Cerita kita kali ini bermula di dua dusun brahmana di
India, yang kelak terkenal sebagai tempat kelahiran Upatissa dan Kolita. Kedua
dusun itu letaknya tidak begitu jauh dari kota Rājagaha, yakni kotaraja
Kerajaan Magadha Kuno. Sebelum Buddha yang kita kenal muncul di dunia ini,
seorang wanita brahmana yang bernama Rūpasārī, yang bertempat tinggal di di
sana sekali waktu hamil. Kejadian yang serupa dialami pula oleh wanita brahmana
kedua yang tinggal di desa yang berdekatan. Wanita itu bernama Moggallī, juga
hamil pada hari yang bersamaan. Dua keluarga brahmana ini sesungguhnya telah
lama bersahabat satu sama lainnya, bukan saja terbatas antar dua keluarga,
namun persahabatan mereka telah terjalin selama tujuh generasi. Sejak hari
pertama kehamilan kedua wanita brahmana itu, keluarga besar mereka merawat
dengan penuh ketelatenan kepada kedua calon ibu tadi, hingga sepuluh bulan ke
depan. Setelah genap sepuluh bulan kedua wanita brahmana itu melahirkan
masing-masing seorang bayi lelaki, juga berbarengan pada hari yang sama. Pada
hari pemberian-nama putera Rūpasārī menerima nama Upatissa, mengingat ia adalah
anak lelaki keluarga terpandang di desa itu. Dengan alasan yang sama putera
Moggallī dinamakan Kolita.
Ketika kedua anak lelaki itu bertumbuh-kembang mereka
berdua dididik dengan baik dan menguasai semua ilmu pengetahuan yang tersedia
di zaman itu. Sekali waktu di Rājagaha diadakan satu acara tahunan, yang
dinamakan "Perayaan Puncak Bukit". Bangku-bangku telah dipersiapkan
bagi kedua brahmana muda terpandang itu bersama para pengikut mereka, serta
mereka semua bersiap untuk menyaksikan perayaan itu. Ketika pertunjukan
memancing pemirsa untuk tertawa, mereka semua ikut tertawa; sewaktu permainan
berubah menjadi menegangkan, mereka semua menyaksikannya dengan rasa tegang.
Mereka pun harus membayar untuk pertunjukan ekstra. Dengan cara demikian mereka
menikmati perayaan itu hingga hari kedua. Pada hari ketiga, bagaimana pun,
pikiran-pikiran yang aneh membayangi batin mereka, sebegitu rupa sampai mereka
tidak mampu lagi tertawa atau berbagi sensasi ketegangan atas pertunjukan yang
ditampilkan di panggung. Selagi mereka berdua duduk di sana, sambil menonton
drama dan tari-tarian, hanya dalam hitungan sekejap mata, bayangan hantu
kefanaan-manusia mendadak muncul dalam visi batin mereka. Bayangan siluman
kegelapan itu yang walaupun muncul hanya sekilas, membuat sikap batin mereka
tidak pernah sama lagi seperti hari-hari sebelumnya. Bagi keduanya, suasana
hati yang muram ini secara perlahan-lahan mengkristal menjadi satu pertanyaan
yang mencuat: "Apa gerangan yang kalian cari di sini? Sebelum orang-orang
di sini mencapai usia seratus tahun, mereka semua telah menemui ajalnya.
Bukankah sebaiknya kita mencari ajaran tentang kebebasan dari semua hantu kegelapan
ini?"
Dengan kepala mereka dipenuhi pikiran-pikiran seperti
itu, maka pada hari ketiga mereka berdua hanya duduk dengan tatapan mata kosong
dan nanar pada hingar-bingar perayaan itu. Kolita memaklumi bahwa sahabat
karibnya tampak termenung-menung dan menarik diri. Ia lalu bertanya: "Apa
yang terjadi, wahai sahabatku Upatissa? Hari ini engkau tidak bahagia dan
bersukacita seperti yang biasanya engkau tampilkan di hari-hari kemarin.
Tampaknya sesuatu sedang membayang-bayangimu. Ceritakanlah padaku, apa yang
membebani pikiranmu?" - "Sahabatku Kolita, aku baru saja berpikir bahwa
tidak ada manfaatnya sama sekali bagi kita untuk menikmati pertunjukan yang
hampa dan semu ini. Betapa kita membuang waktu mengikuti perayaan semacam ini,
padahal yang aku butuhkan sekarang tidak lain mencari jalan yang menuju
pembebasan terhadap keseluruhan belenggu rangkaian kelahiran-kembali. Tetapi
wahai, Kolita, agaknya engkau juga tampak tidak bahagia." Kolita pun menjawab: "Pikiranku sama persis dengan
pikiranmu." Ketika dia tahu sahabatnya
memiliki kecenderungan yang sama, Upatissa kemudian berkata: "Ini pikiran
kita yang baik. Bagaimana pun, bagi mereka yang mencari ajaran tentang
pembebasan hanya ada satu hal yang mesti dikerjakan: meninggalkan rumah dan
menjadi petapa. Tetapi di bawah bimbingan siapa kita seharusnya menjalankan
hidup kepetapaan?"
Pada waktu itu di Rājagaha menetap seorang petapa
pengelana atau paribbājaka yang bernama Sañjaya, yang memiliki banyak
siswa. Setelah memutuskan untuk menerima penahbisan dari dia, Upatissa dan
Kolita menemuinya, dengan mengajak pengikut mereka masing-masing berjumlah lima
ratus orang brahmana muda. Semuanya menerima penahbisan dari Sañjaya. Sejak
mereka semua menjadi pengikutnya, reputasi Sañjaya menanjak dengan cepat dan
dukungan terhadapnya pun melimpah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama kedua
sahabat itu telah selesai mempelajari seluruh ajaran Sañjaya. Kemudian mereka
mendatanginya dan bertanya: "Wahai, Guru, apakah ajaranmu hanya sampai
sejauh ini, atau masih ada kelanjutannya?" Sañjaya menjawab: "Sejauh
ini hanya itu yang dapat aku ajarkan. Kalian berdua telah
merampungkannya." Mendengar jawaban Sañjaya, mereka berdua berpikir:
"Jika demikian keadaannya, adalah sia-sia belaka kami melanjutkan
kehidupan suci di bawah bimbingannya. Kami telah pergi dari kehidupan berumah
menuju kehidupan tanpa-rumah guna memperoleh ajaran tentang pembebasan, tetapi
di bawah pengajarannya kami tidak berhasil mendapatkannya. Jambudvipa ini
begitu luas, dan jika kami mengembara melalui desa-desa, kota-kota, dan kota
raja, kami pasti akan menemukan lagi seorang guru yang dapat menunjukkan jalan
yang sedang kami cari." Dan dengan keyakinan sedemikian, kapan saja mereka
mendengar ada petapa atau brahmana yang bijaksana di satu tempat, mereka
langsung pergi ke sana dan mempelajari doktrin mereka.
Setelah berkelana ke seluruh
Jambudvipa, mereka akhirnya kembali ke Rājagaha. Di sana mereka membuat satu perjanjian
yang menyatakan bahwa barang siapa yang pertama kali menemukan Yang
Tanpa-Kematian, akan segera memberitahukannya kepada yang lain. Itu adalah
ikrar-persaudaraan, yang terlahir dari persahabatan sejati di antara dua orang
muda.
Selang beberapa waktu kemudian, Yang Terberkahi, Sang
Buddha, melakukan perjalanan ke Rājagaha. Diantara enam puluh satu orang arahanta
yang mana Sang Guru mengirimkan mereka ke seantero negeri untuk menyebarkan
pesan pembebasan kepada dunia, ada seorang siswa sesepuh yang bernama Assaji.
Assaji adalah salah satu dari lima petapa yang melayani Sang Bodhisattva ketika
beliau mempraktikkan asketisme ekstrim, dan dia sendiri juga salah satu dari
lima siswa Sang Buddha yang pertama. Pada suatu pagi ketika Assaji sedang berjalan
berkeliling di Rājagaha untuk mengumpulkan dana makanan, Upatissa melihatnya
sewaktu dia berjalan dari pintu ke pintu sambil membawa mangkuk-sedekahnya.
Terpesona oleh penampilan Assaji yang tenang dan berwibawa, Upatissa berpikir:
"Belum pernah aku melihat seorang rahib seperti dia. Dia pasti salah satu
dari para arahanta, atau seseorang yang sedang menempuh jalan menuju ke
tingkat itu. Bukankah lebih baik aku menghampirinya dan bertanya langsung
kepadanya?"
Setelah Assaji selesai menyantap makan siangnya, keduanya
saling bertukar salam dan diikuti dengan percakapan pembuka. Lalu Upatissa
berkata: "Sangat tenang penampilanmu, wahai Yang Mulia. Begitu bersih dan
cemerlang rupa wajahmu. Di bawah siapa Yang Mulia telah pergi dari kehidupan
berumah kemudian menjadi petapa? Siapakah guru Yang Mulia dan ajaran apa Yang
Mulia ikuti?" - "Demikianlah wahai sahabat, ada seorang Rahib Agung,
keturunan suku Sākya, yang
telah meninggalkan kehidupan berumah. Aku juga telah meninggalkan kehidupan
berumah dan aku menjadi pengikutnya; dia adalah Yang Terberkahi. Demikianlah
Yang Terberkahi itu adalah guruku, dan adalah Dhamma ini yang aku ikuti."
- "Jika demikian, apa yang diajarkan oleh guru Yang Mulia, atau doktrin
apa yang Dia babarkan?"
Ditanya seperti itu, Sang Sesepuh Assaji berpikir dalam
hati: "Para petapa pengelana ini menjalani doktrin yang bertentangan
dengan ajaran Sang Buddha. Aku akan menunjukkan kepadanya betapa dalamnya
ajaran ini." Kemudian dia berkata: "Aku sendiri belum lama menjalani
pelatihan ini, wahai sahabat. Baru berselang sebentar sejak aku pergi dari
kehidupan berumah. Aku tidak mampu menerangkan Dhamma ini secara panjang lebar
lengkap dengan rinciannya." Sang pengelana menjawab: "Aku dipanggil
Upatissa, Yang Mulia. Mohon jelaskan kepadaku sesuai dengan kemampuanmu.
Terserah banyak atau pun sedikit. Adalah tugasku selanjutnya untuk menyerap
maknanya dengan bantuan seratus atau seribu metode."
Sebagai jawabannya, Sang Sesepuh Assaji
mengutarakan syair berikut ini:
"Dari segala apa pun yang muncul oleh suatu sebab,
Sang Tathāgata telah menyebutkan sebab tersebut;
Serta juga penghentiannya:
Demikianlah ajaran Sang Rahib Agung."
Sesaat setelah mendengar dua bait syair yang pertama,
seketika muncul dalam diri si pengelana Upatissa pandangan benar Dhamma yang
jernih dan tanpa-noda – penglihatan sekilas tentang Yang Tanpa-Kematian, yakni
jalan menuju pemasuk-arus (tingkat kesucian pertama) – serta pada akhir dua bait pamungkasnya, dia
telah mendengarnya sebagai seorang pemasuk-arus. Dalam sekejap mata dia
telah memahaminya: "Inilah makna pembebasan yang baru saja
kutemukan!" Serta ia berkata kepada sang sesepuh: "Tidak perlu Yang
Mulia menambahkan syair Dhamma lebih lanjut. Sejauh ini bait-bait syair tadi
telah mencukupi. Tetapi dimana Guru kita bermukim?" - "Di Hutan
Bambu, wahai petapa pengelana." - "Kalau begitu jalanlah terlebih
dahulu, Yang Mulia. Aku mempunyai seorang sahabat yang dengannya aku telah
membuat ikrar persaudaraan, yang mana aku terikat untuk membagi Dhamma yang
baru kuperoleh. Aku akan memberitahukan dia terlebih dahulu, baru kemudian kami
berdua akan datang menghadap Sang Guru." Upatissa lalu bersimpuh dengan
kepalanya di kaki sang sesepuh, selanjutnya dia kembali ke taman para
pengelana.
Kolita melihat kedatangan sahabatnya dari jauh dan dengan
segera ia telah mengetahuinya: "Hari ini penampilan sahabatku sudah
sedemikian berubah. Pasti dia telah menemukan Yang Tanpa-Kematian. Dan sewaktu
dia ditanya, Upatissa menjawab: "Ya, benar wahai sahabatku, Yang
Tanpa-Kematian telah kutemukan!" Selanjutnya Upatissa menceritakan
perjumpaannya dengan Sang Sesepuh Assaji, serta ketika ia mengulangi bait-bait
syair yang dilantunkannya, Kolita juga menjadi mapan dalam buah seorang pemasuk-arus.
"Jika demikian, sahabat, dimana Guru kita tinggal?" - "Aku
diberitahu oleh Sang Sesepuh Assaji, bahwasanya dia tinggal di Hutan
Bambu." - "Sebaiknya kita langsung berangkat, Upatissa, guna menemui
Sang Guru," ujar Kolita. Tetapi Upatissa adalah sedikit orang yang selalu
menghargai gurunya. Lalu ia berkata kepada sahabatnya: "Sebaiknya, wahai
sahabat, kita sebaiknya pergi menemui dulu guru kita, sang petapa pengelana
Sañjaya, lalu menceritakan kepadanya bahwa kita berdua telah menemukan Yang
Tanpa-Kematian."
Sesudah itu keduanya pergi menghadap Sañjaya dan berkata:
"Oh, guru! Ketahuilah seorang Buddha telah muncul di dunia ini! Ajarannya
telah dibabarkan dengan sempurna dan komunitas bhikkhunya telah mengikuti jalan
yang benar. Ayolah kita bersama pergi dan menemui Sang Guru." Sañjaya
terkejut mendengar perkataan itu. "Apa yang barusan
kalian katakan, wahai siswa-siswaku tersayang?" Dia
menolak pergi bersama mereka. Bahkan dia
menawarkan keduanya akan diangkat menjadi pimpinan-bersama, guna mengepalai perguruannya. Bahkan dia menambahkan bahwa keuntungan dan ketenaran akan
mengikuti mereka berdua jika mereka menerima tawaran tersebut. Namun keduanya menolak untuk membatalkan keputusan mereka,
sambil berkata: "Oh, wahai guru, kami berdua tidak berkeberatan untuk
selalu menjadi siswa-siswamu. Tetapi engkau, wahai guru, harus mengetahui demi
kepentingan guru sendiri, tidak peduli apakah guru akan pergi atau tidak."
Lalu Sañjaya memutuskan: "Kalian boleh pergi, tetapi
aku tidak akan." - "Tetapi, mengapa guru?" - "Aku adalah
guru banyak orang. Jika aku mengubah diriku menjadi orang yang berstatus
sebagai siswa, itu sama saja dengan mengubah sebuah gentong raksasa menjadi
sebuah mangkuk mungil. Aku tidak bisa menjalani kehidupan seorang siswa dalam
kondisi seperti sekarang ini." Keduanya terus membujuk Sañjaya, tetapi
sang petapa tetap pada pendiriannya. Akhirnya, "Bagaimana menurut pendapat
kalian, wahai siswa-siswaku: mana yang lebih banyak di dunia ini, orang dungu
atau orang bijaksana?" - "Orang dungu jelas lebih banyak, oh guru,
sedangkan orang bijaksana jauh lebih sedikit." - "Jika itu memang
kebenaran, wahai siswa-siswaku, dengan begitu orang-orang bijaksana akan pergi
menemui Rahib Gotama, sedangkan orang-orang dungu akan datang kepadaku. Kalian
boleh pergi sekarang, tetapi aku tidak akan mengikuti kalian."
Dengan demikian kedua sahabat itu meninggalkan perguruan
mereka yang lama, lalu mereka berangkat menuju ke Hutan Bambu. Di sana Sang
Buddha sedang duduk dan mengajarkan Dhamma. Melihat kedatangan dua petapa
pengelana, dia
memberitahukan para siswanya: "Dua orang bersahabat ini, Upatissa dan
Kolita, yang sekarang sedang mendatangi kita akan menjadi dua siswa kepalaku.
Sungguh mereka berdua adalah satu pasangan yang istimewa." Begitu tiba di
tempat itu, kedua sahabat itu memberi hormat dengan bersimpuh di kaki Yang
Terberkahi, lalu mereka duduk di satu sisi. Ketika mereka berdua sudah duduk di
tempat, mereka meminta kepada Sang Guru: "Hendaklah kami dapat memperoleh,
oh Yang Mulia, untuk pergi menuju kehidupan tanpa-rumah di bawah asuhan Yang
Terberkahi. Juga hendaknya kami dapat memperoleh penahbisan penuh." Dan
Yang Terberkahi berkata: "Marilah, wahai para bhikkhu! Dhamma telah
dibabarkan dengan sempurna. Sekarang jalanilah kehidupan suci demi tercapainya
akhir penderitaan." Rangkaian kata-kata ini merupakan penahbisan para yang
mulia.
Guna menjalani pelatihan yang intensif Kolita lalu pergi
ke sebuah desa dekat Magadha yang bernama Kallavālaputta untuk tinggal
di sana. Pada hari ketujuh setelah penahbisannya, dia mencapai tataran arahanta.
Sedangkan Upatissa melanjutkan upayanya dengan bermukim dekat kediaman Sang
Guru, di sebuah goa yang bernama Suaka Babi-hutan, dan setelah setengah
bulan dia pun mencapai tingkat kesucian tertinggi. Setelah mereka berdua
memasuki Sangha Bhikkhu, naskah-naskah dalam kitab suci selalu menyebut
Upatissa dengan nama Śāriputra (शारिपुत्र; Pali: Sāriputta), yang berarti putera dari
ibunya Sāri (Rūpasārī). Dalam bahasa Mandarin dia diberi nama 舎利弗 (Shè Lì Fú). Sedangkan Kolita dipanggil dengan sebutan yang berasal
dari ibunya yakni Moggallī, yakni dengan nama Mahāmoggallāna
(Skt, Mahāmaudgalyāyana), untuk membedakannya dengan Moggallāna yang lain.
Śāriputra dianggap sebagai siswa utama Buddha yang pertama, terkemuka dalam
kebijaksanaan, serta Maudgalyāyana yang
kedua; seperti yang digambarkan dalam Mahāpadāna Sutta, sebagai "pasangan siswa utama, pasangan
yang unggul". Dalam Mahāvagga,
Sang Buddha menyatakan kedua siswa laki-laki utamanya sebagai yang terdepan
dalam kebijaksanaan dan yang terdepan dalam kekuatan batin, masing-masing
mengacu pada Śāriputra dan Maudgalyāyana. Tradisi Buddhis Theravāda menyatakan bahwa siswa utama pertama, Sariputra, biasanya
duduk di sebelah kanan Sang Buddha, sedangkan siswa utama kedua, Maudgalyāyana,
duduk di sebelah kirinya.
Sebagai siswa utama yang
pertama, peran Śāriputra adalah men-sistematisasikan dan menganalisis ajaran
Buddha. Kanon Pāli sering menggambarkan Śāriputra mengajukan pertanyaan kepada
Buddha dan memohon kepada Buddha untuk mengajar, lalu dirinya mengklarifikasi pokok-pokok dan
menanyai para siswa, dan
dalam beberapa kasus tampaknya menguji
pengetahuan sesama murid. Sang Buddha sering melontarkan sebuah topik, kemudian meminta Śāriputra menguraikan dan menyampaikan khotbah
tentang topik tersebut. Dalam kasus tertentu, Sang Buddha menyatakan bahwa Beliau perlu
mengistirahatkan punggungnya dan meminta Śāriputra untuk menggantikan
mengajar di tempatnya, sementara Sang Buddha beserta para hadirin ikut
mendengarkannya.
Karena kemampuannya itu,
Śāriputra mendapatkan gelar "Jenderal
Dharma" atau Dharmasenapati.
Tentu Anda para
pembaca ingin tahu, apa yang membedakan antara peran siswa utama yang pertama
dengan yang kedua. Hubungan yang
terjalin, di antara dua siswa
kepala berdiri satu sama lain dalam lingkup pengajaran, seperti
yang dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Saccavibhaṅga
Sutta: "Harap dicontoh, oh para
bhikkhu. Lihatlah Śāriputra dan Maudgalyāyana,
dan tetap bersahabatlah dengan mereka berdua! Mereka adalah bhikkhu-bhikkhu
yang bijaksana, juga sang penolong bagi bhikkhu lainnya. Śāriputra layaknya seorang ibu yang melahirkan, dan Maudgalyāyana bagaikan seorang perawat yang mengasuh
sang bayi yang baru lahir. Śāriputra melatih
(siswa-siswanya) hingga mencapai buah pemasuk-arus, serta Maudgalyāyana membimbing mereka hingga meraih
sasaran akhir". (Majjhima
Nikaya 141)
Dalam menjelaskan kutipan di atas,
Komentar Majjhima mengatakan: "Ketika Śāriputra menerima siswa-siswa untuk
dilatih, tidak peduli apakah mereka ditahbiskan olehnya atau ditahbiskan oleh
orang lain. Dia mengenyangkan
mereka dengan materi dan bantuan spiritual, merawat mereka ketika mereka sakit,
dan memberikan satu subyek meditasi. Pada akhirnya, ketika dia menyadari bahwa mereka telah menjadi para pemasuk-arus
serta telah diangkat dari bahaya agar tidak jatuh ke alam-kehidupan celaka, dia meninggalkan mereka dengan bekal
pengetahuan yang dapat diandalkan. 'Sekarang mereka mampu, dengan kekuatan
manusia yang mereka miliki, untuk menghasilkan tingkat-tingkat kesucian yang
lebih tinggi.' Tanpa perlu mengkhawatirkan masa depan mereka, dia malahan mengajarkan kelompok-kelompok
siswa yang baru lagi. Namun bagi Maudgalyāyana, ketika dia melatih para siswa dengan cara yang sama, dia tidak menyerah hingga mereka semua
mencapai kearahantaan."
Śāriputra dikatakan telah memainkan
peran kunci dalam pengembangan teks Abhidharma dari Tripitaka Buddhis. Sarjana Buddhis, seperti Bhikkhu Bodhi yang berasal dari Amerika Serikat, menggambarkan Abhidharma sebagai
"sistemisasi doktrin yang abstrak dan sangat teknis". Menurut tradisi
Theravāda, Abhidharma atau Abhidhamma (Pāli), atau "Dharma Yang Lebih Tinggi", diceritakan telah dikhotbahkan oleh Sang Buddha
kepada para dewa ketika Beliau menghabiskan musim hujan di Surga Tavatimsa.
Dikatakan pula bahwa Sang
Buddha turun kembali ke bumi
setiap hari untuk memberikan ringkasan ajaran tersebut kepada Śāriputra, yang lalu
mengklasifikasikan dan menyusun kembali
ajaran-ajaran itu dan
menyampaikannya kepada siswa-siswanya; yang mana kelak risalah ini menjadi cikal-bakal Abhidharma Pitaka.
Sering kali Sang Buddha menugaskan dua siswa kepala
dengan misi khusus guna mengendalikan satu peristiwa. Pada satu kesempatan ia
mengutus mereka untuk merebut kembali sekelompok bhikkhu muda yang telah
dipengaruhi secara sesat oleh Devadatta, seorang sepupu Buddha yang sangat
ambisius. Sebelumnya Devadatta telah secara resmi memecah belah Sangha dengan
mengumumkan bahwa dia akan menetapkan tindakan-tindakan terhadap Sangha
secara terpisah. Lalu dia pergi ke Puncak Bukit Nasar dengan lima ratus orang
bhikkhu muda yang telah dia bujuk untuk menjadi pengikutnya. Kemudian Sang Buddha mengutus Śāriputra dan Maudgalyāyana ke Puncak
Bukit Nasar untuk merebut mereka kembali. Ketika Devadatta melihat kedua
sesepuh itu datang, dia mengira mereka berdua telah memutuskan untuk bergabung
dengan kelompok bhikkhu bentukannya. Dia menyambut kedatangan keduanya dan memperlakukan mereka
berdua layaknya siswa kepala Devadatta. Di malam hari, sewaktu Devadatta sedang
beristirahat, dua sesepuh itu membabarkan Dhamma kepada mereka, yang mengarah
pada pencapaian tingkat pemasuk-arus serta meyakinkan mereka semua agar
kembali kepada Yang Terberkahi (Vin. II: 199–200).
Naskah-naskah Buddhis semuanya
menyatakan bahwa Śāriputra meninggal tak lama sebelum Sang Buddha
parinirvāna, dan menyebutkan bahwa beliau meninggal di kampung halamannya. Menurut
komentar-komentar Pāli, Śāriputra bangkit dari meditasi pada suatu hari dan
menyadari melalui pandangan-terang meditatifnya, bahwa para siswa utama seharusnya mencapai parinirvāna di hadapan Sang Buddha. Dalam
penglihatan berikutnya diketahui
bahwa dia memiliki waktu
tujuh hari lagi untuk hidup. Śāriputra
kemudian pergi ke kampung halamannya untuk mengajar ibunya yang belum mau
menerima Dhamma. Setelah mengalihkan
keyakinan ibunya, Śāriputra meninggal dengan
tenang pada hari bulan purnama Kartika, beberapa bulan sebelum mangkatnya
Sang Buddha. Namun, menurut teks
Mūlasarvāstivāda, dikatakan bahwa Śāriputra mencapai parinirvāna secara sukarela karena dia tidak ingin menyaksikan
kematian Sang Buddha. Sedangkan menurut naskah komentar yang lain, dia juga termotivasi oleh Maudgalyāyana yang
berniat mencapai parinirvāna setelah dilukai dan
dianiaya hingga sekarat oleh para musuhnya. Sebuah pemakaman diadakan untuk Śāriputra di kota Rājagaha
tempat jenazahnya
dikremasi. Relik-reliknya kemudian dibawa oleh bhikkhu-pengiring Śāriputra, Cunda, kepada Sang Buddha di Sāvatthī.
Dalam Anupada Sutta, Sang Buddha memberikan sanjungan kepada Śāriputra, seraya
memuji kecerdasan dan kebajikannya.
Umat Buddha tentu tidak akan melupakan sosok Śāriputra dan Maudgalyāyana, yang patungnya
biasanya disandingkan dengan sosok Sang Buddha. Ketika stūpa agung di Sāñchī
dibuka pada pertengahan abad yang lalu, kamar-relik yang terdapat di dalamnya
memiliki dua wadah batu. Satu wadah yang berada di sisi utara menampung relik
tubuh Mahāmaudgalyāyana,
sementara wadah lainnya yang berada di sisi selatan memuat sisa tubuh Śāriputra. Dengan begitu
sisa-sisa tubuh jasmani kedua sahabat itu telah bersemayam dalam damai di
tempat yang sama, ketika abad-abad yang silam terus bergulir dan sejarah dua-ribu-enam-ratus
tahun lebih telah mementaskan drama ketidakkekalan kehidupan umat manusia.
sdjn/dharmaprimapustaka/230726