Kamis, 17 Juni 2021

HUKUM TABUR-TUAI


 



Diantara Anda Pembaca mungkin pernah mendengar lirik lagu yang didendangkan oleh Broery Pesolima, yang berjudul "Aku Begini Engkau Begitu." Dalam salah satu baris lagunya ada kata-kata: "Di alam nyata, apa yang terjadi. Buah semangka berdaun sirih ... ." Sewaktu penulis mendengar lirik lagu itu untuk pertama kalinya – dan itu sudah lama sekali – penulis terbengong-bengong sambil menggumam, "lho, kok ada pohon semangka berdaun sirih?"

 

Siapa yang tidak kenal buah semangka? Buah yang berbentuk bulat atau bulat-telur, dengan ukuran yang cukup besar dan berat, diselubungi oleh kulit-buah yang keras berwarna hijau-muda dengan larik-larik hijau-tua. Daging buahnya berwarna merah-tua atau kuning, dengan biji-biji berwarna hitam di dalamnya. Semangka rasanya manis dan enak dimakan ketika kita sedang kehausan. Daging buahnya bisa diolah dengan cara dibentuk, menjadi campuran sup-buah atau di-jus. Pohon semangka serumpun dengan labu, melon, dan mentimun, adalah tanaman yang merambat di atas tanah; serta tumbuhan ini tidak dapat memanjat. Daunnya berlekuk-lekuk di tepinya, dengan bunga jantan dan bunga banci di setiap pohonnya, berwarna kuning. Kalau dipikir-pikir tanaman ini luar biasa, karena dilihat sepintas lalu sebagai tumbuhan biasa saja yang merambat, namun memiliki buah sebesar itu. Beberapa tahun belakangan ini para petani semangka di Jepang telah berhasil merekayasa pembentukan buah semangka di pohonnya. Mereka bisa menghasilkan buah semangka berbentuk kubus atau kotak. Tetapi jangan salah, buah semangka berbentuk ganjil ini tidak enak dimakan dan auzubillah mahalnya.

 

Pohon sirih adalah tanaman asli Indonesia dan memerlukan pohon lain untuk tempat merambatnya, tetapi tanaman ini bukan benalu. Sebagai tanaman rambat pohon sirih bisa bertumbuh hingga 15 meter tingginya, dengan batang bundar, beruas, berwarna cokelat-kehijauan, dan menjadi tempat keluarnya akar. Daun sirih berbentuk hati, berujung runcing namun lembut, dan mudah disusun satu di atas yang lain. Jika daunnya diremas akan mengeluarkan bau yang sedap. Bunganya majemuk berbentuk bulir, serta buahnya buah buni berbentuk bulat berwarna hijau keabu-abuan. Sewaktu penulis masih kanak-kanak kebiasaan mengunyah sirih masih banyak dilakukan oleh orang tua zaman itu. Mereka mencampurnya dengan pinang, gambir, dan tembakau. Konon dengan mengunyah sirih, gigi terawat dengan baik dan mulut akan berbau segar. Sekarang sirih dibudidayakan dan dimanfaatkan sebagai tanaman obat.

 

Kembali ke lirik lagu di atas, pada kenyataannya pohon semangka akan menumbuhkan daun semangka dan buah semangka, serta pohon sirih akan menghasilkan daun sirih dan buah buni, kendati pun keduanya tumbuh di petak kebun yang sama. Tidak pernah ada buah semangka berdaun sirih, seperti lagu yang dipopulerkan oleh Broery di tahun 1988 itu. Untung saja pada masa itu media sosial belum lahir. Jika sudah ada, kehebohan kabar 'semangka berdaun sirih' bisa digolongkan sebagai berita bohong atau hoax.

 

Mungkin ada dari Anda yang masih penasaran. Coba kita simak lirik lagunya lebih lanjut. "Di dalam tidur, didalam doa; Kita berjanji; Kita bersama, kita bersatu; Bergandeng tangan." Ini adalah ungkapan seorang pemuda yang sedang jatuh cinta dan mereka telah membina hubungan sekian lama. Hanya saja kebersamaan yang didambakan oleh sang pria masih di dalam mimpi, hanya sebatas angan-angan. "Di alam nyata, apa yang terjadi; Buah semangka berdaun sirih; Aku begini, engkau begitu; Sama saja." Dalam kehidupan nyata kebersamaan si pria dan si wanita itu tidak bisa terjadi. Artinya tidak ada kecocokan diantara keduanya; yang mana ini setali tiga uang dengan 'semangka berdaun sirih', alias "tidak mungkin". Orang Arab bilang, "Mustahil!" Dan akhirnya: "Ibu bapaku, ayah bundaku; Entah kemana; Ingin bertanya, aku tak tahu; Pada siapa." Dalam keputusasaannya sang pria ingin mengadu, ingin mengungkapkan duka-nestapanya kepada orang tuanya yang entah ada dimana. Lagu yang diciptakan oleh Rinto Harahap, seorang maestro lagu Indonesia populer pada masa itu, sebenarnya ingin mengungkapkan bahasa satire tentang peliknya hubungan asmara.

 

Dari contoh di atas secara tidak langsung kita sebenarnya telah belajar mengenal hukum tabur-tuai. Jika kita hendak menikmati semangka, maka kita harus menabur bibit semangka terlebih dahulu. Namun jika kita ingin mendapatkan daun sirih, kita harus menanam pohon sirih sebelumnya. Tidak mungkin terjadi kita menanam bibit semangka lalu kita memanen daun sirih. Pertanyaannya sekarang, sejak kapan manusia mengenal cara bercocok tanam? Menurut ahli paleontologi, baru beberapa ribu tahun yang lalu manusia purba belajar bertani dan beternak. Sebelumnya nenek moyang kita adalah pengumpul hasil hutan dan pemburu. Mereka menggali umbi-umbian, memetik sayuran dan buah-buahan, berburu hewan liar, dan menangkap ikan, guna memenuhi kebutuhan makanan bagi kelompoknya. Sekali waktu mereka mengamati bahwa bagian-batang umbi dan biji-buah yang mereka buang begitu saja dekat pemukiman mereka, tumbuh menjadi tunas tanaman muda, dan beberapa lama kemudian pohon itu bertumbuh-kembang. Lama-kelamaan tanaman baru itu menghasilkan umbi dan buah yang serupa dengan apa yang mereka dulu peroleh. Sejak saat itu mereka mulai bereksperimen dalam bercocok tanam, dan ternyata mereka berhasil membudidayakan tanaman-tanaman tertentu.

 

Di zaman ini untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan perut kita, sesungguhnya kita semua berutang budi kepada para petani. Berkat jerih payah mereka, kita tidak perlu bersusah payah mendapatkan apa yang akan kita konsumsi sehari-hari. Merekalah orangnya yang tahu benar prinsip 'menabur dan menuai'. Seorang petani menabur benih, pasti dengan penuh keyakinan dan pengharapan, kelak akan mendapatkan panen yang baik dan melimpah. Dia sadar bahwa jika dia menabur benih pada waktu yang tepat, kemudian bekerja keras dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk merawat tanaman itu, di akhir musim-tanam dia akan menuai hasilnya.

 

Dalam kaidah 'tabur-tuai' ini berlaku paling tidak tiga prinsip. Prinsip pertama berbunyi: "menabur dulu baru menuai." ; adalah kaidah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tidak bisa dibalik menjadi: "menuai dulu baru menabur." Sungguh tepat ungkapan bahwa 'Hari ini adalah Bapak Masa Depan', bahwa apa yang engkau kerjakan hari ini akan membentuk masa depanmu. Prinsip kedua mengatakan bahwa "seseorang hanya menuai apa yang dia tabur". Seperti yang sudah dijelaskan pada contoh di atas, bahwa jika seorang petani menabur benih padi, dia kelak akan memanen bulir-padi, bukan bulir-gandum atau bulir-sorghum. Prinsip yang ketiga menyebutkan: "Orang yang menabur, dialah yang akan menuai hasilnya, bukan orang lain." Prinsip yang ketiga ini juga tidak dapat dibantah kebenarannya.

 

Anda pasti pernah mendengar ungkapan: "Apa yang engkau tabur, itulah yang akan engkau tuai" atau dalam bahasa Inggrisnya: "You reap what you sow." Sekarang kita tidak lagi membicarakan ilmu bercocok tanam. Ungkapan yang baru saya utarakan adalah sebuah pepatah, sebuah peribahasa; yang maknanya kurang lebih: "Jika engkau bertindak baik maka engkau akan menuai kebahagiaan, namun jika engkau menabur keburukan maka penderitaanlah yang akan engkau dapatkan." Dalam artikel ini kita akan menelusuri dari mana ajaran ini berasal, dan penulis akan menceritakannya dari perspektif filsafat India dan Tiongkok.

 

Pemikiran tentang filsafat dan agama terjadi di India selama akhir Zaman Veda, yang dimulai sekitar tahun 1000 seb.M., dan sering disebut sebagai era Brahmanisme, karena pemikiran mereka merupakan produk dari munculnya para pendeta Brahmana ke tampuk kekuasaan tertinggi mereka dalam masyarakat India. Gagasan-gagasan para brahmana itu tertuang dalam naskah yang belakangan dikenal sebagai Upanishad, dengan lebih dari 250 Upanishad disusun antara tahun 800 hingga 600 seb.M. Guru-guru India pertama ini mengembara di hutan sebagai petapa, tempat mereka bermeditasi dan mengajarkan ilmu yang mereka peroleh kepada siswa-siswa penerusnya. Adapun ajaran yang terkandung dalam Upanishad dapat diringkas sebagai berikut:

 

(1) Realitas fundamental atau yang sesungguhnya ada, yang merupakan substansi dari segala sesuatu bukanlah materi, melainkan sesuatu yang bersifat spiritual, yakni Jiwa Dunia. Jiwa Dunia dinamakan pula Brahman. (2) Masing-masing individu memiliki jiwa, yang merupakan bagian dari Jiwa Dunia. Jiwa Individu ini disebut pula Atman. (3) Alam material adalah ilusi atau maya, dan penyebab segala penderitaan. Selama orang masih mengejar tujuan duniawi seperti mencari kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran, maka semuanya akan bermuara pada rasa sakit dan kesedihan. (4) Penyelamatan atau pembebasan dari belenggu penderitaan hanya bisa dicapai melalui re-absorbsi Jiwa Individu ke dalam Jiwa Dunia. Proses ini dinamakan pula menyatunya Atman ke dalam Brahman. (5) Pelepasan dari alam-maya menuju kebersatuan Atman dengan Brahman adalah bagian dari proses rumit reinkarnasi. Jiwa Individu harus menjalani serangkaian reinkarnasi duniawi dari satu tubuh ke tubuh lainnya. (6) Terjalin erat dengan proses reinkarnasi berlangsung pula Hukum Perbuatan, yang populer dinamakan Hukum Karma. Perbuatan individu akan menentukan masa depan seseorang, dan akibat perbuatannya bukan saja berdampak di kehidupan yang sekarang, tetapi juga akan membuahkan hasilnya pada kehidupan-kehidupan mendatang.

 

Seorang sarjana India modern pernah berkata: "Apa yang dapat dipersembahkan oleh India kepada Dunia tidak lain falsafah pemikirannya." Para pemikir India secara konsisten telah membangun pondasi kepercayaan tentang kesatuan kehidupan, yang tidak menarik garis pemisah antara kehidupan manusia dan kehidupan dewata. Keyakinan yang begitu dalam terhadap kesatuan kehidupan ini telah menjadikan asimilasi dan sintesis berbagai budaya asli maupun budaya asing. Jadi walaupun perpecahan politik terjadi terus-menerus di anak-benua, India telah mempertahankan satu dasar kesatuan budaya. Budaya khas India yang tidak didapatkan pada budaya lain misalnya kehidupan asketik atau pertapaan, dan juga yoga atau meditasi. Sementara perpecahan politik telah menjadi ciri India sepanjang sejarahnya, Tiongkok telah bersatu selama lebih dari 2000 tahun, menjadikannya satu-satunya negeri yang memiliki pemerintahan tunggal terlama. Selagi agama telah mendominasi adat dan perilaku orang India, orang Tionghoa jauh lebih humanis dan duniawi. Sikap dan perilaku orang Tionghoa terhadap kehidupan lebih tertuju pada bagaimana menciptakan seni pemerintahan yang baik, kiat merawat catatan-catatan historis yang berharga (bandingkan dengan tradisi menghafal ala India), dan perihal merumuskan standar etika yang lebih membumi.

 

Peradaban Tiongkok dimulai dari Dinasti yang pertama yakni Dinasti Xia (2070-1600 seb.M.), yang keberadaannya semula dianggap hanya seledar mitos, tetapi penggalian arkeologi di dekade 60 hingga 70-an membuktikan jejak peninggalannya. Dinasti Xia didirikan oleh Yu Yang Agung, orang yang berhasil mengatasi banjir-tahunan di Sungai Kuning dan kemudian ia mampu menaklukkan etnis Sanmiao. Yu memimpin kerajaan hingga wafatnya, dan penerusnya dipilih dari keturunannya, dan sejak itu tradisi-dinasti menjadi ciri khas penguasa Tiongkok. Pada masa itu orang Tionghoa telah menyembah banyak dewa dengan satu dewa tertinggi yang dikenal sebagai Shangdi (pola yang sama juga ditemukan pada peradaban lainnya). Shangdi dianggap sebagai 'leluhur agung' orang Tionghoa, pula tokoh yang memimpin kemenangan dalam peperangan, pelopor dalam ilmu bercocok tanam, dan suri tauladan dalam bidang pemerintahan. Karena Shangdi terlalu sibuk dan juga terlalu jauh, orang Tionghoa menyembah perantaranya yakni para dewa yang lain dan para leluhur. Shangdi sendiri menunjuk wakilnya di Bumi ini dan orang itu tidak lain Kaisar Tiongkok. Jadi Kaisar di dunia ini mendapat mandat dari Shangdi di Surga.

 

Walaupun terdapat banyak ragam pemikiran dan agama orang Tionghoa, kita dapat meringkasnya menjadi empat konsep spiritual, kosmologis, dan moral, yang akan diuraikan berikut ini. (1) Tian (), biasanya dinamakan sebagai "Surga", tetapi terjemahan yang lebih tepat adalah "Yang Agung" atau "Keseluruhan Agung" dan belakangan disebut "Shangdi" ("Patriakh Paling Awal", "Leluhur Paling Awal", "Kaisar Tertinggi"). Tian atau Shangdi bukanlah satu pribadi. Tian adalah realitas mutlak, sumber makna moralitas, dan semua kreativitas yang melekat pada dunia. (2) Qi () adalah napas atau substansi yang mana segala sesuatu terbentuk, termasuk benda mati, makhluk hidup, dan dewa. Qi juga merupakan rangkaian materi-energi. (3) Konsep tentang shen () yang bermakna dewa atau roh, karena mereka merupakan esensi atau energi, yang membangkitkan fenomena yang berbeda. Manusia juga memiliki roh, yang jika dikembangkan hingga mencapai potensi yang tertinggi, setelah mereka meninggal dunia akan menjadi leluhur yang dimuliakan. Pemujaan dewa dan leluhur ini dinamakan jingzu (敬祖). (4) Konsep tentang bao-ying (报应) meliputi hukum timbal-balik, balas-jasa atau ganjaran, serta penghakiman yang adil. Pada si pelaku kebaikan, Surga akan menurunkan berkahnya; sedangkan pada si pelaku kejahatan, dia akan menjatuhkan bencana. Tian mengatur dengan adil apa yang akan diberikan terhadap masing-masing individu, sesuai dengan kualitas perbuatan mereka.

 

Setelah Anda membaca pemikiran filosofis di atas yang berasal dari India dan Tiongkok, semoga penjelasan ini tidak membuat Anda menjadi bingung. Dengan membaca penjelasan di atas berulang-ulang, kita akan memahami sedikit demi sedikit tentang apa yang dikandung dalam kebijaksanaan kuno tersebut.

 

Dengan demikian kita mendapatkan pijakan yang kokoh pada hukum tabur-tuai ini. Hukum tabur-tuai tidak lain Hukum Karma yang telah kita kenal selama ini. Hukum tabur-tuai bisa diartikan pula sebagai bao-ying atau Hukum Retribusi Kebaikan-Kejahatan yang diatur oleh Surga atau oleh Tian yang impersonal. Semakin kita percaya dan yakin bahwa hukum tabur-tuai ini sungguh-sungguh ada, semakin kita berhati-hati dalam setiap perbuatan dan tindakan yang akan kita lakukan. Semoga demikian.



Rabu, 02 Juni 2021

DUPA



Anāthapiṇḍika, seorang umat awam yang belakangan dikenal sebagai penyokong utama Sang Buddha, sekali waktu berpesan kepada puteranya, "Seorang Buddha telah lahir di dunia ini dan orang banyak pergi berbondong-bondong mengunjunginya. Mereka ingin menghormatinya sambil membawa bunga dan dupa. Mengapa engkau malahan acuh tak acuh dengan tidak mempedulikan anjuran ayahmu?"

 

Teguran yang diberikan oleh sang hartawan yang mungkin terbilang orang paling kaya, seorang crazy rich menurut istilah yang populer saat ini, tentu bukanlah ungkapan kosong yang ke luar dari mulutnya begitu saja. Anāthapiṇḍika menghadiahkan Sangha Bhikkhu sebuah kompleks vihara yang besar dan lengkap di kota kelahirannya Sāvatthī. Kompleks vihara itu dinamakan Taman Jeta, dikenal sebelumnya sebagai taman nan permai, yang kemudian direnovasi dan dilengkapi dengan berbagai sarana yang bisa menunjang kehidupan kepetapaan secara masal.

 

Anāthapiṇḍika sendiri dikenal amat dermawan dan murah hati. Jika Sang Buddha sedang bermukim di Taman Jeta, dia menyempatkan diri untuk berkunjung ke sana dua kali sehari. Dan setiap kali berkunjung ada saja barang yang dibawanya, yang semuanya itu dipersembahkan kepada Sang Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya.

 

Bukan hanya Anāthapiṇḍika, umat awam lainnya yang telah lama mengenal Sang Buddha atau pun mereka yang baru berkunjung ke sana, biasanya tidak datang dengan tangan kosong. Kebiasaan bertandang ke rumah orang dengan membawa satu barang persembahan, yang mungkin akan diterima dengan rasa syukur oleh tuan rumah, bukan hanya terjadi di zaman kuno saja. Katakanlah kita berkunjung ke rumah saudara, famili, atau kerabat kita, adalah lebih afdol jika kita membawa barang yang bisa bermanfaat untuk orang yang kita kunjungi. Persembahan itu seyogianya dilandasi oleh keinginan berbagi kepada sesama dan didasari pada ketulusan hati kita.

 

Sang Buddha sendiri tidak selalu tinggal di Sāvatthī, seperti yang kita ketahui dari kisah hidupnya, Beliau mengembara ke banyak negeri di India. Ketiadaan Sang Buddha di Taman Jeta membuat Anāthapiṇḍika merasa kehilangan peluang untuk menyatakan rasa bakti kepada gurunya. Pada satu hari dia menyatakan kepada Y.M. Ānanda, perihal keinginannya untuk membuat sebuah obyek pemujaan yang dapat mewakili keberadaan gurunya. Setelah keinginannya disampaikan kepada Sang Buddha; Yang Tercerahkan memberikan beberapa pilihan obyek pemujaan, antara lain sisa perabuan jenazahnya, barang yang pernah dipakai oleh beliau, dan tempat suci berkaitan dengan episode terpenting dalam kehidupan sang guru. Dari pilihan yang diberikan, yang paling cocok untuk dijadikan monumen-peringatan adalah pohon Bodhi, yang pernah berjasa melindungi Sang Bodhisattva hingga dia mencapai Pencerahan Agung. Dengan bantuan Y.M. Moggallāna, satu anakan-pohon Bodhi yang berasal dari pohon induk di Uruvela diambil dan dibawa untuk ditanam di Taman Jeta oleh Anāthapiṇḍika sendiri. Anakan-pohon itu tumbuh subur dan selanjutnya dijadikan sebagai obyek pengabdian bagi umat yang saleh.

 

Pohon itu kemudian dijadikan monumen suci yang dihormati umat. Jika Sang Guru tidak berada di tempat, barang persembahan seperti dupa dan bunga-bunga diletakkan di bawah pohon itu. Tentu menjadi pertanyaan bagi Anda sekalian, mengapa harus dupa dan bunga yang dibawa umat? Selain makanan, obat-obatan, dan sesekali kain untuk para bhikkhu, tidak terdapat barang yang pantas untuk dihadiahkan kepada tokoh atau guru spiritual yang dihormati oleh mereka, sesuai dengan adab kesopanan zaman itu. Bunga-bunga beraneka jenis yang dipilih dan dirangkai sedemikian elok, bukan saja pantas dijadikan hadiah bagi seseorang yang dihormati pada zaman kuno, tetapi tradisi itu juga berlanjut hingga ke masa kini yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan penemuan baru yang tidak ada habis-habisnya. Kita semua tahu ungkapan rasa syukur dan terima kasih diwujudkan dalam bentuk rangkaian-bunga. Ulang tahun dan perkawinan lazim memanfaatkan bunga; ada orang yang meninggal dipakai bunga untuk mengungkapkan dukacita; pasangan yang sedang jatuh cinta menggunakan bunga untuk mengungkapkan perasaan mereka. Jika bunga dimanfaatkan sebagai benda persembahan, bagaimana halnya dengan dupa?

 

Persembahan dupa berasal dari kebiasaan manusia zaman kuno yang tersebar di berbagai tempat di muka bumi ini. Mempersembahkan dupa kemudian membakarnya mungkin merupakan ungkapan penghormatan dan pemujaan yang paling penting, yang dapat kita gambarkan. Penghormatan dan pemujaan kepada siapa? Kepada para Dewa dan Dewi, sebelumnya juga merupakan ungkapan pengabdian terhadap otoritas dan kesucian sosok penguasa alam. Mempersembahkan dupa pada masa itu juga bukan pekerjaan yang mudah, karena dibutuhkan persiapan yang memadai. Dupa yang digunakan masih berupa potongan, serpihan, atau bubuk yang berasal dari tanaman tertentu; serta tidak bisa terbakar dengan mudah. Agar bisa terbakar dan menghasilkan asap dan aroma yang wangi, dupa jenis ini dibakar di atas bara api. Jadi sebuah tempat pembakaran yakni sebuah anglo atau tungku kecil mutlak disediakan terlebih dahulu. Anglo ini biasanya terbuat dari tembikar atau logam. Lalu membuat api di zaman kuno juga bukan perkara mudah. Batu-api digesek, dipuntir, atau dipukulkan sehingga tercipta percikan api kecil, yang diumpankan pada serat-kapuk atau sejumput bulu yang mudah terbakar. Begitu api kecil menyala, daun-daun kering diumpankan lagi sehingga api mulai berkobar, lalu ranting-ranting kering ditambahkan sampai menjadi arang. Nah, setelah arang membara dengan stabil baru ditambahkan dupa di atasnya.

 

Membakar dupa memiliki pula dimensi keyakinan yang lain bagi mereka yang melakukannya. Dengan bantuan api ada nilai penyucian simbolik yang rumit, yang biasa dilakukan oleh praktik kepercayaan domestik. Menurut kepercayaan Veda di India, Yajñá yang bermakna kurban, atau persembahan, atau pemujaan, dilangsungkan melalui satu upacara di depan api suci, yang biasanya disertai pula dengan pembacaan mantra. Adapun yang menjadi barang persembahan antara lain ghee, susu, bijih-bijihan, dan penganan. Dalam tradisi orang Tionghoa, persembahan kertas-uang dan replika barang kebutuhan sehari-hari yang terbuat dari kertas, yang mana lazimnya persembahan ini dituntaskan dengan membakarnya pada akhir upacara.

 

Berbakti, bersembahyang, serta memuja dewa dan dewi adalah tradisi manusia yang sudah berlangsung sejak zaman prasejarah di berbagai belahan bumi. Ratusan tahun sebelum abad pertama Masehi, politheisme yang dianut oleh bangsa-bangsa di Eropa, menyerupai apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di Dunia Timur. Ketika mereka bersembahyang kepada para dewa yang mereka yakini, orang-orang Viking misalnya memberikan persembahan berupa roti, daging, bawang, susu, madu, dan bir. Seorang kaisar Romawi bernama Numa, yang berkuasa pada masa awal kekaisaran yang terkenal karena kesalehannya, menetapkan apa saja yang pantas dipersembahkan kepada para dewata. Diantara persembahan yang disarankan antara lain roti, kue kurban yang disiapkan secara khusus dan dimaniskan dengan madu, anggur, susu, bunga, dan rempah-rempah lokal. Sebagai pelengkap orang melakukan persembahan dupa, dengan cara meletakkannya di atas arang yang terbakar, seperti yang biasa dilakukan untuk membakar dupa di dunia kuno.

 

Sekarang apa itu dupa yang dikenal sejak ribuan tahun yang lalu? Dupa wangi itu berasal dari frankincense dan myrrh. Frankincense menurut kamus bahasa Indonesia adalah "kemenyan", yang diperoleh dari getah tanaman Boswellia. Sedangkan myrrh diterjemahkan sebagai "mur", yang mirip dengan bunyi aslinya, berasal dari getah pohon Commiphora. Mur sudah dikenal sejak masa yang lebih tua, yakni dipergunakan untuk membalsem jenazah para firaun di zaman Mesir Kuno. Pohon boswellia dan commiphora merupakan tumbuhan yang bisa berkembang di ekosistem tandus di benua Afrika bagian timur dan Semenanjung Arab. Jejak kedua produk wewangian itu melekat erat pada kota kuno Petra di Yordania, dan referensi kota ini disebutkan pula dalam Alkitab. Sekarang bagaimana ceritanya, kemenyan dan mur bisa didapatkan di Eropa pada masa itu? Menurut Mclaughlin, Kekaisaran Romawi atau Imperium Romanum sejak mulai berkuasa, telah melakukan perdagangan lewat laut dengan para saudagar dari Semenanjung Arab (Rome and the Distant East: Trade Routes to the Ancient Lands of Arabia, India and China, Continuum Books), dan mereka membeli komoditi wewangian ini dari mereka.

 

Bagaimana mendapatkan kemenyan dari pohon boswellia? Tidak semua dari 550 spesies Burseraceae yang ada dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan produk wewangian ini.  Hanya ada enam jenis yang bisa diambil getahnya pada pohon-pohon yang terdapat di Ethiopia. Untuk mengambil getahnya, bagian batang pohon ini dilukai, sama halnya dengan metode menyadap pohon karet. Setelah batang pohon terluka, pohon akan mengeluarkan getahnya, dan lama-kelamaan getah ini akan mengkristal. Kristal yang terjadi bisa dipanen lima-belas hari kemudian dan produk ini sekarang dinamakan sebagai resin. Resin yang berbentuk butiran ini kemudian disortir menurut mutunya, dengan kelas-A sebagai kemenyan yang terbaik, dengan kandungan ketidakmurnian yang paling sedikit. Pohon-pohon kemenyan ini sekarang dalam kondisi mengkhawatirkan. Pohon yang sudah tua mengalami eksploitasi-berlebihan dan anakan pohon susah didapatkan, karena spesies ini sulit untuk dibudidayakan.

 

Tidak hanya kemenyan dan mur yang bisa dijadikan dupa. Di daerah Ghat di India dan di kepulauan Nusa Tenggara banyak ditemukan pohon Cendana. Kayunya bisa dijadikan mebel yang keharumannya bisa bertahan hingga puluhan tahun, dan bagian kayu lainnya dimanfaatkan sebagai bahan dupa. Dengan semakin berkembangnya pengetahuan tentang cara mengolah produk wewangian, semakin banyak bahan yang dapat dicampur dalam pembuatan dupa. Selain cendana, digunakan pula kayu dan kulit-kayu aromatik lainnya, biji-bijian, akar, dan bunga. Rempah-rempah pun ikut dimanfaatkan seperti kapulaga, kayu manis, jahe, jintan, daun salam, rosemary, thyme, kunyit, dan lain-lain. Produk wewangian yang dihasilkan pun semakin besar hingga mencapai miliaran dolar per tahunnya. Sekarang bahan baku aromatik ini bukan saja memasok industri pembuatan dupa, tetapi juga industri minyak-wangi atau parfum, dan industri farmasi.

 

Lambat laun terjadi perkembangan dalam pembuatan dupa. Seperti yang disebutkan di atas, dupa zaman kuno berbentuk serpihan, butiran, atau bubuk yang harus dibakar di atas bara api. Agar dupa bisa menyala sendiri maka bahan utamanya mesti dicampur dengan serbuk kayu yang mudah terbakar, serta adonannya dicampur dengan resin yang berasal dari damar supaya bisa dicetak. Bahan utama terdiri dari beberapa bahan yang digiling dan dicampur, sehingga membentuk masala atau bubuk bahan dasar. Dupa di India dinamakan dhoop atau agarbatti, bisa diperoleh dalam berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang dibentuk kerucut agar mudah disulut ujungnya dan diletakkan di atas altar; atau dibentuk memanjang dengan batang bambu, dan kita mengenalnya sebagai hio.

 

Sepanjang yang diketahui, pengetahuan tertua tentang dupa bisa dirunut dari Kitab Veda, khususnya, Atharva-Veda dan Rg-Veda, yang menetapkan dan mendorong metode pembuatan dupa yang seragam. Sedangkan pembuatan dupa yang terorganisir kemungkinan besar diciptakan oleh para brahmana, dengan berpegang pada sistem medis Ayurveda. Sekitar abad ke-3 M, sekelompok bhikshu Buddha yang mengembara sampai jauh ke Tiongkok, membawa contoh dupa dari India dan memperkenalkan cara pembuatannya. Sejak saat itu dupa atau hio mulai digunakan dalam upacara keagamaan, bukan saja untuk upacara agama Buddha tetapi juga untuk persembahyangan agama orang Tionghoa. Kayu cendana dan rempah-rempah untuk bahan dupa masih didatangkan dari India dan negara-negara lain.

 

Di Indonesia, penggunaan dupa untuk upacara keagamaan diyakini sudah mulai diperkenalkan sejak masa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa dan Sumatera. Sedangkan dupa dalam bentuk hio diperkenalkan oleh migran Tionghoa yang datang ke Kepulauan Indonesia. Setelah menetap di Nusantara mereka mendirikan bio, dan sejak adanya rumah ibadah itu penggunaan hio menjadi semakin marak. Sekarang ini industri pembuatan hio di Tanah Air dikuasai oleh pabrikan yang sudah bergelut di industri ini sejak puluhan tahun yang lalu. Namun ada penguasa yang memproduksi hio secara musiman contohnya yang dilakukan di Tangerang, guna mengisi pasokan dupa menjelang sembahyang Tahun Baru Imlek atau Ceng Beng. Salah satu ciri yang membedakan hio buatan masa kini dengan hio zaman baheula, tidak lain harga jualnya yang semakin murah. Hal ini disebabkan hio zaman kita lebih banyak menggunakan bahan aromatik sintetis atau kimiawi, ketimbang bahan aromatik alami.

 

Penggunaan hio di rumah ibadah yang berlebihan kerap dikeluhkan, karena asap yang dikeluarkan mengandung gas yang bersifat karsinogenik, yang bisa memicu penyakit kanker. Anda yang terbiasa mengadakan pujabakti di rumah, sambil membaca paritta atau keng, atau berlatih meditasi tidak perlu khawatir. Pastikan cetiya atau ruang ibadah di tempat Anda memiliki ventilasi yang baik. Bakarlah dupa secukupnya saja, atau cukup satu buah atau satu batang saja. Pilihlah dupa yang berkualitas baik dan sudah dikenal mereknya meskipun harganya lebih mahal. Bagi yang suka menggunakan produk India, pilihlah Chandan Dhoop yang kandungan cendananya lebih banyak. Pemasangan dupa juga disarankan karena asapnya mampu mengusir nyamuk dan keharumannya mampu meningkatkan konsentrasi.

 

Tulisan ini kami tutup dengan menjawab pernyataan orang awam, yang menyebutkan penggunaan hio adalah keharusan dalam memanjatkan doa dan pengharapan, agar didengar oleh para dewa dan dewi. Menurut Carmelo Cannarella, peneliti kontemporer yang menekuni kepercayaan Dewa-dewa Romawi, menulis perihal praktik sembahyang dengan membakar dupa: "Asap dupa yang membumbung ke langit pada dasarnya adalah suatu peninggian, suatu tindakan transendensi, satu momen keterhubungan diantara matra Manusia dengan dimensi Dewa Surgawi: terkoneksinya Bumi dan Langit. Dalam esensinya, perbuatan membakar dupa dengan dihasilkannya tiang kecil asap-wangi, secara material menggambarkan sebuah "poros" yang mampu merealisasikan satu pergerakan ke atas. Spiral asap dupa ini mewakili satu pernyataan pendakian langsung ke surga, sama halnya dengan menaiki tangga-spiral. Dengan demikian spiral asap ini secara simbolis merupakan satu lorong yang menghubungkan hierarki berbagai alam kehidupan, atau mewakili derajat Eksistensi Semesta."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210602