Rabu, 24 Maret 2021

KEBAHAGIAAN



Mungkin Anda pernah mendengar sebuah lagu Barat, yang meskipun telah diperkenalkan untuk pertama kalinya 65 tahun yang silam, tetapi masih tetap populer hingga hari ini. Lirik lagu itu berbunyi: "When I was just a little girl I asked my mother, what will I be. Will I be pretty. Will I be rich", yang jika diindonesiakan akan berbunyi, "Ketika aku masih gadis cilik aku bertanya kepada ibuku. Akankah aku cantik nanti, akankah aku kaya-raya kelak."

 

Untunglah ibunya seorang yang bijaksana. Ia menjawab kegundahan puteri kesayangannya dengan kata-kata: "Here's what she said to me. Que sera, sera. Whatever will be, will be. The future's not ours to see. Que sera, sera. What will be, will be." Terjemahannya: "Inilah jawaban ibuku. Que sera, sera. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah. Masa depan tidak mampu kita lihat. Que sera, sera. Apa yang akan terjadi, terjadilah."

 

Que sera adalah petikan dalam bahasa Spanyol yang berarti "Apa yang akan terjadi", sedangkan sera kurang lebih bermakna "terjadilah". Jadi kedua frasa itu dialihbahasakan secara kata per kata dan akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris: "apa yang akan terjadi, terjadilah." Lagu itu dipopulerkan oleh Almarhumah Doris Day pada 1956. Syair lagu itu dilanjutkan dengan pertanyaan kedua kepada calon suaminya, apakah keduanya dalam perkawinan mereka kelak akan dihiasi dengan pelangi-kehidupan, dan pertanyaan ketiga justru diajukan oleh putera si gadis kecil tadi, berupa pertanyaan yang persis sama ketika ia mengajukannya dulu kepada ibunya.

 

Apa yang bisa kita pelajari dari lirik lagu itu? Anak kecil itu, si gadis ingusan, dalam benaknya sudah memiliki harapan dan cita-cita. Semoga setelah dewasa nanti ia bisa menjadi seorang wanita cantik dan kaya. Pendidikan dan lingkungan memberikan andil bahwa nilai-nilai itu layak untuk dikejar dan diwujudkan. Kalau sudah cantik apalagi kaya tentu yang lain akan menyusul, bukankah demikian? Popularitas, ketenaran, nama baik, kehormatan, dan mungkin juga kekuasaan, akan lebih mudah diraih, dibandingkan oleh mereka yang tidak cantik juga tidak kaya.

 

Bicara tentang harapan dan cita-cita, menarik untuk mengkajinya lebih jauh. Seorang remaja pria yang duduk di kelas terakhir Sekolah Lanjutan Tingkat Atas ditanya oleh seorang psikolog, perihal apa yang sedang dan akan dilakukan oleh dia, dan berikut ini berlangsung rangkaian tanya-jawab sebagai berikut. "Mengapa engkau bersekolah di sini?" tanya sang psikolog. "Supaya saya lulus pada ujian akhir." "Jika engkau dinyatakan lulus pada ujian akhir, untuk apa kelulusan itu?" "Setelah lulus, saya bisa kuliah dan menjadi mahasiswa di jurusan yang saya sukai." "Lalu apa tujuanmu kuliah di sana?" "Tujuan saya kuliah supaya saya bisa mendapatkan gelar sarjana." "Kemudian setelah menjadi sarjana, apa tujuan berikutnya?" "Dengan gelar sarjana di tangan, saya akan lebih mudah mendapat pekerjaan yang saya idam-idamkan." "Dan setelah engkau mendapat pekerjaan idaman, apa lagi yang engkau akan kerjakan." Si remaja mulai kebingungan, namun ia menjawab, "Saya akan bekerja lebih keras lagi untuk mencapai posisi manajer atau bahkan jika mungkin sampai tingkat direksi." "Ya, katakanlah engkau bisa menduduki jabatan direktur, lalu untuk apa jabatan direktur itu?" Sampai dengan pertanyaan ini si remaja itu mati kutu dan tidak bisa menjawab pertanyaan terakhir itu.

 

Bermula pada dalil bahwa segala sesuatu memiliki satu tujuan, filsuf besar Aristoteles mengemukakan, bahwa tujuan terakhir bagi manusia adalah sesuatu yang kita inginkan demi dirinya sendiri dan bukan demi hal lain. Kembali kepada pertanyaan remaja pria itu. "Aku ingin mendapatkan pekerjaan, kalau bisa menjadi seorang manajer atau direktur di satu perusahaan." "Mengapa engkau membutuhkan semuanya itu?" Jawaban yang tepat adalah: "Semua yang akan kulakukan itu bertujuan untuk membuat aku bahagia." "Mengapa engkau ingin bahagia?" Pada titik ini si remaja pria itu menyadari bahwa tidak diperlukan pertanyaan lanjutan. "Engkau ingin bahagia demi kebahagiaan itu sendiri, dan bukan demi hal lain." Dalam Buku Kesatu Aristoteles yang berjudul Etika, sang filsuf memikirkan jawaban atas pertanyaan yang paling menantang bagi umat manusia. Aristoteles mengemukakan bahwa segala sesuatu memiliki tujuan atau sasaran, dan tujuan itu adalah mencapai kebaikan. "Kebaikan Utama" bagi umat manusia adalah tujuan dimana semua tindakan manusia dilakukan. Aristoteles percaya bahwa Kebaikan Utama bagi umat manusia adalah Eudaimonia yang sering diterjemahkan sebagai "Kebahagiaan."

 

Sewaktu orang bertanya apa itu kebahagiaan, pertanyaan yang sama juga telah diajukan oleh manusia selama ribuan tahun. Kebahagiaan adalah cita-cita yang selalu dikejar oleh manusia semasa hidupnya. Ada banyak rumusan tentang kebahagiaan, dan setiap agama memiliki teorinya sendiri-sendiri. Menurut ajaran Hindu yang dimuat dalam Advaita Vedanta, tujuan hidup manusia tidak lain mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang paling tinggi dicapai saat Atman (yakni diri kita) telah menyatu dengan Brahman. Menurut ajaran Konfusius, seperti yang dikatakan oleh Mencius, kegembiraan yang luar biasa dicapai ketika seseorang merayakan praktik kebajikan agung. Menurut Taoisme, kebahagiaan itu tidak lain mencintai kehidupan dengan menjaga kesehatan tubuh dan mental, agar bersesuaian dengan alam, selalu puas, tenang, dan sadar-diri. "Hidup sesuai dengan Tao dan menjadi yang-kekal" merupakan kepercayaan utamanya. Kebahagiaan merupakan topik utama ajaran Buddhisme. Kebahagiaan adalah bebas dari segala penderitaan, dan dengan bantuan Jalan Mulia Beruas Delapan akan membawa seorang praktisi pada Nibbāna atau Nirvāna. Kita tidak akan membahas kebahagiaan dalam konteks ajaran agama-agama besar itu dalam tulisan ini.

 

Kita kembali kepada si gadis ingusan dan remaja pria di atas. Si gadis cilik yang beraspirasi mencapai kebahagiaan, dengan menjadi wanita dewasa yang cantik dan kaya. Remaja pria yang juga bercita-cita di masa depan guna mewujudkan realisasi-diri, dengan menjadi manajer atau direktur. Dari dua contoh ini kita mendapatkan gambaran bahwa kebahagiaan itu akan diraih di masa depan, bukan sekarang. Bukan hanya dua orang itu, bahkan banyak dari kita yang menganut keyakinan semacam itu. Betapa dulu sewaktu kita masih kanak-kanak atau remaja kita memiliki mimpi, bahwa jika kita telah dewasa kita akan bahagia. Namun setelah kita dewasa, bahkan setelah berkeluarga dan memiliki pekerjaan yang baik, kebahagiaan itu belum datang juga, dan kita masih berharap bahwa nanti sewaktu kita sudah setengah baya atau telah memasuki usia lanjut kita akan bahagia. Sungguh celaka, bahwasanya banyak dari kita yang sudah memasuki usia tua dan mendapatkan kenyataan, diri kita pun belum juga bahagia! Apakah kita pantas berpikir bahwa nanti setelah kita mati baru kita akan bahagia?

 

Kisah berikut mungkin pernah Anda baca di media sosial, yaitu percakapan seorang nelayan dengan seorang usahawan kaya raya. Di satu siang di tepi pantai seorang usahawan kaya menjumpai seorang nelayan yang sedang bermalas-malasan di samping perahunya. Dengan enaknya si nelayan tidur-tiduran menikmati sebatang rokok sambil mulutnya mendendangkan sebuah lagu dangdut. "Mengapa engkau tidak melaut dan menangkap ikan? Bukankah hari masih terang?" Sang nelayan menjawab, "Aku sudah berangkat melaut sebelum subuh, dan menjelang tengah hari aku telah kembali. Ikan hasil tangkapanku langsung dibeli oleh pengepul, dan uang yang aku kumpulkan sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan kami sekeluarga. Bahkan aku masih sempat menjemput anak-anak pulang dari sekolah, menikmati santap tengah hari, dan tidur-siang barang sejenak. Nanti malam aku bisa minum-minum di kedai kopi bersama teman-temanku sambil bernyanyi karaoke."

 

Sang usahawan menggeleng-gelengkan kepalanya dan ia berkomentar, "Engkau masih muda, Bung, dan engkau masih cukup kuat. Saat tengah hari bolong begini engkau malah santai dan tidur-tiduran. Bukankah sebaiknya engkau melaut dan menangkap ikan lebih banyak lagi?" "Untuk apa?" sang nelayan bertanya. "Dengan menangkap ikan lebih banyak, engkau dapat mengumpulkan uang lebih banyak lagi. Dan dengan uang itu engkau bisa membeli motor-tempel, yang mana perahumu bisa melaut lebih jauh dari pantai, serta di sana engkau bisa mendapatkan tangkapan lebih banyak lagi." Si nelayan belum mudeng dan ia bertanya lebih lanjut, "Lalu setelah itu?" "Engkau dapat mengumpulkan uang lebih banyak lagi. Dengarlah baik-baik, aku dulu juga membangun usahaku dari nol sampai menjadi seorang hartawan. Dengan uang yang engkau peroleh semakin banyak, engkau dapat membeli kapal motor yang lebih besar dilengkapi dengan pukat nilon. Selanjutnya engkau akan mempekerjakan lebih banyak anak buah, sehingga tangkapanmu lebih banyak, alhasil uangmu pun semakin banyak. Nah, lama kelamaan dengan uang yang semakin banyak, engkau dapat membeli kapal ikan lagi, dua buah, tiga buah, bahkan lebih dari itu. Setelah itu engkau dirikan pabrik pengolahan ikan dilengkapi dengan cold storage, dan mempekerjakan karyawan lebih banyak lagi untuk memproses hasil tangkapanmu. Bahkan produk ikanmu bisa dijadikan komoditi ekspor."

 

"Selanjutnya aku mesti berbuat apa?" potong si nelayan. "Sekarang engkau menjadi bos besar yang memiliki uang banyak. Engkau bisa beristirahat dan menikmati hidup," jawab sang usahawan puas setelah selesai memberikan kuliahnya. "Lalu berapa lama aku bisa menjadi bos besar yang kaya-raya, dan pekerjaan apa lagi yang masih harus kujalani saat itu?" tanya si nelayan penuh rasa ingin tahu. Sang usahawan menjawab, "Jika engkau rajin dan tekun, paling tidak dua-puluh hingga tiga-puluh tahun lagi engkau bisa menjadi seorang usahawan perikanan yang mumpuni. Engkau masuk kantor setiap hari cukup sampai tengah hari, guna memastikan semua anak buahmu menjalankan perusahaanmu dengan benar. Siang hari engkau sudah bisa bertemu dengan keluargamu di rumah, bersenda gurau dengan mereka, menyantap makan siang dan pergi tidur. Malamnya engkau bisa bernyanyi di pusat-karaoke dan bersenang-senang hingga tengah malam," sang usahawan menjawab dengan sunggingan senyum kemenangan. "Kalau itu tujuan, yang Tuan sebutkan, bukankah aku sudah mendapatkan semua kenikmatan itu sekarang. Tidak perlu aku menunggu hingga dua-puluh atau tiga-puluh tahun lagi." Sang usahawan pun kaget dan terperangah serta di dalam hatinya ia membenarkan pernyataan sang nelayan itu.

 

Cerita di atas memberikan pencerahan kepada kita bahwa kebahagiaan itu harus ditumbuhkan untuk dinikmati sekarang. Bukan besok, bulan depan, tahun depan, atau jauh di masa yang akan datang. Jika saja sang nelayan harus menunggu selama dua-puluh hingga tiga-puluh tahun lagi, hilang juga waktu berharganya sekarang untuk memperhatikan anak-anaknya ketika mereka masih kecil. Dua puluh lima tahun kemudian, mereka semua sudah dewasa dan hilang juga kebersamaan dengan anak-anak yang dicintainya. Kemudian yang lebih penting lagi, apa mungkin rentang waktu puluhan tahun bisa menjamin sang nelayan yang berpikiran sederhana untuk menjadi usahawan yang kaya-raya? Bukankah kita sudah tahu jawabannya dari awal tulisan ini, Que sera, sera. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah. Tidak ada yang bisa memastikannya.

 

Jika kita bertanya konsep kebahagiaan menurut teori "keinginan" versus "kebutuhan", kita dapat membaginya menjadi tiga pandangan. Yang pertama berangkat dari Sensualisme. Kebahagiaan tidak lain diperoleh dengan mengejar kenikmatan inderawi, yang menjurus pada tuntutan agar "keinginan" lebih besar daripada "kebutuhan." Di sini keinginan-keinginan perlu dituruti dan dipuaskan, dan paham ini berujung pada hedonisme. Yang kedua berangkat dari paham Asketisme yang membawa pada tuntutan agar "keinginan" lebih kecil daripada "kebutuhan." Jadi kebahagiaan itu dicari dengan menolak kenikmatan dan orang cenderung menjalani hidup kepetapaan.

 

Pandangan ketiga pasti Anda bisa menebaknya. Betul, pandangan ini merupakan jalan tengah dari kedua pandangan di atas yang memang sah menurut perspektif orang awam, bukan dianut oleh mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Di sini berlaku bahwa "keinginan" diatur agar sama besar dengan "kebutuhan." Pandangan ini merupakan rasionalisasi untuk menyeimbangkan diantara "yang diminta" dengan "yang didapatkan". Berarti masing-masing individu harus selalu bersikap menerima antara yang ia peroleh dengan yang ia inginkan. Jika sampai ada keinginan untuk mendapatkan lebih, keinginan itu harus diperkecil sehingga tetap seimbang dengan apa yang telah diperoleh. Inilah satu keadaan, yang orang awam menyebutnya sebagai berpuas-diri atau bersyukur. Jika seseorang merasa puas-diri atau bersyukur, maka dipastikan ia akan bahagia.

 

Setelah kita mengupas konsep kebahagiaan menurut keinginan yang dilawankan dengan kebutuhan, marilah kita simpulkan pembahasan tentang kebahagiaan. Jadi kebahagiaan itu bukanlah soal kaya atau miskin, melainkan satu sikap mental menerima keadaan diri sendiri sebagai mana adanya. Kebahagiaan itu terpancar dengan dilandasi sikap berpuas-diri atau bersyukur. Kebahagiaan bukan diraih nanti di masa depan yang jauh, tetapi kebahagiaan ditumbuhkan sekarang dan terus-menerus. Dan terakhir kebahagiaan itu bukanlah nasib, tetapi kebahagiaan itu adalah pilihan. Anda harus memilih mau bahagia atau tidak, semuanya terserah Anda.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210324

 

Rabu, 10 Maret 2021

SINGA

 

SINGA

 



 

Singa, hewan besar perkasa yang dijuluki si raja rimba, siapa yang tidak kenal? Sejak anak-anak balita kita memasuki PAUD atau Pendidikan Anak Usia Dini, mereka telah diperkenalkan oleh gurunya pada hewan besar yang mirip kucing ini. Namun benarkah singa itu si raja rimba?

 

Untuk melihat tempat tinggal hewan besar ini kita perlu meninjau ke habitat singa yang terbesar di dunia, yang terletak di Afrika timur. Habitat ini bernama Ekosistem Serengeti yang membentang di Tanzania bagian utara dan memanjang ke barat daya Kenya, serta mencakup wilayah seluas 30.000 kilometer persegi. Bagian Serengeti yang masuk ke wilayah Kenya dinamakan Maasai Mara. Serengeti adalah sebuah dataran yang sangat luas dengan sebagian besar berupa padang rumput dan padang sabana, dan sebagian lagi berupa rawa, sungai dan hutan di sepanjang bantarannya, bukit kecil, dan hutan akasia. Atraksi yang paling menarik sepanjang tahun di Serengeti adalah migrasi besar-besaran mamalia besar herbivora, yang bergerak dalam jumlah ratusan ribu ekor mengikuti musim hujan untuk mencari pakan rumput dan dedaunan yang segar. Singa yang jumlahnya bisa mencapai ribuan – populasi terbesar di dunia – mendiami Serengeti. Singa adalah predator puncak di dataran luas ini, dan singa tidak pernah hidup di lingkungan hutan-hujan atau rimba belantara seperti anggapan kita selama ini.

 

Singa dengan nama Latin panthera leo hanya hidup di benua Afrika dan sebagian kecil lainnya yakni singa-asia masih hidup dalam jumlah terbatas di Cagar Alam Gir di Gujarat, India. Singa jantan mudah dibedakan dengan singa betina, dengan adanya surai atau rambut lebat yang tumbuh di sekitar kepala dan lehernya. Inilah ciri unik yang mudah dilihat, serta tidak bisa didapatkan pada spesies kucing besar lainnya. Singa jantan dewasa panjang tubuh rata-ratanya 3 meter dan berat 200 kg (betina 2,5 m, 150 kg) melebihi ukuran macan tutul atau citah, dan dalam perkelahian antar kucing besar singa umumnya unggul. Namun kelemahannya, singa tidak bisa memanjat pohon dan ia takut air.

 

Berbeda dengan harimau yang hidup soliter, singa umumnya hidup dalam kawanan. Satu kawanan biasanya terdiri dari dua jantan dewasa dan beberapa betina dewasa disertai dengan anak-anaknya. Jumlah kawanan biasa rata-rata beranggotakan lima belas ekor singa. Namun pernah ditemukan kawanan super yang beranggotakan hingga tiga puluh ekor singa. Singa bisa berlari cepat tetapi tidak bisa dilakukan dalam tempo yang lama, karena ia mudah lelah terutama di saat cuaca panas. Perburuan mangsanya dilakukan ketika hari menjelang gelap dan mereka lebih aktif pada malam hari. Singa umumnya menghabiskan tiga jam sehari untuk berburu, satu jam untuk makan, dan selebihnya dimanfaatkan untuk tidur dan bermalas-malasan.

 

Dalam menangkap mangsanya para singa betina melakukannya secara efektif dengan cara mengepungnya. Korban biasanya adalah hewan yang terpisah dari kelompoknya, yang sedang tersesat atau terluka, yang mudah disergap oleh singa-singa betina. Hewan yang menjadi mangsanya adalah mamalia besar dengan berat 50 sampai 500 kg, dan korban dibunuh dengan cara dicekik atau diputuskan saluran napasnya. Singa jantan jarang melakukan perburuan, dan hanya sesekali membantu untuk menjatuhkan dan melumpuhkan mangsa besar seperti kerbau. Setelah hewan korbannya terbunuh, para singa betina menyerahkan karkas hewan buruannya kepada singa jantan agar menyantapnya terlebih dahulu. Perilaku ini mirip dengan yang terjadi pada sebagian bangsa manusia. Lalu bagian mana yang biasanya disukai untuk disantap terlebih dahulu? Singa jantan umumnya memilih bagian isi perut atau jeroan sebagai makanan favoritnya. Bagian karkas ini memang lezat dan memiliki kandungan air yang banyak. Setelah jantan selesai makan barulah para betina mendapatkan gilirannya. Namun terkadang ketika suasana hatinya sedang galau, singa jantan mengangkangi makanannya sendiri dan tidak mengizinkan anggota lainnya untuk ikut menikmatinya. Kalau situasinya sudah seperti ini, para singa betina tidak kehilangan akal. Mereka lalu mengajak anak-anak singa yang masih imut-imut untuk ikut makan. Singa jantan sangat sayang pada anaknya sendiri dan membiarkan mereka ikut makan. He he he!

 

Jika singa jantan menyerahkan tugas mencari makan kepada betinanya, lalu apa pekerjaan mereka? Singa jantan berdua atau bertiga melakukan patroli di wilayah kekuasaannya. Mereka menandai teritorinya lewat lengkingan atau auman suaranya, menggesekkan tubuhnya pada pepohonan, dan membuang kotorannya. Sesekali singa jantan terlibat perkelahian dengan jantan asing lainnya yang ingin menyusup. Jantan penyusup yang biasanya terdiri dari dua jantan pengembara ini sangat berbahaya bagi kelangsungan kawanan ini. Mereka akan mengambil alih kekuasaan dan membunuh anak-anak singa. Tujuannya agar singa-singa betina berhenti menyusui dan memasuki masa birahi kembali, sehingga bisa dikawini oleh para jantan penyusup ini.

 

Pada saat musim kawin sepasang singa melakukan kopulasi selama kurang lebih 20 detik dan dalam sehari mereka bisa berhubungan badan sampai 50 kali. Tujuannya agar pembuahan bisa berhasil dan selama masa kawin ini keduanya akan kehilangan nafsu makan. Setelah singa betina bunting, ia akan melahirkan anaknya dalam waktu 110 hari. Anak yang dilahirkan sebanyak satu hingga enam ekor. Induk yang akan melahirkan biasanya mengasingkan diri dari kawanannya. Agar anaknya bisa bertahan dan selamat dari pemangsa, induknya bisa beberapa kali memindahkan lokasi sarangnya. Caranya dengan menggendong anaknya pada tengkuknya, agar pemangsa tidak mengendus bau anaknya. Perilaku induk singa memindahkan anaknya persis sama seperti kelakuan kucing beranak di rumah kita. Induk singa menyusui anaknya hingga 10 bulan, dan mereka tidak keberatan menyusui bayi singa yang bukan anak kandungnya. Jadi dalam satu kawanan para singa betina akan mengatur, agar masa kehamilan mereka bisa berlangsung secara berbarengan.

 

Singa dapat hidup di alam bebas selama 14 tahun, dan jika dipelihara di kebun binatang bisa mencapai 20 tahun. Tentu saja masih banyak cerita kehidupan singa di habitatnya yang menarik untuk diketahui, namun kita akan beralih ke topik lain, yakni bagaimana singa berpengaruh pada kebudayaan Tiongkok.

 

Seperti yang kita baca tentang keberadaan kucing besar di dunia, macan tutul bisa ditemukan di daratan Tiongkok, namun singa adalah satwa asing di negeri ini. Penguasa di Iran dan Afganistan pada ratusan tahun yang lalu menghadiahkan singa hidup kepada Kaisar Tiongkok untuk dipelihara di lingkungan istana. Hadiah ini dipersembahkan sebagai balas jasa atas dibukanya akses perdagangan internasional melalui Jalan Sutera yang legendaris itu. Setelah orang Tionghoa melihat keberadaan hewan perkasa ini, timbul imajinasi mereka bahwa kekuatan singa menyamai sang naga, hewan mitologis yang telah berjaya semenjak Tiongkok mengenal peradaban.

 

Alkisah di satu dusun, satu makhluk aneh dan mengerikan tiba-tiba muncul dan ia mulai memangsa orang dan hewan buas lainnya. Makhluk mengerikan itu dinamakan nien (yang jika dilafalkan mirip dengan kata Mandarin lainnya yang berarti "tahun"), begitu lincah dan ganas, bahkan banteng dan harimau tidak dapat bertahan menghadapinya. Dalam keputusasaan mereka, orang dusun lalu memanggil singa untuk membantu mereka. Segera setelah melihat makhluk yang mengerikan itu, singa langsung menyergap dan menerkamnya, yang membuat nien tersebut lari tunggang langgang dan berteriak-teriak, "awas kalian! Aku akan datang lagi lain kali dan aku akan menuntut balas."

 

Setahun kemudian nien yang sama datang lagi ke tempat tinggal mereka untuk membalas dendam. Singa yang diminta pertolongannya saat itu sedang sibuk dengan tugas barunya, yakni menjaga pintu gerbang istana kaisar sehingga ia tidak dapat memberikan bantuan. Penduduk dusun tidak kehilangan akal. Mereka dengan tergesa-gesa mengambil batang bambu, memotong dan menghaluskannya, membentuk sebuah kerangka kepala hewan, menutupinya dengan sehelai kain, dan melukis wajah garang singa jantan di permukaan kain. Dua orang lelaki merangkak ke bawah kain panjang itu, seorang di depan menggerakkan kepalanya dan seorang lagi mengikutinya mewakili tubuh bagian belakang dan ekor singa. Mereka berdua lalu menggerakkan kepala dan tubuh bagian belakang, lalu disertai dengan tiruan lolongan dan auman singa, keduanya merangsek maju menghadapi makhluk mengerikan itu. Berhadapan dengan makhluk singa-singaan ini nien terkejut dan ia kembali melarikan diri. Penduduk dusun pun bersyukur dan mereka semua selamat.

 

Gerakan dua penari di bawah selubung topeng singa ini menggambarkan keberanian, stabilitas, dan keunggulan; dikenal sebagai tarian singa atau lion dance , dan di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan atraksi barongsai. Tarian singa yang biasanya dilakukan pada masa peringatan Tahun Baru Imlek, dimaksudkan untuk mengusir hantu dan iblis jahat seperti halnya nien, yang juga takut jika mendengar suara keras. Selama tarian berlangsung, mimik wajah dan gerakan tubuh sang singa, mewakili hewan perkasa ini yang sedang bertarung melawan makhluk jahat. Selama pertunjukan berlangsung, bunyi dentuman tambur mengikuti gerak singa, sedangkan gong dan simbal mengikuti irama tambur. Tarian singa bermula dan berakhir di kuil, tempat singa memberikan penghormatan kepada kuil dan para dewata juga ke aula tempat para leluhur disembahyangi. Prosesi tarian singa ini berlanjut ke jalan raya tempat tinggal penduduk, serta mampu memberikan kegembiraan dan kesukacitaan kepada mereka semua.

 

Berbicara mengenai keagungan singa kita pasti teringat pada Kaisar Asoka, yang berjasa mengembangkan agama Buddha hingga ke mancanegara. Pada masa pemerintahannya Asoka mendirikan prasasti dan monumen berupa tiang batu yang megah dan indah. Pada satu monumen yang berada di Sarnath, tempat Sang Buddha untuk pertama kali memutar Roda Dharma, ada satu tiang batu yang masih terawat dengan baik. Bagian atas atau hulu tiang terdapat patung empat ekor singa-asia yang berdiri saling membelakangi. Di bawah kaki singa ini digambarkan sebuah dharma-cakra atau roda-dharma yang sedang berputar. Patung yang dibentuk dan diukir secara indah ini dibuat sekitar tahun 250 seb.M. Tugu batunya masih berdiri di tempat asalnya, tetapi hulu tiang telah dipindahkan untuk dipelihara dan dipamerkan di Museum Sarnath, negeri bagian Uttar Pradesh, India.

 

Empat singa yang saling membelakangi dimaknai sebagai empat nilai yang sama pentingnya. Singa banyak dipergunakan sebagai lambang Buddha, seperti yang terdapat pada stupa-stupa di Sanchi. Sedangkan angka empat merujuk pada Empat Kesunyataan Mulia. Istilah "Shakyasimha" atau "Sakyasenge" dalam bahasa Tibet, mengacu pada kata Sanskerta "simha" yang berarti singa. Singa dianggap sebagai raja dari semua binatang. Jadi Shakyasimha adalah "Singa dari Klan Sakya" alias Sang Buddha itu sendiri. Selain Buddha sendiri, Padmasambhava dalam kepercayaan Tibet dianggap sebagai Buddha kedua dan ia dipanggil juga sebagai Shakyasimha. Kembali pada peninggalan berharga empat singa pada hulu tiang Asoka, komite yang mempersiapkan kemerdekaan India membuat gambar dua dimensi, sehingga hanya tampak tiga singa (singa yang di belakang tidak terlihat). Gambar tiga ekor singa-asia ini kemudian dijadikan Lambang Negara India sejak tanggal 26 Januari 1950. Di bawah lambang itu tertulis "Satyameva Jayate" dalam aksara Dewanagari yang bermakna 'Hanya Kebenaran yang Berjaya'. Lambang negara India ini setara dengan yang kita miliki: Garuda Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika.

 

Dalam salah satu risalahnya, Bhikkhu Nanamoli mengungkapkan "Auman Singa" dalam The Lion's Roar : "Diantara kawanan hewan yang menjelajah alam liar, entah itu di hutan, di bukit, atau di lapangan luas, singa secara universal dikenal sebagai sang pemimpin. Pengejawantahan kekuatan yang berasal dari dalam, bahwa ia adalah yang paling agung dalam sikap dan perilaku, yang terkuat, terunggul dari segi kecepatan, paling berani, dan pemegang kekuasaan. Ekspresi supremasi singa terdapat pada aumannya. Auman yang mampu membungkam tangisan, lolongan, jeritan, lenguhan, gonggongan, dan geraman hewan lain yang lebih rendah. Ketika singa keluar dari sarangnya dan menyuarakan aumannya, semua hewan lain pun bungkam dan mau tidak mau mereka semua turut mendengarkannya. Pada momen seperti itu tidak ada satu pun dari mereka yang mampu membuka mulutnya lagi, apalagi datang ke tempat terbuka untuk menantang raungan tak-tertandingi dari sang singa yang berwajah emas."

 

Dalam beberapa Sutta pada Kanon Pali, terkadang ditemukan citra kehidupan hewan yang terdapat di belantara India yang memiliki keanekaragaman satwa-satwa yang mengagumkan. Dalam berbagai perumpamaan, Sang Buddha merujuk pada dirinya sendiri, yang mana ia memilih singa yang agung untuk mewakili dirinya. Dalam ranah spiritual, auman singa jantan menggambarkan proklamasi Dhamma yang berani dan menggelegar. Seperti contohnya dalam kitab Majjhima Nikāya, ada dua Sutta yakni pada No. 11 dan 12 yang menggunakan metafora auman singa. No. 11 dinamakan "Wejangan Pendek tentang Auman Singa" dan No. 12 diberi judul "Wejangan Panjang tentang Auman Singa". Anda yang berminat untuk membaca dan mempelajarinya lebih jauh, bisa merujuknya langsung pada kitab suci yang dimaksud di atas.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210310