Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha sering menimbulkan ruang kontroversi
dan perdebatan yang berkepanjangan. Hal ini berlangsung sepanjang sejarah kebangkitan
kepercayaan ini di Indonesia. Seperti yang pernah kita bahas dalam artikel
penulis yang sebelumnya, Buddhisme sebagai agama menganut doktrin nonteis. Mengapa
penulis mengaitkan monoteisme, politeisme, dan nonteisme sewaktu kita
membicarakan agama Buddha?
Jika kita berbicara Buddhisme sebagai satu agama, seperti yang terjadi di
negara-negara Buddhis seperti Thailand, Myanmar, atau Sri Lanka, tentu tidak pernah
terjadi kontroversi maupun perdebatan. Penduduk di sana tidak pernah mengaitkan
kepercayaan mereka dengan paham teisme atau nonteisme, karena Buddhisme sudah
dianggap sebagai agama, pandangan hidup, maupun filsafat kehidupan mereka
selama berabad-abad. Demikian juga yang terjadi dengan agama Buddha di negara
seperti Taiwan dan Jepang, Buddhisme telah diterima oleh masyarakat di sana.
Tetapi di Indonesia yang menganut ideologi Pancasila, pengakuan keyakinan
atau kepercayaan kepada Tuhan menjadi sesuatu yang wajib ditaati oleh setiap
warga negara, seperti yang akan penulis kemukakan berikut ini. Sila pertama
Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Nah, apakah Anda para pembaca memahami
makna sila pertama Pancasila ini? Sebelumnya, kita perlu tahu dulu, apa itu
makna kata 'maha' dan 'esa' dalam sila pertama Pancasila. Kata 'maha' berasal
dari bahasa Sanskerta dan juga bahasa Pāli. Makna
kata 'maha' itu mulia atau besar. Sedang kata 'esa' merupakan kata asli bahasa
Indonesia, yang bermakna “satu” atau “tunggal” atau “tidak bersekutu”. Dengan
demikian ‘maha esa’ berarti hanya satu yang besar dan mulia.
Soekarno pada 1 Juni 1945 membawakan pidato di hadapan peserta sidang Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai. Saat menyampaikan prinsip ke-5 yakni Ketuhanan, Soekarno
mengatakan: "Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri." Perspektif pertama
yang merupakan relasi vertikal, pernyataan Soekarno tersebut jelas menunjukkan
bangsa Indonesia yang akan memerdekakan diri adalah bangsa yang ber-Tuhan. Pada
satu sisi Indonesia bukan sebuah bangsa yang sekular, suatu bangsa yang
mengambil jarak dengan Tuhan. Namun pada sisi lain, Indonesia merdeka itu juga
bukan sebuah negara yang dibangun di atas dasar agama. Indonesia bukan negara
agama. Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan.
Dengan penjelasan Soekarno ini jelas bahwa negara menuntut setiap warga
negaranya untuk mengakui keberadaan Tuhan. Tentu saja sesuai hak azasi manusia,
Anda bebas boleh tidak percaya adanya Tuhan. Anda bebas menjadi seorang ateis
atau seorang agnostik. Yang tidak boleh dilakukan di negara Pancasila ini
adalah menyebarkan ajaran ateisme kepada masyarakat umum. Kemudian yang menarik
dari penjelasan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, negara menjamin kebebasan
setiap warga negaranya untuk memeluk agama atau kepercayaan yang diyakininya.
Bukan saja terbatas kepada lima agama yang kelak diakui oleh Pemerintah, tetapi
juga agama-agama yang dianut oleh warga dunia. Kita sudah membahas dalam
artikel yang lalu, bahwa Pemerintah Kolonial hanya mengakui tiga agama di Hindia
Belanda, yakni: Islam, Katolik Roma, dan Protestan.
Dari pernyataan Soekarno sebelum
Indonesia merdeka, kita dapat menyimpulkan bahwa Beliau tidak paham ajaran
Buddha. Namun demikian Soekarno yakin bahwa agama Buddha mengajarkan ajaran
Ketuhanan. Sampai Soekarno mengakhiri jabatannya sebagai Presiden pertama
Republik ini, tidak ada orang yang mempersoalkan Ketuhanan di dalam agama
Buddha. Situasi akan berubah setelah Soeharto menjadi Kepala Pemerintahan, yang
akan kita tinjau nanti.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini dengan mudah diterima oleh
politisi-politisi Islam dan Nasrani, walaupun kalangan ulama menginginkan frasa
tambahan berupa: "dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para
pemeluknya". Ketuhanan Yang Maha Esa dimaksudkan pada Tuhan monoteistik
dan Tuhan sebagai pribadi. Tentu saja ini kepercayaan umum yang dianut oleh
sebagian besar penduduk, karena umat di luar Islam dan Nasrani hanya sedikit
populasinya di Indonesia ini. Konsep Tuhan yang Esa adalah Tuhan yang transenden,
Tuhan yang berpribadi, Tuhan yang maha kuasa, begitu seterusnya, yang dianut
oleh masyarakat Indonesia hingga hari ini.
Sedangkan jika kita meninjau ajaran Buddhisme awal, kita diajarkan doktrin "Tiga
Corak Umum" atau "Tiga Tanda Eksistensi". Rumusannya mungkin
telah Anda kenal: Sabbe saṅkhārā aniccā, Sabbe saṅkhārā dukkhā, Sabbe
dhammā anattā. Yang dimaksud dengan saṅkhārā adalah sesuatu yang
bersyarat, contohnya makhluk hidup; sedangkan dhammā adalah sesuatu yang
bersyarat dan tak-bersyarat. Sabbe berarti semua. Jadi terjemahan
indonesianya adalah “Semua yang bersyarat adalah tidak kekal, semua yang
bersyarat adalah tidak memuaskan, segala sesuatu adalah tanpa-diri.” Jika
doktrin ini benar, lalu bagaimana mungkin ada sosok yang berpribadi dan kekal?
Jika Tuhan Yang Maha Esa disamakan dengan Yang Mutlak, mari kita periksa
kutipan berikut ini: "Atthi, bhikkhave, ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ
asaṅkhataṁ. No cetaṁ, bhikkhave, abhavissa ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ,
nayidha jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyetha. Yasmā ca
kho, bhikkhave, atthi ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, tasmā jātassa bhūtassa
katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyatī."
Artinya: "Para bhikkhu, ada Yang-Tidak-Dilahirkan, Tidak-Menjelma,
Tidak-Tercipta, Yang Mutlak. Para bhikkhu, bila tidak ada Yang-Tidak-Dilahirkan,
Tidak-Menjelma, Tidak-Tercipta, Yang Mutlak, maka tak ada kemungkinan untuk
bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi, para bhikkhu, karena ada Yang-Tidak-Dilahirkan, Tidak-Menjelma, Tidak-Tercipta,
Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan,
pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."
(Sutta Pitaka, Udana VIII : 3).
Menurut Corneles Wowor Alm.,
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha tidak lain "Atthi Ajātaṁ Abhūtaṁ Akataṁ Asaṅkhataṁ", yang artinya "Sesuatu
Yang-Tidak-Dilahirkan, Yang-Tidak-Dijelmakan, Yang Tidak-Diciptakan, dan Yang
Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa-aku
(anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan, dan yang tidak dapat
digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak
berkondisi (asaṅkhataṁ) maka manusia yang berkondisi (saṅkhataṁ) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan ini (saṃsāra). Sayang
pak Wowor sudah tiada. Jika beliau masih hidup kita bisa menanyakan, apakah konsep
Ketuhanan Yang Maha Esa sama dengan nibbāna atau nirvāṇa?
Sekarang kita coba mendekati konsep yang mungkin mendekati dengan konsep
Ketuhanan yang kita kenal selama ini. Jika ditanya kepada umat Buddha, siapa
makhluk paling agung di alam semesta ini? Jawabannya jelas, dia adalah Sang Tathāgata,
Sammā-Sambuddha di zaman kita. Kemunculan seorang Sammā-Sambuddha tidak hanya
terjadi sekarang ini, tetapi juga telah berlangsung jauh di masa yang lampau. "Telah
lewat sembilan puluh satu zaman yang lalu, wahai para bhikkhu, ketika Yang
Terberkahi Vipassī, yang telah mencapai dan tercerahkan sempurna, muncul di
dunia ini. Kemudian tiga puluh satu zaman sesudahnya Yang Terberkahi Sikhī,
yang telah mencapai dan tercerahkan sempurna, muncul di dunia ini. … Pada zaman
yang menguntungkan ini pula Yang Terberkahi Kassapa, yang telah mencapai dan
tercerahkan sempurna, muncul di dunia ini. Pada zaman yang menguntungkan ini
pula aku sekarang, yang telah mencapai dan tercerahkan sempurna, muncul di
dunia ini." (Dīgha Nikāya 14).
Pernyataan ini bisa diperluas, bahwa di zaman yang akan datang, Yang Terberkahi
Metteyya, yang telah mencapai dan tercerahkan sempurna, akan muncul di dunia
ini.
Walaupun kemunculan seorang Sammā-Sambuddha itu amat jarang terjadi, tetapi
pola seperti ini selalu berulang. Jadi kita sekarang akan masuk ke doktrin Doktrin
Trikāya (Sanskerta: त्रिकाय), atau dalam bahasa Mandarin disebut 三身 (Sān Shēn), harfiah: "Tiga Tubuh"; yang merupakan
doktrin fundamental dalam Buddhisme Mahāyāna dan Vajrayāna. yang menggambarkan
sifat multidimensional keberadaan seorang Buddha. Konsep ini menyebutkan bahwa
seorang Buddha memiliki tiga tubuh atau tiga aspek yang berbeda, yang mana masing-masing
mewakili aspek pencerahan yang berbeda pula.
Tubuh yang pertama, Nirmāṇakāya, disebut
sebagai Tubuh Transformasi. Ini melambangkan penampakan fisik seorang
Buddha di dunia. Buddha historis seperti Buddha Gautama, Buddha Kassapa, dan
Buddha Metteyya adalah perwujudan Nirmanakāya, yang memungkinkan dia
berinteraksi dan membimbing makhluk hidup dalam perjalanan menuju pencerahan.
Perwujudan duniawi ini berfungsi sebagai jembatan antara yang ilahi dan yang
manusia, membuat ajaran dan kasih sayang seorang Buddha dapat diakses oleh
mereka yang mencari bimbingan dan kebijaksanaan.
Tubuh yang kedua, yang dikenal sebagai Saṃbhogakāya,
adalah Tubuh Kenikmatan. Aspek ini mewakili para Buddha dewata di alam dewa
dan dikaitkan dengan aspek Kebuddhaan yang membahagiakan dan bermanfaat. Hal
ini dianggap sebagai manifestasi yang muncul sebagai akibat dari pemenuhan
sumpah dan komitmen dalam perjalanan spiritual seorang bodhisattva. Sambhogakāya
mewujudkan gagasan memetik manfaat dari latihan spiritual dan berdiam dalam
kondisi realisasi yang luhur.
Tubuh yang ketiga adalah Dharmakāya, atau dalam bahasa Mandarin
dinamakan 法身 (Fǎ Shēn), sering disebut sebagai Tubuh Dharma
atau realitas tertinggi. Ini mewujudkan esensi pencerahan itu sendiri, yang
mencakup konsep-konsep seperti kekosongan, sifat Buddha, dan keberadaan murni
di luar bentuk material dan spiritual.
Tadi dikatakan bahwa ajaran Trikāya ini hanya dikenal dalam mazhab Buddhisme
Mahāyāna dan Vajrayāna, dan pada mazhab Theravāda ajaran ini tidak ada. Namun
dalam Kanon Pāli, Buddha Gautama memberi tahu Vasettha bahwa Tathāgata (Sang
Buddha) adalah Dhammakaya, yakni "tubuh kebenaran" atau
"perwujudan kebenaran", serta Dharmabhuta, "menjadi
kebenaran". "Dia yang keyakinannya kepada Sang Tathāgata telah kokoh,
berakar, mapan, teguh, tidak tergoyahkan oleh petapa atau brahmana mana pun, Dewa
atau Māra atau Brahmā mana pun atau siapa pun di dunia, yang dapat dengan
sesungguhnya mengatakan: 'Aku adalah putera sejati Sang Bhagawan, lahir dari
mulutNya, lahir dari Sang Dhamma, diciptakan oleh Sang Dhamma, pewaris Sang Dhamma.'
Mengapa demikian? Karena, Vasettha, ini menunjuk kepada Sang Tathāgata: 'Tubuh
Dhamma,' yaitu, 'Badan Brahma,' atau 'Menjadi Dhamma'. (lihat: Walshe, Maurice
(penerjemah), The Long Discourses of the Buddha, Wisdom
Publications, Boston,1995, hal. 409)
Penulis ingin menambahkan bahwa dalam keyakinan Brahmanisme atau Hinduisme,
Sang Buddha adalah salah satu Avatāra Vishnu. Beliau dikenal sebagai Avatāra
yang kesembilan (dari 10, yang pernah lahir di dunia ini). Avatāra, harfiah
berarti 'keturunan', menandakan penampakan material atau inkarnasi dari Vishnu.
Siapa itu Vishnu? Dia boleh dikatakan sebagai makhluk tertinggi dalam
Vaishnavisme, salah satu tradisi utama dalam agama Hindu kontemporer.
Sebagai kesimpulan kita sampai pada doktrin bahwa Dharmakāya adalah
realitas tertinggi, yang dapat dianalogikan sebagai Ketuhanan itu sendiri. Para
pembaca yang kritis, yang ingin lebih mendalami subyek ini, bisa mencarinya
sendiri. Sebagai acuan, penulis menyarankan sebuah jurnal ilmiah yang berjudul:
On Dharmakāya as Ultimate Reality: Prolegomenon for a Buddhist-Christian
Dialogue, yang ditulis oleh Ruben L. F. Habito. (1985). Pembaca yang
berminat bisa mencarinya sendiri di internet.
Di bagian akhir tulisan ini penulis ingin membahas secara singkat tentang
kontroversi dan perdebatan tentang konsep Ketuhanan di kalangan sekte-sekte
agama Buddha di Indonesia. Jujur, sesungguhnya penulis menghindari untuk memuat
tulisan yang membuat ruang opini pribadi semacam ini. Demi netralitas artikel
ini, penulis merujuk pada beberapa sumber di internet. Salah satu yang bisa
dijadikan rujukan adalah tulisan Bapak Abdul Syukur, yang dimuat oleh HTS Journal
pada tanggal 24 Januari 2022. Pembaca yang ingin membacanya lebih detil bisa
mendapatkannya di mesin pencari, dengan kata kunci: "HTS Theological
Studies, Vol 78, No. 4 (2022)". Judul makalah itu sendiri adalah Theological
Debate Among Buddhist Sects in Indonesia.
Di atas telah dikatakan bahwa sampai Soekarno mengakhiri jabatannya sebagai
Presiden pertama Republik ini, tidak ada orang yang mempersoalkan Ketuhanan di
dalam agama Buddha. Namun situasi berubah seratus delapan puluh derajat pada
tahun 1965 setelah Pemberontakan PKI pada tanggal 30 September. Kudeta yang
dilancarkan oleh pihak Komunis menimbulkan perang saudara dan memakan banyak
korban jiwa, antara akhir tahun 1965 hingga 1966. Pada saat itu sang penguasa
rezim Orde Baru memberikan stigma negatif kepada Partai Komunis Indonesia
(PKI). Di antara jargon ketidaksukaan rezim baru yang cukup ampuh, adalah
tuduhan bahwa Komunis itu anti agama dan anti perikemanusiaan. Jadi jelas PKI
itu tidak beragama dan tidak ber-Tuhan. Situasi semakin tidak menguntungkan
bagi etnis Tionghoa yang sebagian besar memeluk Agama Buddha dan Agama
Konghucu. Apalagi setelah Soeharto – pengganti Soekarno – menerbitkan aturan
yang melarang diadakannya pertunjukan agama dan adat istiadat yang bercorak
Cina di muka umum. Puncaknya pada tahun 1979 Pemerintah Orde Baru tidak lagi
mengakui Konghucu sebagai agama.
Seiring dengan kebijakan tersebut Pemerintah semakin mengetatkan
persyaratan agama yang diakui di Indonesia. Disebutkan bahwa semua agama yang
sah dipeluk oleh rakyat Indonesia adalah yang: (1) mengakui Tuhan Yang Maha
Esa, sebagaimana disebutkan dalam sila pertama Pancasila, (2) memiliki sosok
nabi yang menjadi utusan Tuhan, dan (3) memiliki kitab suci yang diakui oleh
umat beragama tersebut. Bagi umat Buddha tentu saja tidak ada masalah untuk
butir 2 dan 3 di atas. Seluruh sekte agama Buddha di Indonesia yang ada pada
waktu itu mengakui Buddha Gautama adalah Nabi dalam Agama Buddha, dan kitab
sucinya Tipiṭaka atau Tripiṭaka.
Tentang butir 1 di atas umat Buddha boleh dikatakan mendapatkan kesulitan.
Jika dalam agama lain, terutama agama Samawi, kata "Tuhan" selalu
muncul dalam kitab suci mereka, karena Tuhan adalah obyek utama yang dipuja.
Sedangkan untuk menjelaskan Tuhan sebagai "Yang Mutlak" atau "Tuhan”,
hanya terdapat satu-satunya ayat dalam Udana VIII.3 di atas. Dalam Kanon Pāli yang
tebal itu pun tidak ditemukan ayat-ayat yang menggambarkan sosok Tuhan itu. Absennya
konsep Tuhan dalam agama Buddha membuat sebagian orang beranggapan bahwa agama
Buddha tidak mengakui Tuhan atau Ketuhanan, seperti Horner (1989). Di sisi lain
Conze (1975), menyatakan bahwa meskipun agama Buddha tidak mengenal Tuhan
sebagai pribadi, namun yang dikenal dalam doktrin Buddhis adalah Ketuhanan itu
sendiri; sehingga dengan demikian agama Buddha masih dapat digolongkan dalam
kategori agama. Memang kenyataannya, sewaktu Buddha Sakyamuni masih hidup,
Beliau sendiri lebih memilih diam ketika ditanya tentang permasalahan tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, hal pertama dan
terpenting yang harus dimiliki oleh seluruh warga negara adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa. Menghadapi hal yang mendesak itu para pimpinan sekte agama Buddha
mencoba merumuskan konsep Tuhan dalam agama Buddha, dan Tuhan itu mau diberi
nama apa. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, terlahir The Boan An (23-Jan-1923 – 18-Apr-2002).
Beliau dikenal dengan nama panggilan "Su Kong". Setelah
melakukan pengkajian yang mendalam Bhikkhu Ashin mencetuskan bahwa Tuhan dalam
agama Buddha dinamakan Sang Hyang Adi Buddha. Apa maknanya? "Adi
Buddha" adalah Buddha yang pertama, jadi mengacu pada sosok Buddha purba
di awal zaman. "Hyang” bisa diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Lord".
Dalam Alkitab, kata "Lord" ini diterjemahkan sebagai "Tuhan".
Bhikkhu Ashin mengambil Adi Buddha bukan dari kitab suci Tripiṭaka, melainkan
dari kitab kuno beraksara Jawa yang berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.
Justru karena diambil dari pustaka selain Tripiṭaka, maka
usulan ini sempat diprotes, terutama oleh pemuka agama dari Sekte Theravada dan
Nichiren.
Untuk memperkuat argumentasinya seorang pengikut Bhikkhu Ashin yang bernama
Dhammaviriya pada tahun 1965 menerbitkan artikel, yang berjudul The God in
Buddhism. Dalam konteks sosiopolitik yang antikomunis pada masa itu,
pendekatan Bhikkhu Ashin yang bersifat pragmatis ini, penulis nilai cukup
beralasan. Lewat sektenya, Buddhayana, Beliau berhasil membebaskan umat Buddha
dari stigma negatif, atau setidaknya tidak dianggap sebagai simpatisan PKI yang
tidak ber-Tuhan. Namun bukan berarti penulis menyetujui langkah-langkah Bhikkhu
Ashin dalam kiprahnya sebagai pemimpin Sekte Buddhayana, atau sebagai pimpinan
Sangha Agung Indonesia.
Penulis beralasan bahwa umat Buddha Indonesia mesti memiliki sebutan untuk
Tuhan Yang Maha Esa dalam bahasa Pāli atau Sanskerta. Terserah mau disebut
sebagai Sang Hyang Adi Buddha atau pun dengan sebutan lainnya. Kita ambil
contoh saat pejabat penting berpidato di depan hadirin, berikut ini: "Assalamu’alaikum
Wr. Wb.; Shalom; Om Swastiastu; Namo Buddhaya; Salam Kebajikan." Meskipun
belakangan ini dikritik oleh sementara kalangan Buddhis bahwa ucapan "Namo
Buddhaya" tidak tepat untuk disampaikan di antara umat awam Buddhis, namun
mayoritas orang Indonesia sekarang tahu bahwa salam keagamaan dalam agama
Buddha adalah "Namo Buddhaya". Meskipun mereka tidak mengerti apa
makna dibalik salam tersebut. Seperti juga masyarakat Indonesia mengetahui
bahwa Tuhan dalam agama Hindu dinamakan "Sang Hyang Widhi Wasa".
Jelas saudara-saudara kita umat Hindu Bali tentu lebih guyub, karena mereka
disatukan sebagai penganut agama dan suku yang memiliki adat istiadat yang unik
di Bumi Nusantara ini. Lain halnya dengan umat Buddha yang sangat plural dan
tidak bisa bermusyawarah secara terbuka. Mau kembali memakai sebutan "Adi
Buddha"? Jelas tidak mungkin, karena para pemimpin sekte berkonflik
mempertahankan pendapatnya masing-masing. Kenangan pahit tentang tidak bisa
bersatunya umat Buddha masih dirasakan hingga zaman kecerdasan-buatan ini.
Padahal jika umat Buddha mau bersatu menyepakati nama Tuhan dalam agama Buddha,
tentu para pendidik dan dharmaduta tidak lagi kesulitan untuk menyosialisasikan
sebutan Tuhan khas Buddhis itu agar dikenal oleh masyarakat, seperti khalayak
tahu bahwa jika mereka bertemu dengan umat Buddha mereka bisa menyapanya dengan
sebutan: "Namo Buddhaya!".
sdjn/dharmaprimapustaka/240222