Rabu, 24 Februari 2021

DICELA?, MENGAPA HARUS RISAU?

 

DICELA?, MENGAPA HARUS  RISAU?

 

 



Kejadian ini dialami oleh penulis sendiri. Tentu berlangsung jauh sebelum ada pandemi Covid-19, yang memporakporandakan kehidupan manusia di berbagai belahan dunia. Seorang kawan baik dari isteri penulis mengundang kami ke resepsi pernikahan anaknya yang dilangsungkan pada satu akhir pekan di Jakarta. Kawan yang mengundang kami sudah lama dikenal sebagai orang berada, seorang pengusaha yang telah lama berkecimpung di bisnis pertambangan.

 

Resepsi perkawinan diselenggarakan di sebuah ballroom hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Memasuki lokasi perhelatan, para tamu disambut oleh belasan gadis muda cantik yang mengenakan gaun pesta model-kemben berwarna merah-muda. Bersolek dengan menambahkan pupur di pipi, ditambah dengan alis dan bulu mata yang lentik, serta bibir dengan gincu nan merah merona, mereka bak bidadari yang turun dari kahyangan. Mereka dengan cekatan melayani para undangan, mempersilahkan agar buku-tamu diisi, dan tak lupa menerima angpao yang segera dimasukkan ke dalam kotak.

 

Begitu masuk ke ruangan resepsi yang lapang dan berhawa sejuk, barisan kerabat kedua mempelai berpakaian jas dan gaun pesta menyambut kedatangan kami untuk bersalaman. Kami semua terpesona melihat keasrian dan mewahnya dekorasi aula, baik itu panggung pelaminan, lorong setapak bagi prosesi kedua pengantin, maupun tatanan meja dan pondok tempat meletakkan berbagai hidangan. Seluruh dekorasi ditata dengan apik dan nyaris sempurna, dengan memakai ratusan bunga-petik asli yang masih segar dan bukan tersusun dari bunga-bunga plastik. Sebuah layar-LED raksasa terpasang di dinding dan kamera-mobile yang digerakkan di ketinggian, mampu merekam episode penting selama jalannya acara.

 

Para hadirin langsung berdiri dan bertepuk tangan ketika kedua mempelai melakukan prosesi memasuki aula resepsi menuju pelaminan. Tampak dua sejoli bak raja-sehari dengan wajah berseri-seri menebar senyum kepada para hadirin. Yang laki-laki berwajah tampan memakai setelan lengkap dengan jas berwarna gelap, sedangkan yang perempuan begitu rupawan dengan gaun pengantin berwarna putih dengan rok yang menjuntai menyapu lantai. Setelah ritual potong kue pengantin, bersulang minuman, ucapan terima kasih dari keluarga, dan doa syukur usai, pesta pun dimulai. Suasana menjadi semakin meriah, ketika seorang biduan wanita ternama beserta awak band mulai mendendangkan lagu-lagu Barat, Mandarin, dan Indonesia populer.

 

Sebagian undangan bergegas menuju pelaminan guna menghaturkan ucapan selamat kepada kedua mempelai dan orang tua mereka, sedangkan hadirin yang lain langsung menyerbu dan menyantap hidangan yang telah disediakan. Bukan main berlimpahnya makanan dan minuman yang disediakan oleh pengantin baru dan keluarganya itu untuk menjamu tamunya yang hampir berjumlah seribu orang. Mulai dari salad bar dan aneka sup, hidangan prasmanan, hingga buah-buahan dan hidangan-penutup; yang semuanya merupakan menu pilihan yang diolah dari bahan-bahan terbaik. Makanan dan minuman yang disediakan di berbagai pondok-saji pun tidak biasa ditemukan di acara resepsi kebanyakan. Ada udang-karang besar yang ditumis lengkap dengan kentang dan sayuran, iga sapi panggang impor, pie ikan salmon dengan sausnya, nasi hainam dengan bebek-peking, dan konter minuman keras. Rasanya? tidak usah ditanya, pokoknya semuanya maknyuz!

 

Para pembaca, itulah gambaran umum yang sekarang ini terjadi pada perhelatan kaum kaya sewaktu mereka menikahkan anak-anak mereka. Dalam tempo yang hanya berlangsung dua hingga tiga jam, semua kenikmatan duniawi seolah disuguhkan untuk memanjakan para tamu undangan. Para tamu dan tuan rumah yang semuanya berbusana necis dan wangi, suasana pesta dalam lingkungan yang mewah dan menawan, hiburan musik yang mewartakan kesukacitaan, dan pelbagai hidangan yang lezat dan istimewa. Tentu saja pesta mewah semacam itu menyesuaikan dengan kondisi zamannya. Dulu orang tua kita bercerita perhelatan perkawinan orang besar di zaman kolonial, paling tidak berlangsung selama tiga hari tiga malam.

 

Menarik untuk menyimak apa kesan para tamu undangan beberapa hari setelah perhelatan akbar itu usai. Sebagian besar memuji dan berterima kasih kepada keluarga pengantin. Namun ada segelintir dari mereka yang nyinyir atau berkomentar sinis. "Dasar orang kaya!", "Sok pamer!", dan sejumlah komentar negatif lainnya. Alih-alih bermudita-cita atau turut berbahagia terhadap kesuksesan keluarga yang mengundang, malah iri hati yang diungkapkan. "Mestinya pestanya diselenggarakan dengan sederhana!" komentar yang lain. Aneh juga mendengar orang yang memiliki jalan pikiran seperti itu. Orang kaya dan terpandang menyelenggarakan perhelatan yang sederhana dan biasa-biasa saja, tentu akan menjadi bahan olok-olokan dan gunjingan para kolega dan kerabatnya. Orang kaya yang berpura-pura miskin mungkin hanya ada di layar kaca Sinetron Indonesia atau Drama Korea.

 

Pernah juga penulis menghadiri resepsi perkawinan di tempat lain. Pada saat itu tetangga di kompleks tempat kami tinggal menyampaikan undangan pernikahan puteranya. Kami datang ke tempat pesta yang kebetulan diadakan di sebuah balai-pertemuan pada sebuah kompleks Kementerian. Kebetulan si bapak mempelai pria berdinas di Kementerian tersebut. Resepsi pernikahan berjalan lancar seperti lazimnya dan dihadiri kurang lebih tiga ratus lima puluh undangan. Ruang pesta berupa aula yang biasa dipakai untuk penyelenggaraan seminar, dan di sana ada panggung pelaminan yang didekor seadanya. Di tengah ruangan ada dua deret meja-panjang, tempat penyelenggara meletakkan pelbagai hidangan, dan di pojok masih ada sebuah meja besar tempat menaruh buah-buahan dingin.

 

Para tamu setelah menyampaikan ucapan selamat langsung menikmati hidangan prasmanan dan mengambil buah-potong yang disediakan. Setelah bersilaturahmi dengan para undangan yang kami kenal, dan mengambil foto bersama kedua mempelai, kami pun pulang. Nah, Anda pingin tahu komentar para tamu? Ya, sebagian besar oke-oke saja, tetapi ada juga yang tidak puas. "Payah, masa makan di kondangan cuma segitu. Tidak ada pondok-makanan sama sekali?" Kita yang sudah diundang untuk berbagi kebahagiaan – bukan untuk berwisata kuliner – hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Bukankah tidak setiap orang mampu menyelenggarakan perhelatan dengan hidangan yang serba lengkap dan bervariasi?

 

Pengalaman lain didapat sewaktu kami menghadiri upacara perkawinan puteri seorang sahabat, yang dilangsungkan di sebuah vihara. Setelah rentetan upacara telah berlangsung menurut urut-urutan yang telah ditetapkan, pada bagian penghujung upacara, romo pandita yang bertugas memimpin upacara memberikan petuah-petuah kepada kedua mempelai. Petuah berupa wejangan bahwa perkawinan bukan saja merupakan keterikatan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, melainkan satu ikatan-sakral antara suami dan isteri berdasarkan ajaran agama Buddha. Romo pandita juga menasehati agar kedua insan yang baru menikah ini dapat membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia. Dalam ajaran Islam keluarga ideal ini, populer disebut sebagai "keluarga sakinah". Kita juga di lingkungan Buddhis punya istilah sendiri, yakni "keluarga hitta-sukhaya".

 

Demikianlah upacara perkawinan sahabat kami telah selesai dilangsungkan di vihara, dan resepsi perkawinan baru diadakan dua minggu kemudian. Kebahagiaan memancar dari wajah kedua pengantin baru dan keluarganya. Hanya karena ada halangan, pihak pengantin laki-laki hanya mengirimkan saksi sebagai pengganti kehadiran orang tuanya. Keduanya sejak hari itu sudah sah sebagai suami-isteri, hanya tinggal menunggu resepsi pernikahan, namun rumor iseng beredar di luaran. Gosip mengatakan: "Kayaknya orang tua mempelai pria tidak menyetujui perkawinan mereka!"  Memang desas-desus itu begitu kejam menghakimi seseorang, tanpa mau menyelidiki fakta di baliknya. Kami yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya hanya bisa mengelus dada. Faktanya, orang tua mempelai pria yang tinggal di luar pulau berhalangan hadir, semata-mata karena alasan kesehatan.

 

Demikianlah pembaca yang budiman. Dari ketiga contoh kasus di atas kita dapat melihat, betapa pun orang sudah begitu baik dan sempurna menyelenggarakan acara perkawinan, masih saja ada orang yang mengkritik dan mencela mereka. Sekarang bagaimana kejadiannya kalau seseorang tahu-tahu sudah menikah, tetapi temannya tidak diundang?

 

Beberapa belas tahun yang lalu sewaktu surat kabar masih berjaya dan banyak pembacanya, iklan-keluarga lazim ditempatkan di lembar tersendiri. Iklan-keluarga biasanya berupa berita duka cita dan ada kalanya memuat iklan "kawin-tamasya". Dengan "kawin-tamasya" sepasang pengantin yang baru berumah tangga mengumumkan kepada khalayak yang mereka kenal, bahwasanya mereka telah menikah. Jadi artinya perkawinan secara agama atau adat telah dilangsungkan, namun ritual itu hanya disaksikan oleh keluarga terdekat saja. Tidak ada keramaian atau pesta untuk merayakannya. Alasan utama mereka tidak menggelar resepsi tidak lain menghindari keluarnya biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian dana yang sedianya ditujukan untuk mengadakan perhelatan dialihkan menjadi dana untuk bertamasya, baik untuk berbulan-madu di dalam negeri atau pun di luar negeri.

 

Sekarang di zaman yang dikuasai oleh media sosial, tidak perlu kita memasang iklan "kawin-tamasya" tentunya. Kita cukup mengabarkan pernikahan kita kepada teman-teman kita dengan mengubah status di akun media sosial yang kita miliki. Praktis dan tidak mengeluarkan biaya sepeser pun, bukankah begitu? Begitu status lajang Anda berubah menjadi "telah menikah", maka dapat dipastikan ucapan selamat akan membanjiri akun media sosial Anda. Namun seperti yang bisa diduga, masih ada orang di luar sana yang tetap nyinyir. Bahkan ada yang berkomentar: "Keduanya tidak mengundang kita, mungkin malu karena mempelai wanitanya sudah hamil duluan!" Tanggapan miring itu membuat kita menggumam, "Astagfirullah!", tapi Anda sadar beginilah kita melakoni hidup di dunia ini.

 

Ada kisah menarik yang patut kita simak untuk melengkapi cerita di atas itu, yang berasal dari masa ketika Buddha kita hidup. Alkisah seorang pengikut awam Beliau yang bernama Atula sekali waktu bersama dengan sekumpulan sahabatnya bermaksud menambah wawasan pengetahuan mereka tentang Dhamma. Di satu lokasi petapaan mereka menemui seorang bhikkhu senior yang bernama Bhikkhu Revata. Sang bhikkhu senior adalah siswa yang memiliki kepakaran dalam bidang meditasi, dan ia sehari-hari menghabiskan waktunya hanya untuk bermeditasi di tempat tinggalnya. Begitu mereka menemuinya Atula dan para sahabatnya langsung menanyakan satu subyek perihal ajaran Sang Guru. Namun sang bhikkhu yang ditanya hanya berdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah melakukan penghormatan mereka pun undur diri dari sana.

 

Kecewa mendapatkan kenyataan ini, Atula dan para sahabatnya lalu menjumpai Yang Mulia Sariputta, siswa kepala Sang Buddha, bhikkhu yang paling pintar dalam hal penguasaan materi Dhamma. Sang bhikkhu kepala menerima mereka dengan gembira, dan selanjutnya ia membabarkan ajaran secara rinci dan panjang-lebar. Setelah pembabaran usai mereka pun lalu berpamitan. Mendengarkan pembabaran ajaran sambil terkantuk-kantuk mereka pun mencela, karena ajaran yang diberikan terlalu panjang dan bertele-tele.

 

Selanjutnya mereka menemui Bhikkhu Ananda, bhikkhu pengawal dan asisten pribadi Sang Guru. Yang Mulia Ananda menjawab pertanyaan yang sama itu dengan jawaban yang ringkas namun padat. Setelah mereka pamit pada sang bhikkhu, Atula dan para sahabatnya masih tetap kecewa dan mereka menyebut ajaran yang baru disampaikan itu terlalu ringkas dan tidak lengkap. Selanjutnya mereka menghadap Sang Guru dan menceritakan kejadian yang baru mereka alami.

 

Sang Guru menerima keluhan mereka, dan ia bersabda: "Wahai Atula, hal ini telah ada sejak zaman dahulu, bukan hanya terjadi pada masa sekarang. Mereka mencela orang yang duduk diam, mereka mencela orang yang banyak bicara, dan mereka juga mencela orang yang sedikit bicara.Tak ada seorang pun di dunia ini yang tidak dicela." Dicela dan dipuji adalah dua sisi mata uang yang pasti dialami setiap manusia dalam hidupnya.

 

Jadi demikianlah kenyataannya, dicela dan dipuji menurut ajaran agama Buddha adalah dua dari delapan kondisi duniawi, yang pasti dialami seseorang. Jika keduanya tidak bisa dihindari, adalah bijak jika kita melatih diri dengan mengembangkan ketenangseimbangan, seperti yang ditorehkan oleh untaian kata di bawah ini:

 

"Dicela dan dicaci-maki tidak bakal menjadi kotoran;

Dipuji dan diagung-agungkan tak akan menjelma menjadi rembulan;

Tak usahlah meradang ketika kita menerima celaan;

Tak perlu pula melambung saat kita menuai pujian,"

 

Sewaktu kita menerima pujian kita dapat menerimanya dengan hati berbunga-bunga, tetapi saat kita dicela kita cenderung menjadi kecil hati. Namun saat kita dicela, seyogianya kita dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencari kelemahan yang ada di dalam diri kita sendiri, yang selama ini tidak kita sadari. Sebagai penutup buah pena ini, penulis meminta Anda untuk merenungkan kutipan berikut ini, yang merupakan satu petuah dari Nabi Lao Zi: "Kata yang jujur tidaklah indah, kata yang indah tidaklah jujur."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210224

 

Rabu, 10 Februari 2021

LELUHUR

 

LELUHUR

 



 

Peristiwanya terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat itu penulis diminta untuk memberikan ceramah Dharma kepada umat vihara, yang mana mayoritas dari mereka adalah anak-anak yang masih menuntut ilmu di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Pembicaraan beralih pada keberadaan meja-abu leluhur kami dari garis keturunan bapa, yang sewaktu penulis masih kecil berada di rumah Tuape atau paman (kakak dari ayah). Pada dinding di bagian atas meja-abu terpasang potret hitam-putih leluhur keluarga kami, diantaranya engkong atau kakek dan ema atau nenek yang telah meninggal dunia.

 

Penulis iseng-iseng bertanya kepada para hadirin, "Kalian tentu semua memiliki kakek dan nenek. Coba hitung ada berapa kakek dan nenek?" Sebagian dari mereka masih keliru menjawabnya, dengan mengatakan hanya memiliki satu kakek dan satu nenek, padahal kenyataannya ada dua kakek dan dua nenek. Berikutnya penulis mengajukan pertanyaan lanjutan kepada mereka, "Sekarang coba hitung ada berapa kakek-buyut dan nenek-buyut yang kalian miliki?" Mulut anak-anak sebagian berkomat-kamit dan setelah diberi penjelasan, akhirnya mereka paham bahwa kakek-buyut adalah ayah dari kakek dan nenek mereka. Anak yang cerdas langsung menjawab dan berkata bahwa ia punya masing-masing empat orang kakek-buyut dan nenek-buyut.

 

Keberadaan empat pasang kakek-nenek-buyut mungkin di luar batas pemahaman kita sehari-hari, karena hanya sedikit dari kita yang masih sempat berjumpa dan memiliki kenangan tentang sosok kakek dan nenek kita sendiri. Jika kita pernah bertemu dengan salah satu dari nenek-buyut kita, peristiwa itu pasti merupakan kejadian langka yang terjadi sewaktu kita masih kanak-kanak.

 

Saya ingin mengajak Anda sekalian, para pembaca yang terhormat, untuk merenungkan sebentar mengenai keberadaan leluhur kita. Empat pasang kakek dan nenek buyut ada di generasi ketiga sebelum kita. Pernahkah kita menghitung ada berapa banyak leluhur kita pada generasi kesepuluh sebelum kita? Jika kita menghitungnya maka ada 512 pasangan suami-isteri nun jauh di masa silam yang merupakan leluhur kita langsung. Berarti ada seribu-dua-puluh-empat orang yang terlibat dalam keberadaan kita di masa kini. Jika ada satu saja diantara mereka itu tidak terlibat dalam perkawinan dan tidak mendapatkan keturunan, maka kita dan saudara-sekandung kita tidak akan pernah hadir di muka bumi ini.

 

Lalu ada pertanyaan seberapa jauhkah generasi kesepuluh sebelum kita ini. Dengan hitungan kasar, keberadaan mereka ada sekitar 250 hingga 300 tahun sebelum era kita, atau antara tahun 1720 hingga tahun 1770 (yakni pada abad ke-18!). Padahal kita mengetahui dari asal-usul manusia modern (yang dinamakan homo sapiens), keberadaan nenek moyang kita di bumi ini sudah berlangsung selama empat puluh ribu tahun. Jadi jika kita merunut leluhur-jauh kita, entah sudah berapa banyak orang yang terlibat, sehingga mereka beranak-pinak dan akhirnya memastikan eksistensi kita sebagai manusia.

 

Pentingnya leluhur dan jasa mereka bagi kita sekalian telah disadari oleh nenek moyang kita. Pada suku-suku primitif pemujaan pada leluhur menjadi ritual dan agama yang mereka anut dan mereka jalani selama hidup mereka. Di dunia ini, bangsa yang masih setia menjalankan ritual dan agama yang memuja peran leluhur tidak lain adalah bangsa Tionghoa, yang diakulturasikan dalam bentuk agama orang Tionghoa.

 

Setelah buyut, kakek-nenek, dan kedua orang tua kita telah tiada mereka tetap dihormati dan dipuja oleh keturunannya. Keberadaan meja-abu di rumah keturunan mereka menjadi sebuah medium, tempat yang masih hidup berinteraksi dengan yang telah mati. Meja-abu leluhur biasanya berfungsi sebagai altar, tempat meletakkan sebuah wadah-abu atau hiolau yang berisikan abu dupa sisa pembakaran, sepasang lilin atau pelita, dan sisanya yang masih luas untuk meletakkan barang sesajian. Di sekitar meja-abu yang masih dalam ruang-sembahyang, dipasang pula potret leluhur serta papan bertuliskan huruf kanji yang memuat nama leluhur, pesan harapan atau pujian.

 

Di rumah tempat meja-abu diletakkan merupakan ruang privat, yang mana para keturunan mereka yang masih hidup melaksanakan pujabakti terhadap arwah leluhur. Dalam setahun paling tidak ada empat kali sembahyang besar, tiga kali sembahyang kecil, dan sembahyang-reguler yang dilaksanakan setiap tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan bulan. Pada setiap perayaan altar akan dipenuhi dengan berbagai macam sesajian dan perlengkapan sembahyang, sesuai dengan tema pujabakti apa yang sedang dirayakan. Ruang sembahyang tempat interaksi dengan leluhur, adalah ruangan yang terbaik dalam sebuah rumah. Ruang sembahyang ini tidak lazim ditempatkan di ruang tamu, di kamar tidur, dekat WC, atau di sebelah dapur, melainkan di ruang keluarga sebelah dalam dan jika memungkinkan memiliki pintu di sisi kiri dan kanannya.

 

Menurut ajaran kuno yang jauh berakar di masa lalu dan kemudian diajarkan pula oleh Guru Kong (551-479 s.M.), yakni pendiri agama Konghucu, leluhur merupakan pihak yang paling dihormati. Kemudian semua orang yang lebih muda harus bersikap hormat terhadap orang yang lebih tua. Dan seorang anak wajib berbakti kepada orang tuanya. Pengertian yang cocok untuk menggambarkan bakti ini terdapat dalam istilah mandarin xiào, yang terpampang pada sisi kiri gambar yang menyertai artikel ini (lihat gambar di atas). Xiào ini dalam bahasa Hokian dilafalkan sebagai hàu. Xiào diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai filial piety dan dialihbahasakan sebagai "kesalehan-anak". Menarik untuk menyimak asal mula kata xiào ini, yang merupakan perpaduan antara aksara lao (tua) di atas aksara  zi (putera), yang bermakna orang tua dan leluhur ditopang oleh generasi yang lebih muda.

 

Di atas disebutkan bahwa di dunia ini hanya bangsa Tionghoa yang masih memuja leluhurnya dengan lebih intens dibandingkan bangsa-bangsa lainnya. Bagaimana tidak intens? Setiap bulan paling tidak dalam dua kesempatan ia menghampiri meja-abu leluhurnya, membersihkannya, menyediakan barang sesajian, menyalakan lilin dan mempersembahkan dupa, serta dari mulutnya dilantunkan doa-doa yang mengharapkan agar semua leluhurnya hidup sejahtera dan bahagia di alam sana. Sewaktu seorang Tionghoa yang masih muda lulus dalam ujian sekolah, maka yang pertama dilakukannya adalah membakar dupa di meja-abu dan bersujud-syukur di depan leluhurnya. Demikian laku yang sama dipertunjukkannya pula sewaktu ia mendapatkan kenaikan pangkat, mengikat janji sehidup-semati dengan pasangannya, dan memperoleh kesuksesan besar dalam hidupnya.

 

Inilah yang membedakan antara orang Tionghoa dengan katakanlah orang Barat atau orang bule. Orang Barat barangkali memiliki Tuhan di hatinya, tetapi melupakan dan tidak langsung melibatkan leluhurnya dalam penghayatan sehari-hari. Jadi dimana letak perbedaannya? Dapat ditegaskan dalam hati orang Tionghoa yang saleh, yakni ia yang masih berkiblat dan memuja leluhurnya, merasakan bahwa nenek moyangnya selalu hadir di dalam hatinya, dan dengan demikian dirinya pun tetap hidup dalam hati anak-anak dan keturunannya. "Tidak ada leluhur, tidak ada pula kita. Tidak ada kita, tidak ada anak-anak dan keturunan kita." Begitu polos dan sederhananya prinsip ini.

 

Dalam Sabrahmaka Sutta (Itivuttaka, 206), Sang Buddha bersabda: "Ayah dan ibu disebut Brahma, guru awal dan pantas dipuja, ... ." Siapa itu Brahma? Mungkin ada yang ingat pelajaran di sekolah dulu, bahwasanya dalam kepercayaan India Kuno ada tiga-serangkai, yakni Brahma-Vishnu-Shiva. Brahma dikenal sebagai Pencipta, Vishnu Sang Pemelihara, dan Shiva Sang Penghancur. Jadi jelas Brahma adalah pencipta manusia dan alam semesta. Tanpa ada Brahma tidak ada manusia. Jadi tanpa ada ibu dan ayah tidak akan ada kita sebagai anak-anaknya. Begitu tinggi kedudukan Brahma, yang membuat orang India menyembah dan memujanya.

 

Kesalehan-anak diuraikan Konfusius dalam bukunya Buku Klasik tentang Kesalehan-Anak atau Xiaojing, yang di dalamnya berisi dialog antara Konfusius dengan siswanya Zengzi. Buku panduan ini digunakan dalam pendidikan dasar sejak zaman Dinasti Han di Tiongkok untuk mata pelajaran etika. Ada sebuah kutipan yang cukup terkenal: "Ketika mereka melayani ayah mereka, pun mereka melayani ibu mereka, jadi anak-anak mencintai keduanya sama-rata. Dengan berbakti seperti itu, mereka melayani pimpinannya, dan menghormatinya dengan setara" (Legge, James, The Classic of Filial Piety). Dimulai dari lingkup keluarga, dan jika semua anak melakukan bakti terhadap kedua orang tuanya, berarti ia melayani dan menghormati pimpinannya, yang pada akhirnya akan mewujudkan keharmonisan dalam masyarakatnya.

 

Kesalehan anak adalah sebuah konsep yang di dalamnya termasuk mengasihi dan menghormati orang tuanya, yang diungkapkan dalam tingkah laku dan kebiasaan sehari-hari. Anda para pembaca yang aktif di media sosial mungkin pernah melihat sebuah video, yang menggambarkan bagaimana seorang anak mengungkapkan cinta dan rasa hormatnya kepada orang tuanya. Dalam video itu digambarkan suasana pedesaan di Thailand. Seorang pemuda yang berpakaian seragam layaknya seorang kadet di sebuah instansi pemerintah turun dari bus yang membawanya hingga ke depan rumahnya. Sang kadet yang mungkin baru mendapat cuti dari dinasnya, bergegas memasuki halaman rumahnya, tempat orang-orang sekampungnya sedang beraktivitas di luar ruangan. Pertama yang dilakukannya adalah mencari ibunya, mengambil air di baskom, lalu bersimpuh di hadapan ibundanya. Selanjutnya ia mencuci kedua kaki ibunya, lalu mengeringkannya dengan sepotong handuk. Sang ibu yang melihat putera kesayangannya, kemudian membangunkannya, memeluk, serta menciumnya. Setelah ibu mendapatkan ungkapan-cinta dan penghormatan dari puteranya, kemudian giliran sang ayah mendapatkan perlakuan yang sama pula.

 

Sebagian anak muda terutama mereka yang kini tinggal di perkotaan menilai apa yang dilakukan pemuda desa itu sebagai hal yang lebai alias berlebihan. Namun apa yang dilakukan pemuda itu adalah merupakan kebiasaan dan kearifan-lokal yang tidak dibuat-buat. Begitulah adat dan tradisi keluarganya. Kita boleh meniru dan mengajarkan anak-anak kita, agar paling tidak dalam kesempatan istimewa seperti Hari Ibu, Tahun Baru Imlek, atau ketika mereka menikah, untuk melakukan ritual cuci-kaki atau mempersembahkan minuman teh kepada kedua orang tuanya.

 

Ungkapan kasih sayang anak kepada orang tua juga dicontohkan pula dalam naskah-naskah kuno. Konon di zaman dahulu kala, semasa kekuasaan Dinasti Han Timur (Th 25-220), ada seorang anak laki-laki yang bernama Huang Xiang. Sungguh malang nasib Xiang karena ia telah ditinggal mati oleh ibunya sejak ia berusia sembilan tahun. Setelah ibunya meninggal dunia, ayahnya bekerja keras membanting tulang agar keluarganya bisa bertahan hidup. Pembaca harus paham bahwa cerita ini berlangsung di Tiongkok, yang musim dinginnya sangat menusuk tulang dan ketika musim panas udaranya membuat semua orang seperti terbakar. Nah, si Xiang ternyata seorang anak kecil yang memiliki hàu yang tinggi, yang senantiasa berupaya meringankan penderitaan ayahnya. Di musim panas, tanpa diketahui ayahnya, ia mengipasi kasur dan bantal tempat tidur, hingga ayahnya bisa langsung tertidur di atas pembaringan yang kini menjadi lebih sejuk. Di musim dingin saat kasur menjadi tempat yang sedingin es, Xiang tidur dulu di atasnya sambil menyelimuti dirinya, dan setelah tempat tidur itu menjadi hangat ia mempersilahkan ayahnya untuk tidur di sana. Kisah Xiang itu masih membekas di benak penulis, padahal cerita itu disampaikan oleh almarhumah Tuako (bibi dari pihak ayah) ketika penulis masih kanak-kanak. Kisah ini sendiri bisa dibaca pada naskah aslinya: Shàn Zhěn Wēn Qīn (Ia Mengipasi Kasur dan Menghangatkan Selimut).

 

Setelah kita membicarakan panjang lebar tentang leluhur dan ajaran xiào, pelajaran apa yang bisa kita ambil? Ajaran tentang rasa cinta, bakti, dan penghormatan merupakan warisan nenek moyang kita yang adiluhung, yang masih layak diteladani oleh kita sekalian, untuk diungkapkan kepada orang tua kita sendiri. Tentu tidak terbatas kepada orang tua kandung, tetapi juga terhadap mertua perempuan dan laki-laki, serta kerabat yang usianya lebih tua dari kita. Di samping itu perhatian yang sama patut pula kita tujukan kepada orang tua dan leluhur kita yang telah meninggal dunia. Lakukanlah pujabakti dan persembahyangan secara berkala, kemudian perbanyaklah perbuatan baik serta diikuti oleh ketulusan, agar jasa-jasa yang kita tanam melimpah kepada para leluhur. Setelah para leluhur memperoleh kebahagiaan, kita sebagai keturunannya akan dilindungi oleh mereka semua. Semoga hal itu terjadi sesuai hukum alam.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210210