Jumat, 10 September 2021

KEN AROK DAN KEN DEDES


 

Mereka yang pernah belajar Sejarah Nusantara di bangku sekolah pasti mengenal riwayat Kerajaan Majapahit, yang pada masa jayanya pernah menguasai sebagian wilayah yang kelak menjadi cikal bakal Indonesia. Tetapi apakah Anda tahu bahwa raja atau ratu Majapahit memiliki leluhur dari dinasti sebelumnya? Ya benar, Dinasti Tumapel (atau Singasari) yang merupakan pendahulunya akan menurunkan penguasa Dinasti Majapahit. Agama rakyat pada masa itu adalah Sinkretisme Hindu-Buddha, dengan penekanan pada pemujaan terhadap Shiva dan banyak dipengaruhi oleh ajaran Buddha-Tantrayana.

 

Dinasti Tumapel didirikan oleh Ken Arok atau Ranggah Rajasa, mungkin juga pernah didengar oleh Anda sekalian. Riwayat hidup Ken Arok atau Ken Angrok didapat dari Serat Pararaton, satu kepustakaan berbahasa Jawa Kawi, dan diperkirakan ditulis antara tahun 1481 hingga 1600. Tidak diketahui siapa penulis Pararaton, tetapi dari sub-judul kitab ini yang bertuliskan "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok" (artinya "Kitab Raja-raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok"), penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok mendominasi naskah kuno ini. Atas jasa Jan Laurens Brandes, naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda pada 1897, dengan judul Pararaton (Ken Arok) Het Boek Der Koningen van Tumapel en van Madjapahit, Uitgegeven en Toegelicht.

 

Kitab Pararaton dibuka dengan menceritakan tokoh kita ini dalam satu kehidupannya yang lampau. Dikisahkan bagaimana orang ini berlaku tidak baik sampai ia bertemu dengan seorang petapa yang bernama Pu Tapawangkeng. Tokoh kita ini bertekad untuk dilahirkan-kembali menjadi orang yang terkemuka kelak. Demi mencapai cita-citanya ia rela dijadikan kurban persembahan (yadnya) sang petapa, kepada Yamadipati atau dewa penjaga pintu dunia bawah.

 

Demikianlah ketika tekad itu sudah saatnya membuahkan pahala, Batara Brahma mencari seorang perempuan muda yang subur. Di desa Pangkur ada sepasang pengantin baru, dengan yang lelaki bernama Gajah Para dan yang perempuan dipanggil Ken Endok (sebutan "Gajah", "Lembu", atau "Kebo" pada zaman itu adalah panggilan kehormatan, bahwa orang itu berasal dari strata atas atau kaum bangsawan). Batara Brahma yang tak-terlihat melakukan perkawinan dengan Ken Endok, dan berpesan pada perempuan itu bahwa anak yang akan dilahirkan kelak adalah puteranya. Segera setelah kejadian gaib itu suami isteri itu bercerai, dan Gajah Para pulang ke Campara. Belum sampai lima hari kemudian ia telah meninggal. Berkomentarlah orang banyak: "Alangkah panasnya anak yang berada di dalam kandungan itu. Belum sampai lima hari ayahnya telah meninggal dunia."

 

Setelah usia kandungannya cukup, Ken Endok melahirkan seorang bayi laki-laki yang dinamakan Ken Arok. Tidak mampu memelihara anak karena miskin, bayi yang masih merah itu dibuang oleh ibunya ke kuburan. Adalah seorang pencuri, yang bernama Lembong, yang kebetulan melewati kuburan itu. Dia melihat seberkas cahaya dan memdengar suara anak kecil menangis. maka didekatimya tempat itu, dan didapatinya bayi itu. Lalu bayi lelaki itu digendong, dibawanya pulang, dan diangkat sebagai anaknya sendiri.

 

Karena diangkat anak oleh Lembong, Ken Arok pun sejak kecil tumbuh menjadi berandalan. Sesudah tumbuh besar Ken Arok meninggalkan Lembong dan ia diangkat anak oleh Bango Samparan, seorang penjudi di Karuman, setelah sang penjudi mendapat wangsit dari para dewa. Pada saat menemukan Ken Arok, Bango Samparan sudah bangkrut karena kalah terus, tetapi nasib berubah seratus delapan puluh derajat sejak ia membawa anak angkatnya ke tempat perjudian. Sekarang seluruh harta kekayaannya telah kembali dan ia bertambah sayang kepada Ken Arok. Belakangan Ken Arok belajar baca-tulis bahasa Jawa Kuno dan juga tentang candra-sangkala di padepokan seorang pandita di Sagenggang. Tidak itu saja, Ken Arok sempat dipungut anak oleh Pu Palot, seorang pandai emas, yang menurunkan ilmunya kepada anak angkatnya.

 

Karena wataknya yang tidak baik, Ken Arok sering berseteru dengan penduduk setempat ketika ia melakukan pengembaraan. Dalam Pararaton disebutkan dua sampai tiga kali dia diselamatkan dari bahaya yang mengancam nyawanya. Seperti yang terjadi di Gunung Kryar Lejar, tempat para dewa berkumpul dan Batara Guru mengatakan bahwa Ken Arok adalah puteranya, dan dia telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.

 

Jauh di Jambudvipa atau di Tanah India ada seorang brahmana yang dipanggil Danghyang Lohgawe, yang biasa memuja Dewa Vishnu. Pada satu kesempatan dalam penerawangannya, ia mendengar bisikan: "Wahai brahmana, hentikanlah pemujaan kepada arca dewa. Aku tak ada di sini, aku menjelma jadi manusia di Tanah Jawa. Adalah anak yang bertangan panjang, lututnya besar, telapak tangan kanannya bergambar roda, yang kiri bergambar kerang, yang bernama Ken Arok. Carilah dia di tempat perjudian. Singkat cerita sampailah Sang Brahmana di Desa Taloka dan di sana pada satu tempat orang mencari peruntungan, nampak seseorang yang mirip dalam petunjuk yang diberikan oleh dewa. Lalu berkatalah Lohgawe, "agaknya engkaulah Ken Arok, seperti yang muncul dalam penerawangan saya." Ken Arok menjawab, "benar, Tuan. ananda bernama Ken Arok." Dipeluklah pemuda itu oleh Sang Brahmana. "Saya angkat engkau sebagai anakku, saya bantu dalam kesukaran, saya pelihara kemana pun engkau pergi."

 

Selanjutnya Ken Arok dan ayah angkatnya pergi dari Taloka ke Tumapel, sebuah wilayah otonom yang berada di bawah Kerajaan Daha. Sesampainya di sana keduanya berkesempatan untuk bertemu dengan Akuwu dari Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Sang Brahmana disambut dengan baik oleh Sang Akuwu dan diminta agar ayah dan anak angkat tinggal di Tumapel, serta permintaan agar Ken Arok dapat menghamba kepada Sang Akuwu juga diterima dengan senang hati. Mulai hari itu Ken Arok menjadi pengawal Tunggul Ametung dan mengabdikan diri cukup lama.

 

Tersebutlah ada seorang pandita bernama Pu Purwa yang memeluk agama Buddha Mahayana di Desa Panawijen, dan di sebidang lahan pertanian di sana ia membangun sebuah tempat pertapaan. Sebelum menjadi pandita ia memiliki seorang puteri, dan anak gadis ini sekarang sudah dewasa bernama Ken Dedes. Anak ini sangat cantik, tidak ada yang bisa menandinginya, sehingga ia terkenal dari timur Gunung Kawi hingga ke Tumapel. Terdengarlah kabar tentang keistimewaan gadis itu, lalu Tunggul Ametung berkunjung ke Panawijen, dan sangat tertariklah sang akuwu kepadanya. Karena saat itu ayahnya sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu. Namun sang akuwu tidak kuasa menahan diri, Ken Dedes pun dibawanya pulang dengan paksa ke Tumapel untuk dinikahi. Ketika Pu Purwa pulang ia murka mendapati puterinya telah dilarikan orang dan ia pun mengutuk: "Hai orang yang melarikan anakku, semoga tidak mengenyam kenikmatan, matilah dia dibunuh dengan keris ... Sedangkan anakku yang telah mempelajari ilmu untuk menerangi dunia, harapanku semoga dia selamat dan besar kebahagiaannya."

 

Sesampainya di Tumapel, Ken Dedes langsung diperisteri oleh Tunggul Ametung. Semakin besarlah kasih sang akuwu ketika mendapati tanda-tanda isterinya telah hamil. Pada suatu hari Tunggul Ametung dan Ken Dedes pergi bertamasya ke Hutan Baboji. Setibanya di taman Ken Dedes turun dari kereta, kebetulan dengan perkenan dewa, kain Ken Dedes tersingkap, sehingga auratnya yang bersinar terlihat oleh Ken Arok yang sedang bertugas mengawalnya. Melihat kecantikannya yang luar biasa, jatuh cintalah Ken Arok, hingga tak tahu harus berbuat apa.

 

Sepulangnya dari sana Ken Arok menemui ayah angkatnya dan bertanya, "Bapak, adalah seorang wanita yang pusatnya mengeluarkan cahaya. Apakah itu penanda baik atau buruk?" "Anakku, jika ada wanita seperti itu, namanya Stri Nariçwari, wanita paling utama. Meskipun orang hina yang mengambil dia sebagai isterinya, maka orang itu akan jadi raja besar. Siapakah dia, anakku?" "Dia adalah isteri dari Akuwu Tumapel. Saya akan membunuhnya dengan keris, pasti matilah dia, jika Bapak mengizinkan." Ayahnya menjawab, "memang Tunggul Ametung akan mati olehmu. Tetapi saya tidak baik jika mengizinkan kehendakmu, bukan perbuatan brahmana, tetapi sekehendakmulah."

 

Gagal mendapat restu dari ayah angkatnya, Ken Arok mengunjungi ayah angkatnya yang lain Bango Samparan di Karuman, dan meminta pendapatnya. Bango Samparan berkata, "saya menyetujui jika engkau mau membunuh sang akuwu dengan keris. Tetapi, anakku, dia itu sakti, mungkin tidak akan terluka ditusuk oleh sembarang keris. Adalah seorang teman saya pandai besi di Lulumbang, bernama Pu Gandring. Keris buatannya sangat ampuh, tak ada orang yang dapat menangkalnya." Setelah mendapat nasihat itu, pergilah Ken Arok ke pandai besi itu. Setelah menemui Pu Gandring, Ken Arok berkata, "buatkanlah saya sebilah keris, hendaknya selesai dalam lima bulan, karena akan segera saya pakai." Si pandai besi menjawab, "janganlah lima bulan kalau ingin baik, sebaiknya satu tahun agar tempaannya bagus." Ken Arok berpesan, "terserah bagaimana tempaannya, asal selesai dalam lima bulan."

 

Demikianlah Ken Arok lama menunggu di Tumapel. Setelah genap lima bulan, teringatlah akan barang pesanannya, dan pergilah ia ke Lulumbang. Ternyata sesampainya di sana keris pesanannya masih ditempa oleh Pu Gandring. Marahlah Ken Arok, direbutnyalah senjata itu dari tangan si pandai besi, dan ditusukkan ke ulu hatinya. Selagi meregang nyawa Pu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok dan anak cucunya akan mati terbunuh oleh keris itu pula. Setelah itu matilah Pu Gandring dan jelas Ken Arok sangat menyesali perbuatannya. Selanjutnya Ken Arok kembali ke Tumapel berbekal keris barunya. Tersebutlah Kebo Hidjo, pengawal kesayangan Tunggul Ametung juga sahabat baik Ken Arok, orang yang suka pamer. Melihat sahabatnya mengenakan keris baru, hatinya terpincut, dan keris itu langsung dipinjamnya dan diselipkan di pinggangnya. Kemana pun ia pergi Kebo Hidjo selalu membawa barang itu, dan orang Tumapel tahu bahwa ia memiliki keris baru. Kemudian keris itu dicuri secara diam-diam oleh Ken Arok, lalu pada satu malam dia mengendap-endap ke kamar tidur sang akuwu, ketika semua orang telah terlelap. Atas pertolongan para dewa, Ken Arok menghampiri Tunggul Ametung yang sedang tidur, lalu ditusuknya sang akuwu tepat di jantungnya oleh keris buatan Pu Gandring. Matilah seketika Tunggul Ametung dan keris itu dibiarkan pada lukanya.

 

Keesokan paginya gemparlah orang-orang Tumapel mendapatkan bahwa sang akuwu telah tewas oleh sebilah keris. Semua orang tahu bahwa keris itu kepunyaan Kebo Hidjo. Lalu Kebo Hidjo ditangkap oleh sanak keluarga dari Tunggul Ametung, dihukum mati dengan ditusuk pula oleh keris Pu Gandring. Selanjutnya dewa-dewa mengatur agar Ken Arok dapat kawin dengan Ken Dedes, dan tidak ada orang Tumapel yang berani menentangnya. Ketika mereka kawin, Ken Dedes sedang hamil anak dari Tunggul Ametung. Kelak setelah kelahirannya, anaknya diberi nama Anusapati.

 

Kitab Pararaton juga  menceritakan keberhasilan Ken Arok menggulingkan Raja Daha yakni Kertajaya pada 1222, dan memerdekakan Tumapel menjadi kerajaan besar yang baru. Ken Arok sendiri kemudian bergelar Sri Amarwabhumi. Kisah kita berlanjut kepada Anusapati, putera Tunggul Ametung. Tidak henti-hentinya ia bertanya kepada pengasuhnya dan ibunya, Ken Dedes. "Apa sebabnya ayahanda ketika melihat kepadaku, berbeda tampaknya dengan saudara-saudara yang lain, apalagi dengan putera-putera ibu muda?" Memang sudah tiba saatnya Sri Amarwabhumi mangkat. "Kalau engkau ingin tahu dan mempercayainya, ayahmu adalah Tunggul Ametung. Waktu itu ibu sedang hamil ketika Sri Amarwabhumi mengambilnya." Anusapati tercengang, "oh, jadi Sri Amarwabhumi bukan ayahku. Bagaimana ibu, cara kematian ayah?" "Sang Amarwabhumi yang membunuhnya. Terdiamlah Ken Dedes, merasa bersalah mengatakan hal yang sebenarnya kepada anaknya. Setelah anaknya merayunya, diberikanlah keris Pu Gandring kepadanya. Maka seperti yang diramalkan oleh sang pandai besi, nasib Ken Arok pun berakhir tragis di tangan putera tirinya. Selanjutnya Anusapati naik tahta meneruskan Dinasti Tumapel. Penulis tidak akan berpanjang-panjang melanjutkan kisah ini.

 

Lalu pelajaran apa yang kita dapatkan dari kisah Ken Arok dan Ken Dedes ini? Bahwasanya untuk menjadi orang besar bukanlah didapat dari untung-untungan dan nasib baik belaka. Diperlukan tekad kuat atau Adhiṭṭhāna yang dirintis dari kehidupan sebelumnya. Selanjutnya keistimewaan merupakan syarat mutlak yang didambakan masyarakat Jawa, yang harus ada dalam diri seorang pemimpin atau leluhurnya. Filsafat Jawa meyakini seorang raja atau permaisuri adalah pilihan Dewa. Pilihan itu ada dalam diri Ken Arok dan Ken Dedes. Marka dan penanda-lahir seperti gambar roda pada telapak tangan serta aurat yang bersinar, sebenarnya mengambil inspirasi marka dan tanda manusia agung seperti yang dimiliki seorang Calon Buddha dan tujuh pusakanya. Dan terakhir hukum tabur-tuai berlaku bagi si pembuat kejahatan: "Barang siapa menabur angin, dia sendiri yang akan menuai badai."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210908

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar