Sabtu, 14 Desember 2024

KISAH SANG PENENUN DAN SANG PENGGEMBALA



Alkisah pada zaman dahulu kala di Tiongkok ada seorang anak laki-laki yang sejak kecil sudah yatim-piatu. Anak itu tinggal bersama kakak lelakinya dan kakak iparnya. Isteri kakaknya itu sangat tidak suka dengan kehadiran adik iparnya, yang terpaksa harus tinggal serumah dengan mereka. Dia sering menghardik si bocah kecil itu. Si kecil tumbuh menjadi pribadi yang pendiam dan penyendiri. Kesibukannya sehari-hari hanya menggembalakan seekor lembu tua yang dimiliki keluarga tersebut. Nama si bocah itu tidak banyak diketahui oleh orang dusun itu, dan dia sering dipanggil sebagai sang penggembala sapi atau Niú Láng (牛郎).

 

Niú Láng tidak punya sahabat atau orang yang bisa diajak berteman. Satu-satunya makhluk yang bisa diajak bicara tidak lain si lembu tua. Bila ada masalah dia mulai bercakap-cakap dengan hewan piaraannya. Lucunya sang lembu sepuh menanggapinya dengan menggerak-gerakkan mulutnya atau memainkan ekor. Agaknya hewan itu mengerti apa yang menjadi kegundahan majikannya. Niú Láng sangat menyayangi sapinya, dengan selalu memberikan rumput segar dan hijau, serta disediakannya air bersih dari mata air dekat rumahnya. Di musim dingin dia akan membangun naungan sederhana agar hewan kesayangannya tidak kedinginan, dan di musim panas lembunya akan digiring ke padang yang diteduhi pepohonan.

 

Ketidaksukaan sang kakak ipar terhadap si bocah disadari oleh suaminya, yang juga tidak berdaya menghadapi perilaku isterinya yang semena-mena. Niú Láng hanya diberi makan seadanya, dan pakaian yang dikenakannya hanyalah pakaian bekas yang telah usang. Sejak lama si kakak ipar sebenarnya ingin sekali mengusir anak itu dari rumah mereka, tetapi dia selalu bisa mengurungkan niat buruknya itu, karena dia tidak ingin digunjingkan oleh para penduduk di dusun itu. Sampai akhirnya Niú Láng mencapai kedewasaan.

 

Suatu hari abangnya memanggilnya, "Sekarang engkau sudah besar. Sudah waktunya hidup sendiri. Tugasku sebagai kakak telah selesai." Dengan wajah ketakutan karena sejak tadi dia diawasi oleh isterinya, sang kakak melanjutkan: "Sebelum engkau pergi, kamu boleh mengambil salah satu peninggalan almarhum ayah kita." Si kakak ipar yang sedang panas hatinya langsung berseru: "Buat apa meminta dia memilih barang warisan? Anak macam itu tidak berguna. Kita berdua sudah memelihara dan merawatnya sejak kecil, tetapi apa balas budinya? Jika engkau mau memberikan warisan kepadanya, serahkan saja lembu tua itu. Lalu enyahkan dia segera dari rumah kita."

 

Niú Láng hanya bisa mengelus dada mendengar ucapan kakak iparnya. Pikirnya, "Asalkan aku diizinkan pergi dari rumah ini bersama lembu tua itu, kami berdua sudah merasa senang. Kami akan hidup bersama-sama." Setelah berpamitan dengan keduanya, Niú Láng dengan menggiring hewan piaraannya segera meninggalkan dusun itu. Mereka pergi jauh, hingga akhirnya berhenti di sebuah kaki bukit. Di tempat itu Niú Láng membangun gubuk kecil beserta kandang ternak secara sederhana. Dia dituntut untuk bekerja keras agar bisa mandiri di tempat tinggalnya yang baru. Hari-harinya dihabiskan untuk membuka ladang, bercocok tanam, dan melakukan pekerjaan rumah; hanya dengan ditemani sang lembu sepuh.

 

Pada suatu malam ketika Niú Láng bersiap-siap untuk tidur, sekonyong-konyong telinganya mendengar ada seseorang yang memanggil namanya. Dengan terheran-heran, karena dia hanya tinggal sendirian di tempat terpencil itu, Niú Láng pun segera mencari asal suara panggilan itu. Betapa terkejutnya dia setelah tahu suara yang mirip ucapan manusia itu ternyata berasal dari mulut lembunya. Sang sapi sepuh ternyata bisa bicara!! "Besok senja di tepi telaga sana, sekelompok wanita muda akan mandi di air yang jernih itu. Jika engkau tertarik dengan salah satu di antara mereka, engkau bisa menjadikan dia sebagai isterimu. Cukup engkau ambil gaunnya dan sembunyikanlah benda berharga tersebut." Niú Láng tertegun beberapa saat. Dia menyadari usianya sudah cukup untuk berkeluarga. Namun siapa gerangan wanita yang mau menjadi pasangannya. Dia sendiri hidup sebatang kara dan tidak memiliki kekayaan apa pun.

 

Keesokan harinya dengan hati berdebar-debar, dia sudah mengendap-endap di tepi telaga yang berada tidak jauh dari gubuknya. Sore itu cuaca amat cerah dan angin berhembus semilir. Telaga bagaikan permandian-surgawi, yang di satu sisinya dibatasi oleh bukit tinggi yang menjulang kehijauan. Burung-burung hinggap di pepohonan dan mereka semua menyanyikan cericit merdunya. Niú Láng sengaja menyembunyikan dirinya agar tidak terlihat oleh siapa pun.

 

Benar saja perkataan sang lembu sepuh! Beberapa saat kemudian tujuh bidadari turun dari langit dan mereka semua turun ke tepi telaga. Mereka semua sangat rupawan. Masing-masing mengenakan gaun-surgawi yang berwarna putih, merah, kuning, abu-abu, hijau, biru, dan ungu. Seperti yang dilakukan oleh perempuan manusia, mereka bertujuh menanggalkan busananya dan segera menceburkan diri ke air yang jernih itu. Niú Láng menatap pada tujuh peri itu dengan perasaan takjub. Hatinya terguncang melihat kecantikan mereka. Dia pun langsung jatuh cinta kepada sang bidadari yang tadinya mengenakan gaun merah.

 

Dengan sembunyi-sembunyi Niú Láng mendekati tempat para peri itu meletakkan pakaian mereka. Segera diambilnya gaun-surgawi yang berwarna merah, lalu dimasukkannya ke dalam kantung yang dibawanya. Belum pernah seumur hidupnya sang penggembala melihat dan memegang gaun merah, yang terbuat dari kain sutera-surgawi itu. Lalu dengan secepat kilat Niú Láng pun segera membawa lari kantung berisi busana peri itu ke sebuah tempat rahasia di ladangnya.

 

Setelah puas mandi dan berenang di telaga, para bidadari pun menepi untuk mengambil busana mereka. Alangkah kagetnya sang peri yang semula mengenakan gaun merah, ketika mendapatkan busananya hilang. Mereka semua menyisir bantaran telaga itu, namun usaha mereka tidak membuahkan hasil. Karena hari menjelang gelap enam bidadari yang telah mengenakan busananya segera meninggalkan telaga, dengan terbang kembali ke kahyangan. Si peri yang tadinya mengenakan gaun merah tidak bisa terbang, dan makhluk kahyangan yang malang itu pun hanya bisa tinggal di tempat sambil menangis tersedu-sedu.

 

Dengan berpura-pura iba Niú Láng menemui sang peri yang malang itu. Dia menawarkan jubah luarnya untuk dipakai oleh sang bidadari. Karena terpaksa dia pun menerima tawaran pemuda itu. Keduanya pun segera pulang ke gubuk sang penggembala. Lama kelamaan tumbuh rasa cinta dan sayang di antara keduanya. Mereka pun akhirnya menikah sebagai pasangan suami-isteri. Belakangan sang peri bercerita bahwa dia adalah salah satu puteri dari Sang Ibunda Ratu dari Barat atau Xī Wáng Mǔ (西王母). Sang Ibu Suri ini masih kerabat dari Kaisar Kemala atau Yù Huáng Dà Dì (玉皇大帝).

 

Sang peri yang suka mengenakan gaun merah ini dikenal sebagai Sang Gadis Penenun atau Zhī Nǚ (織女). Sejak kecil dia ditugaskan oleh ibunya untuk menenun awan guna mendekorasi langit. Setiap hari dia melakukan tugasnya dengan rajin. Pagi hari dia menenun awan putih, sedangkan di saat senja sang peri membuat awan lembayung. Waktu pun berlalu dengan cepat. Keluarga Niú Láng dan Zhī Nǚ tambah sejahtera. Dengan keterampilannya menenun, sekarang Zhī Nǚ dapat dengan mudah membuat kain sutera yang indah. Sedangkan Niú Láng tetap mengerjakan ladang dan bercocok tanam. Mereka pun sudah memiliki seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.

 

Pada suatu hari ketika Niú Láng sedang memberi makan hewan piaraannya, tiba-tiba lembu itu menangis. Niú Láng merasa heran dan bertanya kepadanya: "Wahai lembu sepuh. Mengapa engkau menangis?" Sambil menghela napas panjang si sapi berkata: "Engkau sudah bersikap baik selama ini kepadaku. Tetapi aku tidak bisa menemanimu selamanya. Ajalku sudah dekat. Setelah aku mati, ambillah kulitku. Jahitlah menjadi sebuah pakaian. Jika engkau terdesak, engkau langsung bisa memakai gaun kulit sapi itu, dan benda ini akan membantumu." Segera setelah sapi tua itu mati, suami-isteri itu segera menguliti jasad hewan itu. Sisa tubuhnya dikuburkan dan kulitnya dibuat menjadi sebuah gaun.

 

Waktu di bumi sudah berjalan sekitar tujuh tahun, tetapi di kahyangan waktu baru beringsut satu minggu. Sang Ibunda Ratu baru sadar, salah satu puterinya selama ini belum pulang ke kahyangan. Dengan penuh rasa penasaran dia meminta bawahannya, sesosok dewa, untuk mencari puterinya. Setelah mencarinya di bumi, dewa itu menemukan sang peri, yang ternyata sudah menikah dengan seorang manusia. Ibunda Ratu menjadi murka dan bersama dengan beberapa pengawalnya, dia pun segera turun ke bumi.

 

Rombongan dewata pun segera menerobos rumah Zhī Nǚ. Kebetulan saat itu Niú Láng sedang berada di ladang. Tanpa berkata panjang lebar Sang Ibunda Ratu langsung menangkap Zhī Nǚ, agar bisa dibawa dan diadili di kahyangan. Kedua anaknya sambil menangis berupaya memegang gaun ibunya. Sang Ibunda Ratu langsung melepaskan cengkraman kedua anak kecil itu dan mendorong mereka ke belakang. Dari ketinggian, Zhī Nǚ yang melihat anak-anaknya menangis dan menjerit-jerit, segera berteriak: "Cepat panggil ayahmu dan minta dia segera menyusulku."

 

Tatkala Niú Láng kembali ke rumah beserta kedua anaknya, tempat tinggal mereka sudah porak poranda, dan Zhī Nǚ sudah menghilang di balik awan. Dua anak itu menangis terus dan Niú Láng bingung harus berbuat apa. Sekonyong-konyong dia teringat pada pesan si lembu tua. Segera dimasukkan kedua anaknya ke dalam keranjang. Lalu diikatkan kedua wadah itu ke tubuhnya. Kemudian mereka bertiga menyelimuti sekujur tubuh mereka dengan gaun kulit sapi itu. Ajaib!! Tubuh Niú Láng mendadak menjadi ringan dan dia dengan mudah melesat ke angkasa. Tubuh Niú Láng bergerak makin cepat dan diperkirakan sebentar lagi dia bisa menyusul Zhī Nǚ. Niú Láng pun berteriak: "Zhī Nǚ, jangan khawatir, sebentar lagi aku akan menjemputmu!" Sang Ibunda Ratu geram mendengar teriakan itu. Dilihatnya ke belakang, Niú Láng hampir menyusul mereka.

 

Pada saat yang kritis itu Sang Ibunda Ratu mencabut sebuah tusuk konde kemala dari gelungan rambutnya. Lalu dilemparkannya benda pusaka itu ke arah Niú Láng. Dalam sekejap tiba-tiba muncullah sebuah sungai yang terbentang di hadapan Niú Láng. Sungai itu sangatlah lebar dan arusnya amatlah derasnya. Betapa pun keras usaha Niú Láng untuk menyeberangi sungai itu, tetaplah dia tidak dapat berbuat banyak. Bapak dengan kedua anaknya hanya bisa menatap air sungai yang bergelora. Niú Láng bersumpah – apa pun yang terjadi dia harus bertemu dengan Zhī Nǚ.

 

Mitologi Tiongkok Kuno ini bisa ditelusuri sebelum masa Dinasti Han. Jika orang pada zaman kuno memandang langit (di bumi belahan utara), mereka akan melihat Niú Láng di sebelah barat sebagai bintang Altair dan Zhī Nǚ di sisi timur sebagai bintang Vega. Keduanya dipisahkan oleh sungai deras di langit, yakni Galaksi Bima Sakti. Kedua bintang itu akan berdekatan sekitar tanggal tujuh bulan tujuh menurut penanggalan Tionghoa; atau antara akhir bulan Juli hingga akhir Agustus. Jika langit cerah tak berawan orang dapat melihatnya dengan jelas. Biasanya pada musim tersebut, sekawanan burung murai yang tidak terhitung banyaknya, akan terbang melintasi Bima Sakti dan membentuk sebuah jembatan. Di tengah jembatan ini dipercaya Niú Láng dan Zhī Nǚ akan bertemu. Setiap kali bertemu, pertemuan keduanya bagai diselimuti kegembiraan sekaligus kesedihan. Rasanya sulit untuk menahan jatuhnya air mata. Konon pada malam harinya, jika seseorang bersembunyi di bawah belukar pohon anggur, dia akan mendengar suara Niú Láng dan Zhī Nǚ yang sedang berbincang-bincang. Keduanya saling mengutarakan kerinduannya setelah setahun mereka tidak berjumpa.

 

Itulah asal mula Festival Qī Xì (七夕) atau Perayaan Hari Ketujuh-Bulan-Ketujuh atau Perayaan Malam Serba-Tujuh; juga dinamakan Qǐ Qiǎo (乞巧) atau diindonesiakan sebagai "Perayaan Sang Pengrajin yang Putus Asa". Malam pertemuan antara Niú Láng dan Zhī Nǚ dikenal oleh masyarakat Tionghoa dan Diasporanya di mancanegara sebagai "Hari Valentine Tionghoa", atau "Hari Kasih Sayang Tionghoa".

 

 

 

sdjn/dpn/241214


Tidak ada komentar:

Posting Komentar