Kamis, 23 September 2021

KEHIDUPAN ZAMAN DAHULU DAN SEKARANG


 
Terkadang kita suka membandingkan kehidupan kita sekarang dengan kehidupan kita pada masa silam. Ternyata waktu telah berlari sedemikian kencangnya, pun perubahan berlangsung sebegitu cepatnya. Jika kita meneropong kembali ke keadaan masa lalu, bukanlah maksudnya kita ingin kembali ke zaman yang telah berlalu, tetapi kita membandingkannya untuk merenungkan sisi baik dan buruknya. Apa yang baik kita pertahankan dan mana yang buruk kita buang jauh-jauh.
 
Penulis berasal dari generasi baby boomers atau diindonesiakan sebagai generasi "ledakan kelahiran", yakni mereka yang lahir setelah Perang Dunia kedua, atau diantara tahun 1946 hingga 1964. Penulis dibesarkan dalam keluarga kelas menengah di sebuah kota kecil. Penggambaran dalam tulisan ini menceritakan apa saja yang telah berubah dalam rentang lima puluh tahun terakhir ini.
 
Penulis ingin memulainya dengan menceritakan latar belakang keluarga. Kami bersaudara lima orang, jadi mirip dengan yang terjadi pada banyak keluarga pada masa itu. Bukan hal yang aneh jika ada cukup banyak keluarga yang memiliki lebih dari lima orang anak. Demikian pula yang terjadi dengan generasi ayah dan ibu kami, yang membuat kami memiliki saudara sepupu yang cukup banyak. Dengan bersaudara lima orang dan memiliki beda usia hingga belasan tahun, anak sulung bisa turut membantu orang tuanya membesarkan si bungsu. Sekarang kita lihat berapa jumlah anak yang dimiliki oleh para baby boomers. Mereka umumnya hanya memiliki satu atau dua orang anak, dan paling banyak tiga orang saja.
 
Mengapa para baby boomers enggan memiliki banyak anak? Generasi penulis tidak sama dengan generasi sebelumnya. Kami tidak ingin punya banyak anak karena membesarkan anak memerlukan biaya yang cukup besar. Memberi mereka makan mungkin kami mampu, tetapi perlu perjuangan untuk membekalkan mereka pendidikan yang baik. Ini alasan yang cukup mengherankan. Generasi terdahulu memiliki banyak anak dan mereka optimistis masa depan anak-anak mereka akan baik-baik saja, tetapi generasi kami tidak seperti itu. Ini adalah paradoks zaman kita. Dahulu hanya ayah kami yang bekerja dengan ibu yang banyak diam di rumah dan mengurus rumah tangga, tetapi keduanya mampu membesarkan banyak anak. Sekarang kami suami-isteri membanting tulang sepanjang hari, tetapi membesarkan dua orang anak saja sudah setengah mati.
 
Pada pasangan baby boomers yang kedua-duanya bekerja di luar rumah, waktu kebersamaan dengan anak-anak mereka terbatas. Ayah dan ibu sering harus berangkat pagi-pagi ke tempat kerja dan baru kembali setelah malam tiba. Bukan hal yang ganjil anak-anak baru bertemu dengan kedua orangtuanya pada akhir pekan. Generasi kami selalu disambut ibu sewaktu kami pulang sekolah dan kami bersantap siang bersama-sama. Di malam hari seluruh anggota keluarga beserta ayah menikmati makan malam bersama. Jadi hubungan kekeluargaan lebih guyub di masa silam dibandingkan dengan yang terjadi pada generasi sekarang.
 
Walaupun banyak waktu yang kami curahkan guna menuntut ilmu, pada masa itu pun kami mesti membantu orang tua menyelesaikan pekerjaan di rumah. Turut membersihkan rumah, menyediakan air mandi, menyapu halaman, membantu pekerjaan di dapur, dan banyak lagi, Pada masa itu tidak semua keluarga mampu membeli perlengkapan modern seperti lemari es, kompor gas, mesin cuci, pompa air, setrika-listrik, televisi, dan barang elektronik lainnya. Jika kita membandingkannya dengan keadaan sekarang, barang-barang yang disebutkan di atas relatif masih terjangkau oleh banyak keluarga dan ketersediaannya di pasar cukup banyak.
 
Dengan adanya piranti modern pekerjaan di rumah maupun di tempat kerja bisa dilakukan lebih mudah, lebih cepat, dan lebih bagus kualitasnya. Kita bisa memanfaatkan kelebihan waktunya untuk mengerjakan hal-hal lain yang lebih produktif. Waktu senggang pun menjadi lebih lama dan hidup kita semakin dipermudah. Tetapi apakah kehidupan modern menjanjikan segalanya menjadi lebih nyaman? Karena semua kebutuhan manusia ditopang oleh ekonomi produksi yang memaksimalkan keuntungan, orang cenderung mengeksploitasi sumber daya alam habis-habisan demi mengejar kenyamanan hidup. Sebagai contohnya, kira-kira lima puluh tahun yang lalu masyarakat menggunakan bahan kemasan berupa daun pisang, kertas, atau karton untuk membungkus barang. Jika hendak membeli makanan-jadi, mereka telah menyiapkan dari rumah wadah yang berbentuk rantang-bersusun. Lama kelamaan aneka kemasan berbahan plastik menggantikan kemasan tradisional, yang penggunaannya makin masif dari hari ke hari. Dewasa ini semua negara kewalahan menangani limbah kemasan plastik, yang tidak terkendali, bahkan hingga mengotori palung samudera. Ternyata melulu mengejar kepraktisan, justru menciptakan masalah baru yang serius.
 
Salah satu ciri modernitas adalah mobilitas manusia dan barang meningkat secara drastis. Dekade 60-an ketika penulis masih duduk di bangku sekolah dasar, kami pulang-pergi ke sekolah cukup berjalan kaki. Ada beberapa rekan yang rumahnya cukup jauh memanfaatkan sepeda ke sekolah, dan hanya segelintir yang diantar-jemput dengan kendaraan bermotor. Sekarang di Jakarta siswa-siswa sekolah dasar dan menengah terutama di sekolah favorit, para muridnya di diantar-jemput dengan mobil, sehingga membuat keruwetan dan kemacetan lalu lintas pada saat masuk dan pulang sekolah. Pemanjaan ini justru membuat para siswa kurang bergerak jika dibandingkan dengan orang dari generasi sebelumnya; serta masyarakat perkotaan cenderung malas berjalan kaki, sehingga mencetuskan problem kesehatan. Di sisi lain banyak kemajuan terjadi terutama pada dua puluh tahun terakhir ini berkaitan dengan mobilitas orang. Sekarang sarana transportasi jauh lebih baik dibandingkan masa lalu, dan bepergian dengan pesawat ke mancanegara pun lebih terjangkau untuk sebagian masyarakat kita.
 
Sekarang kita melirik sebentar ke dunia pendidikan. Sewaktu penulis masih duduk di sekolah rakyat, kalau tidak salah di kelas 2 atau 3, ada mata pelajaran menulis-halus. Siswa harus menyiapkan buku tulis, tangkai dan mata-pena, serta sebotol tinta cair. Memang ini perangkat jadul yang akan ditertawakan oleh anak zaman sekarang. Mencelupkan mata-pena haruslah hati-hati agar tinta tidak beloboran, yang akan mengotori dan merusak kerja keras kita. Entahlah penulis tidak tahu, apakah siswa SD masih diajari keterampilan ini. Di sisi lain, pada saat pandemi masih berlangsung, penulis dibuat takjub melihat para siswa sekolah dasar dan menengah melakukan pembelajaran jarak jauh. Dengan hanya berbekal sebuah telepon-pintar di rumah, mereka dengan patuh mengikuti instruksi gurunya mengerjakan PR. Sungguh satu metode belajar-mengajar yang tak-terbayangkan ketika penulis masih bocah dulu. Dengan adanya internet dunia pendidikanlah yang mendapatkan manfaat terbesar. Sebagai contohnya, dengan adanya kanal youtube di jagad-maya, pelajaran keterampilan tertentu dengan mudah dipelajari oleh siapa pun di berbagai belahan dunia ini.
 
Sekarang bagaimana kondisi kesehatan masyarakat pada waktu itu? Dulu di era 50-an atau 60-an relatif hanya penyakit influenza atau penyakit infeksi yang banyak diderita oleh masyarakat Indonesia. Penyakit yang cukup sering diderita hanya sekedar masuk angin, yang cukup diobati dengan kerokan dan tubuh dibaluri minyak gosok. Penyakit yang cukup serius pada saat itu adalah mati badan sebelah (sekarang dinamakan stroke) atau terkena angin duduk (serangan jantung). Kedua penyakit yang disebutkan terakhir biasanya berakibat fatal dan penderita langsung meninggal dunia. Demikian juga jika terjadi gagal ginjal, pasien sulit ditolong karena fasilitas kesehatan yang masih terbatas. Lain dengan kondisi sekarang, penderita masih bisa melakukan cuci darah secara berkala. Dewasa ini pelayanan kesehatan dan tenaga medis sudah lebih banyak dan fasilitasnya sudah modern. Lalu apakah orang sakit lebih mudah mendapatkan bantuan? Nyatanya tidak. Sekali terkena penyakit serius, biaya pengobatannya bisa mahal sekali. Beruntunglah jika pasien memiliki asuransi kesehatan. Sekarang memang ada asuransi kesehatan yang diinisiasi oleh Pemerintah, tetapi cakupan pertanggungannya belum dirasa memuaskan oleh sebagian kalangan masyarakat.
 
Membicarakan kehidupan modern tentulah tidak afdol jika tidak melihat perkembangan budaya di masyarakat kita. Dari masa kemerdekaan hingga tahun 1965 masyarakat Indonesia boleh dikatakan tertutup. Tetapi sejak masa Orde Baru kita mulai membuka diri sedikit demi sedikit. Semenjak itu pula pengaruh budaya asing mulai memasuki dan mempengaruhi kehidupan kita. Contoh yang paling kentara terjadi di dunia kuliner nasional. Sampai masa penulis memasuki sekolah menengah atas, menu makanan sehari-hari yang ditemui paling banter masakan tradisional dan daerah, chinese food, dan kuliner-belanda peninggalan zaman kolonial yang dimasak ibu di rumah. Satu hari menjelang pertengahan dekade 80-an, seorang rekan kerja mengundang penulis untuk makan siang di sebuah restoran cepat-saji yang berasal dari Amerika. Hidangan khas di sini adalah ayam goreng dimakan bersama kentang goreng dan seporsi nasi putih. Sungguh mati, baru kali itu penulis makan kentang goreng putih berbentuk balok yang dicocol dengan sambal botol dan saus tomat. Ayam gorengnya berukuran besar berbalut tepung, sangat lezat karena terasa renyah di luar dan lembut-berair di dalamnya. Selesai makan masih disediakan minuman dingin bersoda, yang membuat santap siang itu terasa nikmat dan nendang. Kemudian secara berangsur-angsur restoran cepat saji mulai membanjiri area niaga dan pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Bukan saja makanan yang berasal dari Amerika, tetapi ada juga yang didatangkan dari Jepang, Korea, dan negara-negara lainnya. Inilah trend yang dinamakan globalisasi, yakni proses mendunianya satu hal sehingga batas antar negara menjadi hilang. Apakah globalisasi itu baik bagi kita? Tentu ada segi baiknya dan sisi buruknya. Kita ambil hal buruknya, seperti pada hidangan ayam goreng tadi. Ternyata santapan itu memiliki kandungan karbohidrat dan lemak tinggi serta miskin serat. Jika terlalu sering dikonsumsi bisa menimbulkan kegemukan. Justru hidangan tradisional kita seperti nasi merah, sayur asem, lalapan, sambal, dan lauk tahu-tempe memiliki kandungan gizi yang seimbang. Inilah yang dinamakan kearifan lokal!
 
Selanjutnya bagaimana dengan kehidupan beragama sekarang ini dibandingkan setengah abad yang lalu? Tentu saja ini berkaitan dengan kehidupan beragama umat Buddha dan Konghucu. Dengan latar belakang keluarga minoritas Tionghoa, penulis dibesarkan dalam suasana tradisi leluhur. Hingga lulus sekolah menengah atas penulis hanya mengikuti upacara persembahyangan yang dilakukan secara berkala, tanpa memiliki pengertian tentang makna dibalik ritual keagamaan itu. Barulah setelah duduk di perguruan tinggi, penulis berkesempatan mempelajari agama Buddha lewat mata kuliah dasar umum, serta mencarinya sendiri dari buku-buku di perpustakaan. Jika boleh membandingkan perkembangan agama Buddha dan Tridharma dalam rentang waktu 45 tahun ini, keadaan sekarang sudah jauh lebih maju dibandingkan masa itu. Rumah ibadah semakin banyak dan tersebar, jumlah pemuka agama dan dharmaduta naik secara signifikan, umat yang menghadiri upacara keagamaan bertambah bahkan membludak pada hari raya keagamaan, guru agama yang memiliki pendidikan akademis di bidangnya sudah banyak walaupun tetap belum mencukupi, kelas dharma dan retret meditasi sudah diprogram dan dilaksanakan secara terstruktur, serta masih banyak lagi. Tetapi pertanyaannya, apakah kehidupan religius kita lebih baik sekarang dibandingkan setengah abad yang lalu? Dari pengalaman penulis selama ini, banyak anak muda dari kalangan kita justru acuh tak acuh terhadap aktivitas keagamaan. Semoga pandangan subyektif ini tidak sepenuhnya benar.
 
Demikianlah sedikit pemaparan mengenal perbedaan hidup sekarang dan hidup tempo dulu. Sekecil apa pun, banyak kearifan yang telah ditunjukkan oleh generasi terdahulu dan nenek moyang kita. Namun modernisasi, globalisasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah merambah kehidupan kita secara menyeluruh. Ini adalah satu keniscayaan. Bagi mereka yang masih menginginkan kehidupan masa silam tentu tidak bisa menjalaninya di daerah perkotaan. Mungkin mereka bisa merasakannya jika memilih untuk hidup di daerah terpencil. Bagaimana pun itu adalah mimpi segelintir orang yang masih menginginkan romantisme masa silam. Apa pun pilihan mereka kita harus mengapresiasinya,
 
 
sdjn/dharmaprimapustaka/210922
 

Jumat, 10 September 2021

KEN AROK DAN KEN DEDES


 

Mereka yang pernah belajar Sejarah Nusantara di bangku sekolah pasti mengenal riwayat Kerajaan Majapahit, yang pada masa jayanya pernah menguasai sebagian wilayah yang kelak menjadi cikal bakal Indonesia. Tetapi apakah Anda tahu bahwa raja atau ratu Majapahit memiliki leluhur dari dinasti sebelumnya? Ya benar, Dinasti Tumapel (atau Singasari) yang merupakan pendahulunya akan menurunkan penguasa Dinasti Majapahit. Agama rakyat pada masa itu adalah Sinkretisme Hindu-Buddha, dengan penekanan pada pemujaan terhadap Shiva dan banyak dipengaruhi oleh ajaran Buddha-Tantrayana.

 

Dinasti Tumapel didirikan oleh Ken Arok atau Ranggah Rajasa, mungkin juga pernah didengar oleh Anda sekalian. Riwayat hidup Ken Arok atau Ken Angrok didapat dari Serat Pararaton, satu kepustakaan berbahasa Jawa Kawi, dan diperkirakan ditulis antara tahun 1481 hingga 1600. Tidak diketahui siapa penulis Pararaton, tetapi dari sub-judul kitab ini yang bertuliskan "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok" (artinya "Kitab Raja-raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok"), penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok mendominasi naskah kuno ini. Atas jasa Jan Laurens Brandes, naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda pada 1897, dengan judul Pararaton (Ken Arok) Het Boek Der Koningen van Tumapel en van Madjapahit, Uitgegeven en Toegelicht.

 

Kitab Pararaton dibuka dengan menceritakan tokoh kita ini dalam satu kehidupannya yang lampau. Dikisahkan bagaimana orang ini berlaku tidak baik sampai ia bertemu dengan seorang petapa yang bernama Pu Tapawangkeng. Tokoh kita ini bertekad untuk dilahirkan-kembali menjadi orang yang terkemuka kelak. Demi mencapai cita-citanya ia rela dijadikan kurban persembahan (yadnya) sang petapa, kepada Yamadipati atau dewa penjaga pintu dunia bawah.

 

Demikianlah ketika tekad itu sudah saatnya membuahkan pahala, Batara Brahma mencari seorang perempuan muda yang subur. Di desa Pangkur ada sepasang pengantin baru, dengan yang lelaki bernama Gajah Para dan yang perempuan dipanggil Ken Endok (sebutan "Gajah", "Lembu", atau "Kebo" pada zaman itu adalah panggilan kehormatan, bahwa orang itu berasal dari strata atas atau kaum bangsawan). Batara Brahma yang tak-terlihat melakukan perkawinan dengan Ken Endok, dan berpesan pada perempuan itu bahwa anak yang akan dilahirkan kelak adalah puteranya. Segera setelah kejadian gaib itu suami isteri itu bercerai, dan Gajah Para pulang ke Campara. Belum sampai lima hari kemudian ia telah meninggal. Berkomentarlah orang banyak: "Alangkah panasnya anak yang berada di dalam kandungan itu. Belum sampai lima hari ayahnya telah meninggal dunia."

 

Setelah usia kandungannya cukup, Ken Endok melahirkan seorang bayi laki-laki yang dinamakan Ken Arok. Tidak mampu memelihara anak karena miskin, bayi yang masih merah itu dibuang oleh ibunya ke kuburan. Adalah seorang pencuri, yang bernama Lembong, yang kebetulan melewati kuburan itu. Dia melihat seberkas cahaya dan memdengar suara anak kecil menangis. maka didekatimya tempat itu, dan didapatinya bayi itu. Lalu bayi lelaki itu digendong, dibawanya pulang, dan diangkat sebagai anaknya sendiri.

 

Karena diangkat anak oleh Lembong, Ken Arok pun sejak kecil tumbuh menjadi berandalan. Sesudah tumbuh besar Ken Arok meninggalkan Lembong dan ia diangkat anak oleh Bango Samparan, seorang penjudi di Karuman, setelah sang penjudi mendapat wangsit dari para dewa. Pada saat menemukan Ken Arok, Bango Samparan sudah bangkrut karena kalah terus, tetapi nasib berubah seratus delapan puluh derajat sejak ia membawa anak angkatnya ke tempat perjudian. Sekarang seluruh harta kekayaannya telah kembali dan ia bertambah sayang kepada Ken Arok. Belakangan Ken Arok belajar baca-tulis bahasa Jawa Kuno dan juga tentang candra-sangkala di padepokan seorang pandita di Sagenggang. Tidak itu saja, Ken Arok sempat dipungut anak oleh Pu Palot, seorang pandai emas, yang menurunkan ilmunya kepada anak angkatnya.

 

Karena wataknya yang tidak baik, Ken Arok sering berseteru dengan penduduk setempat ketika ia melakukan pengembaraan. Dalam Pararaton disebutkan dua sampai tiga kali dia diselamatkan dari bahaya yang mengancam nyawanya. Seperti yang terjadi di Gunung Kryar Lejar, tempat para dewa berkumpul dan Batara Guru mengatakan bahwa Ken Arok adalah puteranya, dan dia telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.

 

Jauh di Jambudvipa atau di Tanah India ada seorang brahmana yang dipanggil Danghyang Lohgawe, yang biasa memuja Dewa Vishnu. Pada satu kesempatan dalam penerawangannya, ia mendengar bisikan: "Wahai brahmana, hentikanlah pemujaan kepada arca dewa. Aku tak ada di sini, aku menjelma jadi manusia di Tanah Jawa. Adalah anak yang bertangan panjang, lututnya besar, telapak tangan kanannya bergambar roda, yang kiri bergambar kerang, yang bernama Ken Arok. Carilah dia di tempat perjudian. Singkat cerita sampailah Sang Brahmana di Desa Taloka dan di sana pada satu tempat orang mencari peruntungan, nampak seseorang yang mirip dalam petunjuk yang diberikan oleh dewa. Lalu berkatalah Lohgawe, "agaknya engkaulah Ken Arok, seperti yang muncul dalam penerawangan saya." Ken Arok menjawab, "benar, Tuan. ananda bernama Ken Arok." Dipeluklah pemuda itu oleh Sang Brahmana. "Saya angkat engkau sebagai anakku, saya bantu dalam kesukaran, saya pelihara kemana pun engkau pergi."

 

Selanjutnya Ken Arok dan ayah angkatnya pergi dari Taloka ke Tumapel, sebuah wilayah otonom yang berada di bawah Kerajaan Daha. Sesampainya di sana keduanya berkesempatan untuk bertemu dengan Akuwu dari Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Sang Brahmana disambut dengan baik oleh Sang Akuwu dan diminta agar ayah dan anak angkat tinggal di Tumapel, serta permintaan agar Ken Arok dapat menghamba kepada Sang Akuwu juga diterima dengan senang hati. Mulai hari itu Ken Arok menjadi pengawal Tunggul Ametung dan mengabdikan diri cukup lama.

 

Tersebutlah ada seorang pandita bernama Pu Purwa yang memeluk agama Buddha Mahayana di Desa Panawijen, dan di sebidang lahan pertanian di sana ia membangun sebuah tempat pertapaan. Sebelum menjadi pandita ia memiliki seorang puteri, dan anak gadis ini sekarang sudah dewasa bernama Ken Dedes. Anak ini sangat cantik, tidak ada yang bisa menandinginya, sehingga ia terkenal dari timur Gunung Kawi hingga ke Tumapel. Terdengarlah kabar tentang keistimewaan gadis itu, lalu Tunggul Ametung berkunjung ke Panawijen, dan sangat tertariklah sang akuwu kepadanya. Karena saat itu ayahnya sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu. Namun sang akuwu tidak kuasa menahan diri, Ken Dedes pun dibawanya pulang dengan paksa ke Tumapel untuk dinikahi. Ketika Pu Purwa pulang ia murka mendapati puterinya telah dilarikan orang dan ia pun mengutuk: "Hai orang yang melarikan anakku, semoga tidak mengenyam kenikmatan, matilah dia dibunuh dengan keris ... Sedangkan anakku yang telah mempelajari ilmu untuk menerangi dunia, harapanku semoga dia selamat dan besar kebahagiaannya."

 

Sesampainya di Tumapel, Ken Dedes langsung diperisteri oleh Tunggul Ametung. Semakin besarlah kasih sang akuwu ketika mendapati tanda-tanda isterinya telah hamil. Pada suatu hari Tunggul Ametung dan Ken Dedes pergi bertamasya ke Hutan Baboji. Setibanya di taman Ken Dedes turun dari kereta, kebetulan dengan perkenan dewa, kain Ken Dedes tersingkap, sehingga auratnya yang bersinar terlihat oleh Ken Arok yang sedang bertugas mengawalnya. Melihat kecantikannya yang luar biasa, jatuh cintalah Ken Arok, hingga tak tahu harus berbuat apa.

 

Sepulangnya dari sana Ken Arok menemui ayah angkatnya dan bertanya, "Bapak, adalah seorang wanita yang pusatnya mengeluarkan cahaya. Apakah itu penanda baik atau buruk?" "Anakku, jika ada wanita seperti itu, namanya Stri Nariçwari, wanita paling utama. Meskipun orang hina yang mengambil dia sebagai isterinya, maka orang itu akan jadi raja besar. Siapakah dia, anakku?" "Dia adalah isteri dari Akuwu Tumapel. Saya akan membunuhnya dengan keris, pasti matilah dia, jika Bapak mengizinkan." Ayahnya menjawab, "memang Tunggul Ametung akan mati olehmu. Tetapi saya tidak baik jika mengizinkan kehendakmu, bukan perbuatan brahmana, tetapi sekehendakmulah."

 

Gagal mendapat restu dari ayah angkatnya, Ken Arok mengunjungi ayah angkatnya yang lain Bango Samparan di Karuman, dan meminta pendapatnya. Bango Samparan berkata, "saya menyetujui jika engkau mau membunuh sang akuwu dengan keris. Tetapi, anakku, dia itu sakti, mungkin tidak akan terluka ditusuk oleh sembarang keris. Adalah seorang teman saya pandai besi di Lulumbang, bernama Pu Gandring. Keris buatannya sangat ampuh, tak ada orang yang dapat menangkalnya." Setelah mendapat nasihat itu, pergilah Ken Arok ke pandai besi itu. Setelah menemui Pu Gandring, Ken Arok berkata, "buatkanlah saya sebilah keris, hendaknya selesai dalam lima bulan, karena akan segera saya pakai." Si pandai besi menjawab, "janganlah lima bulan kalau ingin baik, sebaiknya satu tahun agar tempaannya bagus." Ken Arok berpesan, "terserah bagaimana tempaannya, asal selesai dalam lima bulan."

 

Demikianlah Ken Arok lama menunggu di Tumapel. Setelah genap lima bulan, teringatlah akan barang pesanannya, dan pergilah ia ke Lulumbang. Ternyata sesampainya di sana keris pesanannya masih ditempa oleh Pu Gandring. Marahlah Ken Arok, direbutnyalah senjata itu dari tangan si pandai besi, dan ditusukkan ke ulu hatinya. Selagi meregang nyawa Pu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok dan anak cucunya akan mati terbunuh oleh keris itu pula. Setelah itu matilah Pu Gandring dan jelas Ken Arok sangat menyesali perbuatannya. Selanjutnya Ken Arok kembali ke Tumapel berbekal keris barunya. Tersebutlah Kebo Hidjo, pengawal kesayangan Tunggul Ametung juga sahabat baik Ken Arok, orang yang suka pamer. Melihat sahabatnya mengenakan keris baru, hatinya terpincut, dan keris itu langsung dipinjamnya dan diselipkan di pinggangnya. Kemana pun ia pergi Kebo Hidjo selalu membawa barang itu, dan orang Tumapel tahu bahwa ia memiliki keris baru. Kemudian keris itu dicuri secara diam-diam oleh Ken Arok, lalu pada satu malam dia mengendap-endap ke kamar tidur sang akuwu, ketika semua orang telah terlelap. Atas pertolongan para dewa, Ken Arok menghampiri Tunggul Ametung yang sedang tidur, lalu ditusuknya sang akuwu tepat di jantungnya oleh keris buatan Pu Gandring. Matilah seketika Tunggul Ametung dan keris itu dibiarkan pada lukanya.

 

Keesokan paginya gemparlah orang-orang Tumapel mendapatkan bahwa sang akuwu telah tewas oleh sebilah keris. Semua orang tahu bahwa keris itu kepunyaan Kebo Hidjo. Lalu Kebo Hidjo ditangkap oleh sanak keluarga dari Tunggul Ametung, dihukum mati dengan ditusuk pula oleh keris Pu Gandring. Selanjutnya dewa-dewa mengatur agar Ken Arok dapat kawin dengan Ken Dedes, dan tidak ada orang Tumapel yang berani menentangnya. Ketika mereka kawin, Ken Dedes sedang hamil anak dari Tunggul Ametung. Kelak setelah kelahirannya, anaknya diberi nama Anusapati.

 

Kitab Pararaton juga  menceritakan keberhasilan Ken Arok menggulingkan Raja Daha yakni Kertajaya pada 1222, dan memerdekakan Tumapel menjadi kerajaan besar yang baru. Ken Arok sendiri kemudian bergelar Sri Amarwabhumi. Kisah kita berlanjut kepada Anusapati, putera Tunggul Ametung. Tidak henti-hentinya ia bertanya kepada pengasuhnya dan ibunya, Ken Dedes. "Apa sebabnya ayahanda ketika melihat kepadaku, berbeda tampaknya dengan saudara-saudara yang lain, apalagi dengan putera-putera ibu muda?" Memang sudah tiba saatnya Sri Amarwabhumi mangkat. "Kalau engkau ingin tahu dan mempercayainya, ayahmu adalah Tunggul Ametung. Waktu itu ibu sedang hamil ketika Sri Amarwabhumi mengambilnya." Anusapati tercengang, "oh, jadi Sri Amarwabhumi bukan ayahku. Bagaimana ibu, cara kematian ayah?" "Sang Amarwabhumi yang membunuhnya. Terdiamlah Ken Dedes, merasa bersalah mengatakan hal yang sebenarnya kepada anaknya. Setelah anaknya merayunya, diberikanlah keris Pu Gandring kepadanya. Maka seperti yang diramalkan oleh sang pandai besi, nasib Ken Arok pun berakhir tragis di tangan putera tirinya. Selanjutnya Anusapati naik tahta meneruskan Dinasti Tumapel. Penulis tidak akan berpanjang-panjang melanjutkan kisah ini.

 

Lalu pelajaran apa yang kita dapatkan dari kisah Ken Arok dan Ken Dedes ini? Bahwasanya untuk menjadi orang besar bukanlah didapat dari untung-untungan dan nasib baik belaka. Diperlukan tekad kuat atau Adhiṭṭhāna yang dirintis dari kehidupan sebelumnya. Selanjutnya keistimewaan merupakan syarat mutlak yang didambakan masyarakat Jawa, yang harus ada dalam diri seorang pemimpin atau leluhurnya. Filsafat Jawa meyakini seorang raja atau permaisuri adalah pilihan Dewa. Pilihan itu ada dalam diri Ken Arok dan Ken Dedes. Marka dan penanda-lahir seperti gambar roda pada telapak tangan serta aurat yang bersinar, sebenarnya mengambil inspirasi marka dan tanda manusia agung seperti yang dimiliki seorang Calon Buddha dan tujuh pusakanya. Dan terakhir hukum tabur-tuai berlaku bagi si pembuat kejahatan: "Barang siapa menabur angin, dia sendiri yang akan menuai badai."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210908