Rabu, 27 Januari 2021

KELAHIRAN SANG BODHISATTVA - SEJARAH, MITE, DAN LEGENDA

 KELAHIRAN SANG BODHISATTVA - SEJARAH, MITE, DAN LEGENDA

 

 



Alkisah kira-kira lebih dari 2.700 tahun yang silam di Tanah Nepal pada anak benua India, yang sekarang ini dinamakan Distrik Terai, para sesepuh yang beranggotakan para petarung mulia dari kekerabatan Koliya memegang tampuk kekuasaan di kota raja mereka, yakni di Devadaha atau Ramagrama. Pada masa itu yang menjadi sang adipati adalah Añjana dan ia memiliki seorang permaisuri yang bernama Yasodharā. Mereka dikaruniai dua orang putera dan dua orang puteri.

 

Terai adalah kawasan yang subur dan permai. Di musim panas suhu tidak melonjak ekstrim seperti yang terjadi di sebagian besar Tanah India, dan di musim dingin hujan salju pun tidak terlalu lebat. Namun di musim penghujan, air terkadang turun dari langit tak henti-hentinya. Jika hari cerah tidak berawan, Himalaya, tempat tertinggi di dunia, bisa terlihat jelas dengan puncak-puncaknya yang putih keperakan diselimuti salju.

 

Puteri sulung Añjana bernama Mahā Māyā dan saudari perempuannya dipanggil Mahā Pajāpatī. Sedangkan saudara laki-laki Māyā bernama Dandapāni dan Suppabuddha. Setelah Māyā mencapai masa akil balig, penampakannya pun berubah menjadi wanita dewasa yang cantik rupawan. Kitab suci Lalitavistara Sutra menggambarkannya sebagai berikut: "Kecantikannya memancar laksana sebongkah emas murni. Ia memiliki rambut keriting yang wangi layaknya sekelompok kumbang besar hitam. Kedua matanya seperti kuntum bunga teratai. Giginya menyerupai bintang-bintang di langit."

 

Selain kualitas lahiriah yang dimilikinya, yang tidak bisa disamai oleh orang lain pada zamannya, Māyā mempunyai kualitas batin yang luar biasa pula. Sejak dilahirkan ia menghindari pantangan utama, yakni menahan diri dari membunuh, dari mengambil barang yang tak diberikan, dari perbuatan asusila, dari mengucapkan perkataan yang tidak benar, dan dari pemanjaan menikmati olahan-fermentasi anggur, tuak, dan minuman keras lainnya. Sumber-sumber yang belakangan menyebutkan pula bahwa dia telah melatih dirinya guna mengembangkan pāramī atau keutamaan selama seratus ribu kalpa,

 

Dalam usia belia ia telah dipersunting oleh Suddodhana, putera pamannya sendiri, yang mana sang paman merupakan pimpinan kaum ningrat Sakya. Bukan hanya dia yang dipersunting oleh putera pamannya itu, adiknya, Mahā Pajāpatī, juga turut menjadi isteri Suddodhana. Setelah tiba saatnya sang paman lengser dari tampuk kekuasaannya, Suddodhana pun mengambil alih pimpinan dan ia menjadi pengayom para ksatria kekerabatan Sakya. Namun sampai sekian lama kedua kakak beradik ini menikahi sang penguasa, mereka berdua belum juga memiliki keturunan. Para cerdik-pandai yang menjadi penasihat sang penguasa mengetahui, bahwa Māyā memiliki kualitas yang diperlukan untuk menjadi ibu seorang manusia agung. Manusia agung adalah makhluk yang amat langka, yang mana ia berpotensi untuk menjadi seorang penguasa dunia.

 

Kemudian kejadian yang ditunggu-tunggu oleh kalangan keluarganya pun terjadilah. Pada saat itu sedang berlangsung perayaan Uttarāsālhanakkhatta, yakni sebuah rangkaian upacara keagamaan yang berlangsung selama tujuh hari. Māyā turut serta dalam perayaan keagamaan ini, dan untuk bisa ikut dalam upacara itu ia mesti melakukan puasa penuh. Salah satu pantangannya adalah tidak berhubungan dengan suaminya. Pada malam harinya ternyata ia mulai mengandung janin yang nantinya akan menjadi manusia agung atau Bodhisattva yang kita kenal. Peristiwa ia mulai mengandung itu ditandai oleh sebuah mimpi dalam tidurnya,

 

Malam saat peristiwa penting itu, terjadi di musim panas ketika bulan purnama sedang berlangsung, Māyā setelah melakukan ritual keagamaan, pada malam harinya tidur di istananya. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi oleh Empat Raja Dewa. Mereka langsung menjemputnya ketika ia masih berada di atas pembaringannya, lalu ia dibawa terbang ke Himavā dan ditempatkan di bawah sebatang pohon sāla di Manosilātala. Kemudian para dewi, yakni isteri Empat Raja Dewa, datang dan memandikannya di Danau Anotatta yang berada di Pegunungan Himalaya. Setelah selesai memandikannya, para dewi mengenakan sepotong gaun surgawi ke tubuh Māyā dan mendandaninya dengan bunga-bunga dewata. Mereka kemudian membawanya ke sebuah istana emas dan membaringkannya pada sebuah tempat tidur surgawi. Di sana Sang Bodhisattva kita yang menjelma dalam rupa seekor gajah putih, datang menghampirinya sambil membawa sekuntum bunga teratai putih dengan belalainya yang berkilauan. Sang gajah putih lalu mengelilingi Māyā sebanyak tiga putaran, serta akhirnya memasuki rahimnya dari sisi sebelah kanan.

 

Sejak Sang Bodhisattva berada dalam kandungan ibunya ia selalu dijaga oleh Empat Raja Dewa. Sang ibundanya pun tidak memiliki keinginan terhadap laki-laki lain, seperti yang bisa kita baca dari kitab Majhhima Nikaya: "Ketika Sang Bodhisatta turun memasuki rahim ibunya, empat dewata agung datang guna melindunginya dari empat penjuru, sehingga tidak ada makhluk manusia atau makhluk bukan-manusia atau siapa pun yang dapat membahayakan Sang Bodhisatta atau ibunya. ... Ketika Sang Bodhisatta telah turun memasuki rahim ibunya, tidak ada pikiran seorang laki-laki yang bersentuhan dengan lima untaian keinginan inderawi datang menghampiri ibunya sedikit pun jua, dan ia juga tidak bisa dimasuki oleh laki-laki mana pun jua yang pikirannya penuh dengan nafsu indera." (M. 123).

 

Kurang lebih ratusan tahun setelah wafatnya Sang Buddha kita bisa membaca dalam kitab Mahāvastu satu pernyataan bahwa "tubuh Sang Bodhisattva itu suci sejak berada dalam kandungan ibunya" (na ca maithuna-sambhūtaṃ sugatasya samucchritaṃ) atau dengan kata lain bahwa Sang Bodhisattva mempunyai kelahiran yang perawan. Jika kita menelusuri asal mula gagasan ini pada naskah-naskah Kanonik Pali, kita temukan bahwasanya ibunda Sang Bodhisattva tidak memiliki pikiran apa pun tentang seks setelah ia mengandung jabang bayi Bodhisattva, yang secara historis hal ini mungkin terjadi. Apa yang dinyatakan pada kitab Mahāvastu itu memang sepenuhnya benar.

 

Anda pembaca mungkin menjadi bingung dengan pernyataan-pernyataan yang disebutkan di atas. Penulis mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan kelahiran yang perawan itu. Seperti yang diterangkan di atas adalah benar bahwa Mahā Māyā telah menjadi isteri dari Suddodhana selama bertahun-tahun, namun sampai sedemikian lamanya mereka hidup bersama, keduanya tidak berhasil mendapatkan keturunan. Hingga beberapa hari sebelum ia mengandung, ia telah ikut serta dalam satu perayaan keagamaan yang mewajibkan dirinya untuk berpuasa. Berpuasa di sini bermakna ia melakukan selibat atau menjalankan delapan sila, yang mana ia berpantang untuk berhubungan dengan suaminya. Jadi bagaimana bisa ia sampai hamil, padahal selama ini otak kita sudah dijejali dengan pengetahuan bahwa janin-bayi tidak akan terbentuk jika ayah dan ibu tidak bertemu. Dengan demikian janin Sang Bodhisattva dikandung oleh ibunya tidak secara kodrati, melainkan secara adikodrati. Atau dia tidak dikandung secara natural, tetapi muncul dalam rahim ibunya secara supranatural.

 

Peristiwa sang gajah putih yang masuk ke sisi sebelah kanan rahim ibunya juga disebutkan dalam kitab Majhhima Nikaya: "Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta wafat dari Surga Kesukacitaan dan turun ke rahim ibunya." Lalu siapa gerangan Sang Bodhisatta atau Bodhisattva itu? Jelas ia bukan makhluk sembarangan, karena sebelumnya ia adalah sesosok dewata yang hidup di Surga Kesukacitaan. Dewata ini adalah makhluk yang istimewa, yang dalam berbagai penjelmaan selama kurun waktu yang tak-terhingga, telah secara konsisten berdedikasi untuk mencapai Pencerahan. Dewata atau Sang Bodhisattva ini, yang belakangan dikenal sebagai Buddha kita.

 

Di samping kelahirannya yang perawan, dikisahkan pula oleh kitab suci bahwa kehadiran Sang Bodhisattva di dunia ini ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang menakjubkan, yang oleh orang awam dikenal sebagai mukjizat. Diceritakan bahwa selama kehamilannya Ibunda Sang Bodhisattva tidak menderita keletihan atau kesakitan, serta ia pun mampu melihat langsung ke dalam rahimnya, menatap tubuh mungil bayinya lengkap dengan semua anggota tubuhnya yang tengah mendekam sempurna. Ia melahirkan setelah mengandung bayinya genap sepuluh bulan, dan sang ibunda melahirkan bayinya selagi ia sedang dalam posisi berdiri. Segera setelah Sang Bodhisattva dilahirkan, ia langsung berdiri dengan kedua kakinya di atas tanah. Kemudian ia berjalan tujuh langkah ke utara, dan di tanah yang dipijak oleh telapak kakinya tumbuh masing-masing sebuah kuntum teratai.

 

Anda para pembaca yang terhormat, mungkin akan berkomentar bahwa kisah yang penulis utarakan itu semuanya bersumber dari mite dan legenda. Beberapa diantara kita mungkin merasa bahwa jika kita berada lebih dekat dengan zaman ketika Buddha hidup, kita akan memiliki kesempatan yang lebih baik dalam memahami fakta-fakta sejarah tentang diri beliau. Di samping fakta sejarah tentang kehidupan Sang Bodhisattva yang sesungguhnya, imajinasi para pengikutnya turut membentuk kisah kelahiran dan kehidupan beliau, bahwa Sang Guru adalah tokoh yang luar biasa yang tidak bisa disamakan dengan kita-kita ini. Imajinasi manusia agaknya bekerja dalam cara yang nyaris mirip dengan apa yang terjadi pada beberapa kisah tokoh pahlawan dalam sejarah dunia.

 

Kita akan mengambil beberapa contoh untuk melihatnya sebagai bahan pembanding. Rakyat Jepang lewat kepercayaan agama Shinto memiliki keyakinan bahwa Dewi Matahari merupakan Dewata (Kami) yang utama dalam sistem kepercayaan mereka. Dewi Matahari yang dikenal sebagai Amaterasu-Ōmikami dipercaya sebagai penguasa surga Takamagahara. Selanjutnya Amaterasu memiliki keturunan yang bernama Ninigi, yakni cucu laki-lakinya. Ninigi ini diyakini merupakan leluhur dari Kaisar Jepang. Dengan demikian Kaisar Jepang yang sekarang pun sesungguhnya masih keturunan dari Amaterasu-Ōmikami.

 

Di negara-negara Buddhis di Asia Tengah, sejak lebih dari seribu tahun yang lalu Avalokiteśvara Sang Bodhisattva yang maha welas-asih, telah memiliki relasi khusus dengan rakyat Tibet. Di Indonesia Bodhisattva Avalokiteśvara lebih populer dengan sebutan "Mak Kwan Im". Diperkenalkan sejak abad ketujuh Masehi, Avalokiteśvara menjadi tokoh dewata yang secara langsung mempengaruhi nasib rakyat Tibet. Sang Bodhisattva ber-reinkarnasi dalam diri seorang guru spiritual sekaligus pemimpin masyarakat Tibet. Menurut Buku Kadam, yang merupakan rujukan utama Sekte Kadampa, Dalai Lama yang pertama yakni Gendun Drup, diyakini merupakan reinkarnasi dari Bodhisattva Avalokiteśvara. Karena Dalai Lama yang kedua hingga yang keempat belas (Dalai Lama yang sekarang yang bernama Tenzin Gyatso), adalah tulku atau reinkarnasi dari Dalai Lama yang pertama, maka beliau tidak lain merupakan perwujudan dari Bodhisattva Avalokiteśvara.

 

Beberapa tahun yang lalu, penulis berkesempatan mengikuti pujabakti di sebuah vihara di Jakarta, yang menghadirkan sosok bhikkhu terkenal dari Negara Gajah Putih. Beliau adalah Luangpu Inthawai Santussako, seorang bhikkhu hutan yang terkemuka, murid senior dari Luangta Maha Bua Yanasampanno. Dalam kesempatan yang langka itu Bhante hanya berpesan agar umat menjalankan lima sila dengan sungguh-sungguh. Bhante juga menguraikan metode melaksanakan meditasi pernapasan dengan cara yang mudah, terutama ditujukan bagi para meditator pemula. Dengan penampilan yang kharismatik namun sederhana Luangpu merupakan figur yang sangat dihormati di negaranya.

 

Adalah menarik untuk mengikuti asal usulnya. Beliau dilahirkan dalam satu keluarga sederhana di pedesaan Thailand dan sejak masih kanak-kanak diangkat sebagai anak dari Mae Chee Kaew Sianglam. Siapa itu Mae Chee Kaew? Dia adalah biarawati yang sejak muda memiliki bakat bermeditasi hingga mencapai tingkatan yang tinggi. Walaupun mengalami tantangan hidup berkeluarga, ia kemudian memiliki kesempatan emas untuk menjadi biarawati, bertemu dan dibimbing langsung oleh Luangta Maha Bua. Konon dikisahkan sekali waktu ia mendapat wangsit akan melahirkan seorang putera dari Dewa Indra (dikenal juga sebagai Sakka, raja para dewa). Kaget mendengar berita itu dan sempat menolaknya karena ia telah menjadi biarawati, belakangan diketahui seorang kerabatnya melahirkan seorang anak laki-laki. Anak lelaki itu pun diangkat sebagai putera angkatnya dan sejak dini ia sudah menjadi samanera dan hidup di vihara. Ketika usianya genap dua-puluh tahun ia menjalani hidup kebhikkhuan dan dikenal kelak sebagai Luangpu Inthawai. Adapun Mae Chee Kaew sendiri diyakini orang telah mencapai tingkat Arahanta, dan beliau tutup usia pada 1991,

 

Setelah melihat beberapa contoh di atas, Anda bisa melihat bagaimana para pengikut satu agama atau satu sistem kepercayaan meyakini bahwa tokoh panutan, guru, dan pemimpin mereka adalah makhluk yang luar biasa. Luar biasa karena asal-usulnya, yang bukan berasal dari leluhur manusia kebanyakan, melainkan diyakini berasal dari dewa dan makhluk suci lainnya. Pandangan seperti ini bukan saja dimonopoli oleh agama Buddha, tetapi juga terjadi pada agama-agama besar lainnya.

 

Sebaliknya sebagian umat atau penganut yang kritis menganggap bahwa kita sebaiknya hanya berpegang pada kebenaran sejarah yang telah diverifikasikan. Dengan demikian kita tidak berkewajiban meyakini mite dan legenda tadi. Kebenaran-kebenaran dalam Buddha Dharma mampu bertahan atau justru runtuh, semata-mata bergantung pada Ajaran yang mengandung pernyataan-pernyataan. Pernyataan mana dapat diverifikasi sebagai benar serta itulah kebenaran Buddha Dharma, dan maka dari itu tidak tergantung pada apa yang diungkapkan dalam kepercayaan legendaris tentang kelahiran dan asal-usul Sang Buddha.

 

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210127

 

Rabu, 13 Januari 2021

UPOSATHA

 UPOSATHA

 



Seperti apakah penampakan bumi dilihat dari angkasa di malam hari? Anda yang suka naik pesawat bisa mengamatinya saat Anda akan lepas landas atau mendarat melalui jendela. Dari ketinggian tertentu tampak titik-titik cahaya di tengah gelap-gulitanya malam hari. Jauh di sekelilingnya yang ada hanyalah kegelapan belaka. Apa yang kita lihat itu boleh dikatakan setali tiga uang jika kita naik lebih tinggi lagi. Para astronot yang mengendarai wahana antariksa pun saat mengamati sisi permukaan bumi yang tidak diterangi oleh matahari, juga mendapatkan bagian bumi gelap gulita. Titik-titik cahaya berwarna putih-kekuningan pada daerah tertentu menandakan bahwa tempat itu adalah kota besar.

 

Titik-titik cahaya yang kita lihat dari angkasa bersumber dari lampu-lampu listrik yang menerangi kompleks perumahan, jalan raya, dan fasilitas publik. Pemandangan seperti itu pun baru berlangsung sekitar seratus dua puluh tahun terakhir ini. Sebelum tenaga listrik bisa dimanfaatkan secara masif untuk penerangan, pencahayaan di malam hari hanyalah berasal dari lampu minyak dan lilin. Jadi jika saat itu kita sudah mampu terbang tinggi ke angkasa, pada saat menatap ke bawah hanyalah hitam pekat kegelapan yang tampak sejauh mata memandang.

 

Bagaimana pemandangan yang akan nampak di bumi setelah sang surya telah sepenuhnya tenggelam? Anggaplah kita berada di zaman sebelum tenaga listrik bisa dimanfaatkan secara besar-besaran. Mereka yang suka camping di alam terbuka pasti ingat kiat manusia agar bisa bertahan dengan aman dan nyaman dalam situasi dan kondisi seperti itu. Saat senja mulai temaram, kemah atau pernaungan sementara harus sudah didirikan dan api unggun telah dinyalakan. Setelah hari semakin gelap obor atau pelita-minyak dipersiapkan agar kita mudah beraktivitas di sisa malam itu.

 

Demikianlah suasana malam hari yang dialami seorang petualang-alam sejak sang mentari telah sepenuhnya tenggelam di ufuk cakrawala hingga fajar mulai menyingsing. Malam penuh kegelapan persis sama dengan yang dialami oleh orang kebanyakan pada zaman kuno. Jika cuaca tak-berawan, langit malam akan dihiasi oleh jutaan bintang, yang beberapa konfigurasinya akan berpola seperti biduk, kalajengking, pencedok, atau tanda salib. Namun malam tidak selalu gelap gulita, karena berangsur-angsur suasana mulai sedikit terang karena sang rembulan mulai menampakkan diri di langit. Dan terangnya malam mencapai puncak kecerahannya pada hari keempat-belas atau kelima-belas. Pada saat itu di kubah-langit sang rembulan menciptakan penampilan dirinya yang terelok, bundar sempurna seperti piring yang bersinar keperakan.

 

Setelah mencapai puncaknya, penampilan sang pelita-malam pun dari hari ke hari mulai surut, dan setelah empat-belas hari kemudian ia tak tampak lagi. Namun tiga hari kemudian ia mulai menampakkan diri lagi dalam bentuk siluet sabit tipis di langit malam, serta siklus penampilannya kembali berulang. Nenek moyang kita belajar dengan mengamati siklus pasang-surutnya penampilan bulan. Mereka paham malam-malam gelap tidak ada bulan adalah saat yang terbaik untuk memancing ikan di laut maupun di sungai. Sedangkan saat bulan terang sempurna adalah masa ketika udang dan cumi-cumi melimpah memenuhi permukaan laut.

 

Dari ketiadaan malam tanpa bulan, disusul munculnya bulan sabit, terjadinya purnama raya, dilanjutkan dengan surutnya penampakan bulan, hingga sang pelita malam tidak kelihatan lagi, nenek moyang kita belajar bahwa kehidupan ini adalah sebuah siklus. Mircea Eliade dalam bukunya The Sacred and the Profane menyebutkan bahwa orang kuno telah mengenal lunar symbolism atau simbolisme bulan. Mereka sadar manusia muncul dari janin, kemudian terlahir sebagai bayi, bertumbuh kembang menjadi kanak-kanak dan remaja, lalu mencapai kedewasaan dan menikmati puncak hidupnya. Selanjutnya kehidupan manusia pun niscaya mengalami masa surutnya, ditandai dengan fisiknya yang semakin lemah dan menua, lalu diakhiri dengan kematian. Namun seperti halnya bulan mati yang akan muncul kembali, kematian bukanlah akhir dari segalanya, karena setelah kematian akan disusul dengan kebangkitan atau kelahiran-kembali.

 

Dari simbolisme bulan mereka juga menyadari bahwa bukan saja alam semesta beserta segenap isinya yang senantiasa berubah dan mengikuti siklus tertentu, tetapi hal yang sama terjadi pula pada kesuburan tanaman dan wanita. Dua hal itu memegang peranan penting dalam keberlangsungan hidup umat manusia. Kesuburan tanaman penting bagi ketersediaan pangan guna bertahan hidup, sedangkan kesuburan wanita harus senantiasa terjaga agar ras manusia tidak punah ditelan waktu. Entah kebetulan atau bukan kesuburan wanita pun mengikuti siklus bulanan, dan peristiwa menstruasi yang terjadi pada wanita digunakan sebagai tolak ukur untuk menghitung masa subur, yang berguna untuk merencanakan kelahiran keturunannya. Dalam kosakata kita kejadian itu dinamakan "datang bulan", karena ia hadir dalam siklus sebulan sekali,

 

Dari pasang-surutnya penampakan bulan di langit-malam, nenek moyang kita menyusun sistem penanggalan atau kalender. Mereka menamakan saat bulan sedang tenggelam total sebagai permulaan penanggalan atau tanggal "1". Sedangkan saat bulan purnama, mereka menamakannya sebagai tanggal "15". Karena peredaran bulan mengedari bumi setiap siklusnya berlangsung kurang lebih 29,5 hari, terkadang satu bulan akan berlangsung 30 hari, dan lain kali satu bulan hanya akan berlangsung 29 hari saja.

 

Di Tiongkok semenjak zaman kuno masyarakat di sana memaknai hari saat bulan gelap (tanggal 1) dan saat bulan terang (tanggal 15) sebagai hari dilakukannya persembahyangan. Sembahyang tanggal 1 dalam bahasa Hokian disebut "Ce It" sedangkan pada tanggal 15 dinamakan sebagai "Cap Go". Pada pagi dan sore hari orang terbiasa menyiapkan sesajian di meja abu leluhur. Sesajian yang lazim disediakan di meja abu atau altar keluarga antara lain tiga atau lima cangkir teh dan buah-buahan. Selain itu sepasang lampu pelita atau lilin dinyalakan sebelum persembahyangan dimulai.

 

Kepala keluarga memulai persembahyangan dengan membakar dupa atau hio dengan disertai harapan agar para leluhur mendapatkan keberkahan dan kebahagiaan di alam sana. Kemudian pembakaran dupa dilakukan pula oleh anggota keluarga lainnya. Selain persembahyangan yang dilakukan di meja abu leluhur, persembahyangan dilakukan pula di kuil. Di kuil yang dikenal pula sebagai kelenteng umat awam membawa sesajian dari rumah. Selain buah-buahan terkadang mereka membawa pula kue-kue yang akan dipersembahkan di sana. Tata cara persembahyangan di kuil ini pun sama, dengan ditandai persembahan sesajian dan pembakaran lilin dan dupa. Namun alih-alih persembahan ditujukan kepada para leluhur, di kuil persembahyangan ditujukan kepada para dewa. Setiap kuil memiliki dewa-dewa tertentu yang dipuja oleh umatnya, dan susunan dewa antara satu kuil dengan kuil yang lain tidaklah sama. Dengan bersembahyang di kuil setiap orang bisa berinteraksi dan bersosialisasi dengan umat lainnya.

 

Kita juga mengetahui posisi keberadaan bulan mempengaruhi pasang-surut air laut. Pada saat bulan mati dan bulan purnama pasang air laut di pantai akan mencapai ketinggian maksimum. Orang zaman kuno telah mengamati fenomena ini, dan mereka menengarai pergerakan bulan akan berpengaruh pada kondisi tubuh manusia. Sewaktu berlangsung bulan purnama (purnima), seseorang cenderung gelisah, mudah tersinggung, dan bersifat pemarah. Sejak ribuan tahun yang lampau kaum brahmana di India percaya bahwa adalah baik bagi rakyat untuk melakukan puasa selama sehari pada saat bulan gelap dan bulan purnama. Setelah berpuasa dianjurkan agar orang hanya mengkonsumsi makanan yang sifatnya ringan guna mengurangi keasaman pada sistem tubuh, yang akan mengurangi laju metabolisme dan meningkatkan ketahanan tubuh. Melaksanakan upacara persembahyangan pun diyakini membantu untuk menaklukkan emosi buruk dan mengendalikan amarah, yang pada sore harinya diikuti dengan berendam dan mandi di sungai.

 

Pada saat bulan baru atau Amavasya selain dilakukan puasa juga dilakukan persembahan makanan kepada para leluhur, yang diyakini akan datang kepada keturunan mereka. Pada saat Amavasya itu para leluhur akan mengambil bagian dalam upacara itu dan jika persembahan itu tidak tersedia mereka akan kecewa. Banyak hari perayaan, seperti Diwali, akan jatuh pada saat bulan gelap, karena Amavasya dianggap mewakili saat permulaan. Para penganut berjanji untuk memulai sesuatu yang baru dengan penuh rasa optimis, seperti halnya bulan baru memberikan fajar kehidupan yang baru pula.

 

Bagaimana masyarakat di zaman hidup Sang Buddha menyikapi saat terjadinya malam bulan-mati dan bulan purnama? Dari kitab Vinaya Pitaka (Vin.Mv. 2:1-2) diceritakan bahwa Seniya Bimbisara, Raja Magadha yang menjadi penganut dan penyokong Sang Buddha, sekali waktu memohon kepada Beliau, agar para bhikkhu memanfaatkan malam saat bulan-gelap dan bulan purnama untuk berkumpul. Raja mendapatkan gagasan itu setelah ia melihat para petapa pengembara berkumpul pada dua kesempatan ini di malam hari. Para petapa pengembara membabarkan ajaran mereka dan penduduk yang dikunjungi bisa mendengarkan dan menyimak pengajaran mereka. Masyarakat bertumbuh kegandrungannya mendengarkan ajaran-ajaran dari berbagai sekte, dan mereka percaya pada doktrin yang diajarkan oleh para petapa. Dengan begitu para petapa pengembara mendapat dukungan langsung dari umat.

 

Usulan dari sang raja disetujui oleh Sang Buddha dan ia menitahkan para siswanya untuk selalu berkumpul pada dua kesempatan itu. Pada mulanya mereka hanya duduk bermeditasi bersama tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Umat awam pun terheran-heran menyaksikan para bhikkhu duduk berdiam diri semalaman layaknya kumpulan sapi bisu. Setelah mereka memprotes, Sang Buddha mengizinkan mereka untuk membabarkan Dharma. Pada hari itu pun para bhikkhu akan melakukan pembacaan-ulang Patimokkha atau aturan kebhikkhuan. Sang Buddha pun menetapkan saat hari bulan-mati dan bulan purnama sebagai hari besar untuk para bhikkhu, dan kita mengenalnya sebagai hari Uposatha.

 

Peringatan hari Uposatha yang diadakan dalam siklus empat-belas hingga lima-belas hari sekali dirasakan terlalu lama bagi sebagian umat. Dalam masyarakat agraris tradisional, hari Uposatha juga dianggap sebagai hari besar atau hari melaksanakan peribadatan. Belakangan mereka menyelipkan hari Uposatha-tambahan, yakni satu hari di pertengahan antara hari bulan-mati dan bulan-sempurna. Hari Uposatha tambahan ditetapkan pada hari kedelapan atau plus tujuh hari setelah Uposatha bulan-gelap dan Uposatha bulan-sempurna. Dengan begitu umat dapat melaksanakan Uposatha kurang lebih seminggu sekali, sama seringnya seperti kita mengadakan puja bakti di rumah ibadah pada zaman sekarang.

 

Dalam menentukan kapan jatuhnya hari Uposatha, umat berpega
ng pada kalender Tionghoa atau kalender Buddhis. Sekarang apa relevansi hari Uposatha bagi kita umat awam di zaman sekarang ini? Bagi kita hari Uposatha seyogianya dijalankan berbeda dibandingkan saat kita melewatkan hari-hari biasa. Inilah saatnya kita melaksanakan lelaku-spiritual, yang tidak sama dengan menjalani rutinitas sehari-hari. Mulai dari menyediakan barang persembahan di altar pemujaan keluarga, bersembahyang dengan menyalakan pelita dan membakar dupa, berpuasa dengan tidak makan lagi setelah pukul dua-belas siang, berpantang makan daging, menambah porsi pembacaan paritta atau keng, berlatih meditasi dengan lebih intens, dan lain-lain. Sebagai penganut yang ingin melestarikan kebiasaan para pendahulu kita, marilah kita melaksanakan ibadah di hari-hari Uposatha berlandaskan tekad untuk memperbaiki diri, sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.

 

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210113

 

SALAM DARI DHARMA PRIMA PUSTAKA

 


SALAM DARI DHARMA PRIMA PUSTAKA

 

 

Memasuki Tahun 2021 ini kami akan menyapa para pembaca dan pengunjung kami – baik di blogspot maupun di akun facebook kami – dengan artikel pendek Dharma. Artikel ini kami bawakan lewat tulisan yang ringan, mudah dicerna oleh para pembaca kebanyakan, memperkaya wawasan pembacanya, mengandung satu pelajaran yang memberikan inspirasi, dan tentu saja tetap membumi. Kami berupaya untuk menerbitkan satu artikel setiap dua minggu sekali.

 

Artikel tersebut akan disiarkan setiap hari Kamis per dua-mingguan di akun facebook, dimaksudkan agar rekan-rekan kami bisa melihat dan membaca sesaat setelah artikel kami di-posting. Sedangkan penerbitan di blogspot, akan memudahkan para pembaca untuk membuat salinan artikel dan juga untuk melihat artikel-artikel sebelumnya yang pernah kami terbitkan. Upaya ini juga sesuai dengan misi perusahaan kami: "Meningkatkan tingkat literasi digital masyarakat sekaligus memperkaya pengetahuan mereka tentang dharma."

 

Patut diketahui oleh pembaca sekalian bahwa media Dharma Prima Pustaka semula berasal dari kegiatan penerbitan buku Dharma lewat CV Dharma Prima Niaga. Unit usaha ini didirikan pada tanggal 30 Agustus 2018 oleh Sudjana Suryanata dengan Akte Notaris Ella Goei SH No. 2 di Tangerang Selatan. Tujuan utama didirikannya unit usaha ini adalah untuk menyelenggarakan penerbitan buku serta penjualan barang terkait. Buku yang diterbitkan bertopik ajaran agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur. Yang dimaksud dengan kebijaksanaan dari Timur termasuk agama dan filsafat India selain agama Buddha, agama dan filsafat yang dianut orang Tionghoa, maupun agama dan kebijaksanaan lokal (bukan agama wahyu) yang dianut oleh masyarakat tertentu, termasuk Indonesia.

 

Penulis artikel membuka kesempatan dan mengundang para pembacanya untuk berinteraksi, membahas materi tulisan yang baru diterbitkan, sehingga tercipta suasana dialogis. Dengan begitu pemahaman kita bersama terhadap satu konten pengetahuan akan semakin mendalam. Forum tanya-jawab ini khusus kami buka di kotak komentar facebook dan blogspot kami, sedangkan jika artikel itu di-reposting katakanlah di grup WhatsApp sebisa mungkin akan kami hindari, demi kenyamanan anggota grup tersebut.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210112