Jumat, 23 Februari 2024

KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA


 

Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha sering menimbulkan ruang kontroversi dan perdebatan yang berkepanjangan. Hal ini berlangsung sepanjang sejarah kebangkitan kepercayaan ini di Indonesia. Seperti yang pernah kita bahas dalam artikel penulis yang sebelumnya, Buddhisme sebagai agama menganut doktrin nonteis. Mengapa penulis mengaitkan monoteisme, politeisme, dan nonteisme sewaktu kita membicarakan agama Buddha?

 

Jika kita berbicara Buddhisme sebagai satu agama, seperti yang terjadi di negara-negara Buddhis seperti Thailand, Myanmar, atau Sri Lanka, tentu tidak pernah terjadi kontroversi maupun perdebatan. Penduduk di sana tidak pernah mengaitkan kepercayaan mereka dengan paham teisme atau nonteisme, karena Buddhisme sudah dianggap sebagai agama, pandangan hidup, maupun filsafat kehidupan mereka selama berabad-abad. Demikian juga yang terjadi dengan agama Buddha di negara seperti Taiwan dan Jepang, Buddhisme telah diterima oleh masyarakat di sana.

 

Tetapi di Indonesia yang menganut ideologi Pancasila, pengakuan keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan menjadi sesuatu yang wajib ditaati oleh setiap warga negara, seperti yang akan penulis kemukakan berikut ini. Sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Nah, apakah Anda para pembaca memahami makna sila pertama Pancasila ini? Sebelumnya, kita perlu tahu dulu, apa itu makna kata 'maha' dan 'esa' dalam sila pertama Pancasila. Kata 'maha' berasal dari bahasa Sanskerta dan juga bahasa Pāli. Makna kata 'maha' itu mulia atau besar. Sedang kata 'esa' merupakan kata asli bahasa Indonesia, yang bermakna “satu” atau “tunggal” atau “tidak bersekutu”. Dengan demikian ‘maha esa’ berarti hanya satu yang besar dan mulia.

 

Soekarno pada 1 Juni 1945 membawakan pidato di hadapan peserta sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Saat menyampaikan prinsip ke-5 yakni Ketuhanan, Soekarno mengatakan: "Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri." Perspektif pertama yang merupakan relasi vertikal, pernyataan Soekarno tersebut jelas menunjukkan bangsa Indonesia yang akan memerdekakan diri adalah bangsa yang ber-Tuhan. Pada satu sisi Indonesia bukan sebuah bangsa yang sekular, suatu bangsa yang mengambil jarak dengan Tuhan. Namun pada sisi lain, Indonesia merdeka itu juga bukan sebuah negara yang dibangun di atas dasar agama. Indonesia bukan negara agama. Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan.

 

Dengan penjelasan Soekarno ini jelas bahwa negara menuntut setiap warga negaranya untuk mengakui keberadaan Tuhan. Tentu saja sesuai hak azasi manusia, Anda bebas boleh tidak percaya adanya Tuhan. Anda bebas menjadi seorang ateis atau seorang agnostik. Yang tidak boleh dilakukan di negara Pancasila ini adalah menyebarkan ajaran ateisme kepada masyarakat umum. Kemudian yang menarik dari penjelasan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, negara menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk memeluk agama atau kepercayaan yang diyakininya. Bukan saja terbatas kepada lima agama yang kelak diakui oleh Pemerintah, tetapi juga agama-agama yang dianut oleh warga dunia. Kita sudah membahas dalam artikel yang lalu, bahwa Pemerintah Kolonial hanya mengakui tiga agama di Hindia Belanda, yakni: Islam, Katolik Roma, dan Protestan.


Lalu, perpektif kedua adalah relasi horizontal, relasi antara sesama warga negara. Soekarno mengatakan: "Masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia menjadi negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa."

 

Dari pernyataan Soekarno sebelum Indonesia merdeka, kita dapat menyimpulkan bahwa Beliau tidak paham ajaran Buddha. Namun demikian Soekarno yakin bahwa agama Buddha mengajarkan ajaran Ketuhanan. Sampai Soekarno mengakhiri jabatannya sebagai Presiden pertama Republik ini, tidak ada orang yang mempersoalkan Ketuhanan di dalam agama Buddha. Situasi akan berubah setelah Soeharto menjadi Kepala Pemerintahan, yang akan kita tinjau nanti.

 

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini dengan mudah diterima oleh politisi-politisi Islam dan Nasrani, walaupun kalangan ulama menginginkan frasa tambahan berupa: "dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya". Ketuhanan Yang Maha Esa dimaksudkan pada Tuhan monoteistik dan Tuhan sebagai pribadi. Tentu saja ini kepercayaan umum yang dianut oleh sebagian besar penduduk, karena umat di luar Islam dan Nasrani hanya sedikit populasinya di Indonesia ini. Konsep Tuhan yang Esa adalah Tuhan yang transenden, Tuhan yang berpribadi, Tuhan yang maha kuasa, begitu seterusnya, yang dianut oleh masyarakat Indonesia hingga hari ini.

 

Sedangkan jika kita meninjau ajaran Buddhisme awal, kita diajarkan doktrin "Tiga Corak Umum" atau "Tiga Tanda Eksistensi". Rumusannya mungkin telah Anda kenal: Sabbe saṅkhārā aniccā, Sabbe saṅkhārā dukkhā, Sabbe dhammā anattā. Yang dimaksud dengan saṅkhārā adalah sesuatu yang bersyarat, contohnya makhluk hidup; sedangkan dhammā adalah sesuatu yang bersyarat dan tak-bersyarat. Sabbe berarti semua. Jadi terjemahan indonesianya adalah “Semua yang bersyarat adalah tidak kekal, semua yang bersyarat adalah tidak memuaskan, segala sesuatu adalah tanpa-diri.” Jika doktrin ini benar, lalu bagaimana mungkin ada sosok yang berpribadi dan kekal?

 

Jika Tuhan Yang Maha Esa disamakan dengan Yang Mutlak, mari kita periksa kutipan berikut ini: "Atthi, bhikkhave, ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ. No cetaṁ, bhikkhave, abhavissa ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, nayidha jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyetha. Yasmā ca kho, bhikkhave, atthi ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, tasmā jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyatī."

 

Artinya: "Para bhikkhu, ada Yang-Tidak-Dilahirkan, Tidak-Menjelma, Tidak-Tercipta, Yang Mutlak. Para bhikkhu, bila tidak ada Yang-Tidak-Dilahirkan, Tidak-Menjelma, Tidak-Tercipta, Yang Mutlak, maka tak ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi, para bhikkhu, karena ada Yang-Tidak-Dilahirkan, Tidak-Menjelma, Tidak-Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."

(Sutta Pitaka, Udana VIII : 3).

 

Menurut Corneles Wowor Alm., Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha tidak lain "Atthi Ajātaṁ Abhūtaṁ Akataṁ Asaṅkhataṁ", yang artinya "Sesuatu Yang-Tidak-Dilahirkan, Yang-Tidak-Dijelmakan, Yang Tidak-Diciptakan, dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa-aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan, dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asaṅkhataṁ) maka manusia yang berkondisi (saṅkhataṁ) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan ini (saṃsāra). Sayang pak Wowor sudah tiada. Jika beliau masih hidup kita bisa menanyakan, apakah konsep Ketuhanan Yang Maha Esa sama dengan nibbāna atau nirvāṇa?

 

Sekarang kita coba mendekati konsep yang mungkin mendekati dengan konsep Ketuhanan yang kita kenal selama ini. Jika ditanya kepada umat Buddha, siapa makhluk paling agung di alam semesta ini? Jawabannya jelas, dia adalah Sang Tathāgata, Sammā-Sambuddha di zaman kita. Kemunculan seorang Sammā-Sambuddha tidak hanya terjadi sekarang ini, tetapi juga telah berlangsung jauh di masa yang lampau. "Telah lewat sembilan puluh satu zaman yang lalu, wahai para bhikkhu, ketika Yang Terberkahi Vipassī, yang telah mencapai dan tercerahkan sempurna, muncul di dunia ini. Kemudian tiga puluh satu zaman sesudahnya Yang Terberkahi Sikhī, yang telah mencapai dan tercerahkan sempurna, muncul di dunia ini. … Pada zaman yang menguntungkan ini pula Yang Terberkahi Kassapa, yang telah mencapai dan tercerahkan sempurna, muncul di dunia ini. Pada zaman yang menguntungkan ini pula aku sekarang, yang telah mencapai dan tercerahkan sempurna, muncul di dunia ini." (Dīgha Nikāya 14). Pernyataan ini bisa diperluas, bahwa di zaman yang akan datang, Yang Terberkahi Metteyya, yang telah mencapai dan tercerahkan sempurna, akan muncul di dunia ini.

 

Walaupun kemunculan seorang Sammā-Sambuddha itu amat jarang terjadi, tetapi pola seperti ini selalu berulang. Jadi kita sekarang akan masuk ke doktrin Doktrin Trikāya (Sanskerta: त्रिकाय), atau dalam bahasa Mandarin disebut 三身 (Sān Shēn), harfiah: "Tiga Tubuh"; yang merupakan doktrin fundamental dalam Buddhisme Mahāyāna dan Vajrayāna. yang menggambarkan sifat multidimensional keberadaan seorang Buddha. Konsep ini menyebutkan bahwa seorang Buddha memiliki tiga tubuh atau tiga aspek yang berbeda, yang mana masing-masing mewakili aspek pencerahan yang berbeda pula.

 

Tubuh yang pertama, Nirmāṇakāya, disebut sebagai Tubuh Transformasi. Ini melambangkan penampakan fisik seorang Buddha di dunia. Buddha historis seperti Buddha Gautama, Buddha Kassapa, dan Buddha Metteyya adalah perwujudan Nirmanakāya, yang memungkinkan dia berinteraksi dan membimbing makhluk hidup dalam perjalanan menuju pencerahan. Perwujudan duniawi ini berfungsi sebagai jembatan antara yang ilahi dan yang manusia, membuat ajaran dan kasih sayang seorang Buddha dapat diakses oleh mereka yang mencari bimbingan dan kebijaksanaan.

 

Tubuh yang kedua, yang dikenal sebagai Saṃbhogakāya, adalah Tubuh Kenikmatan. Aspek ini mewakili para Buddha dewata di alam dewa dan dikaitkan dengan aspek Kebuddhaan yang membahagiakan dan bermanfaat. Hal ini dianggap sebagai manifestasi yang muncul sebagai akibat dari pemenuhan sumpah dan komitmen dalam perjalanan spiritual seorang bodhisattva. Sambhogakāya mewujudkan gagasan memetik manfaat dari latihan spiritual dan berdiam dalam kondisi realisasi yang luhur.

 

Tubuh yang ketiga adalah Dharmakāya, atau dalam bahasa Mandarin dinamakan 法身 (Fǎ Shēn), sering disebut sebagai Tubuh Dharma atau realitas tertinggi. Ini mewujudkan esensi pencerahan itu sendiri, yang mencakup konsep-konsep seperti kekosongan, sifat Buddha, dan keberadaan murni di luar bentuk material dan spiritual.

 

Tadi dikatakan bahwa ajaran Trikāya ini hanya dikenal dalam mazhab Buddhisme Mahāyāna dan Vajrayāna, dan pada mazhab Theravāda ajaran ini tidak ada. Namun dalam Kanon Pāli, Buddha Gautama memberi tahu Vasettha bahwa Tathāgata (Sang Buddha) adalah Dhammakaya, yakni "tubuh kebenaran" atau "perwujudan kebenaran", serta Dharmabhuta, "menjadi kebenaran". "Dia yang keyakinannya kepada Sang Tathāgata telah kokoh, berakar, mapan, teguh, tidak tergoyahkan oleh petapa atau brahmana mana pun, Dewa atau Māra atau Brahmā mana pun atau siapa pun di dunia, yang dapat dengan sesungguhnya mengatakan: 'Aku adalah putera sejati Sang Bhagawan, lahir dari mulutNya, lahir dari Sang Dhamma, diciptakan oleh Sang Dhamma, pewaris Sang Dhamma.' Mengapa demikian? Karena, Vasettha, ini menunjuk kepada Sang Tathāgata: 'Tubuh Dhamma,' yaitu, 'Badan Brahma,' atau 'Menjadi Dhamma'. (lihat: Walshe, Maurice (penerjemah), The Long Discourses of the Buddha, Wisdom Publications, Boston,1995, hal. 409)

 

Penulis ingin menambahkan bahwa dalam keyakinan Brahmanisme atau Hinduisme, Sang Buddha adalah salah satu Avatāra Vishnu. Beliau dikenal sebagai Avatāra yang kesembilan (dari 10, yang pernah lahir di dunia ini). Avatāra, harfiah berarti 'keturunan', menandakan penampakan material atau inkarnasi dari Vishnu. Siapa itu Vishnu? Dia boleh dikatakan sebagai makhluk tertinggi dalam Vaishnavisme, salah satu tradisi utama dalam agama Hindu kontemporer.

 

Sebagai kesimpulan kita sampai pada doktrin bahwa Dharmakāya adalah realitas tertinggi, yang dapat dianalogikan sebagai Ketuhanan itu sendiri. Para pembaca yang kritis, yang ingin lebih mendalami subyek ini, bisa mencarinya sendiri. Sebagai acuan, penulis menyarankan sebuah jurnal ilmiah yang berjudul: On Dharmakāya as Ultimate Reality: Prolegomenon for a Buddhist-Christian Dialogue, yang ditulis oleh Ruben L. F. Habito. (1985). Pembaca yang berminat bisa mencarinya sendiri di internet.

 

Di bagian akhir tulisan ini penulis ingin membahas secara singkat tentang kontroversi dan perdebatan tentang konsep Ketuhanan di kalangan sekte-sekte agama Buddha di Indonesia. Jujur, sesungguhnya penulis menghindari untuk memuat tulisan yang membuat ruang opini pribadi semacam ini. Demi netralitas artikel ini, penulis merujuk pada beberapa sumber di internet. Salah satu yang bisa dijadikan rujukan adalah tulisan Bapak Abdul Syukur, yang dimuat oleh HTS Journal pada tanggal 24 Januari 2022. Pembaca yang ingin membacanya lebih detil bisa mendapatkannya di mesin pencari, dengan kata kunci: "HTS Theological Studies, Vol 78, No. 4 (2022)". Judul makalah itu sendiri adalah Theological Debate Among Buddhist Sects in Indonesia.

 

Di atas telah dikatakan bahwa sampai Soekarno mengakhiri jabatannya sebagai Presiden pertama Republik ini, tidak ada orang yang mempersoalkan Ketuhanan di dalam agama Buddha. Namun situasi berubah seratus delapan puluh derajat pada tahun 1965 setelah Pemberontakan PKI pada tanggal 30 September. Kudeta yang dilancarkan oleh pihak Komunis menimbulkan perang saudara dan memakan banyak korban jiwa, antara akhir tahun 1965 hingga 1966. Pada saat itu sang penguasa rezim Orde Baru memberikan stigma negatif kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Di antara jargon ketidaksukaan rezim baru yang cukup ampuh, adalah tuduhan bahwa Komunis itu anti agama dan anti perikemanusiaan. Jadi jelas PKI itu tidak beragama dan tidak ber-Tuhan. Situasi semakin tidak menguntungkan bagi etnis Tionghoa yang sebagian besar memeluk Agama Buddha dan Agama Konghucu. Apalagi setelah Soeharto – pengganti Soekarno – menerbitkan aturan yang melarang diadakannya pertunjukan agama dan adat istiadat yang bercorak Cina di muka umum. Puncaknya pada tahun 1979 Pemerintah Orde Baru tidak lagi mengakui Konghucu sebagai agama.

 

Seiring dengan kebijakan tersebut Pemerintah semakin mengetatkan persyaratan agama yang diakui di Indonesia. Disebutkan bahwa semua agama yang sah dipeluk oleh rakyat Indonesia adalah yang: (1) mengakui Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana disebutkan dalam sila pertama Pancasila, (2) memiliki sosok nabi yang menjadi utusan Tuhan, dan (3) memiliki kitab suci yang diakui oleh umat beragama tersebut. Bagi umat Buddha tentu saja tidak ada masalah untuk butir 2 dan 3 di atas. Seluruh sekte agama Buddha di Indonesia yang ada pada waktu itu mengakui Buddha Gautama adalah Nabi dalam Agama Buddha, dan kitab sucinya Tipiṭaka atau Tripiṭaka.

 

Tentang butir 1 di atas umat Buddha boleh dikatakan mendapatkan kesulitan. Jika dalam agama lain, terutama agama Samawi, kata "Tuhan" selalu muncul dalam kitab suci mereka, karena Tuhan adalah obyek utama yang dipuja. Sedangkan untuk menjelaskan Tuhan sebagai "Yang Mutlak" atau "Tuhan”, hanya terdapat satu-satunya ayat dalam Udana VIII.3 di atas. Dalam Kanon Pāli yang tebal itu pun tidak ditemukan ayat-ayat yang menggambarkan sosok Tuhan itu. Absennya konsep Tuhan dalam agama Buddha membuat sebagian orang beranggapan bahwa agama Buddha tidak mengakui Tuhan atau Ketuhanan, seperti Horner (1989). Di sisi lain Conze (1975), menyatakan bahwa meskipun agama Buddha tidak mengenal Tuhan sebagai pribadi, namun yang dikenal dalam doktrin Buddhis adalah Ketuhanan itu sendiri; sehingga dengan demikian agama Buddha masih dapat digolongkan dalam kategori agama. Memang kenyataannya, sewaktu Buddha Sakyamuni masih hidup, Beliau sendiri lebih memilih diam ketika ditanya tentang permasalahan tersebut.

 

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, hal pertama dan terpenting yang harus dimiliki oleh seluruh warga negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Menghadapi hal yang mendesak itu para pimpinan sekte agama Buddha mencoba merumuskan konsep Tuhan dalam agama Buddha, dan Tuhan itu mau diberi nama apa. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, terlahir The Boan An (23-Jan-1923 – 18-Apr-2002). Beliau dikenal dengan nama panggilan "Su Kong". Setelah melakukan pengkajian yang mendalam Bhikkhu Ashin mencetuskan bahwa Tuhan dalam agama Buddha dinamakan Sang Hyang Adi Buddha. Apa maknanya? "Adi Buddha" adalah Buddha yang pertama, jadi mengacu pada sosok Buddha purba di awal zaman. "Hyang” bisa diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Lord". Dalam Alkitab, kata "Lord" ini diterjemahkan sebagai "Tuhan". Bhikkhu Ashin mengambil Adi Buddha bukan dari kitab suci Tripiṭaka, melainkan dari kitab kuno beraksara Jawa yang berjudul Sang Hyang Kamahayanikan. Justru karena diambil dari pustaka selain Tripiṭaka, maka usulan ini sempat diprotes, terutama oleh pemuka agama dari Sekte Theravada dan Nichiren.

 

Untuk memperkuat argumentasinya seorang pengikut Bhikkhu Ashin yang bernama Dhammaviriya pada tahun 1965 menerbitkan artikel, yang berjudul The God in Buddhism. Dalam konteks sosiopolitik yang antikomunis pada masa itu, pendekatan Bhikkhu Ashin yang bersifat pragmatis ini, penulis nilai cukup beralasan. Lewat sektenya, Buddhayana, Beliau berhasil membebaskan umat Buddha dari stigma negatif, atau setidaknya tidak dianggap sebagai simpatisan PKI yang tidak ber-Tuhan. Namun bukan berarti penulis menyetujui langkah-langkah Bhikkhu Ashin dalam kiprahnya sebagai pemimpin Sekte Buddhayana, atau sebagai pimpinan Sangha Agung Indonesia.

 

Penulis beralasan bahwa umat Buddha Indonesia mesti memiliki sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam bahasa Pāli atau Sanskerta. Terserah mau disebut sebagai Sang Hyang Adi Buddha atau pun dengan sebutan lainnya. Kita ambil contoh saat pejabat penting berpidato di depan hadirin, berikut ini: "Assalamu’alaikum Wr. Wb.; Shalom; Om Swastiastu; Namo Buddhaya; Salam Kebajikan." Meskipun belakangan ini dikritik oleh sementara kalangan Buddhis bahwa ucapan "Namo Buddhaya" tidak tepat untuk disampaikan di antara umat awam Buddhis, namun mayoritas orang Indonesia sekarang tahu bahwa salam keagamaan dalam agama Buddha adalah "Namo Buddhaya". Meskipun mereka tidak mengerti apa makna dibalik salam tersebut. Seperti juga masyarakat Indonesia mengetahui bahwa Tuhan dalam agama Hindu dinamakan "Sang Hyang Widhi Wasa". Jelas saudara-saudara kita umat Hindu Bali tentu lebih guyub, karena mereka disatukan sebagai penganut agama dan suku yang memiliki adat istiadat yang unik di Bumi Nusantara ini. Lain halnya dengan umat Buddha yang sangat plural dan tidak bisa bermusyawarah secara terbuka. Mau kembali memakai sebutan "Adi Buddha"? Jelas tidak mungkin, karena para pemimpin sekte berkonflik mempertahankan pendapatnya masing-masing. Kenangan pahit tentang tidak bisa bersatunya umat Buddha masih dirasakan hingga zaman kecerdasan-buatan ini. Padahal jika umat Buddha mau bersatu menyepakati nama Tuhan dalam agama Buddha, tentu para pendidik dan dharmaduta tidak lagi kesulitan untuk menyosialisasikan sebutan Tuhan khas Buddhis itu agar dikenal oleh masyarakat, seperti khalayak tahu bahwa jika mereka bertemu dengan umat Buddha mereka bisa menyapanya dengan sebutan: "Namo Buddhaya!".

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240222

 


Kamis, 08 Februari 2024

MONOTEISME DAN POLITEISME



Judul di atas, Monoteisme dan Politeisme, bukanlah istilah asing bagi para pembaca sekalian. Kita semua sudah diajarkan di bangku sekolah dulu, bahwa Monoteisme tidak lain keyakinan atau kepercayaan yang mengakui adanya satu dan hanya satu tuhan atau dewa. Sedangkan Politeisme merupakan paham yang mengakui banyak tuhan atau banyak dewa. Kata “monoteisme” dan “politeisme” memiliki akar-kata yang sama, yang berasal dari kata Yunani: “theo”. “Theo” bermakna “tuhan”, dan akhiran -isme digunakan pada kata benda, yang mengacu pada doktrin atau kepercayaan tertentu. Perbedaannya terletak pada imbuhan-depannya: mono berarti “satu”, sedangkan poli berarti “banyak”.

 

Monoteisme maupun Politeisme bukan hanya paham atau ajaran belaka, tetapi juga dianut oleh orang yang meyakininya: dan jika hal ini yang terjadi, dikatakan bahwa orang tersebut beragama. Namun kedua istilah itu bebas digunakan oleh siapa pun juga. Misalnya, seseorang yang tidak menganut agama tertentu, tetapi meyakini adanya satu tuhan dapat dikatakan dia menganut doktrin monoteisme. Selanjutnya kata “tuhan” sering kali dituliskan dengan huruf kapital, yakni sebagai “Tuhan”, terutama dalam konteks agama monoteistik.

 

Agama monoteistik yang paling kita kenal adalah Agama Samawi atau Agama Wahyu. Agama Samawi bermula dari Agama Yahudi, kemudian Agama Nasrani atau Agama Kristen, dan terakhir Agama Islam. Berdasarkan keyakinan yang ditulis oleh Kitab Suci, Nabi Ibrahim merupakan founding father atau tokoh utama yang berjasa melahirkan agama-agama ini. Secara hipotetis dipercaya bahwa penganut tiga agama ini menyembah Tuhan yang sama. Inilah yang dinamakan sebagai Teori Satu Tuhan.

 

Tuhan dalam kepercayaan monoteistik dipahami sebagai pencipta alam semesta, termasuk umat manusia. Tuhan tidak hanya menciptakan alam dan tatanan yang ada di dalamnya, namun juga tatanan etis yang harus dipatuhi oleh umat manusia. Semuanya ada di tangan Tuhan. Tuhan itu kudus atau sakral, yang tertinggi di atas segalanya, dan unik dalam keberadaannya. Tuhan monoteisme, seperti yang dicontohkan oleh tiga agama besar itu, adalah Tuhan yang berpribadi. Dalam hal ini, ketuhanan monoteisme yang satu dilawankan dengan konsepsi dalam beberapa agama bukan-monoteistik, tentang keilahian impersonal atau kesatuan ketuhanan yang melingkupi seluruh dunia.

 

Agama Yahudi atau Judaisme dan Islam keduanya merupakan contoh monoteisme yang terkenal. Sedangkan orang Kristen percaya pada tiga bagian ketuhanan yang dikenal sebagai “Trinitas”. Trinitas ini meliputi Tuhan, Jesus, dan Roh Kudus. Mereka percaya bahwa Tuhan mengutus putera satu-satunya, Jesus, untuk turun ke dunia ini. Roh Kudus adalah tanda keberadaan Tuhan, serta dapat dirasakan kehadirannya oleh orang Kristen. Walaupun tampaknya doktrin Trinitas ini mirip dengan paham Politeisme, namun para penganut Kristiani percaya bahwa ini adalah perwujudan dari Tuhan yang satu. Jadi mereka berargumen bahwa mereka pun menyembah Tuhan yang sama.

 

Politeisme mencakup agama-agama yang menyembah beberapa atau banyak tuhan atau dewa. Contoh politeisme antara lain Hinduisme, agama Yunani Kuno, agama rakyat Afrika, dan agama rakyat Asia Timur. Penulis memberi contoh Hinduisme, yang mungkin telah dipahami oleh para pembaca sekalian. Dewa utama yang sering dijadikan obyek pemujaan adalah Brahma. Brahma adalah Sang Dewa Pencipta, yang bertugas menjadikan dunia ini dan segala makhluk hidup yang ada di sana. Dia digambarkan memiliki empat kepala dengan wajah keemasan, mempunyai janggut dan empat lengan. Empat kepala mewakili empat Veda, kitab suci agama Hindu. Selanjutnya ada Vishnu yang bertanggung jawab melindungi alam semesta ini. Dia kembali mengunjungi bumi ketika terjadi masalah, guna menegakkan kembali keseimbangan dan perdamaian. Dia digambarkan sebagai sesosok manusia dengan kulit biru dan empat lengan. Terakhir ada Shiva sebagai Sang Dewa Penghancur, yang membawa pada siklus kelahiran kembali pada bumi ini. Dia dilukiskan sebagai pria yang penuh gairah, dengan wajah biru, memiliki mata ketiga, serta ada seekor ular kobra yang melilit di lehernya.

 

Dari penjelasan singkat di atas dapat kita lihat perbedaan pertama antara paham monoteisme dengan ajaran politeisme. Dalam agama-agama Abrahamik atau Agama Wahyu, ada sosok Tuhan yang begitu berkuasa dan digdaya, yang bertanggung jawab mengatur segala sesuatu. Tuhan ini berkuasa di semua lapangan, bertugas menciptakan segala sesuatu, memelihara, dan melakukan pemusnahan dan regenerasi pada alam semesta. Sebagai contohnya, dalam agama Kristen, Tuhan menciptakan bumi, dan Dia bertugas menghakimi orang-orang yang sudah mati; serta memutuskan apakah mereka akan dikirim ke surga atau neraka. Dalam agama-agama politeistik, banyak dewa yang memiliki wilayah tertentu yang mereka kuasai dan peran khusus yang mereka jalani. Dalam Hinduisme, Brahma berperan dalam menciptakan alam semesta, Vishnu merawatnya, dan Shiva bertugas melakukan penghancuran dan regenerasi.

 

Selanjutnya dalam Monoteisme, Tuhan dipandang sebagai otoritas tertinggi, yang membimbing perilaku manusia dan menetapkan standar moralitas. Sistem kepercayaan ini sering kali menekankan pentingnya para penganutnya mematuhi serangkaian aturan dan prinsip tertentu, karena menyimpang dari aturan dan prinsip tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Sebaliknya, Politeisme memiliki perspektif yang lebih beragam tentang ketuhanan. Di sini, para dewa dan dewi dipandang sebagai makhluk yang memiliki banyak segi, yang mana masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri. Hal ini memungkinkan adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai sifat ketuhanan dan sifat manusia, karena ketidaksempurnaan tidak hanya diterima begitu saja, tetapi juga diterima sebagai bagian dari tatanan alam.

 

Sebuah agama hanya bisa dikategorikan atau digolongkan sebagai monoteistik atau politeistik. Tidak bisa agama itu mencakup kedua-duanya. Dalam pandangan monoteistik seseorang penganut diwajibkan hanya mengakui satu tuhan saja. Jika dia beriman kepada banyak tuhan, maka dia dikatakan musyrik. Demikian tegas dan ketatnya aturan yang ditetapkan oleh kepercayaan monoteistik ini. Jika ada orang yang menyembah tuhan yang lain, maka dikatakan bahwa yang dia puja adalah berhala.

 

Dalam agama monoteistik, sistem kepercayaan, sistem nilai, dan sistem tindakan ketiganya ditentukan secara signifikan oleh konsepsi tentang Tuhan, sebagai satu wujud yang berpribadi dan unik. Jika diaplikasikan secara negatif, keyakinan monoteistik menghasilkan penolakan terhadap semua sistem kepercayaan lain, dan agama-agama di luar itu dianggap sebagai agama yang “palsu” atau “sesat”. Penolakan ini bisa menjelaskan sikap agama-agama monoteistik yang sangat agresif dan tidak toleran dalam masa-masa tertentu dalam sejarah dunia. Konsepsi bahwa semua agama di luar kepercayaan yang diyakininya adalah keliru, dan mereka memandang orang asing sebagai “penyembahan berhala”. Sering kali pandangan itu menjadi pembenaran atas segala tindakan destruktif dan fanatik, yang didasarkan pada kepercayaannya, yang dianggap sebagai satu-satunya agama yang benar.

 

Di antara paham monoteisme dan politeisme, mungkin kita perlu mengenal paham henoteisme. Henoteisme adalah suatu ajaran yang mengatakan bahwa hanya ada satu tuhan atau dewa yang berkuasa di dunia, tanpa memungkiri akan keberadaan dewa-dewa lainnya. Banyak ahli yang mempelajari sejarah agama-agama di dunia yang menyebutkan bahwa, henoteisme berkembang menjadi sebuah tahap keagamaan, seiring berubahnya agama politeisme ke agama monoteisme. Tahap keagamaan tersebut adalah tahap transisi perubahan keyakinan, dari semula ada banyak dewa yang berkuasa (politeisme), sampai menuju pada kepercayaan bahwa hanya ada satu dewa berkuasa (monoteisme). Henoteisme memiliki sinonim, yakni monolatrisme.

 

Ada beberapa kata terkait yang digunakan dalam konteks keyakinan beragama. Kata teisme mengacu pada keyakinan atau kepercayaan,bahwa ada tuhan atau dewa tertentu. Sebaliknya ateisme adalah keyakinan bahwa tidak ada sosok tuhan di alam semesta ini. Awalan “a-“ berarti “tidak” atau “tanpa”. Selain ateisme, dikenal pula paham lain yang dinamakan agnostisisme. Gagasannya bisa dijabarkan sebagai berikut: Dengan cara apa pun jua, tidak bisa dibuktikan bahwa tuhan itu ada. Namun sebaliknya tiadanya tuhan juga tidak bisa dibuktikan. Jadi mereka yang menganut paham agnostik berpendapat bahwa tidak relevan membahas tuhan. Jadi orang agnostik tidak mau mempersoalkan tuhan itu ada atau tidak.

 

Selanjutnya kita bahas satu istilah lagi, yaitu panteisme. Panteisme adalah keyakinan bahwa alam semesta merupakan manifestasi dari tuhan. Bisa juga diartikan bahwa segala sesuatu merupakan tuhan, dewa, atau dewi imanen yang mencakup segalanya. Lawan dari imanen adalah transenden. Panteisme berkeyakinan bahwa tuhan bukanlah pribadi. Segala sesuatu merupakan kekuatan tuhan yang impersonal. Panteisme ini merupakan paham yang sudah tua, namun menganut keyakinan yang berlawanan dengan monoteisme. Monoteisme menekankan bahwa tuhan adalah pribadi dan dia tunggal, sedangkan panteisme menganggap tuhan itu bukan-pribadi dan ada di mana pun juga. Contoh tuhan yang bukan-pribadi bisa kita dapatkan dalam ajaran Upanishad, yang merupakan bagian dari kepustakaan Veda dalam agama Hindu. Tat twam asi, yang berasal dari bahasa Sanskerta. Artinya “Itu adalah engkau”, dengan “itu” mengacu pada realitas atau prinsip tunggal yang tertinggi. Jadi sang diri – dalam keadaan asli, murni, dan tulen – itu identik atau merupakan bagian dari kebenaran sejati, yang merupakan dasar atau asal-mula dari segala fenomena yang ada di dunia ini.

 

Contoh politeisme yang berasal dari zaman purba adalah animisme. Animisme berasal dari bahasa Latin yaitu anima atau animae, yang berarti pernapasan atau roh. Pengembangan konsep dari animisme ialah adanya jiwa atau roh pada tiap-tiap benda hidup maupun benda mati. Atas dasar keyakinan ini penganut animisme memuliakan benda-benda. Tujuan pemuliaan ini agar benda-benda tersebut tidak memberikan gangguan kepada manusia, melainkan memberikan keberuntungan. Dalam animisme, tiap benda diyakini mampu memberikan manfaat dan pertolongan.

 

Dalam sejumlah kebudayaan, pohon dipandang sebagai bentuk tumbuhan primordial dan memiliki hubungan simbolis dengan langit dan bumi. Bahkan terkadang pohon didiami oleh roh atau yaksha, seperti yang terjadi dalam tradisi India. Jenis pohon tertentu, seperti ashvattha dan pohon ara suci, dipuja secara khusus. Bahkan pohon beringin di Nusantara begitu dihormati oleh penduduk, karena pohon raksasa itu dipercaya didiami oleh roh penjaga. Namun, di antara dewa-dewa tumbuhan, mungkin yang paling penting adalah dewa-dewa yang berhubungan dengan tanaman budidaya, seperti jagung di Amerika Tengah dan tanaman anggur di kawasan Mediterania. Yang terakhir ini dinyatakan dalam pemujaan terhadap Dionysus, dewa anggur yang gembira, yang menjadi salah satu objek pemujaan paling berpengaruh pada zaman kuno. Pohon anggur itu sendiri melambangkan pertanian dan ekstasi. Dalam tradisi Jawa, padi adalah tanaman sakral, dan diyakini merupakan penjelmaan dari Dewi Sri.

 

Pada tingkat budaya paling awal, ketika pertanian, penggembalaan, dan perburuan merupakan aktivitas komunal yang penting, kepercayaan menunjukkan identifikasi ini dalam ritus-ritus yang berhubungan dengan kesuburan. Vitalitas matahari terlihat dalam efek siklus yang menyebabkan benda-benda tumbuh dan layu. Selain itu, karena dominasinya atas dunia, matahari sering dianggap sebagai dewa yang penting. Setelah itu muncullah pendewaan terhadap kekuatan alam yang tidak dipahami oleh manusia purba, seperti hujan, angin, guntur, dan halilintar. Peran para dewa langit dalam menyokong kegiatan bercocok tanam serta menyediakan cahaya dan kehangatan, melawan efek kegelapan yang kacau; merupakan tema dari berbagai mitos atas berlangsungnya drama kosmis, dan merupakan salah satu alasan utama adanya hubungan dalam pemikiran mitis antara penciptaan dan cahaya. Kepercayaan Zaman Veda mengakui bahwa Surya, dewa matahari, adalah makhluk surgawi. Indra yang diasosiasikan dengan badai, hujan, dan pertempuran (atau perang) bersifat atmosferik. Sedangkan Agni, dewa api, beroperasi terutama di tingkat duniawi.

 

Dewa langit menjadi sangat kuat ketika mereka mengambil wujud atmosfer. Keterhubungan dewa seperti Indra dengan badai, serta hujan yang membawa kesuburan, menjadikan hubungan mereka dengan peperangan cukup alami. Dengan demikian Indra adalah contoh bagaimana masyarakat Zaman Veda menempatkannya sebagai dewa perang. Dewa-dewa tertentu yang tidak terlalu penting dalam tradisi Veda mendominasi Brahmanisme atau agama Hindu Klasik, terutama Siwa dan Wisnu. Yang terakhir ini dikaitkan dengan kepercayaan pada avatar atau inkarnasi. Kebanyakan dewa (berjenis kelamin laki-laki) memiliki pendamping perempuan, seperti yang terjadi pada Siva (laki-laki) dengan Shakti (perempuan). Dalam kurun waktu ribuan tahun muncul banyak aliran dalam agama Hindu Klasik. Apalagi ketika kelompok-kelompok berbeda terserap ke dalam tatanan sosial yang sistematis, dan telah menghasilkan perkiraan adanya 33 juta dewa Hindu. Inilah contoh politeisme dengan jumlah dewa yang amat banyak. Sudah menjadi praktik umum bagi para penyembah untuk memilih bentuk pemujaan terhadap sesosok dewa, dan dewa seperti itu disebut istadevata. Kebanyakan umat Hindu cenderung menafsirkan banyaknya dewa sebagai simbol dari realitas ketuhanan yang satu.

 

Sekarang kita akan meninjau Buddhisme, dan juga termasuk Jainisme; dapatkah digolongkan sebagai ajaran yang monoteistik atau politeistik? Sang Buddha berkata bahwa dewa-dewa itu memang ada, tetapi dalam ajaran Buddhisme Awal, para dewa itu tidak dipuja atau disembah. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa Buddhisme Awal bukanlah agama teistik, atau disebut agama nonteistik. Tetapi Anda para pembaca jangan mengacaukannya sebagai ateistik. Jika ateistik tidak percaya kepada tuhan atau dewa, sedangkan Buddhisme mengakui keberadaan banyak dewa. Nonteistik di sini bermakna keyakinan dan praktik keagamaannya tidak sejalan seratus persen dengan agama teistik pada umumnya, namun sebagiannya sejalan dengan keyakinan dan praktik teistik. Kita akan membicarakan Buddhisme dan Ketuhanan pada artikel yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240208