Kamis, 23 September 2021
KEHIDUPAN ZAMAN DAHULU DAN SEKARANG
Jumat, 10 September 2021
KEN AROK DAN KEN DEDES
Mereka yang pernah belajar Sejarah Nusantara
di bangku sekolah pasti mengenal riwayat Kerajaan Majapahit, yang pada masa
jayanya pernah menguasai sebagian wilayah yang kelak menjadi cikal bakal
Indonesia. Tetapi apakah Anda tahu bahwa raja atau ratu Majapahit memiliki
leluhur dari dinasti sebelumnya? Ya benar, Dinasti Tumapel (atau Singasari) yang merupakan
pendahulunya akan menurunkan penguasa Dinasti Majapahit. Agama rakyat pada masa
itu adalah Sinkretisme Hindu-Buddha, dengan penekanan pada pemujaan terhadap
Shiva dan banyak dipengaruhi oleh ajaran Buddha-Tantrayana.
Dinasti Tumapel didirikan oleh
Ken Arok atau Ranggah Rajasa, mungkin juga pernah didengar oleh Anda sekalian.
Riwayat hidup Ken Arok atau Ken Angrok didapat dari Serat Pararaton, satu
kepustakaan berbahasa Jawa Kawi, dan diperkirakan ditulis antara tahun 1481
hingga 1600. Tidak diketahui siapa penulis Pararaton, tetapi dari sub-judul
kitab ini yang bertuliskan "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok"
(artinya "Kitab Raja-raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok"),
penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok mendominasi naskah kuno ini. Atas jasa
Jan Laurens Brandes, naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda pada
1897, dengan judul Pararaton (Ken Arok)
Het Boek Der Koningen van Tumapel en van Madjapahit, Uitgegeven en Toegelicht.
Kitab Pararaton dibuka dengan menceritakan
tokoh kita ini dalam satu kehidupannya yang lampau. Dikisahkan bagaimana orang
ini berlaku tidak baik sampai ia bertemu dengan seorang petapa yang bernama Pu Tapawangkeng.
Tokoh kita ini bertekad untuk dilahirkan-kembali menjadi orang yang terkemuka
kelak. Demi mencapai cita-citanya ia rela dijadikan kurban persembahan (yadnya) sang petapa, kepada
Yamadipati atau dewa penjaga pintu dunia bawah.
Demikianlah ketika tekad itu sudah saatnya
membuahkan pahala, Batara Brahma mencari seorang perempuan muda yang subur. Di
desa Pangkur ada sepasang pengantin baru, dengan yang lelaki bernama Gajah Para
dan yang perempuan dipanggil Ken Endok (sebutan "Gajah",
"Lembu", atau "Kebo" pada zaman itu adalah panggilan
kehormatan, bahwa orang itu berasal dari strata atas atau kaum bangsawan).
Batara Brahma yang tak-terlihat melakukan perkawinan dengan Ken Endok, dan
berpesan pada perempuan itu bahwa anak yang akan dilahirkan kelak adalah
puteranya. Segera setelah kejadian gaib itu suami isteri itu bercerai, dan
Gajah Para pulang ke Campara. Belum sampai lima hari kemudian ia telah
meninggal. Berkomentarlah orang banyak: "Alangkah panasnya anak yang
berada di dalam kandungan itu. Belum sampai lima hari ayahnya telah meninggal
dunia."
Setelah usia kandungannya cukup, Ken Endok
melahirkan seorang bayi laki-laki yang dinamakan Ken Arok. Tidak mampu
memelihara anak karena miskin, bayi yang masih merah itu dibuang oleh ibunya ke
kuburan. Adalah seorang pencuri, yang bernama Lembong, yang kebetulan melewati
kuburan itu. Dia melihat seberkas cahaya dan memdengar suara anak kecil
menangis. maka didekatimya tempat itu, dan didapatinya bayi itu. Lalu bayi
lelaki itu digendong, dibawanya pulang, dan diangkat sebagai anaknya sendiri.
Karena diangkat anak oleh Lembong, Ken Arok
pun sejak kecil tumbuh menjadi berandalan. Sesudah tumbuh besar Ken Arok
meninggalkan Lembong dan ia diangkat anak oleh Bango Samparan, seorang penjudi
di Karuman, setelah sang penjudi mendapat wangsit dari para dewa. Pada saat
menemukan Ken Arok, Bango Samparan sudah bangkrut karena kalah terus, tetapi
nasib berubah seratus delapan puluh derajat sejak ia membawa anak angkatnya ke
tempat perjudian. Sekarang seluruh harta kekayaannya telah kembali dan ia
bertambah sayang kepada Ken Arok. Belakangan Ken Arok belajar baca-tulis bahasa
Jawa Kuno dan juga tentang candra-sangkala di padepokan seorang pandita di
Sagenggang. Tidak itu saja, Ken Arok sempat dipungut anak oleh Pu Palot,
seorang pandai emas, yang menurunkan ilmunya kepada anak angkatnya.
Karena wataknya yang tidak baik, Ken Arok
sering berseteru dengan penduduk setempat ketika ia melakukan pengembaraan.
Dalam Pararaton disebutkan dua sampai tiga kali dia diselamatkan dari bahaya
yang mengancam nyawanya. Seperti yang terjadi di Gunung Kryar Lejar, tempat
para dewa berkumpul dan Batara Guru mengatakan bahwa Ken Arok adalah puteranya,
dan dia telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.
Jauh di Jambudvipa atau di Tanah India ada
seorang brahmana yang dipanggil Danghyang Lohgawe, yang biasa memuja Dewa
Vishnu. Pada satu kesempatan dalam penerawangannya, ia mendengar bisikan:
"Wahai brahmana, hentikanlah pemujaan kepada arca dewa. Aku tak ada di
sini, aku menjelma jadi manusia di Tanah Jawa. Adalah anak yang bertangan
panjang, lututnya besar, telapak tangan kanannya bergambar roda, yang kiri
bergambar kerang, yang bernama Ken Arok. Carilah dia di tempat perjudian.
Singkat cerita sampailah Sang Brahmana di Desa Taloka dan di sana pada satu
tempat orang mencari peruntungan, nampak seseorang yang mirip dalam petunjuk
yang diberikan oleh dewa. Lalu berkatalah Lohgawe, "agaknya engkaulah Ken
Arok, seperti yang muncul dalam penerawangan saya." Ken Arok menjawab,
"benar, Tuan. ananda bernama Ken Arok." Dipeluklah pemuda itu oleh
Sang Brahmana. "Saya angkat engkau sebagai anakku, saya bantu dalam
kesukaran, saya pelihara kemana pun engkau pergi."
Selanjutnya Ken Arok dan ayah angkatnya pergi
dari Taloka ke Tumapel, sebuah wilayah otonom yang berada di bawah Kerajaan
Daha. Sesampainya di sana keduanya berkesempatan untuk bertemu dengan Akuwu
dari Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Sang Brahmana disambut dengan baik
oleh Sang Akuwu dan diminta agar ayah dan anak angkat tinggal di Tumapel, serta
permintaan agar Ken Arok dapat menghamba kepada Sang Akuwu juga diterima dengan
senang hati. Mulai hari itu Ken Arok menjadi pengawal Tunggul Ametung dan
mengabdikan diri cukup lama.
Tersebutlah ada seorang pandita bernama Pu
Purwa yang memeluk agama Buddha Mahayana di Desa Panawijen, dan di sebidang
lahan pertanian di sana ia membangun sebuah tempat pertapaan. Sebelum menjadi
pandita ia memiliki seorang puteri, dan anak gadis ini sekarang sudah dewasa
bernama Ken Dedes. Anak ini sangat cantik, tidak ada yang bisa menandinginya,
sehingga ia terkenal dari timur Gunung Kawi hingga ke Tumapel. Terdengarlah
kabar tentang keistimewaan gadis itu, lalu Tunggul Ametung berkunjung ke
Panawijen, dan sangat tertariklah sang akuwu kepadanya. Karena saat itu ayahnya
sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya
sabar menunggu. Namun sang akuwu tidak kuasa menahan diri, Ken Dedes pun
dibawanya pulang dengan paksa ke Tumapel untuk dinikahi.
Ketika Pu Purwa pulang ia murka mendapati puterinya telah dilarikan
orang dan ia pun mengutuk: "Hai orang yang melarikan anakku, semoga tidak
mengenyam kenikmatan, matilah dia dibunuh dengan keris ... Sedangkan anakku
yang telah mempelajari ilmu untuk menerangi dunia, harapanku semoga dia selamat
dan besar kebahagiaannya."
Sesampainya di Tumapel, Ken Dedes langsung
diperisteri oleh Tunggul Ametung. Semakin besarlah kasih sang akuwu ketika
mendapati tanda-tanda isterinya telah hamil. Pada suatu hari Tunggul
Ametung dan Ken Dedes pergi bertamasya ke Hutan Baboji. Setibanya di taman
Ken Dedes turun dari kereta, kebetulan dengan perkenan dewa, kain Ken Dedes
tersingkap, sehingga auratnya yang bersinar terlihat oleh Ken Arok yang
sedang bertugas mengawalnya. Melihat kecantikannya yang luar biasa, jatuh
cintalah Ken Arok, hingga tak tahu harus berbuat apa.
Sepulangnya dari sana Ken Arok menemui ayah
angkatnya dan bertanya, "Bapak, adalah seorang wanita yang pusatnya
mengeluarkan cahaya. Apakah itu penanda baik atau buruk?" "Anakku,
jika ada wanita seperti itu, namanya Stri
Nariçwari, wanita paling utama. Meskipun orang hina yang mengambil dia
sebagai isterinya, maka orang itu akan jadi raja besar. Siapakah dia,
anakku?" "Dia adalah isteri dari Akuwu Tumapel. Saya akan membunuhnya
dengan keris, pasti matilah dia, jika Bapak mengizinkan." Ayahnya
menjawab, "memang Tunggul Ametung akan mati olehmu. Tetapi saya tidak baik
jika mengizinkan kehendakmu, bukan perbuatan brahmana, tetapi
sekehendakmulah."
Gagal mendapat restu dari ayah
angkatnya, Ken Arok mengunjungi ayah angkatnya yang lain Bango Samparan di
Karuman, dan meminta pendapatnya. Bango Samparan berkata, "saya menyetujui
jika engkau mau membunuh sang akuwu dengan keris. Tetapi, anakku, dia itu
sakti, mungkin tidak akan terluka ditusuk oleh sembarang keris. Adalah seorang teman saya pandai besi di Lulumbang, bernama Pu
Gandring. Keris buatannya sangat ampuh, tak ada orang yang dapat
menangkalnya." Setelah mendapat nasihat itu, pergilah Ken Arok ke pandai
besi itu. Setelah menemui Pu Gandring, Ken Arok berkata, "buatkanlah saya
sebilah keris, hendaknya selesai dalam lima bulan, karena akan segera saya
pakai." Si pandai besi menjawab, "janganlah lima bulan kalau ingin
baik, sebaiknya satu tahun agar tempaannya bagus." Ken Arok berpesan,
"terserah bagaimana tempaannya, asal selesai dalam lima bulan."
Demikianlah Ken Arok lama menunggu di
Tumapel. Setelah genap lima bulan, teringatlah akan barang pesanannya, dan
pergilah ia ke Lulumbang. Ternyata sesampainya di sana keris pesanannya masih
ditempa oleh Pu Gandring. Marahlah Ken Arok, direbutnyalah senjata itu dari
tangan si pandai besi, dan ditusukkan ke ulu hatinya. Selagi meregang nyawa Pu
Gandring mengutuk bahwa Ken Arok dan anak cucunya akan mati terbunuh oleh keris
itu pula. Setelah itu matilah Pu Gandring dan jelas Ken Arok sangat menyesali
perbuatannya. Selanjutnya Ken Arok kembali ke Tumapel berbekal keris barunya.
Tersebutlah Kebo Hidjo, pengawal kesayangan Tunggul Ametung juga sahabat baik
Ken Arok, orang yang suka pamer. Melihat sahabatnya mengenakan keris baru,
hatinya terpincut, dan keris itu langsung dipinjamnya dan diselipkan di
pinggangnya. Kemana pun ia pergi Kebo Hidjo selalu membawa barang itu, dan
orang Tumapel tahu bahwa ia memiliki keris baru. Kemudian keris itu dicuri
secara diam-diam oleh Ken Arok, lalu pada satu malam dia mengendap-endap ke
kamar tidur sang akuwu, ketika semua orang telah terlelap. Atas pertolongan
para dewa, Ken Arok menghampiri Tunggul Ametung yang sedang tidur, lalu
ditusuknya sang akuwu tepat di jantungnya oleh keris buatan Pu Gandring. Matilah
seketika Tunggul Ametung dan keris itu dibiarkan pada
lukanya.
Keesokan paginya gemparlah orang-orang
Tumapel mendapatkan bahwa sang akuwu telah tewas oleh sebilah keris. Semua
orang tahu bahwa keris itu kepunyaan Kebo Hidjo. Lalu Kebo Hidjo ditangkap oleh
sanak keluarga dari Tunggul Ametung, dihukum mati dengan ditusuk pula oleh
keris Pu Gandring. Selanjutnya dewa-dewa mengatur agar Ken Arok dapat kawin
dengan Ken Dedes, dan tidak ada orang Tumapel yang berani menentangnya. Ketika
mereka kawin, Ken Dedes sedang hamil anak dari Tunggul Ametung. Kelak setelah
kelahirannya, anaknya diberi nama Anusapati.
Lalu pelajaran apa yang kita dapatkan
dari kisah Ken Arok dan Ken Dedes ini? Bahwasanya untuk menjadi orang besar
bukanlah didapat dari untung-untungan dan nasib baik belaka. Diperlukan tekad
kuat atau Adhiṭṭhāna yang dirintis dari kehidupan
sebelumnya. Selanjutnya keistimewaan merupakan syarat mutlak yang didambakan masyarakat Jawa,
yang harus ada dalam diri seorang pemimpin atau
leluhurnya. Filsafat Jawa meyakini seorang raja atau permaisuri adalah
pilihan Dewa. Pilihan
itu ada dalam diri Ken Arok dan
Ken Dedes. Marka dan
penanda-lahir seperti gambar roda pada telapak tangan serta aurat yang
bersinar, sebenarnya mengambil inspirasi marka dan tanda manusia agung seperti yang dimiliki seorang Calon Buddha dan tujuh pusakanya. Dan terakhir hukum
tabur-tuai berlaku bagi si pembuat kejahatan: "Barang siapa menabur angin,
dia sendiri yang akan menuai badai."
sdjn/dharmaprimapustaka/210908