Diantara Anda Pembaca mungkin pernah mendengar lirik lagu yang didendangkan oleh Broery Pesolima, yang berjudul "Aku Begini Engkau Begitu." Dalam salah satu baris lagunya ada kata-kata: "Di alam nyata, apa yang terjadi. Buah semangka berdaun sirih ... ." Sewaktu penulis mendengar lirik lagu itu untuk pertama kalinya – dan itu sudah lama sekali – penulis terbengong-bengong sambil menggumam, "lho, kok ada pohon semangka berdaun sirih?"
Siapa yang tidak kenal buah
semangka? Buah yang berbentuk bulat atau bulat-telur, dengan ukuran yang cukup
besar dan berat, diselubungi oleh kulit-buah yang keras berwarna hijau-muda
dengan larik-larik hijau-tua. Daging buahnya berwarna merah-tua atau kuning,
dengan biji-biji berwarna hitam di dalamnya. Semangka rasanya manis dan enak
dimakan ketika kita sedang kehausan. Daging buahnya bisa diolah dengan cara
dibentuk, menjadi campuran sup-buah atau di-jus. Pohon semangka serumpun dengan
labu, melon, dan mentimun, adalah tanaman yang merambat di atas tanah; serta
tumbuhan ini tidak dapat memanjat. Daunnya berlekuk-lekuk di tepinya, dengan
bunga jantan dan bunga banci di setiap pohonnya, berwarna kuning. Kalau
dipikir-pikir tanaman ini luar biasa, karena dilihat sepintas lalu sebagai
tumbuhan biasa saja yang merambat, namun memiliki buah sebesar itu. Beberapa
tahun belakangan ini para petani semangka di Jepang telah berhasil merekayasa
pembentukan buah semangka di pohonnya. Mereka bisa menghasilkan buah semangka
berbentuk kubus atau kotak. Tetapi jangan salah, buah semangka berbentuk ganjil
ini tidak enak dimakan dan auzubillah mahalnya.
Pohon sirih adalah tanaman
asli Indonesia dan memerlukan pohon lain untuk tempat merambatnya, tetapi
tanaman ini bukan benalu. Sebagai tanaman rambat pohon sirih bisa bertumbuh
hingga 15 meter tingginya, dengan batang bundar, beruas, berwarna
cokelat-kehijauan, dan menjadi tempat keluarnya akar. Daun sirih berbentuk
hati, berujung runcing namun lembut, dan mudah disusun satu di atas yang lain.
Jika daunnya diremas akan mengeluarkan bau yang sedap. Bunganya majemuk
berbentuk bulir, serta buahnya buah buni berbentuk bulat berwarna hijau
keabu-abuan. Sewaktu penulis masih kanak-kanak kebiasaan mengunyah sirih masih
banyak dilakukan oleh orang tua zaman itu. Mereka mencampurnya dengan pinang,
gambir, dan tembakau. Konon dengan mengunyah sirih, gigi terawat dengan baik
dan mulut akan berbau segar. Sekarang sirih dibudidayakan dan dimanfaatkan
sebagai tanaman obat.
Kembali ke lirik lagu di
atas, pada kenyataannya pohon semangka akan menumbuhkan daun semangka dan buah
semangka, serta pohon sirih akan menghasilkan daun sirih dan buah buni, kendati
pun keduanya tumbuh di petak kebun yang sama. Tidak pernah ada buah semangka
berdaun sirih, seperti lagu yang dipopulerkan oleh Broery di tahun 1988 itu.
Untung saja pada masa itu media sosial belum lahir. Jika sudah ada, kehebohan
kabar 'semangka berdaun sirih' bisa digolongkan sebagai berita bohong atau hoax.
Mungkin ada dari Anda yang
masih penasaran. Coba kita simak lirik lagunya lebih lanjut. "Di dalam
tidur, didalam doa; Kita berjanji; Kita bersama, kita bersatu; Bergandeng
tangan." Ini adalah ungkapan seorang pemuda yang sedang jatuh cinta dan
mereka telah membina hubungan sekian lama. Hanya saja kebersamaan yang
didambakan oleh sang pria masih di dalam mimpi, hanya sebatas angan-angan.
"Di alam nyata, apa yang terjadi; Buah semangka berdaun sirih; Aku begini,
engkau begitu; Sama saja." Dalam kehidupan nyata kebersamaan si pria dan
si wanita itu tidak bisa terjadi. Artinya tidak ada kecocokan diantara keduanya;
yang mana ini setali tiga uang dengan 'semangka berdaun sirih', alias
"tidak mungkin". Orang Arab bilang, "Mustahil!" Dan
akhirnya: "Ibu bapaku, ayah bundaku; Entah kemana; Ingin bertanya, aku tak
tahu; Pada siapa." Dalam keputusasaannya sang pria ingin mengadu, ingin
mengungkapkan duka-nestapanya kepada orang tuanya yang entah ada dimana. Lagu
yang diciptakan oleh Rinto Harahap, seorang maestro lagu Indonesia populer pada
masa itu, sebenarnya ingin mengungkapkan bahasa satire tentang peliknya
hubungan asmara.
Dari
contoh di atas secara tidak langsung kita sebenarnya telah belajar mengenal
hukum tabur-tuai. Jika kita hendak menikmati semangka, maka kita harus menabur
bibit semangka terlebih dahulu. Namun jika kita ingin mendapatkan daun sirih,
kita harus menanam pohon sirih sebelumnya. Tidak mungkin terjadi kita menanam
bibit semangka lalu kita memanen daun sirih. Pertanyaannya sekarang, sejak
kapan manusia mengenal cara bercocok tanam? Menurut ahli paleontologi, baru
beberapa ribu tahun yang lalu manusia purba belajar bertani dan beternak.
Sebelumnya nenek moyang kita adalah pengumpul hasil hutan dan pemburu. Mereka
menggali umbi-umbian, memetik sayuran dan buah-buahan, berburu hewan liar, dan
menangkap ikan, guna memenuhi kebutuhan makanan bagi kelompoknya. Sekali waktu
mereka mengamati bahwa bagian-batang umbi dan biji-buah yang mereka buang
begitu saja dekat pemukiman mereka, tumbuh menjadi tunas tanaman muda, dan
beberapa lama kemudian pohon itu bertumbuh-kembang. Lama-kelamaan tanaman baru
itu menghasilkan umbi dan buah yang serupa dengan apa yang mereka dulu peroleh.
Sejak saat itu mereka mulai bereksperimen dalam bercocok tanam, dan ternyata
mereka berhasil membudidayakan tanaman-tanaman tertentu.
Di
zaman ini untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan perut kita, sesungguhnya kita
semua berutang budi kepada para petani. Berkat jerih payah mereka, kita tidak
perlu bersusah payah mendapatkan apa yang akan kita konsumsi sehari-hari.
Merekalah orangnya yang tahu benar prinsip 'menabur dan menuai'. Seorang petani menabur
benih, pasti dengan penuh keyakinan dan pengharapan, kelak akan mendapatkan
panen yang baik dan melimpah. Dia sadar bahwa jika dia menabur benih pada waktu
yang tepat, kemudian bekerja keras dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk
merawat tanaman itu, di akhir musim-tanam dia akan menuai hasilnya.
Dalam kaidah 'tabur-tuai' ini berlaku paling tidak
tiga prinsip. Prinsip pertama berbunyi: "menabur dulu baru menuai." ;
adalah kaidah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tidak bisa dibalik menjadi:
"menuai dulu baru menabur." Sungguh tepat ungkapan bahwa 'Hari ini
adalah Bapak Masa Depan', bahwa apa yang engkau kerjakan hari ini akan
membentuk masa depanmu. Prinsip kedua mengatakan bahwa "seseorang hanya
menuai apa yang dia tabur". Seperti yang sudah dijelaskan pada contoh di
atas, bahwa jika seorang petani menabur benih padi, dia kelak akan memanen
bulir-padi, bukan bulir-gandum atau bulir-sorghum. Prinsip yang ketiga
menyebutkan: "Orang yang menabur, dialah yang akan menuai hasilnya, bukan
orang lain." Prinsip yang ketiga ini juga tidak dapat dibantah
kebenarannya.
Anda pasti pernah mendengar ungkapan: "Apa
yang engkau tabur, itulah yang akan engkau tuai" atau dalam bahasa
Inggrisnya: "You reap what you sow."
Sekarang kita tidak lagi membicarakan ilmu bercocok tanam. Ungkapan yang baru
saya utarakan adalah sebuah pepatah, sebuah peribahasa; yang maknanya kurang
lebih: "Jika engkau bertindak baik maka engkau akan menuai kebahagiaan,
namun jika engkau menabur keburukan maka penderitaanlah yang akan engkau
dapatkan." Dalam artikel ini kita akan menelusuri dari mana ajaran ini
berasal, dan penulis akan menceritakannya dari perspektif filsafat India dan
Tiongkok.
Pemikiran tentang filsafat dan agama terjadi di
India selama akhir Zaman Veda, yang dimulai sekitar tahun 1000 seb.M., dan
sering disebut sebagai era Brahmanisme, karena pemikiran mereka merupakan
produk dari munculnya para pendeta Brahmana ke tampuk kekuasaan tertinggi
mereka dalam masyarakat India. Gagasan-gagasan para brahmana itu tertuang dalam
naskah yang belakangan dikenal sebagai Upanishad, dengan lebih dari 250
Upanishad disusun antara tahun 800 hingga 600 seb.M. Guru-guru India pertama
ini mengembara di hutan sebagai petapa, tempat mereka bermeditasi dan
mengajarkan ilmu yang mereka peroleh kepada siswa-siswa penerusnya. Adapun
ajaran yang terkandung dalam Upanishad dapat diringkas sebagai berikut:
(1) Realitas fundamental atau yang sesungguhnya
ada, yang merupakan substansi dari segala sesuatu bukanlah materi, melainkan
sesuatu yang bersifat spiritual, yakni Jiwa Dunia. Jiwa Dunia dinamakan pula
Brahman. (2) Masing-masing individu memiliki jiwa, yang merupakan bagian dari
Jiwa Dunia. Jiwa Individu ini disebut pula Atman. (3) Alam material adalah
ilusi atau maya, dan penyebab segala penderitaan. Selama orang masih mengejar
tujuan duniawi seperti mencari kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran, maka
semuanya akan bermuara pada rasa sakit dan kesedihan. (4) Penyelamatan atau
pembebasan dari belenggu penderitaan hanya bisa dicapai melalui re-absorbsi
Jiwa Individu ke dalam Jiwa Dunia. Proses ini dinamakan pula menyatunya Atman
ke dalam Brahman. (5) Pelepasan dari alam-maya menuju kebersatuan Atman dengan
Brahman adalah bagian dari proses rumit reinkarnasi. Jiwa Individu harus
menjalani serangkaian reinkarnasi duniawi dari satu tubuh ke tubuh lainnya. (6)
Terjalin erat dengan proses reinkarnasi berlangsung pula Hukum Perbuatan, yang
populer dinamakan Hukum Karma. Perbuatan individu akan menentukan masa depan
seseorang, dan akibat perbuatannya bukan saja berdampak di kehidupan yang
sekarang, tetapi juga akan membuahkan hasilnya pada kehidupan-kehidupan
mendatang.
Seorang sarjana India modern pernah berkata:
"Apa yang dapat dipersembahkan oleh India kepada Dunia tidak lain falsafah
pemikirannya." Para pemikir India secara konsisten telah membangun pondasi
kepercayaan tentang kesatuan kehidupan, yang tidak menarik garis pemisah antara
kehidupan manusia dan kehidupan dewata. Keyakinan yang begitu dalam terhadap
kesatuan kehidupan ini telah menjadikan asimilasi dan sintesis berbagai budaya
asli maupun budaya asing. Jadi walaupun perpecahan politik terjadi
terus-menerus di anak-benua, India telah mempertahankan satu dasar kesatuan
budaya. Budaya khas India yang tidak didapatkan pada budaya lain misalnya kehidupan
asketik atau pertapaan, dan juga yoga atau meditasi. Sementara perpecahan
politik telah menjadi ciri India sepanjang sejarahnya, Tiongkok telah bersatu
selama lebih dari 2000 tahun, menjadikannya satu-satunya negeri yang memiliki
pemerintahan tunggal terlama. Selagi agama telah mendominasi adat dan perilaku
orang India, orang Tionghoa jauh lebih humanis dan duniawi. Sikap dan perilaku
orang Tionghoa terhadap kehidupan lebih tertuju pada bagaimana menciptakan seni
pemerintahan yang baik, kiat merawat catatan-catatan historis yang berharga
(bandingkan dengan tradisi menghafal ala India), dan perihal merumuskan standar
etika yang lebih membumi.
Peradaban Tiongkok dimulai dari Dinasti yang
pertama yakni Dinasti Xia (2070-1600 seb.M.), yang keberadaannya semula
dianggap hanya seledar mitos, tetapi penggalian arkeologi di dekade 60 hingga
70-an membuktikan jejak peninggalannya. Dinasti Xia didirikan oleh Yu Yang
Agung, orang yang berhasil mengatasi banjir-tahunan di Sungai Kuning dan
kemudian ia mampu menaklukkan etnis Sanmiao. Yu memimpin kerajaan hingga
wafatnya, dan penerusnya dipilih dari keturunannya, dan sejak itu
tradisi-dinasti menjadi ciri khas penguasa Tiongkok. Pada masa itu orang
Tionghoa telah menyembah banyak dewa dengan satu dewa tertinggi yang dikenal
sebagai Shangdi (pola yang sama juga
ditemukan pada peradaban lainnya). Shangdi
dianggap sebagai 'leluhur agung' orang Tionghoa, pula tokoh yang memimpin
kemenangan dalam peperangan, pelopor dalam ilmu bercocok tanam, dan suri
tauladan dalam bidang pemerintahan. Karena Shangdi
terlalu sibuk dan juga terlalu jauh, orang Tionghoa menyembah perantaranya
yakni para dewa yang lain dan para leluhur. Shangdi sendiri
menunjuk wakilnya di Bumi ini dan orang itu tidak lain Kaisar Tiongkok. Jadi
Kaisar di dunia ini mendapat mandat dari Shangdi
di Surga.
Walaupun terdapat banyak ragam pemikiran dan agama
orang Tionghoa, kita dapat meringkasnya menjadi empat konsep spiritual,
kosmologis, dan moral, yang akan diuraikan berikut ini. (1) Tian (天),
biasanya dinamakan sebagai "Surga", tetapi terjemahan yang lebih
tepat adalah "Yang Agung" atau "Keseluruhan Agung" dan
belakangan disebut "Shangdi" ("Patriakh Paling Awal",
"Leluhur Paling Awal", "Kaisar Tertinggi"). Tian atau Shangdi bukanlah satu pribadi. Tian
adalah realitas mutlak, sumber makna moralitas, dan semua kreativitas yang
melekat pada dunia. (2) Qi (气)
adalah napas atau substansi yang mana segala sesuatu terbentuk, termasuk benda
mati, makhluk hidup, dan dewa. Qi
juga merupakan rangkaian materi-energi. (3) Konsep tentang shen (神) yang bermakna dewa atau roh, karena mereka
merupakan esensi atau energi, yang membangkitkan fenomena yang berbeda. Manusia
juga memiliki roh, yang jika dikembangkan hingga mencapai potensi yang
tertinggi, setelah mereka meninggal dunia akan menjadi leluhur yang dimuliakan.
Pemujaan dewa dan leluhur ini dinamakan jingzu
(敬祖).
(4) Konsep tentang bao-ying (报应)
meliputi hukum timbal-balik, balas-jasa atau ganjaran, serta penghakiman yang
adil. Pada si pelaku kebaikan, Surga akan menurunkan berkahnya; sedangkan pada
si pelaku kejahatan, dia akan menjatuhkan bencana. Tian mengatur dengan adil apa yang akan diberikan terhadap
masing-masing individu, sesuai dengan kualitas perbuatan mereka.
Setelah Anda membaca pemikiran filosofis di atas
yang berasal dari India dan Tiongkok, semoga penjelasan ini tidak membuat Anda
menjadi bingung. Dengan membaca penjelasan di atas berulang-ulang, kita akan
memahami sedikit demi sedikit tentang apa yang dikandung dalam kebijaksanaan
kuno tersebut.
Dengan demikian kita mendapatkan pijakan yang kokoh
pada hukum tabur-tuai ini. Hukum tabur-tuai tidak lain Hukum Karma yang telah
kita kenal selama ini. Hukum tabur-tuai bisa diartikan pula sebagai bao-ying atau Hukum Retribusi
Kebaikan-Kejahatan yang diatur oleh Surga atau oleh Tian yang impersonal. Semakin kita percaya dan yakin bahwa hukum
tabur-tuai ini sungguh-sungguh ada, semakin kita berhati-hati dalam setiap
perbuatan dan tindakan yang akan kita lakukan. Semoga demikian.