DICELA?, MENGAPA HARUS RISAU?
Kejadian ini
dialami oleh penulis sendiri. Tentu berlangsung jauh sebelum ada pandemi
Covid-19, yang memporakporandakan kehidupan manusia di berbagai belahan dunia.
Seorang kawan baik dari isteri penulis mengundang kami ke resepsi pernikahan
anaknya yang dilangsungkan pada satu akhir pekan di Jakarta. Kawan yang
mengundang kami sudah lama dikenal sebagai orang berada, seorang pengusaha yang
telah lama berkecimpung di bisnis pertambangan.
Resepsi
perkawinan diselenggarakan di sebuah ballroom
hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Memasuki lokasi perhelatan,
para tamu disambut oleh belasan gadis muda cantik yang mengenakan gaun pesta
model-kemben berwarna merah-muda. Bersolek dengan menambahkan pupur di pipi,
ditambah dengan alis dan bulu mata yang lentik, serta bibir dengan gincu nan
merah merona, mereka bak bidadari yang turun dari kahyangan. Mereka dengan
cekatan melayani para undangan, mempersilahkan agar buku-tamu diisi, dan tak
lupa menerima angpao yang segera
dimasukkan ke dalam kotak.
Begitu masuk ke
ruangan resepsi yang lapang dan berhawa sejuk, barisan kerabat kedua mempelai
berpakaian jas dan gaun pesta menyambut kedatangan kami untuk bersalaman. Kami
semua terpesona melihat keasrian dan mewahnya dekorasi aula, baik itu panggung
pelaminan, lorong setapak bagi prosesi kedua pengantin, maupun tatanan meja dan
pondok tempat meletakkan berbagai hidangan. Seluruh dekorasi ditata dengan apik
dan nyaris sempurna, dengan memakai ratusan bunga-petik asli yang masih segar
dan bukan tersusun dari bunga-bunga plastik. Sebuah layar-LED raksasa terpasang di dinding dan kamera-mobile yang digerakkan di ketinggian, mampu merekam episode penting
selama jalannya acara.
Para hadirin
langsung berdiri dan bertepuk tangan ketika kedua mempelai melakukan prosesi
memasuki aula resepsi menuju pelaminan. Tampak dua sejoli bak raja-sehari
dengan wajah berseri-seri menebar senyum kepada para hadirin. Yang laki-laki
berwajah tampan memakai setelan lengkap dengan jas berwarna gelap, sedangkan
yang perempuan begitu rupawan dengan gaun pengantin berwarna putih dengan rok
yang menjuntai menyapu lantai. Setelah ritual potong kue pengantin, bersulang
minuman, ucapan terima kasih dari keluarga, dan doa syukur usai, pesta pun
dimulai. Suasana menjadi semakin meriah, ketika seorang biduan wanita ternama
beserta awak band mulai mendendangkan
lagu-lagu Barat, Mandarin, dan Indonesia populer.
Sebagian
undangan bergegas menuju pelaminan guna menghaturkan ucapan selamat kepada
kedua mempelai dan orang tua mereka, sedangkan hadirin yang lain langsung
menyerbu dan menyantap hidangan yang telah disediakan. Bukan main berlimpahnya
makanan dan minuman yang disediakan oleh pengantin baru dan keluarganya itu
untuk menjamu tamunya yang hampir berjumlah seribu orang. Mulai dari salad bar dan aneka sup, hidangan
prasmanan, hingga buah-buahan dan hidangan-penutup; yang semuanya
merupakan menu pilihan yang diolah dari bahan-bahan terbaik. Makanan dan
minuman yang disediakan di berbagai pondok-saji pun tidak biasa ditemukan di
acara resepsi kebanyakan. Ada udang-karang besar yang ditumis lengkap dengan
kentang dan sayuran, iga sapi panggang impor, pie ikan salmon dengan sausnya, nasi hainam dengan bebek-peking,
dan konter minuman keras. Rasanya? tidak usah ditanya, pokoknya semuanya maknyuz!
Para pembaca,
itulah gambaran umum yang sekarang ini terjadi pada perhelatan kaum kaya
sewaktu mereka menikahkan anak-anak mereka. Dalam tempo yang hanya berlangsung
dua hingga tiga jam, semua kenikmatan duniawi seolah disuguhkan untuk
memanjakan para tamu undangan. Para tamu dan tuan rumah yang semuanya berbusana
necis dan wangi, suasana pesta dalam lingkungan yang mewah dan menawan, hiburan
musik yang mewartakan kesukacitaan, dan pelbagai hidangan yang lezat dan
istimewa. Tentu saja pesta mewah semacam itu menyesuaikan dengan kondisi
zamannya. Dulu orang tua kita bercerita perhelatan perkawinan orang besar di
zaman kolonial, paling tidak berlangsung selama tiga hari tiga malam.
Menarik untuk
menyimak apa kesan para tamu undangan beberapa hari setelah perhelatan akbar
itu usai. Sebagian besar memuji dan berterima kasih kepada keluarga pengantin.
Namun ada segelintir dari mereka yang nyinyir
atau berkomentar sinis. "Dasar orang kaya!", "Sok pamer!", dan sejumlah komentar
negatif lainnya. Alih-alih bermudita-cita atau turut berbahagia terhadap
kesuksesan keluarga yang mengundang, malah iri hati yang diungkapkan.
"Mestinya pestanya diselenggarakan dengan sederhana!" komentar yang
lain. Aneh juga mendengar orang yang memiliki jalan pikiran seperti itu. Orang
kaya dan terpandang menyelenggarakan perhelatan yang sederhana dan biasa-biasa
saja, tentu akan menjadi bahan olok-olokan dan gunjingan para kolega dan kerabatnya. Orang
kaya yang berpura-pura miskin mungkin hanya ada di layar kaca Sinetron
Indonesia atau Drama Korea.
Pernah juga penulis menghadiri resepsi perkawinan di tempat lain. Pada saat itu tetangga di
kompleks tempat kami tinggal menyampaikan undangan pernikahan puteranya. Kami datang ke tempat pesta
yang kebetulan diadakan di sebuah balai-pertemuan pada sebuah kompleks
Kementerian. Kebetulan si bapak mempelai pria berdinas di Kementerian tersebut.
Resepsi pernikahan berjalan lancar seperti lazimnya dan dihadiri kurang lebih
tiga ratus lima puluh undangan. Ruang pesta berupa aula yang biasa dipakai
untuk penyelenggaraan seminar, dan di sana ada panggung pelaminan yang didekor
seadanya. Di tengah ruangan ada dua deret meja-panjang, tempat penyelenggara
meletakkan pelbagai hidangan, dan di pojok masih ada sebuah meja besar tempat
menaruh buah-buahan dingin.
Para tamu
setelah menyampaikan ucapan selamat langsung menikmati hidangan prasmanan dan mengambil
buah-potong yang disediakan. Setelah bersilaturahmi dengan para undangan yang
kami kenal, dan mengambil foto bersama kedua mempelai, kami pun pulang. Nah,
Anda pingin tahu komentar para tamu?
Ya, sebagian besar oke-oke saja, tetapi ada juga yang tidak puas. "Payah,
masa makan di kondangan cuma segitu.
Tidak ada pondok-makanan sama sekali?" Kita yang sudah diundang untuk
berbagi kebahagiaan – bukan untuk berwisata kuliner – hanya bisa geleng-geleng
kepala saja. Bukankah tidak setiap orang mampu menyelenggarakan perhelatan
dengan hidangan yang serba lengkap dan bervariasi?
Pengalaman lain
didapat sewaktu kami menghadiri upacara perkawinan puteri seorang sahabat, yang
dilangsungkan di sebuah vihara. Setelah rentetan upacara telah berlangsung
menurut urut-urutan yang telah ditetapkan, pada bagian penghujung upacara, romo pandita
yang bertugas memimpin upacara memberikan petuah-petuah kepada kedua mempelai.
Petuah berupa wejangan bahwa perkawinan bukan saja merupakan keterikatan hukum
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, melainkan satu ikatan-sakral
antara suami dan isteri berdasarkan ajaran agama Buddha. Romo pandita juga
menasehati agar kedua insan yang baru menikah ini dapat membentuk keluarga yang
harmonis dan bahagia. Dalam ajaran Islam keluarga ideal ini, populer disebut
sebagai "keluarga sakinah". Kita juga di lingkungan Buddhis punya
istilah sendiri, yakni "keluarga hitta-sukhaya".
Demikianlah
upacara perkawinan sahabat kami telah selesai dilangsungkan di vihara, dan
resepsi perkawinan baru diadakan dua minggu kemudian. Kebahagiaan memancar dari
wajah kedua pengantin baru dan keluarganya. Hanya karena ada halangan, pihak
pengantin laki-laki hanya mengirimkan saksi sebagai pengganti kehadiran orang
tuanya. Keduanya sejak hari itu sudah sah sebagai suami-isteri,
hanya tinggal menunggu resepsi pernikahan, namun rumor iseng beredar di luaran.
Gosip mengatakan: "Kayaknya
orang tua mempelai pria tidak menyetujui perkawinan mereka!" Memang desas-desus itu begitu kejam
menghakimi seseorang, tanpa mau menyelidiki fakta di baliknya. Kami yang
mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya hanya bisa mengelus dada. Faktanya,
orang tua mempelai pria yang tinggal di luar pulau berhalangan hadir,
semata-mata karena alasan kesehatan.
Demikianlah
pembaca yang budiman. Dari ketiga contoh kasus di atas kita dapat melihat,
betapa pun orang sudah begitu baik dan sempurna menyelenggarakan acara perkawinan,
masih saja ada orang yang mengkritik dan mencela mereka. Sekarang bagaimana kejadiannya kalau
seseorang tahu-tahu sudah menikah, tetapi temannya tidak diundang?
Beberapa belas
tahun yang lalu sewaktu surat kabar masih berjaya dan banyak pembacanya, iklan-keluarga
lazim ditempatkan di lembar tersendiri. Iklan-keluarga biasanya berupa berita
duka cita dan ada kalanya memuat iklan "kawin-tamasya". Dengan
"kawin-tamasya" sepasang pengantin yang baru berumah tangga
mengumumkan kepada khalayak yang mereka kenal, bahwasanya mereka telah menikah.
Jadi artinya perkawinan secara agama atau adat telah dilangsungkan, namun
ritual itu hanya disaksikan oleh keluarga terdekat saja. Tidak ada keramaian
atau pesta untuk merayakannya. Alasan utama mereka tidak menggelar resepsi
tidak lain menghindari keluarnya biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian dana
yang sedianya ditujukan untuk mengadakan perhelatan dialihkan menjadi dana
untuk bertamasya, baik untuk berbulan-madu di dalam negeri atau pun di luar
negeri.
Sekarang di
zaman yang dikuasai oleh media sosial, tidak perlu kita memasang iklan
"kawin-tamasya" tentunya. Kita cukup mengabarkan pernikahan kita
kepada teman-teman kita dengan mengubah status di akun media sosial yang kita
miliki. Praktis dan tidak mengeluarkan biaya sepeser pun, bukankah begitu?
Begitu status lajang Anda berubah menjadi "telah menikah", maka dapat
dipastikan ucapan selamat akan membanjiri akun media sosial Anda. Namun seperti
yang bisa diduga, masih ada orang di luar sana yang tetap nyinyir. Bahkan ada yang berkomentar: "Keduanya tidak
mengundang kita, mungkin malu karena mempelai wanitanya sudah hamil
duluan!" Tanggapan miring itu membuat kita menggumam,
"Astagfirullah!", tapi Anda sadar beginilah kita melakoni hidup di dunia
ini.
Ada kisah menarik
yang patut kita simak untuk melengkapi cerita di atas itu, yang berasal dari
masa ketika Buddha kita hidup. Alkisah seorang pengikut awam Beliau yang
bernama Atula sekali waktu bersama dengan sekumpulan sahabatnya bermaksud
menambah wawasan pengetahuan mereka tentang Dhamma. Di satu lokasi petapaan
mereka menemui seorang bhikkhu senior yang bernama Bhikkhu Revata. Sang bhikkhu
senior adalah siswa yang memiliki kepakaran dalam bidang meditasi, dan ia
sehari-hari menghabiskan waktunya hanya untuk bermeditasi di tempat tinggalnya.
Begitu mereka menemuinya Atula dan para sahabatnya langsung menanyakan satu
subyek perihal ajaran Sang Guru. Namun sang bhikkhu yang ditanya hanya berdiam
tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah melakukan penghormatan mereka pun
undur diri dari sana.
Kecewa
mendapatkan kenyataan ini, Atula dan para sahabatnya lalu menjumpai Yang Mulia
Sariputta, siswa kepala Sang Buddha, bhikkhu yang paling pintar dalam hal
penguasaan materi Dhamma. Sang bhikkhu kepala menerima mereka dengan gembira,
dan selanjutnya ia membabarkan ajaran secara rinci dan panjang-lebar. Setelah
pembabaran usai mereka pun lalu berpamitan. Mendengarkan pembabaran ajaran sambil terkantuk-kantuk mereka pun mencela, karena ajaran yang diberikan terlalu
panjang dan bertele-tele.
Selanjutnya
mereka menemui Bhikkhu Ananda, bhikkhu pengawal dan asisten pribadi Sang Guru.
Yang Mulia Ananda menjawab pertanyaan yang sama itu dengan jawaban yang ringkas
namun padat. Setelah mereka pamit pada sang bhikkhu, Atula dan para sahabatnya
masih tetap kecewa dan mereka menyebut ajaran yang baru disampaikan itu terlalu
ringkas dan tidak lengkap. Selanjutnya mereka menghadap Sang Guru dan
menceritakan kejadian yang baru mereka alami.
Sang Guru
menerima keluhan mereka, dan ia bersabda: "Wahai Atula, hal ini telah ada
sejak zaman dahulu, bukan hanya terjadi pada masa sekarang. Mereka mencela
orang yang duduk diam, mereka mencela orang yang banyak bicara, dan mereka juga
mencela orang yang sedikit bicara.Tak ada seorang pun di dunia ini yang tidak
dicela." Dicela dan dipuji adalah dua sisi mata uang yang pasti dialami
setiap manusia dalam hidupnya.
Jadi
demikianlah kenyataannya, dicela dan dipuji menurut ajaran agama Buddha adalah
dua dari delapan kondisi duniawi, yang pasti dialami seseorang. Jika keduanya
tidak bisa dihindari, adalah bijak jika kita melatih diri dengan mengembangkan
ketenangseimbangan, seperti yang ditorehkan oleh untaian kata di bawah ini:
"Dicela
dan dicaci-maki tidak bakal menjadi kotoran;
Dipuji dan
diagung-agungkan tak akan menjelma menjadi rembulan;
Tak usahlah
meradang ketika kita menerima celaan;
Tak perlu pula
melambung saat kita menuai pujian,"
Sewaktu kita
menerima pujian kita dapat menerimanya dengan hati berbunga-bunga, tetapi saat
kita dicela kita cenderung menjadi kecil hati. Namun saat kita dicela,
seyogianya kita dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencari kelemahan
yang ada di dalam diri kita sendiri, yang selama ini tidak kita sadari. Sebagai
penutup buah pena ini, penulis meminta Anda untuk merenungkan kutipan berikut
ini, yang merupakan satu petuah dari Nabi Lao Zi: "Kata yang jujur
tidaklah indah, kata yang indah tidaklah jujur."
sdjn/dharmaprimapustaka/210224