Terkadang kita suka membandingkan kehidupan
kita sekarang dengan kehidupan kita pada masa silam. Ternyata waktu telah
berlari sedemikian kencangnya, pun perubahan berlangsung sebegitu cepatnya.
Jika kita meneropong kembali ke keadaan masa lalu, bukanlah maksudnya kita
ingin kembali ke zaman yang telah berlalu, tetapi kita membandingkannya untuk
merenungkan sisi baik dan buruknya. Apa yang baik kita pertahankan dan mana
yang buruk kita buang jauh-jauh.
Penulis berasal dari generasi baby boomers atau diindonesiakan sebagai
generasi "ledakan kelahiran", yakni mereka yang lahir setelah Perang
Dunia kedua, atau diantara tahun 1946 hingga 1964. Penulis dibesarkan dalam
keluarga kelas menengah di sebuah kota kecil. Penggambaran dalam tulisan ini
menceritakan apa saja yang telah berubah dalam rentang lima puluh tahun
terakhir ini.
Penulis ingin memulainya dengan menceritakan
latar belakang keluarga. Kami bersaudara lima orang, jadi mirip dengan yang
terjadi pada banyak keluarga pada masa itu. Bukan hal yang aneh jika ada cukup
banyak keluarga yang memiliki lebih dari lima orang anak. Demikian pula yang
terjadi dengan generasi ayah dan ibu kami, yang membuat kami memiliki saudara
sepupu yang cukup banyak. Dengan bersaudara lima orang dan memiliki beda usia
hingga belasan tahun, anak sulung bisa turut membantu orang tuanya membesarkan
si bungsu. Sekarang kita lihat berapa jumlah anak yang dimiliki oleh para baby boomers. Mereka umumnya hanya
memiliki satu atau dua orang anak, dan paling banyak tiga orang saja.
Mengapa para baby boomers enggan memiliki banyak anak? Generasi penulis tidak
sama dengan generasi sebelumnya. Kami tidak ingin punya banyak anak karena
membesarkan anak memerlukan biaya yang cukup besar. Memberi mereka makan
mungkin kami mampu, tetapi perlu perjuangan untuk membekalkan mereka pendidikan
yang baik. Ini alasan yang cukup mengherankan. Generasi terdahulu memiliki
banyak anak dan mereka optimistis masa depan anak-anak mereka akan baik-baik
saja, tetapi generasi kami tidak seperti itu. Ini adalah paradoks zaman kita.
Dahulu hanya ayah kami yang bekerja dengan ibu yang banyak diam di rumah dan
mengurus rumah tangga, tetapi keduanya mampu membesarkan banyak anak. Sekarang
kami suami-isteri membanting tulang sepanjang hari, tetapi membesarkan dua
orang anak saja sudah setengah mati.
Pada pasangan baby boomers yang kedua-duanya bekerja di luar rumah, waktu
kebersamaan dengan anak-anak mereka terbatas. Ayah dan ibu sering harus
berangkat pagi-pagi ke tempat kerja dan baru kembali setelah malam tiba. Bukan
hal yang ganjil anak-anak baru bertemu dengan kedua orangtuanya pada akhir
pekan. Generasi kami selalu disambut ibu sewaktu kami pulang sekolah dan kami
bersantap siang bersama-sama. Di malam hari seluruh anggota keluarga beserta
ayah menikmati makan malam bersama. Jadi hubungan kekeluargaan lebih guyub di
masa silam dibandingkan dengan yang terjadi pada generasi sekarang.
Walaupun banyak waktu yang kami curahkan guna
menuntut ilmu, pada masa itu pun kami mesti membantu orang tua menyelesaikan
pekerjaan di rumah. Turut membersihkan rumah, menyediakan air mandi, menyapu
halaman, membantu pekerjaan di dapur, dan banyak lagi, Pada masa itu tidak
semua keluarga mampu membeli perlengkapan modern seperti lemari es, kompor gas,
mesin cuci, pompa air, setrika-listrik, televisi, dan barang elektronik
lainnya. Jika kita membandingkannya dengan keadaan sekarang, barang-barang yang
disebutkan di atas relatif masih terjangkau oleh banyak keluarga dan
ketersediaannya di pasar cukup banyak.
Dengan adanya piranti modern pekerjaan di
rumah maupun di tempat kerja bisa dilakukan lebih mudah, lebih cepat, dan lebih
bagus kualitasnya. Kita bisa memanfaatkan kelebihan waktunya untuk mengerjakan
hal-hal lain yang lebih produktif. Waktu senggang pun menjadi lebih lama dan
hidup kita semakin dipermudah. Tetapi apakah kehidupan modern menjanjikan
segalanya menjadi lebih nyaman? Karena semua kebutuhan manusia ditopang oleh
ekonomi produksi yang memaksimalkan keuntungan, orang cenderung mengeksploitasi
sumber daya alam habis-habisan demi mengejar kenyamanan hidup. Sebagai
contohnya, kira-kira lima puluh tahun yang lalu masyarakat menggunakan bahan
kemasan berupa daun pisang, kertas, atau karton untuk membungkus barang. Jika
hendak membeli makanan-jadi, mereka telah menyiapkan dari rumah wadah yang
berbentuk rantang-bersusun. Lama kelamaan aneka kemasan berbahan plastik
menggantikan kemasan tradisional, yang penggunaannya makin masif dari hari ke
hari. Dewasa ini semua negara kewalahan menangani limbah kemasan plastik, yang
tidak terkendali, bahkan hingga mengotori palung samudera. Ternyata melulu
mengejar kepraktisan, justru menciptakan masalah baru yang serius.
Salah satu ciri modernitas adalah mobilitas
manusia dan barang meningkat secara drastis. Dekade 60-an ketika penulis masih
duduk di bangku sekolah dasar, kami pulang-pergi ke sekolah cukup berjalan
kaki. Ada beberapa rekan yang rumahnya cukup jauh memanfaatkan sepeda ke
sekolah, dan hanya segelintir yang diantar-jemput dengan kendaraan bermotor.
Sekarang di Jakarta siswa-siswa sekolah dasar dan menengah terutama di sekolah
favorit, para muridnya di diantar-jemput dengan mobil, sehingga membuat
keruwetan dan kemacetan lalu lintas pada saat masuk dan pulang sekolah. Pemanjaan
ini justru membuat para siswa kurang bergerak jika dibandingkan dengan orang
dari generasi sebelumnya; serta masyarakat perkotaan cenderung malas berjalan
kaki, sehingga mencetuskan problem kesehatan. Di sisi lain banyak kemajuan
terjadi terutama pada dua puluh tahun terakhir ini berkaitan dengan mobilitas
orang. Sekarang sarana transportasi jauh lebih baik dibandingkan masa lalu, dan
bepergian dengan pesawat ke mancanegara pun lebih terjangkau untuk sebagian
masyarakat kita.
Sekarang kita melirik sebentar ke dunia
pendidikan. Sewaktu penulis masih duduk di sekolah rakyat, kalau tidak salah di
kelas 2 atau 3, ada mata pelajaran menulis-halus. Siswa harus menyiapkan buku
tulis, tangkai dan mata-pena, serta sebotol tinta cair. Memang ini perangkat jadul yang akan ditertawakan oleh anak
zaman sekarang. Mencelupkan mata-pena haruslah hati-hati agar tinta tidak beloboran, yang akan mengotori dan
merusak kerja keras kita. Entahlah penulis tidak tahu, apakah siswa SD masih
diajari keterampilan ini. Di sisi lain, pada saat pandemi masih berlangsung,
penulis dibuat takjub melihat para siswa sekolah dasar dan menengah melakukan
pembelajaran jarak jauh. Dengan hanya berbekal sebuah telepon-pintar di rumah,
mereka dengan patuh mengikuti instruksi gurunya mengerjakan PR. Sungguh satu
metode belajar-mengajar yang tak-terbayangkan ketika penulis masih bocah dulu.
Dengan adanya internet dunia pendidikanlah yang mendapatkan manfaat terbesar.
Sebagai contohnya, dengan adanya kanal youtube
di jagad-maya, pelajaran keterampilan tertentu dengan mudah dipelajari oleh
siapa pun di berbagai belahan dunia ini.
Sekarang bagaimana kondisi kesehatan
masyarakat pada waktu itu? Dulu di era 50-an atau 60-an relatif hanya penyakit
influenza atau penyakit infeksi yang banyak diderita oleh masyarakat Indonesia.
Penyakit yang cukup sering diderita hanya sekedar masuk angin, yang cukup
diobati dengan kerokan dan tubuh
dibaluri minyak gosok. Penyakit yang cukup serius pada saat itu adalah mati badan sebelah (sekarang dinamakan stroke) atau terkena angin duduk (serangan jantung). Kedua
penyakit yang disebutkan terakhir biasanya berakibat fatal dan penderita
langsung meninggal dunia. Demikian juga jika terjadi gagal ginjal, pasien sulit
ditolong karena fasilitas kesehatan yang masih terbatas. Lain dengan kondisi
sekarang, penderita masih bisa melakukan cuci darah secara berkala. Dewasa ini
pelayanan kesehatan dan tenaga medis sudah lebih banyak dan fasilitasnya sudah
modern. Lalu apakah orang sakit lebih mudah mendapatkan bantuan? Nyatanya
tidak. Sekali terkena penyakit serius, biaya pengobatannya bisa mahal sekali.
Beruntunglah jika pasien memiliki asuransi kesehatan. Sekarang memang ada
asuransi kesehatan yang diinisiasi oleh Pemerintah, tetapi cakupan
pertanggungannya belum dirasa memuaskan oleh sebagian kalangan masyarakat.
Membicarakan kehidupan modern tentulah tidak
afdol jika tidak melihat perkembangan budaya di masyarakat kita. Dari masa
kemerdekaan hingga tahun 1965 masyarakat Indonesia boleh dikatakan tertutup.
Tetapi sejak masa Orde Baru kita mulai membuka diri sedikit demi sedikit.
Semenjak itu pula pengaruh budaya asing mulai memasuki dan mempengaruhi
kehidupan kita. Contoh yang paling kentara terjadi di dunia kuliner nasional.
Sampai masa penulis memasuki sekolah menengah atas, menu makanan sehari-hari
yang ditemui paling banter masakan tradisional dan daerah, chinese food, dan kuliner-belanda peninggalan zaman kolonial yang
dimasak ibu di rumah. Satu hari menjelang pertengahan dekade 80-an, seorang
rekan kerja mengundang penulis untuk makan siang di sebuah restoran cepat-saji
yang berasal dari Amerika. Hidangan khas di sini adalah ayam goreng dimakan
bersama kentang goreng dan seporsi nasi putih. Sungguh mati, baru kali itu
penulis makan kentang goreng putih berbentuk balok yang dicocol dengan sambal
botol dan saus tomat. Ayam gorengnya berukuran besar berbalut tepung, sangat
lezat karena terasa renyah di luar dan lembut-berair di dalamnya. Selesai makan
masih disediakan minuman dingin bersoda, yang membuat santap siang itu terasa
nikmat dan nendang. Kemudian secara
berangsur-angsur restoran cepat saji mulai membanjiri area niaga dan pusat
perbelanjaan di kota-kota besar. Bukan saja makanan yang berasal dari Amerika,
tetapi ada juga yang didatangkan dari Jepang, Korea, dan negara-negara lainnya.
Inilah trend yang dinamakan
globalisasi, yakni proses mendunianya satu hal sehingga batas antar negara
menjadi hilang. Apakah globalisasi itu baik bagi kita? Tentu ada segi baiknya
dan sisi buruknya. Kita ambil hal buruknya, seperti pada hidangan ayam goreng
tadi. Ternyata santapan itu memiliki kandungan karbohidrat dan lemak tinggi
serta miskin serat. Jika terlalu sering dikonsumsi bisa menimbulkan kegemukan.
Justru hidangan tradisional kita seperti nasi merah, sayur asem, lalapan,
sambal, dan lauk tahu-tempe memiliki kandungan gizi yang seimbang. Inilah yang
dinamakan kearifan lokal!
Selanjutnya bagaimana dengan kehidupan
beragama sekarang ini dibandingkan setengah abad yang lalu? Tentu saja ini
berkaitan dengan kehidupan beragama umat Buddha dan Konghucu. Dengan latar
belakang keluarga minoritas Tionghoa, penulis dibesarkan dalam suasana tradisi
leluhur. Hingga lulus sekolah menengah atas penulis hanya mengikuti upacara
persembahyangan yang dilakukan secara berkala, tanpa memiliki pengertian
tentang makna dibalik ritual keagamaan itu. Barulah setelah duduk di perguruan
tinggi, penulis berkesempatan mempelajari agama Buddha lewat mata kuliah dasar
umum, serta mencarinya sendiri dari buku-buku di perpustakaan. Jika boleh
membandingkan perkembangan agama Buddha dan Tridharma dalam rentang waktu 45
tahun ini, keadaan sekarang sudah jauh lebih maju dibandingkan masa itu. Rumah
ibadah semakin banyak dan tersebar, jumlah pemuka agama dan dharmaduta naik
secara signifikan, umat yang menghadiri upacara keagamaan bertambah bahkan
membludak pada hari raya keagamaan, guru agama yang memiliki pendidikan
akademis di bidangnya sudah banyak walaupun tetap belum mencukupi, kelas dharma
dan retret meditasi sudah diprogram dan dilaksanakan secara terstruktur, serta
masih banyak lagi. Tetapi pertanyaannya, apakah kehidupan religius kita lebih
baik sekarang dibandingkan setengah abad yang lalu? Dari pengalaman penulis
selama ini, banyak anak muda dari kalangan kita justru acuh tak acuh terhadap
aktivitas keagamaan. Semoga pandangan subyektif ini tidak sepenuhnya benar.
Demikianlah sedikit pemaparan mengenal
perbedaan hidup sekarang dan hidup tempo dulu. Sekecil apa pun, banyak kearifan
yang telah ditunjukkan oleh generasi terdahulu dan nenek moyang kita. Namun
modernisasi, globalisasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah
merambah kehidupan kita secara menyeluruh. Ini adalah satu keniscayaan. Bagi
mereka yang masih menginginkan kehidupan masa silam tentu tidak bisa
menjalaninya di daerah perkotaan. Mungkin mereka bisa merasakannya jika memilih
untuk hidup di daerah terpencil. Bagaimana pun itu adalah mimpi segelintir
orang yang masih menginginkan romantisme masa silam. Apa pun pilihan mereka
kita harus mengapresiasinya,
sdjn/dharmaprimapustaka/210922
Tidak ada komentar:
Posting Komentar