Waktu itu hari
Minggu sekitar pukul sebelas siang bertempat di sebuah vihara di Bogor, dan
pujabakti untuk umum baru saja usai. Penulis dan beberapa sahabat lama
berbincang-bincang melepas rasa kangen setelah bertahun-tahun kami tidak saling
berjumpa. Pembicaraan akhirnya menjurus pada apa yang mesti kami kerjakan di
sisa usia ini. Maklumlah kami sudah tidak muda lagi, dan rata-rata telah
berusia di atas kepala lima atau enam.
Salah satu sahabat perumah tangga yang berusia lebih dari enam puluh tahun,
yang isterinya telah meninggal dunia, mengemukakan aspirasinya untuk memasuki
hidup kebhikkhuan. Ada sahabat lainnya yang juga berminat mengikuti jejak
kawannya, tetapi ia khawatir tidak diizinkan oleh keluarganya. Penulis lalu
teringat, pernah membaca di sebuah majalah-dinding yang terdapat di sebuah
vihara, bahwa untuk mengikuti penahbisan samanera – yakni calon bhikkhu (bukan
bhikkhu) – peserta harus memenuhi beberapa persyaratan. Salah satu persyaratan
antara lain umur calon samanera paling tua adalah lima puluh tahun. Setelah
penulis kemukakan, bahwa di Sangha anu berlaku persyaratan tersebut, sahabat
yang pertama tadi langsung mengungkapkan kekecewaannya. "Mengapa ada
persyaratan seperti itu?" tanyanya agak sewot. "Bukankah di zaman Sang Buddha, umur berapa pun orang
itu, jika ia bertekad dengan tulus, selalu diterima oleh Beliau untuk
ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu?" Penulis lalu menenangkan sang
sahabat itu, namun merasa tidak berwenang untuk menjelaskan perihal batasan
umur tersebut. "Jika you ingin
tahu mengapa ada persyaratan batas usia, sebaiknya ditanyakan langsung saja
kepada Sangha yang bersangkutan.
Memasuki
hidup-kebhikhuan atau menjadi biarawan bagi seorang laki-laki, dilihat dari
pandangan agama Buddha, adalah satu pilihan hidup yang mulia. Dalam tradisi
Thailand, seorang pria Buddhis terbiasa menjalani kehidupan kebhikhuan ketika
usianya mencapai dua puluh tahun, guna membalas jasa terhadap kebajikan orang
tua mereka. Hidup-membiara ini dijalankan oleh para pria muda tersebut untuk
beberapa hari, dua minggu, sebulan, tiga bulan, bahkan sebagian dari mereka
menjalaninya untuk kurun waktu yang lebih lama.
Seperti yang
kita ketahui masyarakat Buddhis dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni
golongan biarawan dan umat awam (disebut juga perumah tangga). Golongan
biarawan terdiri dari bhikkhu, bhikkhuni, samanera, dan samaneri. Perumah
tangga bisa memasuki kehidupan kebhikkhuan, jika ia memenuhi persyaratan dan
menjalani upacara penahbisan; sebaliknya biarawan atau biarawati dapat menjadi
umat awam dengan melepaskan jubahnya. Setelah kita menyimak kasus teman penulis
di atas sekarang muncul pertanyaan, kapan idealnya seseorang memasuki
kehidupan-membiara. Apakah sebaiknya dilakukan menjelang masa kedewasaan yakni
sekitar usia dua-puluh tahunan, atau ketika seseorang itu sudah matang dalam
menjalani kehidupan, atau setelah ia berusia lanjut?
Sekarang coba kita simak dulu petikan yang kami ambil dari kitab Vinaya
Pitaka, yang bercerita tentang delapan permohonan Visākhā kepada Sang Buddha. Visākhā adalah seorang hartawan
ternama di negeri Kosala, yang menjadi penyokong utama pada saat Sang Buddha
mencapai usia paruh baya. Sekali waktu Visākhā memohon agar diberikan kesempatan berdana kepada komunitas bhikkhu dan
bhikkhuni di Sāvatthī. Pemberian yang akan
diberikan berupa (1) jas hujan untuk para bhikkhu, (2) makanan untuk bhikkhu
tamu, (3) makanan untuk
bhikkhu yang akan pergi mengembara, (4) makanan untuk bhikkhu yang sedang
sakit, (5) makanan untuk bhikkhu yang merawat rekannya yang sedang sakit, (6)
obat-obatan, (7) bubur nasi untuk sarapan pagi, dan (8) jubah-mandi untuk
Sangha Bhikkhuni. Delapan permintaan itu kemudian disetujui oleh Sang Buddha
dan sejak itu para penyokong yang lain pun berlomba-lomba untuk berdana delapan
macam pemberian tersebut, yang pada akhirnya memberikan kesejahteraan yang
lebih baik untuk Sangha Bhikkhu maupun Sangha Bhikkhuni.
Berikut ini
diberikan dialog antara Visākhā dengan Sang Buddha khusus untuk
permohonan yang kedelapan:
"Sekarang, Yang Mulia, para bhikkhuni mandi telanjang pada tempat
mandi yang sama di Sungai AciravatI, sebagaimana yang sering digunakan oleh
para pelacur. Mereka acapkali mencandai para bhikkhuni, dengan berkata:
'Mengapa kalian mempraktikkan kehidupan suci ketika kalian masih muda, wahai para
rahib? Bukankah kesenangan-inderawi seharusnya dinikmati? Kalian dapat
menjalani kehidupan suci ketika kalian sudah tua. Dengan demikian kalian akan
mendapat manfaat dari keduanya.' Ketika para pelacur mencandai mereka seperti
itu, para bhikkhuni menjadi mati kutu. Ketelanjangan bagi wanita itu tidak
sepatutnya, Yang Mulia, itu menjijikkan dan memalukan. Inilah manfaat yang aku
lihat-kedepan dalam keinginanku, untuk menyediakan jubah-mandi bagi para
bhikkhuni, selama aku masih hidup." (Vin. Mv. 8:15)
Dari petikan di atas kita dapat melihat bahwa pada zaman itu sudah ada
pendapat, bahwa orang sebaiknya menjalani kehidupan-membiara setelah ia lanjut
usia, dengan pertimbangan masa mudanya bisa dilewati dengan bersenang-senang.
Kita akan mencoba melihat pandangan hidup orang India mengenai empat tingkatan
kehidupan manusia. Angka empat bagi orang India merupakan angka bagus, seperti
ada Empat Veda yang berarti terdapat empat kitab suci, ada Empat Varna yang bermakna manusia bisa
digolongkan menjadi empat varna atau
empat kasta. Empat tingkatan hidup atau empat siklus kehidupan manusia
dinamakan Catur Asrama (Dewanagari: चतुराश्रम; caturāśrama); yang mana catur itu artinya
empat dan asrama berarti tingkatan atau jenjang kehidupan.
Sistem Empat
Asrama merupakan satu konsep dharma dalam ajaran Hindu. Sistem ini juga
berfungsi membentuk teori moralitas dalam filsafat India. Empat asrama ini
berhubungan pula dengan Puruṣārtha
(Sanskerta: पुरुषार्थ)
yang secara harfiah berarti "obyek
pengejaran manusia". Puruṣārtha
juga merupakan konsep kunci dalam ajaran Hinduisme, serta mengacu pada sasaran
yang lazim dituju oleh umat manusia. Ada empat puruṣārtha, yakni dharma
(kebenaran, nilai-nilai moral), artha
(kesejahteraan, nilai-nilai ekonomis), kama
(kesenangan, cinta, nilai-nilai psikologis), dan moksha (kebebasan, nilai-nilai spiritual). Dengan demikian sasaran
dari masing-masing periode kehidupan tidak lain pengembangan dan pencapaian
individual. Ajaran Empat Asrama ini tertera pada Ashrama Upanishad dan Vaikhanasa
Dharmasutra dalam naskah klasik, serta tercantum pula dalam Dharmashastra yang
ditulis belakangan.
Asrama pertama
dalam sistem empat asrama itu adalah Brahmacari,
yakni masa hidup awal yang ditujukan untuk mencari ilmu pengetahuan. Masa
Brahmacari mirip dengan apa yang kita alami saat kita menginjakkan kaki di
bangku sekolah, mulai dari tingkat PAUD, sekolah dasar, sekolah menengah, dan
perguruan tinggi. Dalam masa menuntut ilmu ini para peserta wajib menguasai
keterampilan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, serta mempelajari
naskah-naskah agama. Selain itu juga diberikan pendidikan kejuruan yang berguna
bagi mereka di masa depan. Dulu peserta Brahmacari wajib melakukan upacara Upanayana pada permulaan masa studi
serta diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana atau pemberian
ijazah. Brahmacari ini berlangsung hingga seseorang berusia 25 tahun.
Selama mereka
menuntut ilmu para siswa harus taat terhadap segala peraturan yang
diberlakukan, bahkan pada zaman kuno mereka harus tinggal di pedepokan milik
sang guru. Pada masa itu tradisi ini dinamakan gurukula-shishya, dengan kula
artinya rumah dan shishya maknanya
murid, jadi gurukula-shishya memiliki
pengertian bahwa murid tinggal serumah dengan gurunya. Di samping menuntut
ilmu, para murid juga melakukan tugas-tugas rumah tangga, sehingga kegiatan
belajar-mengajar dapat berjalan dengan lancar. Pada zaman modern para
Brahmacari harus menetap di asrama untuk memudahkan pengawasan, pula
dimaksudkan agar mereka lebih berkonsentrasi dalam menerima pelajaran. Selama
menjadi Brahmacari mereka wajib mengendalikan nafsu keduniawian, terutama nafsu
seksual. Segala daya upaya dan pikirannya benar- benar ditujukan untuk
mempelajari ilmu pengetahuan serta keterampilan yang dibutuhkan pada tahap
kehidupan selanjutnya.
Tahap kehidupan
selanjutnya adalah Grihasta, yang
secara harfiah berarti "berada atau dilingkupi oleh rumah atau
keluarga". Pada tahap ini seseorang memasuki kehidupan perkawinan, dengan
tugas merawat rumah tangga, membesarkan keluarga, mendidik anak-anaknya, serta
memimpin satu keluarga dan menjalani kehidupan sosial secara dharma.
Menurut
naskah-naskah kuno dari abad pertengahan, tahap Grihasta adalah yang paling
penting dari empat tahap kehidupan yang ada, karena sebagai manusia ia tidak
melulu mengejar kehidupan yang bajik tetapi juga memproduksi makanan dan
kekayaan. Dengan adanya makanan dan kekayaan yang berlimpah ia bisa menyokong
tiga tahap kehidupan lainnya, serta mempunyai keturunan yang akan menjamin
keberlangsungan umat manusia. Menurut filsafat India, tahap perumah tangga
ditandai pula dengan keterikatan fisik, seksual, emosional, dan sosial yang
paling tinggi; juga saat berlangsungnya pengerahan tenaga yang intens terhadap
pekerjaan dan pengumpulan kekayaan. Tahap Grihasta ini berlangsung dari umur 25
hingga 48 tahun.
Selain mengejar
pengumpulan kekayaan dan materi, seorang lelaki dan seorang perempuan yang
memasuki tahap Grihasta setelah melangsungkan upacara perkawinan secara Hindu,
mereka akan membangun rumah tangga, berkeluarga, mencari kekayaan, membesarkan
anak, dan menikmati kehidupan duniawi; mereka juga mengembangkan kehidupan
spiritual. Kehidupan spiritual tidak lain memberikan donasi kepada orang-orang
yang membutuhkan, serta menyelenggarakan lima kurban besar (panch yajna). Yajna itu meliputi : (1) Brahma
yajna, yaitu studi Veda, meditasi, dan doa; (2) Deva yajna, yakni persembahan ghee
atau mentega murni dalam api; (3) Pitri
yajna, yaitu perawatan orang tua dan kaum lansia; (4) Bhuta yajna, yakni pelayanan terhadap orang miskin, penyandang
disabilitas, dan hewan; dan (5) Atithi
yajna, yaitu penghormatan terhadap tamu dan orang bijak atau orang suci.
Tahapan hidup
berikutnya adalah Vanaprastha, yang
secara harfiah bermakna "pensiun ke hutan" atau dapat diartikan
"orang yang telah meninggalkan hidup keduniawian". Vanaprastha
sebetulnya tidak lain masa peralihan dari tahap perumah tangga yang masih
intens mengejar artha dan kama menuju tahap kehidupan yang
menyasar pada moksha. Vanaprastha
berlangsung antara usia 48 sampai 72 tahun.
Memasuki tahap
transisi Vanaprastha umumnya orang telah memiliki cucu. Dan sebagai pencari
nafkah, sang perumah tangga sudah mulai mengalihkan tanggung jawab usahanya ke
generasi yang lebih muda. Mereka juga mulai memfokuskan diri pada aktivitas
sosial dan pencarian spiritual. Dari pandangan sebagian orang, Vanaprastha
dalam praktiknya bukan bermakna si perumah tangga benar-benar meninggalkan
segalanya dan langsung pergi mengembara ke hutan, tetapi lebih merupakan satu
pedoman atau metafora. Ia masih tinggal dalam komunitas keluarga besarnya,
namun lebih banyak bertindak sebagai penasihat. Dengan begitu ia menjadi tokoh
panutan yang disegani oleh kelompoknya.
Tahap keempat
atau tahap terakhir dalam sistem empat asrama adalah Sannyasa, yang secara literal berarti "penyucian dari segala
hal". Sannyasa bisa ditemukan pengertiannya pada kitab Samhita, Aranyaka,
dan Brahmana. Sannyasa sebetulnya adalah kehidupan membiara, kehidupan
pelepasan, atau kehidupan petapaan. Mereka yang telah memasuki tahap terakhir
ini tidak lagi memiliki ketertarikan terhadap kehidupan duniawi, namun lebih
memilih untuk mengejar kehidupan yang damai, penuh cinta kasih kepada semua
makhluk, dan menyukai kesederhanaan. Ia hanya berfokus pada pencapaian moksha atau pembebasan. Tahap ini bisa
dimulai secara teoritis pada umur 72+ atau kurang dari itu.
Seseorang yang
memasuki kehidupan ini dikenal sebagai "Sannyasi" untuk laki-laki dan
"Sannyasini" untuk perempuan. Dalam tradisi Monastisisme mereka
dinamakan pula "Sadhu" dan "Sadhvi", sedangkan dalam
tradisi Buddhisme disebut sebagai bhikkhu dan bhikkhuni.
Dalam memahami
empat asrama itu, Anda jangan sampai terjebak dalam pemahaman bahwa setiap
orang akan memulai kehidupannya dari tahap pertama, lalu melangkah ke tahap
kedua, kemudian ke tahap ketiga, dan terakhir menuju tahap keempat. Seseorang
yang mulai dari Brahmacari selanjutnya boleh mengabaikan tahap Grihasta, dan
langsung menuju tahap Vanaprastha dan tidak lama berselang memasuki tahap
Sannyasa.
Jika Anda bukan
penganut agama Hindu, tidak ada salahnya kita mengambil pelajaran tentang empat
asrama ini. Banyak nilai-nilai mulia yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita.
Dari tahap Brahmacari orang dituntut untuk sepenuhnya fokus dalam menuntut ilmu
dan tidak tergoda untuk menikah di usia muda. Sewaktu berkiprah dalam masa
Grihasta, walaupun ia sibuk bekerja dan berkarier, tetapi kewajiban untuk
memberikan donasi sesuai dengan tuntutan agama jangan sampai dilupakan. Sewaktu
menginjak tahap Sannyasa, orang dididik untuk mempersiapkan masa tua dengan
sebaik-baiknya, yakni dengan mendelegasikan usaha mencari nafkah kepada kerabat
sendiri sebagai penerusnya. Dan saat menghadapi masa tua, inilah saatnya kita
melepas apa pun yang kita miliki, dengan menjalani hidup secara ugahari dan
hanya memfokuskan diri pada urusan-urusan spiritual.
Kita kembali
kepada teman penulis yang beraspirasi menjalani kehidupan kebhikkhuan. Menjadi
bhikkhu atau biarawan di usia lanjut ternyata sesuai dengan model yang
diajarkan oleh sistem empat asrama itu. Begitu memasuki usia pensiun,
teman tadi menganggap inilah kesempatan emas guna mengembangkan diri sepenuhnya. Jika
diri ini sudah benar-benar siap, menjadi biarawan adalah pilihan yang paling
ideal. Jika tidak bisa dihabiskan sebagai bhikkhu, karena ada syarat administratif – yakni
batasan usia – dengan masih menyandang jabatan perumah tangga ia bisa
menghabiskan waktunya dengan lebih banyak tinggal di lingkungan rumah ibadah.
Dengan lebih banyak waktu dihabiskan di rumah ibadah, ada peluang untuk
terlibat dalam kegiatan sosial; seperti membantu kegiatan bakti-sosial, mempersiapkan penyelenggaraan upacara keagamaan, membacakan paritta atau keng untuk orang sakit dan orang yang telah meninggal, dan lain
sebagainya. Berlatih meditasi secara intensif dalam program retret untuk kurun
waktu yang cukup panjang dengan bimbingan ahli meditasi yang piawai, adalah
aktivitas yang bisa ia lakukan untuk menyalurkan aspirasinya.
sdjn/dharmaprimapustaka/210421