Kamis, 23 September 2021

KEHIDUPAN ZAMAN DAHULU DAN SEKARANG


 
Terkadang kita suka membandingkan kehidupan kita sekarang dengan kehidupan kita pada masa silam. Ternyata waktu telah berlari sedemikian kencangnya, pun perubahan berlangsung sebegitu cepatnya. Jika kita meneropong kembali ke keadaan masa lalu, bukanlah maksudnya kita ingin kembali ke zaman yang telah berlalu, tetapi kita membandingkannya untuk merenungkan sisi baik dan buruknya. Apa yang baik kita pertahankan dan mana yang buruk kita buang jauh-jauh.
 
Penulis berasal dari generasi baby boomers atau diindonesiakan sebagai generasi "ledakan kelahiran", yakni mereka yang lahir setelah Perang Dunia kedua, atau diantara tahun 1946 hingga 1964. Penulis dibesarkan dalam keluarga kelas menengah di sebuah kota kecil. Penggambaran dalam tulisan ini menceritakan apa saja yang telah berubah dalam rentang lima puluh tahun terakhir ini.
 
Penulis ingin memulainya dengan menceritakan latar belakang keluarga. Kami bersaudara lima orang, jadi mirip dengan yang terjadi pada banyak keluarga pada masa itu. Bukan hal yang aneh jika ada cukup banyak keluarga yang memiliki lebih dari lima orang anak. Demikian pula yang terjadi dengan generasi ayah dan ibu kami, yang membuat kami memiliki saudara sepupu yang cukup banyak. Dengan bersaudara lima orang dan memiliki beda usia hingga belasan tahun, anak sulung bisa turut membantu orang tuanya membesarkan si bungsu. Sekarang kita lihat berapa jumlah anak yang dimiliki oleh para baby boomers. Mereka umumnya hanya memiliki satu atau dua orang anak, dan paling banyak tiga orang saja.
 
Mengapa para baby boomers enggan memiliki banyak anak? Generasi penulis tidak sama dengan generasi sebelumnya. Kami tidak ingin punya banyak anak karena membesarkan anak memerlukan biaya yang cukup besar. Memberi mereka makan mungkin kami mampu, tetapi perlu perjuangan untuk membekalkan mereka pendidikan yang baik. Ini alasan yang cukup mengherankan. Generasi terdahulu memiliki banyak anak dan mereka optimistis masa depan anak-anak mereka akan baik-baik saja, tetapi generasi kami tidak seperti itu. Ini adalah paradoks zaman kita. Dahulu hanya ayah kami yang bekerja dengan ibu yang banyak diam di rumah dan mengurus rumah tangga, tetapi keduanya mampu membesarkan banyak anak. Sekarang kami suami-isteri membanting tulang sepanjang hari, tetapi membesarkan dua orang anak saja sudah setengah mati.
 
Pada pasangan baby boomers yang kedua-duanya bekerja di luar rumah, waktu kebersamaan dengan anak-anak mereka terbatas. Ayah dan ibu sering harus berangkat pagi-pagi ke tempat kerja dan baru kembali setelah malam tiba. Bukan hal yang ganjil anak-anak baru bertemu dengan kedua orangtuanya pada akhir pekan. Generasi kami selalu disambut ibu sewaktu kami pulang sekolah dan kami bersantap siang bersama-sama. Di malam hari seluruh anggota keluarga beserta ayah menikmati makan malam bersama. Jadi hubungan kekeluargaan lebih guyub di masa silam dibandingkan dengan yang terjadi pada generasi sekarang.
 
Walaupun banyak waktu yang kami curahkan guna menuntut ilmu, pada masa itu pun kami mesti membantu orang tua menyelesaikan pekerjaan di rumah. Turut membersihkan rumah, menyediakan air mandi, menyapu halaman, membantu pekerjaan di dapur, dan banyak lagi, Pada masa itu tidak semua keluarga mampu membeli perlengkapan modern seperti lemari es, kompor gas, mesin cuci, pompa air, setrika-listrik, televisi, dan barang elektronik lainnya. Jika kita membandingkannya dengan keadaan sekarang, barang-barang yang disebutkan di atas relatif masih terjangkau oleh banyak keluarga dan ketersediaannya di pasar cukup banyak.
 
Dengan adanya piranti modern pekerjaan di rumah maupun di tempat kerja bisa dilakukan lebih mudah, lebih cepat, dan lebih bagus kualitasnya. Kita bisa memanfaatkan kelebihan waktunya untuk mengerjakan hal-hal lain yang lebih produktif. Waktu senggang pun menjadi lebih lama dan hidup kita semakin dipermudah. Tetapi apakah kehidupan modern menjanjikan segalanya menjadi lebih nyaman? Karena semua kebutuhan manusia ditopang oleh ekonomi produksi yang memaksimalkan keuntungan, orang cenderung mengeksploitasi sumber daya alam habis-habisan demi mengejar kenyamanan hidup. Sebagai contohnya, kira-kira lima puluh tahun yang lalu masyarakat menggunakan bahan kemasan berupa daun pisang, kertas, atau karton untuk membungkus barang. Jika hendak membeli makanan-jadi, mereka telah menyiapkan dari rumah wadah yang berbentuk rantang-bersusun. Lama kelamaan aneka kemasan berbahan plastik menggantikan kemasan tradisional, yang penggunaannya makin masif dari hari ke hari. Dewasa ini semua negara kewalahan menangani limbah kemasan plastik, yang tidak terkendali, bahkan hingga mengotori palung samudera. Ternyata melulu mengejar kepraktisan, justru menciptakan masalah baru yang serius.
 
Salah satu ciri modernitas adalah mobilitas manusia dan barang meningkat secara drastis. Dekade 60-an ketika penulis masih duduk di bangku sekolah dasar, kami pulang-pergi ke sekolah cukup berjalan kaki. Ada beberapa rekan yang rumahnya cukup jauh memanfaatkan sepeda ke sekolah, dan hanya segelintir yang diantar-jemput dengan kendaraan bermotor. Sekarang di Jakarta siswa-siswa sekolah dasar dan menengah terutama di sekolah favorit, para muridnya di diantar-jemput dengan mobil, sehingga membuat keruwetan dan kemacetan lalu lintas pada saat masuk dan pulang sekolah. Pemanjaan ini justru membuat para siswa kurang bergerak jika dibandingkan dengan orang dari generasi sebelumnya; serta masyarakat perkotaan cenderung malas berjalan kaki, sehingga mencetuskan problem kesehatan. Di sisi lain banyak kemajuan terjadi terutama pada dua puluh tahun terakhir ini berkaitan dengan mobilitas orang. Sekarang sarana transportasi jauh lebih baik dibandingkan masa lalu, dan bepergian dengan pesawat ke mancanegara pun lebih terjangkau untuk sebagian masyarakat kita.
 
Sekarang kita melirik sebentar ke dunia pendidikan. Sewaktu penulis masih duduk di sekolah rakyat, kalau tidak salah di kelas 2 atau 3, ada mata pelajaran menulis-halus. Siswa harus menyiapkan buku tulis, tangkai dan mata-pena, serta sebotol tinta cair. Memang ini perangkat jadul yang akan ditertawakan oleh anak zaman sekarang. Mencelupkan mata-pena haruslah hati-hati agar tinta tidak beloboran, yang akan mengotori dan merusak kerja keras kita. Entahlah penulis tidak tahu, apakah siswa SD masih diajari keterampilan ini. Di sisi lain, pada saat pandemi masih berlangsung, penulis dibuat takjub melihat para siswa sekolah dasar dan menengah melakukan pembelajaran jarak jauh. Dengan hanya berbekal sebuah telepon-pintar di rumah, mereka dengan patuh mengikuti instruksi gurunya mengerjakan PR. Sungguh satu metode belajar-mengajar yang tak-terbayangkan ketika penulis masih bocah dulu. Dengan adanya internet dunia pendidikanlah yang mendapatkan manfaat terbesar. Sebagai contohnya, dengan adanya kanal youtube di jagad-maya, pelajaran keterampilan tertentu dengan mudah dipelajari oleh siapa pun di berbagai belahan dunia ini.
 
Sekarang bagaimana kondisi kesehatan masyarakat pada waktu itu? Dulu di era 50-an atau 60-an relatif hanya penyakit influenza atau penyakit infeksi yang banyak diderita oleh masyarakat Indonesia. Penyakit yang cukup sering diderita hanya sekedar masuk angin, yang cukup diobati dengan kerokan dan tubuh dibaluri minyak gosok. Penyakit yang cukup serius pada saat itu adalah mati badan sebelah (sekarang dinamakan stroke) atau terkena angin duduk (serangan jantung). Kedua penyakit yang disebutkan terakhir biasanya berakibat fatal dan penderita langsung meninggal dunia. Demikian juga jika terjadi gagal ginjal, pasien sulit ditolong karena fasilitas kesehatan yang masih terbatas. Lain dengan kondisi sekarang, penderita masih bisa melakukan cuci darah secara berkala. Dewasa ini pelayanan kesehatan dan tenaga medis sudah lebih banyak dan fasilitasnya sudah modern. Lalu apakah orang sakit lebih mudah mendapatkan bantuan? Nyatanya tidak. Sekali terkena penyakit serius, biaya pengobatannya bisa mahal sekali. Beruntunglah jika pasien memiliki asuransi kesehatan. Sekarang memang ada asuransi kesehatan yang diinisiasi oleh Pemerintah, tetapi cakupan pertanggungannya belum dirasa memuaskan oleh sebagian kalangan masyarakat.
 
Membicarakan kehidupan modern tentulah tidak afdol jika tidak melihat perkembangan budaya di masyarakat kita. Dari masa kemerdekaan hingga tahun 1965 masyarakat Indonesia boleh dikatakan tertutup. Tetapi sejak masa Orde Baru kita mulai membuka diri sedikit demi sedikit. Semenjak itu pula pengaruh budaya asing mulai memasuki dan mempengaruhi kehidupan kita. Contoh yang paling kentara terjadi di dunia kuliner nasional. Sampai masa penulis memasuki sekolah menengah atas, menu makanan sehari-hari yang ditemui paling banter masakan tradisional dan daerah, chinese food, dan kuliner-belanda peninggalan zaman kolonial yang dimasak ibu di rumah. Satu hari menjelang pertengahan dekade 80-an, seorang rekan kerja mengundang penulis untuk makan siang di sebuah restoran cepat-saji yang berasal dari Amerika. Hidangan khas di sini adalah ayam goreng dimakan bersama kentang goreng dan seporsi nasi putih. Sungguh mati, baru kali itu penulis makan kentang goreng putih berbentuk balok yang dicocol dengan sambal botol dan saus tomat. Ayam gorengnya berukuran besar berbalut tepung, sangat lezat karena terasa renyah di luar dan lembut-berair di dalamnya. Selesai makan masih disediakan minuman dingin bersoda, yang membuat santap siang itu terasa nikmat dan nendang. Kemudian secara berangsur-angsur restoran cepat saji mulai membanjiri area niaga dan pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Bukan saja makanan yang berasal dari Amerika, tetapi ada juga yang didatangkan dari Jepang, Korea, dan negara-negara lainnya. Inilah trend yang dinamakan globalisasi, yakni proses mendunianya satu hal sehingga batas antar negara menjadi hilang. Apakah globalisasi itu baik bagi kita? Tentu ada segi baiknya dan sisi buruknya. Kita ambil hal buruknya, seperti pada hidangan ayam goreng tadi. Ternyata santapan itu memiliki kandungan karbohidrat dan lemak tinggi serta miskin serat. Jika terlalu sering dikonsumsi bisa menimbulkan kegemukan. Justru hidangan tradisional kita seperti nasi merah, sayur asem, lalapan, sambal, dan lauk tahu-tempe memiliki kandungan gizi yang seimbang. Inilah yang dinamakan kearifan lokal!
 
Selanjutnya bagaimana dengan kehidupan beragama sekarang ini dibandingkan setengah abad yang lalu? Tentu saja ini berkaitan dengan kehidupan beragama umat Buddha dan Konghucu. Dengan latar belakang keluarga minoritas Tionghoa, penulis dibesarkan dalam suasana tradisi leluhur. Hingga lulus sekolah menengah atas penulis hanya mengikuti upacara persembahyangan yang dilakukan secara berkala, tanpa memiliki pengertian tentang makna dibalik ritual keagamaan itu. Barulah setelah duduk di perguruan tinggi, penulis berkesempatan mempelajari agama Buddha lewat mata kuliah dasar umum, serta mencarinya sendiri dari buku-buku di perpustakaan. Jika boleh membandingkan perkembangan agama Buddha dan Tridharma dalam rentang waktu 45 tahun ini, keadaan sekarang sudah jauh lebih maju dibandingkan masa itu. Rumah ibadah semakin banyak dan tersebar, jumlah pemuka agama dan dharmaduta naik secara signifikan, umat yang menghadiri upacara keagamaan bertambah bahkan membludak pada hari raya keagamaan, guru agama yang memiliki pendidikan akademis di bidangnya sudah banyak walaupun tetap belum mencukupi, kelas dharma dan retret meditasi sudah diprogram dan dilaksanakan secara terstruktur, serta masih banyak lagi. Tetapi pertanyaannya, apakah kehidupan religius kita lebih baik sekarang dibandingkan setengah abad yang lalu? Dari pengalaman penulis selama ini, banyak anak muda dari kalangan kita justru acuh tak acuh terhadap aktivitas keagamaan. Semoga pandangan subyektif ini tidak sepenuhnya benar.
 
Demikianlah sedikit pemaparan mengenal perbedaan hidup sekarang dan hidup tempo dulu. Sekecil apa pun, banyak kearifan yang telah ditunjukkan oleh generasi terdahulu dan nenek moyang kita. Namun modernisasi, globalisasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah merambah kehidupan kita secara menyeluruh. Ini adalah satu keniscayaan. Bagi mereka yang masih menginginkan kehidupan masa silam tentu tidak bisa menjalaninya di daerah perkotaan. Mungkin mereka bisa merasakannya jika memilih untuk hidup di daerah terpencil. Bagaimana pun itu adalah mimpi segelintir orang yang masih menginginkan romantisme masa silam. Apa pun pilihan mereka kita harus mengapresiasinya,
 
 
sdjn/dharmaprimapustaka/210922
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar