Rabu, 21 April 2021

JADI BHIKKHU




Waktu itu hari Minggu sekitar pukul sebelas siang bertempat di sebuah vihara di Bogor, dan pujabakti untuk umum baru saja usai. Penulis dan beberapa sahabat lama berbincang-bincang melepas rasa kangen setelah bertahun-tahun kami tidak saling berjumpa. Pembicaraan akhirnya menjurus pada apa yang mesti kami kerjakan di sisa usia ini. Maklumlah kami sudah tidak muda lagi, dan rata-rata telah berusia di atas kepala lima atau enam.

 

Salah satu sahabat perumah tangga yang berusia lebih dari enam puluh tahun, yang isterinya telah meninggal dunia, mengemukakan aspirasinya untuk memasuki hidup kebhikkhuan. Ada sahabat lainnya yang juga berminat mengikuti jejak kawannya, tetapi ia khawatir tidak diizinkan oleh keluarganya. Penulis lalu teringat, pernah membaca di sebuah majalah-dinding yang terdapat di sebuah vihara, bahwa untuk mengikuti penahbisan samanera – yakni calon bhikkhu (bukan bhikkhu) – peserta harus memenuhi beberapa persyaratan. Salah satu persyaratan antara lain umur calon samanera paling tua adalah lima puluh tahun. Setelah penulis kemukakan, bahwa di Sangha anu berlaku persyaratan tersebut, sahabat yang pertama tadi langsung mengungkapkan kekecewaannya. "Mengapa ada persyaratan seperti itu?" tanyanya agak sewot. "Bukankah di zaman Sang Buddha, umur berapa pun orang itu, jika ia bertekad dengan tulus, selalu diterima oleh Beliau untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu?" Penulis lalu menenangkan sang sahabat itu, namun merasa tidak berwenang untuk menjelaskan perihal batasan umur tersebut. "Jika you ingin tahu mengapa ada persyaratan batas usia, sebaiknya ditanyakan langsung saja kepada Sangha yang bersangkutan.

 

Memasuki hidup-kebhikhuan atau menjadi biarawan bagi seorang laki-laki, dilihat dari pandangan agama Buddha, adalah satu pilihan hidup yang mulia. Dalam tradisi Thailand, seorang pria Buddhis terbiasa menjalani kehidupan kebhikhuan ketika usianya mencapai dua puluh tahun, guna membalas jasa terhadap kebajikan orang tua mereka. Hidup-membiara ini dijalankan oleh para pria muda tersebut untuk beberapa hari, dua minggu, sebulan, tiga bulan, bahkan sebagian dari mereka menjalaninya untuk kurun waktu yang lebih lama.

 

Seperti yang kita ketahui masyarakat Buddhis dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni golongan biarawan dan umat awam (disebut juga perumah tangga). Golongan biarawan terdiri dari bhikkhu, bhikkhuni, samanera, dan samaneri. Perumah tangga bisa memasuki kehidupan kebhikkhuan, jika ia memenuhi persyaratan dan menjalani upacara penahbisan; sebaliknya biarawan atau biarawati dapat menjadi umat awam dengan melepaskan jubahnya. Setelah kita menyimak kasus teman penulis di atas sekarang muncul pertanyaan, kapan idealnya seseorang memasuki kehidupan-membiara. Apakah sebaiknya dilakukan menjelang masa kedewasaan yakni sekitar usia dua-puluh tahunan, atau ketika seseorang itu sudah matang dalam menjalani kehidupan, atau setelah ia berusia lanjut?

 

Sekarang coba kita simak dulu petikan yang kami ambil dari kitab Vinaya Pitaka, yang bercerita tentang delapan permohonan Visākhā kepada Sang Buddha. Visākhā adalah seorang hartawan ternama di negeri Kosala, yang menjadi penyokong utama pada saat Sang Buddha mencapai usia paruh baya. Sekali waktu Visākhā memohon agar diberikan kesempatan berdana kepada komunitas bhikkhu dan bhikkhuni di Sāvatthī. Pemberian yang akan diberikan berupa (1) jas hujan untuk para bhikkhu, (2) makanan untuk bhikkhu tamu, (3) makanan untuk bhikkhu yang akan pergi mengembara, (4) makanan untuk bhikkhu yang sedang sakit, (5) makanan untuk bhikkhu yang merawat rekannya yang sedang sakit, (6) obat-obatan, (7) bubur nasi untuk sarapan pagi, dan (8) jubah-mandi untuk Sangha Bhikkhuni. Delapan permintaan itu kemudian disetujui oleh Sang Buddha dan sejak itu para penyokong yang lain pun berlomba-lomba untuk berdana delapan macam pemberian tersebut, yang pada akhirnya memberikan kesejahteraan yang lebih baik untuk Sangha Bhikkhu maupun Sangha Bhikkhuni.

 

Berikut ini diberikan dialog antara Visākhā dengan Sang Buddha khusus untuk permohonan yang kedelapan:  "Sekarang, Yang Mulia, para bhikkhuni mandi telanjang pada tempat mandi yang sama di Sungai AciravatI, sebagaimana yang sering digunakan oleh para pelacur. Mereka acapkali mencandai para bhikkhuni, dengan berkata: 'Mengapa kalian mempraktikkan kehidupan suci ketika kalian masih muda, wahai para rahib? Bukankah kesenangan-inderawi seharusnya dinikmati? Kalian dapat menjalani kehidupan suci ketika kalian sudah tua. Dengan demikian kalian akan mendapat manfaat dari keduanya.' Ketika para pelacur mencandai mereka seperti itu, para bhikkhuni menjadi mati kutu. Ketelanjangan bagi wanita itu tidak sepatutnya, Yang Mulia, itu menjijikkan dan memalukan. Inilah manfaat yang aku lihat-kedepan dalam keinginanku, untuk menyediakan jubah-mandi bagi para bhikkhuni, selama aku masih hidup." (Vin. Mv. 8:15)

 

Dari petikan di atas kita dapat melihat bahwa pada zaman itu sudah ada pendapat, bahwa orang sebaiknya menjalani kehidupan-membiara setelah ia lanjut usia, dengan pertimbangan masa mudanya bisa dilewati dengan bersenang-senang. Kita akan mencoba melihat pandangan hidup orang India mengenai empat tingkatan kehidupan manusia. Angka empat bagi orang India merupakan angka bagus, seperti ada Empat Veda yang berarti terdapat empat kitab suci, ada Empat Varna yang bermakna manusia bisa digolongkan menjadi empat varna atau empat kasta. Empat tingkatan hidup atau empat siklus kehidupan manusia dinamakan Catur Asrama (Dewanagari: चतुराश्रम;  caturāśrama); yang mana catur itu artinya empat dan asrama berarti tingkatan atau jenjang kehidupan.

 

Sistem Empat Asrama merupakan satu konsep dharma dalam ajaran Hindu. Sistem ini juga berfungsi membentuk teori moralitas dalam filsafat India. Empat asrama ini berhubungan pula dengan Puruṣārtha (Sanskerta: पुरुषार्थ) yang secara harfiah berarti "obyek pengejaran manusia". Puruṣārtha juga merupakan konsep kunci dalam ajaran Hinduisme, serta mengacu pada sasaran yang lazim dituju oleh umat manusia. Ada empat puruṣārtha, yakni dharma (kebenaran, nilai-nilai moral), artha (kesejahteraan, nilai-nilai ekonomis), kama (kesenangan, cinta, nilai-nilai psikologis), dan moksha (kebebasan, nilai-nilai spiritual). Dengan demikian sasaran dari masing-masing periode kehidupan tidak lain pengembangan dan pencapaian individual. Ajaran Empat Asrama ini tertera pada Ashrama Upanishad dan Vaikhanasa Dharmasutra dalam naskah klasik, serta tercantum pula dalam Dharmashastra yang ditulis belakangan.

 

Asrama pertama dalam sistem empat asrama itu adalah Brahmacari, yakni masa hidup awal yang ditujukan untuk mencari ilmu pengetahuan. Masa Brahmacari mirip dengan apa yang kita alami saat kita menginjakkan kaki di bangku sekolah, mulai dari tingkat PAUD, sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi. Dalam masa menuntut ilmu ini para peserta wajib menguasai keterampilan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, serta mempelajari naskah-naskah agama. Selain itu juga diberikan pendidikan kejuruan yang berguna bagi mereka di masa depan. Dulu peserta Brahmacari wajib melakukan upacara Upanayana pada permulaan masa studi serta diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana  atau pemberian ijazah. Brahmacari ini berlangsung hingga seseorang berusia 25 tahun.

 

Selama mereka menuntut ilmu para siswa harus taat terhadap segala peraturan yang diberlakukan, bahkan pada zaman kuno mereka harus tinggal di pedepokan milik sang guru. Pada masa itu tradisi ini dinamakan gurukula-shishya, dengan kula artinya rumah dan shishya maknanya murid, jadi gurukula-shishya memiliki pengertian bahwa murid tinggal serumah dengan gurunya. Di samping menuntut ilmu, para murid juga melakukan tugas-tugas rumah tangga, sehingga kegiatan belajar-mengajar dapat berjalan dengan lancar. Pada zaman modern para Brahmacari harus menetap di asrama untuk memudahkan pengawasan, pula dimaksudkan agar mereka lebih berkonsentrasi dalam menerima pelajaran. Selama menjadi Brahmacari mereka wajib mengendalikan nafsu keduniawian, terutama nafsu seksual. Segala daya upaya dan pikirannya benar- benar ditujukan untuk mempelajari ilmu pengetahuan serta keterampilan yang dibutuhkan pada tahap kehidupan selanjutnya.

 

Tahap kehidupan selanjutnya adalah Grihasta, yang secara harfiah berarti "berada atau dilingkupi oleh rumah atau keluarga". Pada tahap ini seseorang memasuki kehidupan perkawinan, dengan tugas merawat rumah tangga, membesarkan keluarga, mendidik anak-anaknya, serta memimpin satu keluarga dan menjalani kehidupan sosial secara dharma.

 

Menurut naskah-naskah kuno dari abad pertengahan, tahap Grihasta adalah yang paling penting dari empat tahap kehidupan yang ada, karena sebagai manusia ia tidak melulu mengejar kehidupan yang bajik tetapi juga memproduksi makanan dan kekayaan. Dengan adanya makanan dan kekayaan yang berlimpah ia bisa menyokong tiga tahap kehidupan lainnya, serta mempunyai keturunan yang akan menjamin keberlangsungan umat manusia. Menurut filsafat India, tahap perumah tangga ditandai pula dengan keterikatan fisik, seksual, emosional, dan sosial yang paling tinggi; juga saat berlangsungnya pengerahan tenaga yang intens terhadap pekerjaan dan pengumpulan kekayaan. Tahap Grihasta ini berlangsung dari umur 25 hingga 48 tahun.

 

Selain mengejar pengumpulan kekayaan dan materi, seorang lelaki dan seorang perempuan yang memasuki tahap Grihasta setelah melangsungkan upacara perkawinan secara Hindu, mereka akan membangun rumah tangga, berkeluarga, mencari kekayaan, membesarkan anak, dan menikmati kehidupan duniawi; mereka juga mengembangkan kehidupan spiritual. Kehidupan spiritual tidak lain memberikan donasi kepada orang-orang yang membutuhkan, serta menyelenggarakan lima kurban besar (panch yajna). Yajna itu meliputi : (1) Brahma yajna, yaitu studi Veda, meditasi, dan doa; (2) Deva yajna, yakni persembahan ghee atau mentega murni dalam api; (3) Pitri yajna, yaitu perawatan orang tua dan kaum lansia; (4) Bhuta yajna, yakni pelayanan terhadap orang miskin, penyandang disabilitas, dan hewan; dan (5) Atithi yajna, yaitu penghormatan terhadap tamu dan orang bijak atau orang suci.

 

Tahapan hidup berikutnya adalah Vanaprastha, yang secara harfiah bermakna "pensiun ke hutan" atau dapat diartikan "orang yang telah meninggalkan hidup keduniawian". Vanaprastha sebetulnya tidak lain masa peralihan dari tahap perumah tangga yang masih intens mengejar artha dan kama menuju tahap kehidupan yang menyasar pada moksha. Vanaprastha berlangsung antara usia 48 sampai 72 tahun.

 

Memasuki tahap transisi Vanaprastha umumnya orang telah memiliki cucu. Dan sebagai pencari nafkah, sang perumah tangga sudah mulai mengalihkan tanggung jawab usahanya ke generasi yang lebih muda. Mereka juga mulai memfokuskan diri pada aktivitas sosial dan pencarian spiritual. Dari pandangan sebagian orang, Vanaprastha dalam praktiknya bukan bermakna si perumah tangga benar-benar meninggalkan segalanya dan langsung pergi mengembara ke hutan, tetapi lebih merupakan satu pedoman atau metafora. Ia masih tinggal dalam komunitas keluarga besarnya, namun lebih banyak bertindak sebagai penasihat. Dengan begitu ia menjadi tokoh panutan yang disegani oleh kelompoknya.

 

Tahap keempat atau tahap terakhir dalam sistem empat asrama adalah Sannyasa, yang secara literal berarti "penyucian dari segala hal". Sannyasa bisa ditemukan pengertiannya pada kitab Samhita, Aranyaka, dan Brahmana. Sannyasa sebetulnya adalah kehidupan membiara, kehidupan pelepasan, atau kehidupan petapaan. Mereka yang telah memasuki tahap terakhir ini tidak lagi memiliki ketertarikan terhadap kehidupan duniawi, namun lebih memilih untuk mengejar kehidupan yang damai, penuh cinta kasih kepada semua makhluk, dan menyukai kesederhanaan. Ia hanya berfokus pada pencapaian moksha atau pembebasan. Tahap ini bisa dimulai secara teoritis pada umur 72+ atau kurang dari itu.

 

Seseorang yang memasuki kehidupan ini dikenal sebagai "Sannyasi" untuk laki-laki dan "Sannyasini" untuk perempuan. Dalam tradisi Monastisisme mereka dinamakan pula "Sadhu" dan "Sadhvi", sedangkan dalam tradisi Buddhisme disebut sebagai bhikkhu dan bhikkhuni.

 

Dalam memahami empat asrama itu, Anda jangan sampai terjebak dalam pemahaman bahwa setiap orang akan memulai kehidupannya dari tahap pertama, lalu melangkah ke tahap kedua, kemudian ke tahap ketiga, dan terakhir menuju tahap keempat. Seseorang yang mulai dari Brahmacari selanjutnya boleh mengabaikan tahap Grihasta, dan langsung menuju tahap Vanaprastha dan tidak lama berselang memasuki tahap Sannyasa.

 

Jika Anda bukan penganut agama Hindu, tidak ada salahnya kita mengambil pelajaran tentang empat asrama ini. Banyak nilai-nilai mulia yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita. Dari tahap Brahmacari orang dituntut untuk sepenuhnya fokus dalam menuntut ilmu dan tidak tergoda untuk menikah di usia muda. Sewaktu berkiprah dalam masa Grihasta, walaupun ia sibuk bekerja dan berkarier, tetapi kewajiban untuk memberikan donasi sesuai dengan tuntutan agama jangan sampai dilupakan. Sewaktu menginjak tahap Sannyasa, orang dididik untuk mempersiapkan masa tua dengan sebaik-baiknya, yakni dengan mendelegasikan usaha mencari nafkah kepada kerabat sendiri sebagai penerusnya. Dan saat menghadapi masa tua, inilah saatnya kita melepas apa pun yang kita miliki, dengan menjalani hidup secara ugahari dan hanya memfokuskan diri pada urusan-urusan spiritual.

 

Kita kembali kepada teman penulis yang beraspirasi menjalani kehidupan kebhikkhuan. Menjadi bhikkhu atau biarawan di usia lanjut ternyata sesuai dengan model yang diajarkan oleh sistem empat asrama itu. Begitu memasuki usia pensiun, teman tadi menganggap inilah kesempatan emas guna mengembangkan diri sepenuhnya. Jika diri ini sudah benar-benar siap, menjadi biarawan adalah pilihan yang paling ideal. Jika tidak bisa dihabiskan sebagai bhikkhu, karena ada syarat administratif – yakni batasan usia – dengan masih menyandang jabatan perumah tangga ia bisa menghabiskan waktunya dengan lebih banyak tinggal di lingkungan rumah ibadah. Dengan lebih banyak waktu dihabiskan di rumah ibadah, ada peluang untuk terlibat dalam kegiatan sosial; seperti membantu kegiatan bakti-sosial, mempersiapkan penyelenggaraan upacara keagamaan, membacakan paritta atau keng untuk orang sakit dan orang yang telah meninggal, dan lain sebagainya. Berlatih meditasi secara intensif dalam program retret untuk kurun waktu yang cukup panjang dengan bimbingan ahli meditasi yang piawai, adalah aktivitas yang bisa ia lakukan untuk menyalurkan aspirasinya.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210421

  

Rabu, 07 April 2021

HOK TEK CENG SIN DAN AGAMA ORANG TIONGHOA



Anda yang pernah berkunjung ke kelenteng untuk bersembahyang atau sekedar melihat-lihat keadaan di sana, mungkin pernah mendengar sosok dewa yang paling banyak dipuja oleh masyarakat. Sosok dewa ini tidak lain dewa bumi. Sesungguhnya ada dua sosok dewa yang berbeda, dengan yang pertama dinamakan Fu De Zheng Shen atau Hok Tek Ceng Sin, dan yang kedua adalah Tu Di Gong atau Tho Ti Kong. Yang membedakan keduanya, Hok Tek Ceng Sin merupakan satu tokoh dewa yang arcanya diletakkan pada altar yang sama tingginya dengan dewa-dewa lain, sedangkan Tho Ti Kong merujuk pada dewa lokal atau dewa setempat dan altarnya diposisikan dekat dengan tanah. Dengan demikian ada banyak Tho Ti Kong, yang masing-masing berkuasa di wilayah kekuasaannya; seperti ada Tho Ti Kong Bogor, Tho Ti Kong Sukabumi, Tho Ti Kong Tangerang, dan lain sebagainya.

 

Hok Tek Ceng Sin yang banyak dipuja di banyak kelenteng, sebetulnya siapa dia gerangan? Cerita asal-usulnya cukup banyak dan beragam, namun versi yang lebih banyak dipercaya orang berasal dari sebuah kisah di zaman Dinasti Zhou. Alkisah pada tahun 1134 seb.M. pada pemerintahan Kaisar Zhou Wu Wang, tepatnya pada tanggal 2 bulan kedua menurut penanggalan Tionghoa lahir seorang anak laki-laki yang bernama Zhang Fu De atau Ceng Hok Tek. Sejak masih kanak-kanak telah bisa dilihat bahwa Hok Tek adalah seorang anak yang pintar dan berwatak mulia, dan sejak usia dini ia telah mempelajari sastra Tionghoa kuno dan menerima pendidikan formal yang baik. Menginjak usia 36 tahun, Hok Tek dipercaya memangku jabatan menteri urusan perpajakan. Ia terkenal sebagai seorang pejabat negara yang bijaksana juga memiliki kualitas kebajikan tertentu. Bagi rakyat yang kekurangan ia tidak menarik pajak yang berlebihan, sehingga rakyat tidak terbebani. Bahkan ia sering memberikan bagian hartanya untuk menolong rakyat miskin. Ia sangat dicintai rakyatnya dan setelah mengabdi cukup lama kepada negerinya, ia wafat pada usia 102 tahun.

 

Setelah wafatnya Ceng Hok Tek, Kaisar yang berkuasa menunjuk seorang penerusnya yang bernama Wei Chao. Bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan pendahulunya, Wei Chao adalah seorang yang serakah, kejam, serta berwatak buruk, Dalam menarik pajak, ia tidak pandang bulu dan tidak mengenal belas kasihan. Demi menuruti ambisi yang akan membuat atasannya memberikan pangkat dan imbal jasa yang besar, Wei Chao bertindak sewenang-wenang. Semua orang dikenai pajak yang tinggi dan memberatkan, dan jika mereka tidak mampu membayar akan dikenakan hukuman berat, sehingga masyarakat sangat menderita. Akhirnya karena penderitaan hidup yang tak tertahankan, banyak penduduk yang pergi meninggalkan kampung halaman mereka, dan membuat sawah-ladang di tempat asal mereka menjadi terbengkalai. Dalam kesengsaraan dan ketertindasan mereka, rakyat mengingat tokoh bijaksana seperti Ceng Hok Tek yang telah meninggal dunia.

 

Ada sebuah keluarga yang hidupnya sehari-hari sudah kekurangan, kini semakin terpuruk setelah menteri yang baru ini berkuasa. Keluarga ini mengenang kebaikan Ceng Hok Tek dan mereka memimpikan ia kembali untuk memimpin negeri mereka. Keluarga tersebut mengambil empat buah batu bata guna membentuk sebuah kuil mini untuk menghormatinya; dengan tiga bata untuk dinding dan yang satu lagi untuk atap, lalu menuliskan aksara  "Ceng Hok Tek" di dalamnya. Mereka juga meletakkan sebuah tempayan mungil yang telah pecah untuk tempat membakar dupa. Setiap hari mereka bersembahyang di depan tempat pemujaan itu, dan dalam doanya mereka mengharapkan pertolongan Ceng Hok Tek. Wei Chao yang belakangan mengetahui ulah keluarga petani miskin itu, tertawa terbahak-bahak dan mengejek mereka. Mungkin penguasa langit menjadi murka melihat kelakuan Wei Chao yang sudah keterlaluan dan menjadi iba hati kepada keluarga miskin tadi, yang membuat sang penguasa bertindak. Selang tempo tidak berapa lama kemudian, keluarga miskin tersebut menjadi kaya. Seketika itu para tetangga mereka dan penduduk di sekitarnya menjadi gempar, mendengar nasib keluarga papa yang mendadak menjadi orang kaya. Mereka pun turut mempraktikkan pemujaan terhadap arwah Ceng Hok Tek. Konon kabarnya nama Ceng Hok Tek begitu bertuah jika dimintakan pertolongan oleh mereka yang hatinya bersih dan tulus. Petani yang sungguh-sungguh bersujud dan memohon di hadapan Ceng Hok Tek mendapatkan hasil panen yang banyak, orang yang pekerjaannya memelihara ternak mendapatkan hewannya cepat besar dan beranak-pinak, serta pedagang yang menjual barang dagangan ternyata cepat laris dan mendapat laba yang besar. Kata penganutnya, itu semua karena jasa Ceng Hok Tek yang baik dan murah hati. Nama besar Ceng Hok Tek menyebar ke seluruh negeri dan orang banyak pun mulai melakukan pemujaan terhadapnya.

 

Seperti yang terjadi bukan saja di Tiongkok Kuno, melainkan juga di bagian dunia yang lain, Ceng Hok Tek boleh saja meninggal, tetapi jiwanya atau rohnya tetap hidup dalam kepercayaan orang atau pengikutnya. Ceng Hok Tek kini telah menjelma menjadi Hok Tek Ceng Sin atau Fu De Zheng Shen (福德正神 atau Fúdé zhèngshén, pinyin). Kata  (shén atau “sin”, Hokian) bermakna "dewa". Dari kata "Shen" muncul istilah baru: "Shenisme" atau 神教 (pinyin: Shénjiào), yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sama dengan "pendewaan". Shenisme adalah label yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan tradisi sistem kepercayaan yang berlangsung di masa Tiongkok Kuno, berupa pemujaan terhadap Shen. Istilah "Shenisme" pertama kali digunakan oleh Allan J.A. Elliot pada tahun 1955.

 

Lebih lanjut dalam bahasa Mandarin ada tiga istilah yang berkaitan, yang akan memperjelas makna Shenisme di atas. Anda mesti membedakan diantara   shén,  dì, dan  xiān. Walaupun penggunaan dua istilah yang pertama kadang kala kabur, namun jika kita melihatnya dalam konteks kebudayaan Barat, ada perbedaan pengertian diantara "dewa" atau "god" dengan "deitas" atau "deity". Shen menunjuk pada Surga material, sedangkan di  ditujukan pada sumber semesta. Di digambarkan sebagai inti buah yang jatuh, lalu menghasilkan buah yang lain. Buah-buah yang lain ini adalah shen. Jadi di tingkatannya lebih tinggi daripada shen. Istilah yang ketiga  xiān adalah orang yang telah mencapai "yang kekal" (the immortal, Ingg.) atau dalam bahasa kita mengacu pada gagasan "pahlawan". Konsep "yang kekal" ini nantinya diadopsi oleh agama Tao. Dengan demikian pada contoh kita di atas, Ceng Hok Tek telah menjelma menjadi sesosok shen sekaligus pula sesosok xian.

 

Shenisme telah menjadi sistem kepercayaan di Tiongkok sejak zaman kuno hingga saat ini. Contoh shen yang kita ambil di atas berasal dari masa Dinasti Zhou, dan pada zaman itu Buddha Gautama, Guru Kong, dan Nabi Lao Zi semuanya belum lahir. Shenisme ini menjadi pondasi yang membentuk agama orang Tionghoa atau disebut Chinese folk religion. Dari tiga ajaran, Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme, Shenisme ini paling dekat dengan ajaran Taoisme. Di Tiongkok sendiri diperkirakan 30% dari penduduknya menganut Shenisme dan Taoisme, dan di seluruh dunia kedua ajaran ini diperkirakan memiliki penganut hingga 454 juta orang atau 6.6% dari penduduk dunia. Jumlah ini mendekati jumlah penganut agama Buddha di dunia,

 

Sebagai shen atau dewa Fu De Zheng Shen digambarkan sebagai seorang pria tua yang tersenyum ramah, berambut serta berjanggut panjang berwana putih, dan sering kali digambarkan atau dipatungkan dalam posisi duduk. Dikenang sebagai pejabat teladan semasa hidupnya, ia merupakan pelindung masyarakat serta dianggap sebagai dewa bumi. Hok Tek Ceng Sin sendiri secara harfiah berarti Dewa Bumi atas Kemakmuran dan Jasa. Belakangan seorang penasihat agung kaisar bernama Ie In memberikan makna baru yang berkaitan dengan pesta panen raya di Tiongkok pada istilah Fu De Zheng Shen, yang berarti memperoleh rejeki (Hok / Fu) dalam kebajikan (Tek / De) dengan tetap menegakkan (Ceng / Zheng) nilai-nilai rohani (Sin / Shen). Makna atau istilah ini kemudian menjadi populer dan mengakibatkan munculnya pergeseran peran, yaitu Fu De Zheng Shen kemudian menjadi dewa rejeki. Yang banyak melakukan pemujaan biasanya kalangan pedagang dan tempat pemujaan pun berpindah ke dekat pusat perniagaan atau pasar. Setelah agama Buddha Mahayana masuk ke Tiongkok, tokoh Hok Tek Ceng Sin  mendapat sebutan baru, yakni Amurva Bhumi Bodhisattva. Bahkan setelah itu muncul tradisi pembacaan mantra Amurva Bhumi sewaktu umat melaksanakan persembahyangan.

 

Tempat ibadah agama orang Tionghoa dapat dibedakan menjadi "miao" (), atau dalam istilah Hokian menjadi "bio", disebut juga "rumah dewata" dan "ci" () atau "aula leluhur", dan keduanya sering dipertukarkan. Dalam bahasa Indonesia baik miao maupun ci lazim disebut kuil. Bio, belakangan  dinamakan pula kelenteng, sering dikatakan sebagai rumah ibadah agama Konghucu, padahal ini jelas keliru. Untuk umat Konghucu di Indonesia dikenal istilah "litang", sedangkan bio itu sendiri sebenarnya adalah tempat pemujaan Shen atau dewa. Kuil agama orang Tionghoa berbeda dengan kuil penganut Tao  atau guan juga disebut 道观 atau daoguan dan vihara Buddhis  atau si, yang mana bio dikelola oleh kepala kuil dengan dibantu oleh beberapa anggota yang merupakan komunitas penganut kepercayaan tersebut. Di dalam bio hanya ada sedikit orang yang menjadi biarawan, dan bahkan sebagian rumah ibadah ini tidak memilikinya. Bio biasanya berukuran kecil, tetapi penampilan di luar maupun di dalamnya amat berwarna-warni, serta atap dan tiangnya kerap dihiasi dengan patung dan relief berbentuk naga dan hewan mitologis lainnya.

 

Setelah kita membahas riwayat Hok Tek Ceng Sin, shenisme atau pendewaan dalam konteks agama orang Tionghoa, serta rumah ibadahnya, kini kita akan meninjau budaya pemujaan Hok Tek Ceng Sin yang masih berlangsung hingga sekarang ini. Untuk itu penulis akan mengambil contoh satu kuil yang terletak di kota Bogor, yang bernama Hok Tek Bio (福德庙). Mungkin ada diantara Anda yang pernah mendengar atau bahkan pernah berkunjung ke sana. Hok Tek Bio terletak di jantung kota Bogor di samping gedung perbelanjaan yang menjulang tinggi. Letaknya tidak sampai seratus meter diukur dari depan pintu gerbang utama Kebun Raya Bogor yang tersohor itu.

 

Konon rumah ibadah ini mulai dibangun pada tahun 1672, yang berarti sudah berusia hampir tiga setengah abad. Jika ini benar cikal bakal bio ini sudah muncul sebelum pembangunan Istana Bogor yang terletak di dalam Kebun Raya (Istana Bogor dibangun pada 1744). Memasuki bio kita dapat melihat sebuah rumah ibadah dengan gaya arsitektur Tiongkok klasik, dengan warna bangunan dominan merah dan kuning. Atapnya menyerupai busur dan di atas wuwungan ditambahkan hiasan hewan mitologis, dan di pilarnya dilingkari relief naga yang elok. Di depan bio masih tersedia halaman lapang yang berfungsi sebagai alun-alun. Dalam perjalanannya dari sejak didirikan entah sudah berapa kali rumah ibadah ini mengalami renovasi, dan kita menemui kesulitan melihat perkembangan bangunan ini karena tidak ada catatan tertulisnya. Namun keotentikan bangunan ini tidak banyak berubah sejak permulaan abad ke-20, yang membuat pemerintah menetapkan Hok Tek Bio sebagai cagar budaya sejak tahun 2002. Pada masa Orde Baru rumah ibadah ini pernah diganti namanya menjadi Vihara Dhanagun, namun sekarang ini orang boleh menyebutnya lagi sebagai Hok Tek Bio.

 

Sesuai dengan namanya, pada altar utama bio ini terdapat arca Hok Tek Ceng Sin yang ditata dalam ornamen kuil yang elok. Pengunjung yang ingin melakukan persembahyangan biasanya membeli lilin merah, sejumlah dupa-batang atau hio, dan kertas-uang. Mereka berdoa dulu di depan gerbang dan memberikan persembahan kepada langit, dan dilanjutkan dengan menyalakan lilin dan mempersembahkannya di depan altar utama. Selanjutnya sambil memegang dupa-batang yang sudah dinyalakan mereka berdoa mulai dari altar utama, lalu diteruskan ke altar yang lain, dan setiap doa selesai mereka menancapkan dupa-batang ke guci-abu yang telah disediakan. Persembahyangan dinyatakan selesai setelah mereka membakar kertas-uang di halaman depan. Umat yang datang berharap mendapatkan rejeki dari Hok Tek Ceng Sin. Pedagang memohon agar usaha mereka lancar dan semakin maju, karyawan meminta pekerjaannya dimudahkan dan mereka cepat naik jabatan, serta masyarakat umum mengharapkan kesejahteraan dan keselamatan dalam menjalani hidup sehari-hari. Bio ini memiliki umat dan pendukung yang banyak, bahkan sebagian dari mereka datang dari luar kota untuk bersembahyang di sana. Sepanjang sejarahnya rumah ibadah ini disokong oleh masyarakat etnis Tionghoa, yang kebanyakan diantara mereka adalah kaum pedagang di kota Bogor. Oleh karena itu lokasi bio ini bersebelahan dengan pasar utama, dan sejak era kolonial salah satu sisi rumah ibadah ini dilewati oleh Handelstraat alias Jalan Perniagaan.

 

Selain altar utama di dalam bio disediakan pula altar pemujaan bagi  Tee Cong Ong Po Sat (Dizang Pusa) atau Bodhisattva Kshitigarbha dan Kwan Im Po Sat (Guanyin Pusa) atau Avalokitesvara. Dengan begitu bio ini mendukung pula persembahyangan terhadap para Bodhisattva, yang umum dilakukan oleh umat Buddha Mahayana. Ada pula altar pemujaan Houw Ciang Kun (Hu Jiang-jun) atau Dewa Harimau, yang dipercaya sebagai sosok Harimau Sakti yang merupakan pengawal pribadi Hok Tek Ceng Sin dan ia mampu mengusir roh jahat. Selain dewa-dewa yang berasal dan Tiongkok, Hok Tek Bio Bogor mengakomodasikan pula altar pemujaan Eyang Raden Surya Kencana dan Mbah Bogor. Seperti tokoh yang lain, keduanya diperlakukan sebagai dewa dan orang melakukan persembahyangan di depan altar keduanya. Lalu siapa gerangan Eyang Surya Kencana dan Mbah Bogor itu? Raden Surya Kencana itu putera Aria Wiratanudatar, pendiri Kota Cianjur. Selanjutnya ia memiliki putera yang bernama Prabu Siliwangi. Eyang Surya Kencana adalah karuhun atau nenek moyang orang Sunda yang sangat dihormati. Sedangkan Mbah Bogor susah dilacak siapa dia sebenarnya, dan sebagian orang mengaitkannya dengan Mbah Dalem Bogor, tokoh Sunda sesepuh Bogor yang memiliki petilasan di Jalan Batutulis kota Bogor.
 

Andre Ginting (2017), seorang peneliti, pernah mengemukakan pendapatnya: "Observasi langsung mengungkapkan kejadian unik di kuil ini, yang mana tokoh-tokoh keramat setempat diabadikan oleh para pemuja Shenisme. Mereka adalah Raden Surya Kencana dan Mbah Bogor. Mereka dihormati sebagai dewa. Praktik keagamaan ini bisa dianggap sebagai 'Sinisasi', yang secara harfiah bermakna mendekatkan diri pada cita-cita agama orang Tionghoa." Dengan demikian terjadi pragmatisme agama orang Tionghoa yang mampu mengakomodir tokoh-tokoh masyarakat yang dihormati dan menjadikan mereka sebagai suciwan yang patut disembah layaknya dewa. Dan memang benar pendapat orang pribumi di Nusantara sejak dulu kala, bahwa agama orang Tionghoa itu agama yang paling toleran yang pernah mereka temukan,

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210407