Hari menjelang
senja namun suasana masih terang benderang dan sepasang suami-isteri,
Suddodhana dan Mahā Māyā, nampak sumringah ketika mereka berdua sedang
bersantai di beranda belakang istana. Māyā yang sedang hamil besar ditemani
suaminya tampak amat berbahagia, mengingat sebentar lagi mereka akan
mendapatkan seorang keturunan, yang kelak akan menjadi pewaris tahta dan
meneruskan kejayaan bangsa dan negeri mereka. "Kakanda," kata Māyā
kepada suaminya, "aku merasa kelahiran bayi kita sudah semakin dekat.
Izinkanlah daku pulang ke rumah Ibunda untuk melahirkan anak kita di
sana." "Apakah engkau perlu pulang sejauh itu, hanya untuk melahirkan
anak kita?" tanya suaminya. "Adat istiadat kami turun-temurun
menitahkan para ibu, untuk melahirkan anak pertamanya di rumah orang
tuanya," jawab isterinya.
Melihat
suaminya terdiam Māyā menambahkan, "Sesuai dengan tradisi, aku telah
memohon kepada para Dewa : Vișņu, Prajāpati, Sinivālī, Sarasvatī, dan Aśvinī,
untuk turut merawat perkembangan garbha (janin), agar anak kita tumbuh
dengan baik. Dan sekarang usia sang janin telah mendekati sepuluh bulan. Ibuku,
sang ibu suri, memahami bagaimana merapalkan doa, agar perempuan yang akan
melakukan persalinan dapat dengan lancar menginduksi kontraksi dalam rahimnya.
'Laksana angin mengerutkan tanaman teratai di setiap sisinya pada sebuah
kolam', dengan cara yang sama rahimnya akan dirangsang, sehingga jarāyu
(selaput janin) akan keluar dengan mudah. Sedemikian sehingga sang janin yang
telah beristirahat selama berbulan-bulan dalam rahim ibunya, kini dapat melihat
dunia luar tanpa cidera. Sang jabang-bayi yang kelak akan serupa dengan ayah
dan ibunya."
Māyā kemudian
menambahkan, "selama proses persalinan sang calon ibu membutuhkan pendampingan
para perempuan lainnya. Mereka akan memberikan nasihat bijaknya, mempertunjukkan
kasih-sayangnya, dan meredakan segala bentuk kekhawatirannya. Tugas dari para
wanita yang mendampingi ini juga memberikan perintah kepada sang calon ibu
bagaimana dia harus memposisikan tubuhnya selagi melakukan persalinan; apakah
dia harus duduk, berbaring, berjongkok, yang seiring dan sejalan dengan
keluarnya sang bayi dari rahimnya. Mereka akan merapalkan mantra-mantra yang
akan membawa kesehatan dan kesejahteraan bagi si jabang-bayi dan ibunya. Mereka
akan memandikan si jabang-bayi, membersihkan mulut dan tenggorokannya, menutupi
ubun-ubunnya 'dengan kasa yang telah dilembabkan dengan minyak', memotong tali-pusar
dan mengikatnya di pusar si bayi. Selanjutnya para perempuan itu akan
membimbingku, bagaimana menyusui sang jabang-bayi dengan benar. Dalam Sushruta
Samhita disebutkan, 'Semoga empat samudera bumi berkontribusi pada
pengeluaran susu di payudaramu, agar meningkatkan kekuatan tubuh si
jabang-bayi. Wahai, dikau dengan wajahmu nan jelita. Semoga anak ini, yang
dibesarkan dengan susu dikau, mencapai umur panjang; selayaknya dewa-dewa yang
diciptakan abadi berkat minuman ambrosia yang mereka konsumsi'."
"Baiklah
jika demikian," Suddodhana menjawab, "besok pagi adalah saat yang
tepat untuk melakukan perjalanan ke Rāmagramā." "Benar, kakanda.
Bepergian di bulan Vaishakha ini akan sangat menyenangkan. Udaranya hangat
sepanjang hari, dan di malam hari bulan yang hampir bundar-sempurna akan
menerangi waktu istirahat kami," jawab Māyā. Suddodhana, sang penguasa
Shakya, segera memanggil sang patih, orang kepercayaannya. Ia memerintahkan,
"Paman Patih, Permaisuri akan berangkat ke rumah orang tuanya besok pagi.
Segera engkau siapkan tandu-kerajaan dan para prajurit yang akan mengusungnya.
Siapkan pula pasukan berkuda untuk mengawalnya, dan jangan lupa prosesi ini
harus menyertakan pula gajah istana. Beritahukan rakyat kita yang tinggal di
sepanjang jalan raya, untuk menyambut iring-iringan kerajaan ini, serta
perintahkan mereka agar memasang pula umbul-umbul di sisi jalan."
Kita tinggalkan
dulu Suddodhana yang tengah menyiapkan kepergian isterinya. Selang lebih tiga
hari setelah peristiwa itu, di Puncak-puncak Meru yang sejuk ada sekumpulan
dewata yang sedang berkumpul. Mereka semua adalah Kawanan Tiga Puluh Dewa. Dengan berpakaian cerah dan anggun, mereka
mengibarkan bendera-bendera dan panji-panji kebesaran. Diantara para dewa itu,
ada yang sedang memainkan sitar dan kecapi, sedangkan yang lainnya
bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Setelah itu mereka memekik dan bertepuk
tangan. Demi mendengar suara ribut-ribut itu sang raja dewa, Sakka, tiba-tiba
muncul di hadapan mereka, karena dirinya terganggu mendengar nyanyian dan
teriakan yang gegap gempita. Dengan penuh hormat ia menyapa mereka dan
bertanya: "Mengapa Kawanan Tiga Puluh Dewa ini begitu bergirang hati? Mengapa
mereka membawa keluar bendera-bendera dan panji-panji kebesaran sambil
melambai-lambaikannya? Tidak pernah ada peringatan seperti ini sebelumnya. Bahkan
setelah usainya pertempuran dengan para raksasa, yang mana para dewa menang dan
para raksasa kalah. Peristiwa ajaib apa lagi yang kalian dengar, hingga
menggirangkan hati kalian semua?"
Sakka melanjutkan, "aku
memohon, jangan tinggalkan aku dalam kebingungan, tuan-tuan yang baik."
Kawanan Tiga Puluh Dewa itu pun menjawab: "Satu peristiwa yang luar biasa
baru saja terjadi. Empat Raja
Dewa, yang berkuasa di empat mata penjuru angin, sekonyong-konyong turun dari
Gunung Sumeru ke Negeri Shakya di Tanah Lumbinī. Dhatarattha, Sang Penguasa
Surga Timur yang mengenakan jubah putih-keperakan beserta pengiringnya para gandhabba,
sambil membawa perisai mutiaranya. Virūḍhaka, Sang Penguasa Surga Selatan,
diikuti oleh anak-buahnya para kumbhanda, memakai gaun biru lengkap
dengan perisai safirnya. Virūpakkha, Sang Penguasa Surga Barat yang mengenakan
jubah merah beserta pengiringnya para nāga, sambil membawa perisai
koralnya. Vessarana, Sang Penguasa Surga Utara, diikuti oleh anak buahnya para yakkha,
memakai gaun kuning lengkap dengan perisai emasnya. Ketika Sang Manusia Agung
keluar dari rahim ibunya, ia tidak menyentuh bumi. Empat Raja Dewa itu
menerimanya dan kemudian meletakkannya di samping ibunya, dengan berkata:
"Bergembiralah, oh Ratu Agung. Seorang bayi laki-laki yang memiliki
kekuasaan besar telah dilahirkan untuk Paduka."
Sakka, Sang
Raja Dewa, dengan rasa penasaran bertanya lebih lanjut, "Wahai Kawanan
Tiga Puluh Dewa, jelaskan padaku siapa itu gerangan Sang Manusia Agung?" Mereka serempak menjawab: Dia adalah Makhluk Yang Akan
Tercerahkan, sebuah Permata Yang Tak-ternilai, yang telah lahir di dunia
manusia untuk kesejahteraan dan kebaikan. Karena itu kami luar biasa girang. Makhluk
Yang Tiada Duanya, sang Kepribadian Agung. Raja semua manusia, dan Yang Paling
Terkemuka diantara umat manusia. Dia akan memutar Roda Dharma di Taman
bermukimnya Yang Melihat dari Zaman Lampau. Dengan auman singa, di kerajaan
para hewan buas."
Demikianlah, tidak sesuai dengan rencana
semula, Sang Permaisuri telah melahirkan bayi mereka di Taman Lumbinī, sebuah
kebun nan permai, belum sampai setengah-jarak antara Kapilavastu dengan
Rāmagramā. Rombongan kerajaan pun kembali pulang disertai kebahagiaan yang luar
biasa. Kabar mengenai kelahiran sang pewaris tahta beserta mukjizat-mukjizat
yang menyertainya, telah menyebar dengan cepat ke seantero negeri Shakya, dan
rakyat pun merayakan peristiwa ini dengan kegembiraan yang meluap-luap.
Suddhodana pun tercengang-cengang dan tak habis pikir mendengar kisah kelahiran
puteranya yang luar biasa itu. Alam pun seolah-olah ingin mengungkapkan
kegembiraannya, dengan membuat bunga-bunga bermekaran di pohonnya, hingga
harumnya kembang memenuhi atmosfer negeri Shakya.
Di kaki
pegunungan Himalaya pada satu padepokan sederhana, hiduplah Sang Petapa Asita,
seorang suciwan sepuh berambut abu-abu. Sang petapa yang telinganya telah lama
tertutup untuk hal-hal duniawi, baru saja menangkap suara surgawi, bahwasanya
Sang Manusia Agung telah lahir di lingkungan keluarga penguasa Shakya. Sang
petapa sepuh, yang sesungguhnya masih kenalan Suddhodana dan Permaisuri,
tergopoh-gopoh berangkat ke istana untuk menyaksikan sendiri sang bayi yang
baru lahir. Melihat kedatangan sang petapa sepuh, Raja memberi hormat dan
Permaisuri menyambutnya pula dengan ramah. Setelah sang petapa menanyakan
keberadaan si bayi, kegembiraan yang bergelora membanjiri hati Asita. Memandang
cemerlangnya si bayi, selayaknya sebuah cahaya nan murni. Melihat si bayi,
laksana perhiasan emas di atas kain brokat. Dengan payung putih menaungi di
atas kepalanya, sang petapa menimang sang bayi dengan penuh sukacita dan
kebahagiaan. Segera setelah diterimanya si Raja Shakya Kecil, kemahirannya
dalam menafsirkan marka dan tanda di tubuh bayi, diungkapkan dengan keyakinan
hatinya tanpa ragu: "Diantara bangsa berkaki-dua, si bayi ini tidak ada
duanya."
Kemudian ia
teringat, memandang ke dalam dirinya sendiri. Dalam duka yang amat dalam, air
mata keluar membanjir dari kedua matanya. Para ningrat Shakya melihatnya
menangis, serta merta bertanya: "Adakah marabahaya yang kelak akan menimpa
pangeran kami?" Namun kepada mereka yang gelisah ia cukup menjawab:
"Selagi aku melihat ke depan, tak ada malapetaka yang akan menyentuh sang
pangeran. Tidak juga ada marabahaya yang menantinya. Ingatlah bahwa dia bukan
golongan kelas dua, karena dia akan mencapai puncak pengetahuan nan sejati. Dia
pula Yang Mencapai Kesucian yang tiada taranya. Serta karena welas-asihnya pada
orang banyak, ia akan memutar Roda Dharma dan menyebarkan kehidupan suci. Namun
sedikit lagi waktu hidupku tersisa hari ini. Dan aku akan mati tidak lama lagi,
jadi aku tidak akan mendengar Sang Pahlawan tanpa tanding mengajarkan Dharma
yang Sejati. Itulah hal yang menyedihkanku, kehilangan itu membuatku
merana."
Sebelum
meninggalkan istana, sang petapa sepuh menyampaikan pesan kepada sang
permaisuri. "Rahimmu engkau dedikasikan sepenuhnya untuk bayi ini, wahai
Permaisuri yang mulia! Dikau, yang menjadi kesayangan para dewa dan manusia,
terlalu sakral untuk terkena dukacita duniawi. Dan kehidupan di sini
sesungguhnya duka. Maka dari itu dalam tujuh hari, dikau akan menuju akhir
kesengsaraan." Tidak ada yang memperhatikan untaian kalimat terakhir ini,
karena keluarga besar istana terhanyut oleh kesukacitaan yang meluap-luap,
setelah mendengar penerawangan sang petapa sepuh.
Hari kelima sejak kelahiran sang
bayi, Raja Suddhodana menyelenggarakan Upacara Nāmakaraṇa Saṁskāra,
yakni pemberian nama kepada bayi yang baru lahir. Istana menyeleksi dan mengundang
seratus-delapan orang brahmana terkemuka. Nama orang harus dimulai dengan
huruf-mati atau huruf-semi-mati diikuti dengan huruf-hidup, dan membentuk satu
suku-kata. Nama diri bisa terdiri dari dua, empat, atau enam suku kata. Setelah
para brahmana berembuk dengan keluarga, dipilihlah nama diri
"Savārthasiddh" yang bermakna, "Yang Maha Sejahtera," dan
kemudian disingkat sebagai "Siddhārtha."
Dari semua brahmana yang hadir di
istana, delapan orang diantaranya mahir dalam meneropong masa depan seseorang. Kedelapan brahmana itu
adalah Rāma,
Dhaja, Lakkhaṇa, Mantī, Yañña, Subhoja, Sudatta, dan
Kondañña. Raja bertanya kepada para brahmana peramal: "Wahai kalian para
bijak. Dengan penglihatan kedewaan kalian, seperti apakah perjalanan kerajaanku
di bawah tampuk sang putera-mahkota kelak? Akankah dia akan membawa negeri ini
pada kejayaan dan kegemilangan?" Setelah mendengar pertanyaan dan
permintaan Sang Raja Junjungan mereka, delapan brahmana bijak itu duduk
bersilang-kaki, memejamkan mata mereka, dan dalam selang waktu tidak berapa
lama kemudian mereka semua berdiri dan dengan takzim menghadap Sang Raja.
Ketujuh orang brahmana serempak mengacungkan dua jari ke atas, namun Kondañña,
sang brahmana yang paling muda usianya, hanya mengacungkan satu jarinya.
Raja bertanya kepada kelompok tujuh brahmana, "Apa
maksud kalian dengan menunjukkan dua jari?" Brahmana yang paling tua dari
tujuh orang itu maju ke muka mewakili kawan-kawannya. "Sang Putera Mahkota
adalah seorang Chakravartīn, Raja Diraja, yang hanya muncul sekali dalam
ribuan tahun. Dia memiliki tujuh macam harta yang tak-ternilai. Chakra-ratna
roda-dewata, Permata Mulia, Aswa-ratna kuda yang membanggakan, Hasti-ratna
sang gajah seputih-salju, Menteri yang cakap dan terampil, Jenderal perkasa
yang tak-terkalahkan, dan Isti-ratna sang isteri dengan berkah yang
tak-ternilai. Namun jika dia tidak menjadi Penguasa Dunia dan meninggalkan
istananya, dia akan menjadi seorang Buddha, yang akan menyelamatkan para dewa
dan manusia." Giliran Kondañña yang ditanya; ia serta merta menjawabnya
dengan penuh keyakinan, bahwa pangeran kecil kelak akan menjadi seorang Buddha.
Kemudian Raja kembali menanyai kelompok tujuh brahmana itu, dengan cara apa
pangeran sampai meninggalkan istananya. Mereka pun menjawab, "peristiwa itu
akan terjadi jika Pangeran Mahkota melihat orang tua, orang sakit, sesosok
jenazah, dan seorang petapa suci. Suddhodana pun memahami takdir yang akan
dilakoni oleh sang penerus tahta, dan ia pun telah memikirkan apa yang terbaik
untuk dirinya dan kerajaannya.
Setelah upacara pemberian nama puteranya usai, Suddhodana
memanggil orang kepercayaannya. "Paman Patih, baru saja kita dengar
penujuman yang dilakukan oleh para brahmana itu. Bagaimana sekarang menurut
pendapatmu?" "Keluarga kerajaan pasti sepakat bahwasanya Sang Putera
Mahkota akan membawa kebesaran dan kejayaan pada Negeri Shakya ini. Seperti Chakra
(roda) yang menggelinding ke sana kemari dan menggilas apa saja yang
ditemuinya, demikian pula Raja kita nanti akan menaklukkan dan menguasai
negeri-negeri di sekitarnya seperti Gandhara, Kashi, Kamboja, Kosala, Magadha,
Malla, dan Vajji. Demikian pula kota-raja mereka seperti Campā, Rājagaha,
Sāvatthī, Sāketa, Kosambī, dan Benares, yang akan
menyerukan puji-pujian kepada Sang Chakravartīn. Bahkan seluruh
Jambudvipa ini akan bersatu dan berpadu di bawah kekuasaan penguasa dari
Kapilavastu." Suddhodana mengomentari, "Benar, Paman Patih. Tugas
kita sekarang tidak lain menjaga, agar Sang Putera Mahkota tidak sampai
menyaksikan empat penampakan seperti yang dikatakan oleh para brahmana
itu."
Dua hari berselang, hari masih pagi namun kepanikan dan
kegemparan melanda istana Suddhodana. Para wanita dan dayang-dayang istana
menangis dan meratap, lalu mereka melaporkan kejadian yang memilukan kepada
sang penguasa. "Paduka Yang Mulia, Junjungan kami Permaisuri nan Mulia
tidur sejak kemarin malam dan ia tidak bangun-bangun lagi!" Suddhodana
bergegas ke kamar peraduan isterinya dan mendapatkan Māyā yang sedang tidur
dengan wajah yang masih tersenyum. Tabib-tabib istana segera dipanggil dan
semua akhirnya menyimpulkan bahwasanya Sang Permaisuri nan Mulia telah mangkat.
Pajāpatī, adik kandung Māyā sekaligus masih merupakan isteri dari Suddhodana,
menyeruak masuk dan memohon kepada suaminya, "izinkanlah daku untuk menyusui
dan merawat pangeran kecil ini, duhai Junjunganku." Suddhodana tersadar
dan ia pun langsung memberikan restunya.
Suddhodana terguncang dan bersedih. Ia lantas teringat
kata-kata terakhir yang diucapkan oleh si Bijak Asita. Ramalannya terbukti tepat. Ia pun bimbang dan gundah gulana, akankah terwujud penujuman para brahmana itu mengenai takdir Sang Pangeran
Mahkota?
sdjn/dharmaprimapustaka/210519