Kamis, 20 Mei 2021

KELAHIRAN SANG MANUSIA AGUNG

 

 


Hari menjelang senja namun suasana masih terang benderang dan sepasang suami-isteri, Suddodhana dan Mahā Māyā, nampak sumringah ketika mereka berdua sedang bersantai di beranda belakang istana. Māyā yang sedang hamil besar ditemani suaminya tampak amat berbahagia, mengingat sebentar lagi mereka akan mendapatkan seorang keturunan, yang kelak akan menjadi pewaris tahta dan meneruskan kejayaan bangsa dan negeri mereka. "Kakanda," kata Māyā kepada suaminya, "aku merasa kelahiran bayi kita sudah semakin dekat. Izinkanlah daku pulang ke rumah Ibunda untuk melahirkan anak kita di sana." "Apakah engkau perlu pulang sejauh itu, hanya untuk melahirkan anak kita?" tanya suaminya. "Adat istiadat kami turun-temurun menitahkan para ibu, untuk melahirkan anak pertamanya di rumah orang tuanya," jawab isterinya.

 

Melihat suaminya terdiam Māyā menambahkan, "Sesuai dengan tradisi, aku telah memohon kepada para Dewa : Vișņu, Prajāpati, Sinivālī, Sarasvatī, dan Aśvinī, untuk turut merawat perkembangan garbha (janin), agar anak kita tumbuh dengan baik. Dan sekarang usia sang janin telah mendekati sepuluh bulan. Ibuku, sang ibu suri, memahami bagaimana merapalkan doa, agar perempuan yang akan melakukan persalinan dapat dengan lancar menginduksi kontraksi dalam rahimnya. 'Laksana angin mengerutkan tanaman teratai di setiap sisinya pada sebuah kolam', dengan cara yang sama rahimnya akan dirangsang, sehingga jarāyu (selaput janin) akan keluar dengan mudah. Sedemikian sehingga sang janin yang telah beristirahat selama berbulan-bulan dalam rahim ibunya, kini dapat melihat dunia luar tanpa cidera. Sang jabang-bayi yang kelak akan serupa dengan ayah dan ibunya."

 

Māyā kemudian menambahkan, "selama proses persalinan sang calon ibu membutuhkan pendampingan para perempuan lainnya. Mereka akan memberikan nasihat bijaknya, mempertunjukkan kasih-sayangnya, dan meredakan segala bentuk kekhawatirannya. Tugas dari para wanita yang mendampingi ini juga memberikan perintah kepada sang calon ibu bagaimana dia harus memposisikan tubuhnya selagi melakukan persalinan; apakah dia harus duduk, berbaring, berjongkok, yang seiring dan sejalan dengan keluarnya sang bayi dari rahimnya. Mereka akan merapalkan mantra-mantra yang akan membawa kesehatan dan kesejahteraan bagi si jabang-bayi dan ibunya. Mereka akan memandikan si jabang-bayi, membersihkan mulut dan tenggorokannya, menutupi ubun-ubunnya 'dengan kasa yang telah dilembabkan dengan minyak', memotong tali-pusar dan mengikatnya di pusar si bayi. Selanjutnya para perempuan itu akan membimbingku, bagaimana menyusui sang jabang-bayi dengan benar. Dalam Sushruta Samhita disebutkan, 'Semoga empat samudera bumi berkontribusi pada pengeluaran susu di payudaramu, agar meningkatkan kekuatan tubuh si jabang-bayi. Wahai, dikau dengan wajahmu nan jelita. Semoga anak ini, yang dibesarkan dengan susu dikau, mencapai umur panjang; selayaknya dewa-dewa yang diciptakan abadi berkat minuman ambrosia yang mereka konsumsi'."

 

"Baiklah jika demikian," Suddodhana menjawab, "besok pagi adalah saat yang tepat untuk melakukan perjalanan ke Rāmagramā." "Benar, kakanda. Bepergian di bulan Vaishakha ini akan sangat menyenangkan. Udaranya hangat sepanjang hari, dan di malam hari bulan yang hampir bundar-sempurna akan menerangi waktu istirahat kami," jawab Māyā. Suddodhana, sang penguasa Shakya, segera memanggil sang patih, orang kepercayaannya. Ia memerintahkan, "Paman Patih, Permaisuri akan berangkat ke rumah orang tuanya besok pagi. Segera engkau siapkan tandu-kerajaan dan para prajurit yang akan mengusungnya. Siapkan pula pasukan berkuda untuk mengawalnya, dan jangan lupa prosesi ini harus menyertakan pula gajah istana. Beritahukan rakyat kita yang tinggal di sepanjang jalan raya, untuk menyambut iring-iringan kerajaan ini, serta perintahkan mereka agar memasang pula umbul-umbul di sisi jalan."

 

Kita tinggalkan dulu Suddodhana yang tengah menyiapkan kepergian isterinya. Selang lebih tiga hari setelah peristiwa itu, di Puncak-puncak Meru yang sejuk ada sekumpulan dewata yang sedang berkumpul. Mereka semua adalah Kawanan Tiga Puluh Dewa. Dengan berpakaian cerah dan anggun, mereka mengibarkan bendera-bendera dan panji-panji kebesaran. Diantara para dewa itu, ada yang sedang memainkan sitar dan kecapi, sedangkan yang lainnya bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Setelah itu mereka memekik dan bertepuk tangan. Demi mendengar suara ribut-ribut itu sang raja dewa, Sakka, tiba-tiba muncul di hadapan mereka, karena dirinya terganggu mendengar nyanyian dan teriakan yang gegap gempita. Dengan penuh hormat ia menyapa mereka dan bertanya: "Mengapa Kawanan Tiga Puluh Dewa ini begitu bergirang hati? Mengapa mereka membawa keluar bendera-bendera dan panji-panji kebesaran sambil melambai-lambaikannya? Tidak pernah ada peringatan seperti ini sebelumnya. Bahkan setelah usainya pertempuran dengan para raksasa, yang mana para dewa menang dan para raksasa kalah. Peristiwa ajaib apa lagi yang kalian dengar, hingga menggirangkan hati kalian semua?"

 

Sakka melanjutkan, "aku memohon, jangan tinggalkan aku dalam kebingungan, tuan-tuan yang baik." Kawanan Tiga Puluh Dewa itu pun menjawab: "Satu peristiwa yang luar biasa baru saja terjadi. Empat Raja Dewa, yang berkuasa di empat mata penjuru angin, sekonyong-konyong turun dari Gunung Sumeru ke Negeri Shakya di Tanah Lumbinī. Dhatarattha, Sang Penguasa Surga Timur yang mengenakan jubah putih-keperakan beserta pengiringnya para gandhabba, sambil membawa perisai mutiaranya. Virūḍhaka, Sang Penguasa Surga Selatan, diikuti oleh anak-buahnya para kumbhanda, memakai gaun biru lengkap dengan perisai safirnya. Virūpakkha, Sang Penguasa Surga Barat yang mengenakan jubah merah beserta pengiringnya para nāga, sambil membawa perisai koralnya. Vessarana, Sang Penguasa Surga Utara, diikuti oleh anak buahnya para yakkha, memakai gaun kuning lengkap dengan perisai emasnya. Ketika Sang Manusia Agung keluar dari rahim ibunya, ia tidak menyentuh bumi. Empat Raja Dewa itu menerimanya dan kemudian meletakkannya di samping ibunya, dengan berkata: "Bergembiralah, oh Ratu Agung. Seorang bayi laki-laki yang memiliki kekuasaan besar telah dilahirkan untuk Paduka."

 

Sakka, Sang Raja Dewa, dengan rasa penasaran bertanya lebih lanjut, "Wahai Kawanan Tiga Puluh Dewa, jelaskan padaku siapa itu gerangan Sang Manusia Agung?" Mereka serempak menjawab: Dia adalah Makhluk Yang Akan Tercerahkan, sebuah Permata Yang Tak-ternilai, yang telah lahir di dunia manusia untuk kesejahteraan dan kebaikan. Karena itu kami luar biasa girang. Makhluk Yang Tiada Duanya, sang Kepribadian Agung. Raja semua manusia, dan Yang Paling Terkemuka diantara umat manusia. Dia akan memutar Roda Dharma di Taman bermukimnya Yang Melihat dari Zaman Lampau. Dengan auman singa, di kerajaan para hewan buas."

 

Demikianlah, tidak sesuai dengan rencana semula, Sang Permaisuri telah melahirkan bayi mereka di Taman Lumbinī, sebuah kebun nan permai, belum sampai setengah-jarak antara Kapilavastu dengan Rāmagramā. Rombongan kerajaan pun kembali pulang disertai kebahagiaan yang luar biasa. Kabar mengenai kelahiran sang pewaris tahta beserta mukjizat-mukjizat yang menyertainya, telah menyebar dengan cepat ke seantero negeri Shakya, dan rakyat pun merayakan peristiwa ini dengan kegembiraan yang meluap-luap. Suddhodana pun tercengang-cengang dan tak habis pikir mendengar kisah kelahiran puteranya yang luar biasa itu. Alam pun seolah-olah ingin mengungkapkan kegembiraannya, dengan membuat bunga-bunga bermekaran di pohonnya, hingga harumnya kembang memenuhi atmosfer negeri Shakya.

 

Di kaki pegunungan Himalaya pada satu padepokan sederhana, hiduplah Sang Petapa Asita, seorang suciwan sepuh berambut abu-abu. Sang petapa yang telinganya telah lama tertutup untuk hal-hal duniawi, baru saja menangkap suara surgawi, bahwasanya Sang Manusia Agung telah lahir di lingkungan keluarga penguasa Shakya. Sang petapa sepuh, yang sesungguhnya masih kenalan Suddhodana dan Permaisuri, tergopoh-gopoh berangkat ke istana untuk menyaksikan sendiri sang bayi yang baru lahir. Melihat kedatangan sang petapa sepuh, Raja memberi hormat dan Permaisuri menyambutnya pula dengan ramah. Setelah sang petapa menanyakan keberadaan si bayi, kegembiraan yang bergelora membanjiri hati Asita. Memandang cemerlangnya si bayi, selayaknya sebuah cahaya nan murni. Melihat si bayi, laksana perhiasan emas di atas kain brokat. Dengan payung putih menaungi di atas kepalanya, sang petapa menimang sang bayi dengan penuh sukacita dan kebahagiaan. Segera setelah diterimanya si Raja Shakya Kecil, kemahirannya dalam menafsirkan marka dan tanda di tubuh bayi, diungkapkan dengan keyakinan hatinya tanpa ragu: "Diantara bangsa berkaki-dua, si bayi ini tidak ada duanya."

 

Kemudian ia teringat, memandang ke dalam dirinya sendiri. Dalam duka yang amat dalam, air mata keluar membanjir dari kedua matanya. Para ningrat Shakya melihatnya menangis, serta merta bertanya: "Adakah marabahaya yang kelak akan menimpa pangeran kami?" Namun kepada mereka yang gelisah ia cukup menjawab: "Selagi aku melihat ke depan, tak ada malapetaka yang akan menyentuh sang pangeran. Tidak juga ada marabahaya yang menantinya. Ingatlah bahwa dia bukan golongan kelas dua, karena dia akan mencapai puncak pengetahuan nan sejati. Dia pula Yang Mencapai Kesucian yang tiada taranya. Serta karena welas-asihnya pada orang banyak, ia akan memutar Roda Dharma dan menyebarkan kehidupan suci. Namun sedikit lagi waktu hidupku tersisa hari ini. Dan aku akan mati tidak lama lagi, jadi aku tidak akan mendengar Sang Pahlawan tanpa tanding mengajarkan Dharma yang Sejati. Itulah hal yang menyedihkanku, kehilangan itu membuatku merana."

 

Sebelum meninggalkan istana, sang petapa sepuh menyampaikan pesan kepada sang permaisuri. "Rahimmu engkau dedikasikan sepenuhnya untuk bayi ini, wahai Permaisuri yang mulia! Dikau, yang menjadi kesayangan para dewa dan manusia, terlalu sakral untuk terkena dukacita duniawi. Dan kehidupan di sini sesungguhnya duka. Maka dari itu dalam tujuh hari, dikau akan menuju akhir kesengsaraan." Tidak ada yang memperhatikan untaian kalimat terakhir ini, karena keluarga besar istana terhanyut oleh kesukacitaan yang meluap-luap, setelah mendengar penerawangan sang petapa sepuh.

 

Hari kelima sejak kelahiran sang bayi, Raja Suddhodana menyelenggarakan Upacara Nāmakaraṇa Saṁskāra, yakni pemberian nama kepada bayi yang baru lahir. Istana menyeleksi dan mengundang seratus-delapan orang brahmana terkemuka. Nama orang harus dimulai dengan huruf-mati atau huruf-semi-mati diikuti dengan huruf-hidup, dan membentuk satu suku-kata. Nama diri bisa terdiri dari dua, empat, atau enam suku kata. Setelah para brahmana berembuk dengan keluarga, dipilihlah nama diri "Savārthasiddh" yang bermakna, "Yang Maha Sejahtera," dan kemudian disingkat sebagai "Siddhārtha."

 

Dari semua brahmana yang hadir di istana, delapan orang diantaranya mahir dalam meneropong masa depan seseorang. Kedelapan brahmana itu adalah Rāma, Dhaja, Lakkhaa, Mantī, Yañña, Subhoja, Sudatta, dan Kondañña. Raja bertanya kepada para brahmana peramal: "Wahai kalian para bijak. Dengan penglihatan kedewaan kalian, seperti apakah perjalanan kerajaanku di bawah tampuk sang putera-mahkota kelak? Akankah dia akan membawa negeri ini pada kejayaan dan kegemilangan?" Setelah mendengar pertanyaan dan permintaan Sang Raja Junjungan mereka, delapan brahmana bijak itu duduk bersilang-kaki, memejamkan mata mereka, dan dalam selang waktu tidak berapa lama kemudian mereka semua berdiri dan dengan takzim menghadap Sang Raja. Ketujuh orang brahmana serempak mengacungkan dua jari ke atas, namun Kondañña, sang brahmana yang paling muda usianya, hanya mengacungkan satu jarinya.

 

Raja bertanya kepada kelompok tujuh brahmana, "Apa maksud kalian dengan menunjukkan dua jari?" Brahmana yang paling tua dari tujuh orang itu maju ke muka mewakili kawan-kawannya. "Sang Putera Mahkota adalah seorang Chakravartīn, Raja Diraja, yang hanya muncul sekali dalam ribuan tahun. Dia memiliki tujuh macam harta yang tak-ternilai. Chakra-ratna roda-dewata, Permata Mulia, Aswa-ratna kuda yang membanggakan, Hasti-ratna sang gajah seputih-salju, Menteri yang cakap dan terampil, Jenderal perkasa yang tak-terkalahkan, dan Isti-ratna sang isteri dengan berkah yang tak-ternilai. Namun jika dia tidak menjadi Penguasa Dunia dan meninggalkan istananya, dia akan menjadi seorang Buddha, yang akan menyelamatkan para dewa dan manusia." Giliran Kondañña yang ditanya; ia serta merta menjawabnya dengan penuh keyakinan, bahwa pangeran kecil kelak akan menjadi seorang Buddha. Kemudian Raja kembali menanyai kelompok tujuh brahmana itu, dengan cara apa pangeran sampai meninggalkan istananya. Mereka pun menjawab, "peristiwa itu akan terjadi jika Pangeran Mahkota melihat orang tua, orang sakit, sesosok jenazah, dan seorang petapa suci. Suddhodana pun memahami takdir yang akan dilakoni oleh sang penerus tahta, dan ia pun telah memikirkan apa yang terbaik untuk dirinya dan kerajaannya.

 

Setelah upacara pemberian nama puteranya usai, Suddhodana memanggil orang kepercayaannya. "Paman Patih, baru saja kita dengar penujuman yang dilakukan oleh para brahmana itu. Bagaimana sekarang menurut pendapatmu?" "Keluarga kerajaan pasti sepakat bahwasanya Sang Putera Mahkota akan membawa kebesaran dan kejayaan pada Negeri Shakya ini. Seperti Chakra (roda) yang menggelinding ke sana kemari dan menggilas apa saja yang ditemuinya, demikian pula Raja kita nanti akan menaklukkan dan menguasai negeri-negeri di sekitarnya seperti Gandhara, Kashi, Kamboja, Kosala, Magadha, Malla, dan Vajji. Demikian pula kota-raja mereka seperti Campā, Rājagaha, Sāvatthī, Sāketa, Kosambī, dan Benares, yang akan menyerukan puji-pujian kepada Sang Chakravartīn. Bahkan seluruh Jambudvipa ini akan bersatu dan berpadu di bawah kekuasaan penguasa dari Kapilavastu." Suddhodana mengomentari, "Benar, Paman Patih. Tugas kita sekarang tidak lain menjaga, agar Sang Putera Mahkota tidak sampai menyaksikan empat penampakan seperti yang dikatakan oleh para brahmana itu."

 

Dua hari berselang, hari masih pagi namun kepanikan dan kegemparan melanda istana Suddhodana. Para wanita dan dayang-dayang istana menangis dan meratap, lalu mereka melaporkan kejadian yang memilukan kepada sang penguasa. "Paduka Yang Mulia, Junjungan kami Permaisuri nan Mulia tidur sejak kemarin malam dan ia tidak bangun-bangun lagi!" Suddhodana bergegas ke kamar peraduan isterinya dan mendapatkan Māyā yang sedang tidur dengan wajah yang masih tersenyum. Tabib-tabib istana segera dipanggil dan semua akhirnya menyimpulkan bahwasanya Sang Permaisuri nan Mulia telah mangkat. Pajāpatī, adik kandung Māyā sekaligus masih merupakan isteri dari Suddhodana, menyeruak masuk dan memohon kepada suaminya, "izinkanlah daku untuk menyusui dan merawat pangeran kecil ini, duhai Junjunganku." Suddhodana tersadar dan ia pun langsung memberikan restunya.

 

Suddhodana terguncang dan bersedih. Ia lantas teringat kata-kata terakhir yang diucapkan oleh si Bijak Asita. Ramalannya terbukti tepat. Ia pun bimbang dan gundah gulana, akankah terwujud penujuman para brahmana itu mengenai takdir Sang Pangeran Mahkota?

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210519

 

Minggu, 09 Mei 2021

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

 



Sejak zaman purbakala ribuan tahun yang lampau manusia yang mendiami bumi ini kerap bertanya-tanya, bagaimana bumi dan alam semesta ini tercipta. Dari pengalaman mereka dunia ini begitu teratur, ada siang ada malam yang datang silih berganti dengan kepastian yang mengagumkan. Setiap pagi matahari terbit di timur dan di sore hari ia tenggelam di barat, serta siang dan malam menciptakan suasana alam yang sangat berbeda. Belum lagi musim-musim yang datang silih berganti sepanjang tahun, dan kejadian itu pun berlangsung secara ajeg dari tahun yang satu ke tahun yang berikutnya, serta kepastian itu berlangsung sepanjang masa hidup mereka. Orang-orang yang kritis akan bertanya, apakah keadaan bumi kita yang menakjubkan itu telah berlangsung sejak dulu kala? Atau barangkali baru terjadi setelah bumi dan alam semesta itu tercipta?

 

Nenek moyang kita yang sudah lama bertanya-tanya perihal permulaan dunia dan alam semesta, sedikit demi sedikit mendapatkan jawaban lewat cerita-cerita orang sezamannya yang begitu memikat dan mampu memuaskan rasa ingin tahu mereka. Cerita-cerita itu menggambarkan penciptaan alam semesta dan dunia, termasuk pula kisah manusia pertama yang mendiami dunia ini. Mitos penciptaan yang dikenal sebagai kosmogoni, mengekspresikan pemahaman leluhur kita tentang keberadaan umat manusia di dunia dan di alam semesta ini. Mitologi tentang penciptaan ini ternyata ditemukan di beberapa bangsa dan kebudayaan kuno, yang berasal dari zaman yang berbeda-beda. Sebagian kisah tentang penciptaan dunia dan alam semesta hanya dikisahkan lewat cerita lisan yang disampaikan secara turun-temurun, sedangkan sebagian lagi ditulis dalam naskah-naskah suci mereka dan terawetkan hingga masa kini. Salah satu kisah penciptaan alam semesta yang ditemukan secara kebetulan terjadi pada 1846, yakni tentang Enuma Elis. Mite yang bersumber dari kebudayaan Babilonia atau Mesopotamia ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1100 seb.M., diperoleh dari inskripsi yang tercetak di atas beberapa buah tablet tanah liat. Enuma Elis berisi epik yang mengisahkan kemenangan Marduk, yang kemudian menjadi pimpinan para dewa, atas rivalnya Tiamat, dan peristiwa tersebut sekaligus menjadi awal penciptaan dunia.

 

Dalam tulisan ini kita tidak ingin membanding-bandingkan antara satu mitos penciptaan dunia dan alam semesta yang berasal dari bangsa dan kebudayaan yang berbeda-beda, tetapi kita akan mengambil satu contoh yakni mitos penciptaan alam semesta yang berasal dari Tiongkok. Kemudian kita akan melihat sekilas kosmogoni dari pandangan sains. Tulisan ini akan ditutup dengan pertanyaan, apakah alam semesta kita ini akan berlangsung terus seperti saat ini atau akan berakhir pada satu titik tertentu.

 

Jika kita meneliti literatur Tiongkok Kuno ada kisah tentang sesosok makhluk bernama Pán Gǔ. Ia adalah leluhur yang paling awal dari segala sesuatu, tokoh yang membuka langit (atau surga) dan bumi dengan sekuat kemampuannya. Namun tragisnya, pada akhir hidupnya, ia harus mengorbankan nyawanya sendiri guna menjadi bagian dari alam semesta itu sendiri. Pan Gu (Pinyin: Pán Gǔ Shì; 盘古) bermakna "Pán" itu "cangkang telur", dan "Gǔ" berarti "mengamankan" atau "padat"; jadi secara harfiah Pan Gu tidak lain cangkang telur yang telah memadat atau mendekati saat menetasnya.

 

Selama ribuan tahun legenda Pán Gǔ yang secara menakjubkan membentuk alam semesta, disebarluaskan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya. Tokoh ini senantiasa dikenang sebagai satu diantara mutiara dalam cerita rakyat Tiongkok. Narasi tentang Pan Gu sendiri memiliki banyak versi, tetapi pesan yang ingin disampaikan oleh yang empunya cerita tetaplah sama. Pada zaman dahulu kala, sebelum ada apa pun di alam semesta ini, ada entitas berbentuk telur yang berukuran sangat besar. Di dalam telur purba raksasa ini, dua kekuatan yang saling berlawanan, yang oleh orang Tionghoa dikenal sebagai Yin dan Yang belumlah ada alias masih bercampur-baur dalam keadaan kacau. Serta di luar telur raksasa tidak dapat ditemukan apa pun jua, semuanya benar-benar hampa dan gelap.

 

Sekarang apa itu Yin dan Yang?  Prinsip Yin dan Yang berbunyi: semua yang ada itu merupakan pertentangan atau perlawanan yang saling tidak terpisahkan. Sebagai contohnya antara lain: wanita-pria, gelap-terang, dan tua-muda. Dua kutub yang berlawanan Yin dan Yang saling tarik-menarik, saling melengkapi satu sama lain. Dalam pemahaman kita selama ini Yin adalah kutub negatif, sedangkan Yang tidak lain kutub positif. Kutub yang satu tidak lebih unggul dibandingkan kutub yang lain. Jika terjadi penambahan tenaga pada kutub yang satu, hal ini akan menambah kekuatan pula pada kutub yang lain; sehingga keseimbangan diantara kedua kutub tetap terjaga guna mencapai keharmonisan. Berikut ini disebutkan contoh Yin: feminin, hitam, gelap, utara, air (transformasi), pasif, bulan, bumi, dingin, tua, bilangan genap, lembah, miskin, lunak.

 

Konon selama delapan-belas ribu tahun, Pán Gǔ mendekam di dalam cangkang telurnya dan di sana ia tertidur sekaligus tumbuh menjadi besar. Sampailah pada satu hari yang ditunggu-tunggu, Pán Gǔ terbangun dari lelap panjangnya, dan dia mulai membuka matanya. Tetapi yang dilihatnya hanya kegelapan dan kehampaan belaka. Dia memasang kedua telinganya baik-baik tetapi yang didapat hanya keheningan yang tidak menyenangkan. Pán Gǔ menemukan lingkungannya suram dan ditandai oleh khaos atau kekacaubalauan.

 

Pán Gǔ saat terbangun dan sadar, sedang berada di tengah-tengah telur. Dalam kebingungannya ia menyulap untuk menciptakan sebuah palu ajaib di tangan kanannya dan sebuah pahat magis di tangan kirinya. Selanjutnya Pán Gǔ mulai bekerja, membagi telur raksasa itu menjadi dua bagian, dengan bantuan palu dan pahatnya. Akhirnya telur besar itu terbelah dua dengan diiringi suara retakan bergemuruh. Perlahan- lahan Yin dan Yang mulai berpisah. Semua yang gelap dan berat tenggelam serta mulai membentuk bumi. Dan sisanya yang terang dan jernih melayang-layang, serta sedikit demi sedikit membentuk langit atau surga.

 

Setelah telur raksasa terbelah menjadi dua Pán Gǔ gembira dengan hasil kerjanya, namun di sisi lain dia khawatir bahwa kedua bagian telur itu bakal bersatu kembali. Lalu dia mendapat akal, dengan berdiri diantara dua bagian telur itu, guna menjaga mereka tetap terpisah. Dengan begitu kepalanya mendorong langit agar bagian itu semakin membumbung ke atas, sementara telapak kakinya menekan bumi ke bawah agar semakin menjauh ke bawah. Hari demi hari berlalu dan tubuh Pán Gǔ tumbuh semakin lama semakin besar.  Setiap hari lewat, langit naik sepuluh kaki lebih jauh di atasnya, dan bersamaan dengan itu bumi menebal sepuluh kaki di bawahnya, serta Pan Gu sendiri berkembang dua-puluh kaki hanya demi mengimbangi hamparan yang tumbuh, dan juga untuk memaksanya bertahan.

 

Hari pun berlanjut hingga lewat delapan-belas ribu tahun berikutnya, dan jarak antara kedua belah telur raksasa sekarang telah mencapai tiga-puluh ribu mil. Setelah dia yakin sepenuhnya bahwa kedua potongan telur raksasa itu tidak akan bersatu kembali, Pán Gǔ yang kelelahan itu pun menghentikan usaha kerasnya. Tubuh raksasanya tumbang menghantam bumi dan Pán Gǔ pun tewas. Dengan kematian Pán Gǔ bukan berarti alam semesta berhenti berkembang, namun transformasi ajaib terjadi yang akan membentuk wajah langit dan bumi selanjutnya. Napas terakhirnya berubah menjadi angin dan awan, dan suaranya menjadi gemuruh halilintar. Salah satu matanya kemudian menjadi matahari dan mata lainnya berubah menjadi bulan. Rambut dan jenggotnya menjadi jutaan bintang Bima Sakti yang berkerlap-kerlip di langit malam. Anggota tubuhnya menjelma menjadi lima pegunungan yang paling besar di Tiongkok. Darahnya berubah wujud menjadi aliran sungai dan lautan. Daging tubuhnya menjadi lahan pertanian yang subur, tulang-tulangnya berubah menjadi permata dan mineral yang berharga; gigi dan kukunya menjadi logam berkilau.  Bulu dan kulitnya bersenyawa menjadi vegetasi tumbuh-tumbuhan yang subur. Keringat yang semula keluar dari tubuhnya sekarang jatuh sebagai air hujan yang menyuburkan bumi. Dan akhirnya makhluk-makhluk kecil yang selama ini hidup di tubuh Pán Gǔ pun menjadi hewan dan manusia yang tersebar memenuhi permukaan bumi.

 

Pán Gǔ sebagai tokoh mitologi kerap digambarkan sebagai seorang pria bertubuh kerdil yang mengenakan kulit beruang, atau hanya memakai celemek daun. Dia memiliki dua tanduk di kepalanya. Di tangan kanannya dia memegang palu dan di tangan kirinya pahat, yakni dua alat yang dia gunakan dalam menjalankan tugas besarnya. Penggambaran lain memperlihatkan Pán Gǔ ditemani oleh empat makhluk gaib, yakni kuda bertanduk-satu atau unicorn, burung-api atau phoenix, kura-kura, dan naga. Visualisasi Pán Gǔ lainnya menunjukkan dia sedang memegang matahari di satu tangan dan bulan di tangan lainnya.

 

Pán Gǔ sebagai tokoh legenda yang menciptakan langit dan bumi, dianggap sesosok dewa oleh para pemujanya. Bertempat di Provinsi Guangdong pada 1809 dibangun Kuil Raja Pan Gu dengan altar pemujaan utama Dewa Pán Gǔ. Letak kuil ini di sebelah utara Kota Shiling, barat laut Distrik Huadu, pada kaki Gunung Raja Pan Gu.

 

Kita sudah mengetahui penciptaan alam semesta dari cerita kuno Tiongkok. Sekarang kita akan melihat apa yang dikatakan oleh sains tentang asal-usul alam semesta. Ilmu pengetahuan tidak menyebutkan apa yang ada sebelum alam semesta kita ini tercipta, seperti yang akan penulis jelaskan nanti. Padahal menurut pemikiran Yunani, sebelum alam semesta ini tercipta, yang ada hanyalah khaos atau kekacaubalauan semata. Setelah khaos berakhir, barulah terjadi keteraturan dan terciptalah kosmos. Dengan demikian ada kesesuaian antara mitologi Tiongkok dengan mitologi Yunani.

 

Dalam perjalanan ilmu astronomi dan kosmologi selama seratus tahun terakhir ini, kebanyakan ahli setuju bahwa alam semesta dimulai oleh sebuah Dentuman Besar (dinamakan juga big bang) yang terjadi kurang lebih 12,7 milyar tahun yang lalu. Teori ini menjelaskan bahwa alam semesta berasal dari bakal-materi-dan-energi yang super-super masif dan sangat-sangat panas, yang membesar dengan menyebarkan segala isinya. Pengembangan alam semesta sehingga makin membesar, terjadi saat bermulanya dentuman besar dan berlangsung hingga sekarang ini. Menurut perhitungan, pada satu-per-sepuluh-ribu detik sejak ledakan besar terjadi, muncullah partikel-partikel kecil yang akan membangun atom, seperti proton, elektron, dan netron. Namun untuk membentuk inti atom yang sangat kecil diperlukan waktu tiga menit. Pada saat itu temperaturnya mencapai tujuh-puluh kali suhu matahari kita. Kemudian masih diperlukan waktu selama lima-ratus-ribu tahun untuk mendinginkannya, dan membuat atom berfungsi secara sempurna. Dengan terbentuknya atom disusul dengan molekul, dimulailah pembentukan materi dasar yang kelak membentuk alam semesta.

 

Molekul yang paling banyak tercipta adalah hidrogen, yakni unsur yang paling ringan. Molekul-molekul hidrogen membentuk awan hidrogen yang disebut nebula. Nebula yang sangat panas ini berangsur-angsur membentuk bintang, dan salah satunya adalah matahari kita. Berbarengan dengan terbentuknya bintang lahir pula planet-planet di sekitarnya, sehingga sistem bintang-planet ini dinamakan tata-surya. Kumpulan tata-surya ini berkumpul kembali dalam konstelasi yang lebih besar yang dinamakan galaksi (galaksi disebut juga: "pulau alam semesta"). Galaksi yang kita diami dinamakan "Bimasakti" atau "Jalan Susu". Sesungguhnya tidak terhitung banyaknya galaksi di alam semesta ini, sehingga sukar sekali membayangkan betapa luas dan besarnya jagat raya kita ini.

 

Sekarang kita coba membandingkan legenda tentang Pan Gu dengan terciptanya alam semesta menurut sains. Dalam mite Tiongkok itu, pembentukan jagat raya bermula dari keberadaan "telur-kosmik" raksasa, yang tumbuh dalam khaos. Sedangkan teori penciptaan menyebutkan bahwa alam semesta bermula dari bakal-materi-dan-energi, yang berada di satu titik. Kemudian konsep tentang khaos yang menjadi kondisi awal juga diambil oleh para ilmuwan, dengan gagasan bahwa jagat raya senantiasa mengembang, serta ide bahwa alam semesta itu telah sedemikian tuanya. Demikian pula dengan gagasan bahwa begitu kosmos itu terbentuk, terjadi pula prinsip dualitas atau Yin dan Yang. Sedangkan pada teori kosmologi, proton dan elektron baru tercipta selang beberapa saat setelah dentuman besar. Setelah kita membandingkan antara legenda dan ilmu pengetahuan terdapat persamaan. Apakah ini kebetulan belaka? Walahualam.

 

Teori Dentuman Besar kini makin diterima keabsahannya, karena bukti pengamatan dan studi yang didasarkan pada ilmu fisika dan astronomi mendukung kebenaran teori tersebut. Dengan demikian terbukti bahwa jagat raya kita sekarang dalam keadaan mengembang. Apakah alam semesta ini akan mengembang terus-menerus di masa yang akan datang? Sebagian ilmuwan memprediksi bahwa suatu saat pemuaian akan berhenti, dari alam semesta akan menyusut. Jika ini benar terjadi, jagat raya akan semakin mengecil, serta pada saatnya akan terjadi *Remukan Besar*. Remukan Besar akan disusul segera dengan Dentuman Besar yang berikutnya, dan alam semesta akan mulai tumbuh lagi dari nol dan proses yang sama akan berulang kembali. Jika ini benar, maka kita akan mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi sebelum big bang yang lampau. Namun sekali lagi jagat raya yang diperkirakan akan menyusut di masa depan itu hanyalah prediksi, karena tidak ada bukti hal itu akan terjadi.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210505