikat perahu ke tanduk ikan yang pernah diipeliharanya sejak kecil. Perahunya terdampar setelah banjir surut dan ternyata Manu mendarat di sebuah puncak gunung. Dia kemudian turun dari gunung dan mengadakan upacara kurban dan sesembahan sebagai rasa syukur atas penyelamatannya. Konon semua orang di bumi saat ini adalah keturunan dari Manu.

 

Cerita banjir besar yang melanda bumi bukan saja terdapat dalam Alkitab dan Kitab Veda saja. Mitos Sumeria menceritakan bagaimana Dewa Enki memperingatkan Raja Shuruppak, atas keputusan para dewata untuk membinasakan umat manusia dengan air bah. Peradaban Babilonia mengenal Epos Gilgames, mengisahkan bagaimana Sang Pahlawan (Gilgames) diminta oleh Dewa Ea untuk membangun sebuah kapal, yang akan digunakan untuk menyelamatkannya kaumnya dari bencana banjir besar. Legenda Yunani menceritakan air bah Deukalion yang menenggelamkan Athena dan Atlantis. Semua kisah tentang air bah memiliki tema yang serupa, yakni satu banjir besar dalam skala global pernah terjadi di bumi. Musibah itu terjadi karena manusia banyak melakukan perbuatan yang jahat dan tercela, dan sebagai hukumannya Yang Maha Kuasa atau Dewa Penguasa mendatangkan bencana besar. Setelah air bah reda, dunia dan manusia dimuliakan kembali.

 

Kisah-kisah tentang banjir besar di atas menceritakan bahwa bencana dahsyat tersebut terjadi di zaman lampau yang tidak disebutkan tahunnya, atau kita sebut berlangsung di waktu-mitis. Kita sekarang akan meninjau musibah air bah yang benar-benar berlangsung di zaman prasejarah di daerah lain. "Seperti air mendidih yang tak ada habisnya, banjir membawa kehancuran. Tak mengenal batas dan meluap, melebihi bukit dan gunung. Air naik dan naik terus hingga mengancam langit. Pastilah orang-orang yang berada di sana sedang mengerang dan menderita!" Demikianlah ungkapan kegundahan Kaisar Yáo (), yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi, putus asa menghadapi kekejaman alam. Peristiwa itu berlangsung menjelang akhir milenium ketiga sebelum Masehi, dan selama dua generasi kekacauan telah menjadi musibah langganan. Semua sungai diantaranya Sungai Kuning dan Sungai Yangtze telah meluapkan air hingga jauh dari tepiannya, merusak daratan dan kehidupan manusia, dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Air bah itu diabadikan sebagai “Banjir Besar” dalam legenda Tiongkok.

 

Sampai akhirnya ketika penerus Yao menunjuk seorang pria bernama Yu, guna memecahkan masalah klasik itu.  Yu Agung (大禹 dà yǔ) atau "大禹治水 Dà Yǔ Zhì Shuǐ atau Yu Agung  yang mengendalikan air" adalah sosok yang tidak meninggalkan catatan sejarah, sehingga tidak dapat ditelusuri sebagai tokoh yang benar-benar ada. Tetapi warisan yang ditinggalkannya, yaitu sistem pengerukan, tanggul, dan pembagian air di hilir, menjadikan kisah keberhasilannya mampu memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan hingga ribuan tahun sesudah kematiannya. Ini menyiratkan bahwa peradaban Tiongkok sesungguhnya ditopang dengan memanfaatkan kekuatan air.

 

Siapa Yu Agung? Anda tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang pasti, meskipun namanya pertama kali disebutkan pada masa Dinasti Zhou, dan dia hidup dari tahun 2123 sampai 2025 seb. M. Catatan kehidupannya sendiri ditulis setidaknya 2.000 tahun kemudian, yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Han. Puluhan kota di Tiongkok mengklaim sebagai tempat kelahirannya. Satu-satunya peninggalan yang mengidentifikasikan dirinya adalah "musi", sejenis cangkul tradisional dan alat kuno untuk pengendalian banjir. Sejarawan Agung dari masa Dinasti Han, Sīmǎ Qiān atau , yakin bahwa kakek buyut Yu adalah Kaisar Kuning yang termasyhur itu.

 

Menurut beberapa penutur, ayah Yu sendiri, Gun, telah berupaya untuk mengendalikan banjir yang acapkali melanda wilayah kekaisaran itu, tetapi dia gagal total. Kaisar Shun, seorang pria yang berbudi luhur, memerintahkan Yu untuk melanjutkan proyek ayahnya. Yu bertekad untuk belajar dari kesalahan ayahnya , "Untuk mengalirkan sembilan sungai ke empat lautan, saya memperdalam saluran dan kanal, dan menghubungkannya dengan sungai," Melalui sistem kanal, Yu membagi sungai, mengurangi kekuatan arusnya yang tidak terkendali, dan menyiapkan saluran irigasi yang memungkinkan dibangunnya pemukiman permanen di tepi sungai yang subur di Tiongkok. Dia juga ditugaskan membangun infrastruktur bangunan air, areal pertanian, dan sarana transportasi sungai.

 

Beginilah kehidupan Yu selama 13 tahun berikutnya. "Dengan pakaian compang-camping dan pola makan yang buruk, dia mengabdikan diri sepenuhnya pada pekerjaannya, siang dan malam, sampai gubuk yang ditempatinya pun runtuh ke dalam parit ... . Di satu sisi dia menggunakan garis penanda, dan di sisi lain dia memanfaatkan kompas," tulis Sima Qian. "Selama 13 tahun dia bekerja keras melintasi negeri, tidak pernah kembali ke rumah dan istrinya. Dia melewati pintu depan rumahnya tanpa menyinggahinya tiga kali selama dekade itu, tetapi tidak pernah masuk, bahkan ketika putranya yang masih kecil melihat dia untuk pertama kalinya dan memanggil nama ayahnya. Dia bukan pengawas yang menyendiri, tetapi membantu anak buahnya menggali lumpur dari tanggulnya, hari demi hari, tahun demi tahun."

 

Upaya Yu membuat Sungai Kuning tidak banjir lagi akan terbukti kelak, paling tidak selama lebih dari satu milenium. Kaisar Shun sangat terkesan dengan dedikasi dan kebajikan Yu sehingga dia menyerahkan ahli waris takhtanya kepada Yu. Reputasinya sebagai penguasa yang bijaksana dan berbudi luhur, kelak dijadikan suri tauladan oleh Nabi Kong Zi. Ketokohannya dijadikan panutan bagi kaisar Han dan kaisar yang selanjutnya. Sang Guru pun berkata, “Pada diri Yu saya tidak dapat menemukan letak kesalahannya,” sembari memuji karena Yu secara teratur berkorban kepada leluhur, mengenakan pakaian kasar, dan menyantap makanan sederhana. Setelah 10 tahun memerintah dia jatuh sakit sewaktu mengadakan tur ke daerah timur, tepatnya di sebelah selatan Shaoxing modern. Kota ini sendiri memiliki kuil kuno untuk menghormati Yu Agung, yang dikunjungi oleh para kaisar di setiap dinasti, untuk memberi penghormatan kepada sang pahlawan penakluk-banjir.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211117

 


Kamis, 04 November 2021

AIR SUCI DAN AIR BIASA

 



Tersebutlah kisah seorang umat yang biasa bersembahyang di sebuah kelenteng, merasa depresi karena penyakit asma yang dideritanya nyaris membuatnya putus asa. Jika penyakit itu sudah kumat, menarik napas saja terasa berat dan dada tersayat nyeri. Entah sudah berapa banyak dokter yang dikunjunginya, namun kerap penyakitnya kambuh kembali. Pengobatan alternatif pun sudah dijalani sesuai dengan anjuran kerabat dan sahabatnya, namun hasilnya tetap saja tidak memuaskan.

 

Satu hari kebetulan setelah selesai bersembahyang di bio atau kelenteng yang biasa dia kunjungi, dia bertemu dengan Suhu (biarawan) yang sebenarnya sudah lama tinggal di rumah ibadah tersebut. Keduanya lalu terlibat dalam pembicaraan yang serius. Lelaki itu menceritakan sekilas kehidupannya dan dia banyak mengeluhkan tentang penyakitnya, yang sudah kronis dan merongrong aktivitasnya sehari-hari. Sang Suhu mendengarkan keluh-kesahnya dengan sabar, lalu dia pergi ke altar utama, mengambil sebuah botol berisi air, dan menyerahkannya kepada lelaki umat awam itu. "Air apa yang ada di dalam botol ini, Suhu?" kata lelaki itu. "Botol ini berisi air minum yang berasal dari sumur di bio ini dan sudah cukup lama diletakkan di altar. Air di botol ini sudah diberkahi oleh Kongco." Lebih lanjut Suhu menyarankan, air itu sebaiknya diminum dua atau tiga kali sehari. Cara pemakaiannya, cukup diambil satu dua tetes dari botol itu, kemudian dicampur dengan segelas air minum di rumah.

 

Lelaki umat awam itu kemudian menuruti nasihat sang Suhu, dan dia minum air yang telah diberkati oleh Kongco tiga kali sehari, sesuai dengan anjuran yang telah disampaikan. Setelah dia minum air pemberian Suhu secara teratur, anehnya gejala penyakitnya berangsur-angsur semakin jarang kambuh, dan dia merasakan tubuhnya semakin nyaman. Lewat beberapa minggu air di dalam botol itu semakin berkurang, dan dia pun kembali ke bio, menemui Suhu dan meminta air kembali. Demikianlah sampai dia menghabiskan tiga botol air dari Kongco, dan setelah itu tidak pernah terdengar dia mengeluhkan penyakitnya itu lagi.

 

Anda para pembaca pasti memiliki komentar masing-masing saat mendengar cerita di atas. Sebagian percaya bahwa memang air yang diberikan Suhu itu memiliki khasiat atau mukjizat yang bisa menyembuhkan penyakit. Sebagian lagi menganggap cerita yang dipaparkan di atas cuma sekedar omong kosong atau bullshit, atau skeptis bahwa kisah itu benar-benar terjadi. Jika memang air itu sungguh-sungguh berkhasiat muncul lagi spekulasi, apa yang membuatnya menjadi obat yang mujarab, antara lain: (1) air sumur yang berasal dari lahan kelenteng itu bisa menyembuhkan penyakit, (2) air itu berkhasiat karena diletakkan di altar utama dan langsung mendapat berkah dari Kongco, (3) air itu manjur dalam menyembuhkan penyakit, karena senantiasa disembahyangi oleh Suhu dan atau didoakan oleh umat kelenteng.

 

Kita tidak akan berdebat atau menebak mana diantara kemungkinan di atas yang paling mendekati kebenaran. Kita hendak menyelidiki seberapa kuat pikiran manusia yang jika diarahkan, akan mampu mengubah kualitas air. Penulis mau mengajak Anda sekalian untuk melakukan sendiri eksperimen yang sederhana, mudah, dan murah berikut ini.

 

Untuk melakukan sendiri eksperimen ini Anda cukup menyediakan tiga kemasan air mineral yang bisa dibeli dengan mudah di toko seperti Indomaret atau Alfamart. Agar mudah ditangani dan dipindahkan pilihlah kemasan galon-mini yang berisi lima liter air. Jika sulit mendapatkan kemasan galon-mini, Anda bisa menukarnya dengan sembilan buah kemasan botol plastik berkapasitas @ satu-setengah liter. Tiga buah kemasan galon-mini atau sembilan botol itu harus dari merek yang sama dan tanggal produksinya juga sama. Dengan demikian ketiga paket kemasan air mineral itu identik karena masuk dalam batch produksi yang sama. Selanjutnya untuk memudahkan identifikasi, kemasan wadah itu diberi tempelan stiker-berwarna, masing-masing warna hijau, merah, dan kuning (jika memakai botol 1,5 liter ada tiga yang hijau, tiga yang merah, dan seterusnya). Kemudian letakanlah tiga paket air kemasan itu di kamar atau ruangan tertutup yang berbeda-beda. Misalnya satu di kamar tidur, satu di ruang tamu, dan satu lagi di dapur.

 

Begitu dipilih penempatannya, masing-masing paket kemasan air mineral ini harus berada di tempat semula, tidak boleh dipindah-pindahkan hingga eksperimen kita berakhir. Mudah bukan? Kemudian kita akan melakukan ritual, yang merupakan bagian paling penting dari percobaan ini. Pada paket kemasan air warna hijau kita akan menyampaikan kata-kata positif, sedangkan pada paket kemasan air warna merah kita akan mengekspresikan kata-kata negatif. Dalam melakukannya Anda boleh membisikkan kata-kata itu ke dekat galon atau botol tersebut, bisa juga mengatakannya dengan suara lantang, atau jika perlu sedikit berteriak. Lakukanlah narasi kata-kata itu paling tidak tiga kali sehari. Tapi jangan sampai keliru! Hanya kata-kata positif untuk si hijau dan kata-kata negatif untuk si merah.

 

Apa itu kata positif dan mana kata negatif? Contoh rangkaian kata positif: "Wahai Air! Bagaimana kabarmu hari ini? Rupamu bening, bersih, dan cerah! Kamu membuat hatiku gembira! Parasmu elok dan jiwamu murni! Aku cinta kamu! Memandangmu hatiku pun damai! Terima kasih Air!" Berikut ini contoh untaian kata negatif: "Dasar Air sialan! Kamu bodoh! Engkau membuatku jijik! Kamu memuakkan! Engkau jahat! Enyahlah dari hadapanku! Gara-gara kamu aku jadi susah! Cepat minggat!" Tentu ada diantara Anda yang bertanya, apa yang harus kita lakukan pada paket kemasan air dengan stiker kuning? Paket kemasan yang ketiga ini tidak diapa-apakan. Kata anak sekarang: dicuekin. Jadi Anda biarkan saja di tempatnya. Anggaplah dia tidak ada.

 

Demikianlah Anda lakukan ritual pengucapan rangkaian kata positif dan negatif pada paket kemasan air berstiker hijau dan merah secara teratur setiap hari selama satu bulan. Sekarang sudah genap tiga-puluh hari sejak kita memulai eksperimen itu. Kita akan melihat hasilnya. Pertama kita buka dulu paket kemasan air dengan stiker kuning. Setelah dicicipi ternyata rasa airnya tidak enak dan baunya sedikit apek. Ternyata tidak adanya perhatian membuat kualitas air menjadi menurun atau membuatnya basi. Kemudian kita buka segel tutup wadah untuk kemasan merah. Setelah dicoba dan dirasakan, mutu airnya tidak berbeda jauh dengan yang pertama. Sekali lagi, rasanya sedikit payau dan baunya tidak enak. Terakhir kita buka paket kemasan air yang berwarna hijau. Hasilnya? Ternyata aroma airnya segar, mirip seperti kita meminum air-pegunungan, dan rasa airnya juga enak. Kayak ada manis-manisnya.

 

Mungkin ada diantara Anda yang mencibir bahwa percobaan di atas terlalu mengada-ada, dan tidak mungkin sejumlah massa air bisa berubah rasa dan aromanya setelah dibisikkan, didoakan, atau disumpahi dengan kata-kata tertentu. Masaru Emoto, seorang ilmuwan Jepang, pernah melakukan sejumlah percobaan terhadap air. Emoto melakukan eksperimen yang mirip dengan contoh kita di atas, tetapi dia melangkah lebih jauh. Tetesan air dari botol-botol ini kemudian ditempatkan pada satu irisan-bidang dan dibekukan untuk membentuk kepingan es seperti kepingan salju. Temuannya sangat mencengangkan. Kristal yang terbentuk dari air dengan kata-kata positif ternyata lebih geometris dan estetis, sedangkan kristal yang berasal dari air dengan pesan negatif memiliki bentuk kacau dan tidak seragam.

 

Siapa itu Emoto? Masaru Emoto (22-Jul-1943 - 17-Okt-2014) pada tahun 2008 menerbitkan temuannya di Journal of Scientific Exploration, setelah melakukan penelitian intensif terhadap struktur molekul air selama bertahun-tahun. Lebih dari dua ribu foto kristal air terdapat di dalam buku yang dikarangnya: Message from water (Pesan dari Air). Emoto mengatakan bahwa air adalah "cetak biru terhadap realitas kita" dan bahwa "energi" dan "getaran" yang emosional dapat mengubah struktur fisiknya. Eksperimen kristal airnya dilakukan dengan menempatkan air di dalam gelas, kemudian dia memaparkan kata, gambar, atau musik. Selanjutnya dia membekukan sampel air tersebut, dan memeriksa sifat estetika kristal es dengan bantuan fotografi mikroskopis. Dia mengklaim bahwa air yang terkena ucapan dan pikiran positif menciptakan kristal es yang "menyenangkan" secara visual, serta niat dan tindakan negatif menghasilkan formasi es yang "jelek".

 

Dalam bukunya yang lain, The Hidden Message in Water, Prof. Masaru Emoto pernah mencoba segelas air diperdengarkan dengan musik yang keras dan sedih (Heavy Metal dan "Farewell Song" dari Chopin), dan hasilnya molekul air sama sekali tidak membentuk kristal. Selanjutnya segelas air yang lain dari sumber yang sama diperdengarkan musik yang lembut dan indah karya Beethoven dan Mozart, dan ternyata molekul air membentuk kristal yang cantik. Kesimpulannya, partikel kristal air terlihat menjadi “indah” dan “mengagumkan” apabila mendapat reaksi positif di sekitarnya, misalnya diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Namun partikel kristal air terlihat menjadi “buruk” dan “tidak sedap dipandang mata” apabila mendapat efek negatif disekitarnya, seperti dipaparkan dengan kesedihan dan bencana. Dalam bukunya, Prof. Emoto juga menegaskan ada kemungkinan seseorang dapat sembuh setelah meminum air yang sudah didoakan, karena air itu membawa pesan dari orang yang mendoakannya.

 

Kita kembali kepada air yang manjur, berkhasiat, mujarab, bertuah, atau apa pun sebutannya. Air itu dinamakan air suci, yang berbeda dengan air kebanyakan. Air suci membawa manfaat, kegunaan, dan kemaslahatan bagi mereka yang yakin dan percaya. Bagi mereka tidaklah penting alasan atau penyebab yang membuat air itu menjadi air suci. Umat berbagai agama juga yakin dan percaya air yang diambil dari situs yang sakral layak dikategorikan sebagai air suci. Umat Islam percaya air Zamzam yang diambil dari sumur di kawasan Masjidil Haram dianggap sebagai air suci. Banyak peziarah yang melaksanakan ibadah Haji dan Umrah membawa pulang air Zamzam sebagai oleh-oleh. Air Lourdes dipercaya merupakan air suci bagi umat Katolik. Air ini berasal dari mata air di pegunungan Pyrenees, Perancis Selatan. Setiap tahun dari Maret hingga Oktober banyak peziarah datang ke sini, untuk mendapatkan berkah dan penyembuhan. Air suci bukan hanya berkhasiat untuk penyembuhan penyakit, tetapi juga manjur sebagai pelepas dahaga, memberikan berkah bagi mereka yang menyimpannya, mampu menangkal pengaruh buruk, bahkan dapat membersihkan dosa bagi yang menggunakannya.

 

Umat Buddha sendiri memiliki situs sakral sendiri yang kerap dikunjungi dan diambil airnya untuk kepentingan upacara agung. Lokasi itu adalah Umbul Jumprit, satu kawasan mata air di lereng Gunung Sindoro di sebelah barat Kota Temanggung. Sejak zaman Majapahit Umbul Jumprit telah menjadi tempat pertapaan bagi para penganut Shiwa-Buddha. Sejak tahun 1987 mata air tersebut dijadikan tempat mengambil air suci untuk ritual perayaan Waisak Nasional di Candi Borobudur.

 

Berbincang-bincang tentang air suci, sebuah vihara kuno yang dinamakan Wat Toom, terkenal dengan rupang Buddha kuno, yang oleh masyarakat diklaim sebagai sumber air suci yang misterius. Wat yang terletak di Ayutthaya Thailand ini telah lama termasyhur di kalangan penduduk, yang datang untuk melakukan pujabakti di hadapan rupang Luang Phor Thong Suk Samrit, sebuah patung Buddha dari perunggu dengan mudra bhumisparsha (bumi menjadi saksi). Bagian yang istimewa dari patung Buddha ini terletak pada bagian atas kepalanya, yang dapat dibuka dan terdapat rongga di dalamnya yang mengeluarkan air setiap saat. Menurut Wichai Sanguanpath, seorang petugas vihara, air tersebut merembes 'seolah-olah itu adalah keringat'. "Airnya tidak pernah mengering," kata Wichai. Pada hari uposatha setiap bulannya, serta hari-hari penting lainnya dalam kalender Buddhis, dilakukan pujabakti untuk membuka bagian atas kepala rupang Buddha, dan air yang sudah terkumpul di dalamnya diambil. Air suci tersebut kemudian dicampur dengan air bersih dalam sebuah wadah besar serta dibagikan kepada para pengunjung dan umat setempat. Banyak orang mengambil air suci tersebut dalam wadah yang telah mereka persiapkan untuk dibawa pulang. Masyarakat setempat percaya bahwa air suci dari patung Luang Phor Thong Suk dapat menyembuhkan penyakit dan membawa keberuntungan (Bangkok Post, Senin 1-Apr-2019).

Dalam pujabakti yang dilakukan di vihara dan dipimpin oleh rahib Buddhis, umumnya seksi acara telah menyiapkan air upacara yang ditempatkan pada sebuah patha atau mangkuk-bhikkhu. Selama upacara patha berisi air itu diletakkan di altar, dan sepanjang acara pujabakti air itu telah menerima getaran-getaran positif lewat pemanjatan paritta suci. Pada penghujung upacara, Bhante atau Ayya akan membawa patha itu berkeliling hingga mencapai barisan umat yang duduk di baris belakang. Dengan bantuan sebuah sapu kecil sejumput air diambil, lalu seluruh umat yang hadir dikepret secara bergiliran dengan air suci itu. Percikan air membasahi wajah dan pakaian penulis, tapi hati ini senang karena sudah lengkap mengikuti pujabakti dan menerima air suci yang penuh berkah.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211103