Rabu, 26 Juli 2023

ŚĀRIPUTRA



Cerita kita kali ini bermula di dua dusun brahmana di India, yang kelak terkenal sebagai tempat kelahiran Upatissa dan Kolita. Kedua dusun itu letaknya tidak begitu jauh dari kota Rājagaha, yakni kotaraja Kerajaan Magadha Kuno. Sebelum Buddha yang kita kenal muncul di dunia ini, seorang wanita brahmana yang bernama Rūpasārī, yang bertempat tinggal di di sana sekali waktu hamil. Kejadian yang serupa dialami pula oleh wanita brahmana kedua yang tinggal di desa yang berdekatan. Wanita itu bernama Moggallī, juga hamil pada hari yang bersamaan. Dua keluarga brahmana ini sesungguhnya telah lama bersahabat satu sama lainnya, bukan saja terbatas antar dua keluarga, namun persahabatan mereka telah terjalin selama tujuh generasi. Sejak hari pertama kehamilan kedua wanita brahmana itu, keluarga besar mereka merawat dengan penuh ketelatenan kepada kedua calon ibu tadi, hingga sepuluh bulan ke depan. Setelah genap sepuluh bulan kedua wanita brahmana itu melahirkan masing-masing seorang bayi lelaki, juga berbarengan pada hari yang sama. Pada hari pemberian-nama putera Rūpasārī menerima nama Upatissa, mengingat ia adalah anak lelaki keluarga terpandang di desa itu. Dengan alasan yang sama putera Moggallī dinamakan Kolita.

 

Ketika kedua anak lelaki itu bertumbuh-kembang mereka berdua dididik dengan baik dan menguasai semua ilmu pengetahuan yang tersedia di zaman itu. Sekali waktu di Rājagaha diadakan satu acara tahunan, yang dinamakan "Perayaan Puncak Bukit". Bangku-bangku telah dipersiapkan bagi kedua brahmana muda terpandang itu bersama para pengikut mereka, serta mereka semua bersiap untuk menyaksikan perayaan itu. Ketika pertunjukan memancing pemirsa untuk tertawa, mereka semua ikut tertawa; sewaktu permainan berubah menjadi menegangkan, mereka semua menyaksikannya dengan rasa tegang. Mereka pun harus membayar untuk pertunjukan ekstra. Dengan cara demikian mereka menikmati perayaan itu hingga hari kedua. Pada hari ketiga, bagaimana pun, pikiran-pikiran yang aneh membayangi batin mereka, sebegitu rupa sampai mereka tidak mampu lagi tertawa atau berbagi sensasi ketegangan atas pertunjukan yang ditampilkan di panggung. Selagi mereka berdua duduk di sana, sambil menonton drama dan tari-tarian, hanya dalam hitungan sekejap mata, bayangan hantu kefanaan-manusia mendadak muncul dalam visi batin mereka. Bayangan siluman kegelapan itu yang walaupun muncul hanya sekilas, membuat sikap batin mereka tidak pernah sama lagi seperti hari-hari sebelumnya. Bagi keduanya, suasana hati yang muram ini secara perlahan-lahan mengkristal menjadi satu pertanyaan yang mencuat: "Apa gerangan yang kalian cari di sini? Sebelum orang-orang di sini mencapai usia seratus tahun, mereka semua telah menemui ajalnya. Bukankah sebaiknya kita mencari ajaran tentang kebebasan dari semua hantu kegelapan ini?"

 

Dengan kepala mereka dipenuhi pikiran-pikiran seperti itu, maka pada hari ketiga mereka berdua hanya duduk dengan tatapan mata kosong dan nanar pada hingar-bingar perayaan itu. Kolita memaklumi bahwa sahabat karibnya tampak termenung-menung dan menarik diri. Ia lalu bertanya: "Apa yang terjadi, wahai sahabatku Upatissa? Hari ini engkau tidak bahagia dan bersukacita seperti yang biasanya engkau tampilkan di hari-hari kemarin. Tampaknya sesuatu sedang membayang-bayangimu. Ceritakanlah padaku, apa yang membebani pikiranmu?" - "Sahabatku Kolita, aku baru saja berpikir bahwa tidak ada manfaatnya sama sekali bagi kita untuk menikmati pertunjukan yang hampa dan semu ini. Betapa kita membuang waktu mengikuti perayaan semacam ini, padahal yang aku butuhkan sekarang tidak lain mencari jalan yang menuju pembebasan terhadap keseluruhan belenggu rangkaian kelahiran-kembali. Tetapi wahai, Kolita, agaknya engkau juga tampak tidak bahagia." Kolita pun menjawab: "Pikiranku sama persis dengan pikiranmu." Ketika dia tahu sahabatnya memiliki kecenderungan yang sama, Upatissa kemudian berkata: "Ini pikiran kita yang baik. Bagaimana pun, bagi mereka yang mencari ajaran tentang pembebasan hanya ada satu hal yang mesti dikerjakan: meninggalkan rumah dan menjadi petapa. Tetapi di bawah bimbingan siapa kita seharusnya menjalankan hidup kepetapaan?"

 

Pada waktu itu di Rājagaha menetap seorang petapa pengelana atau paribbājaka yang bernama Sañjaya, yang memiliki banyak siswa. Setelah memutuskan untuk menerima penahbisan dari dia, Upatissa dan Kolita menemuinya, dengan mengajak pengikut mereka masing-masing berjumlah lima ratus orang brahmana muda. Semuanya menerima penahbisan dari Sañjaya. Sejak mereka semua menjadi pengikutnya, reputasi Sañjaya menanjak dengan cepat dan dukungan terhadapnya pun melimpah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama kedua sahabat itu telah selesai mempelajari seluruh ajaran Sañjaya. Kemudian mereka mendatanginya dan bertanya: "Wahai, Guru, apakah ajaranmu hanya sampai sejauh ini, atau masih ada kelanjutannya?" Sañjaya menjawab: "Sejauh ini hanya itu yang dapat aku ajarkan. Kalian berdua telah merampungkannya." Mendengar jawaban Sañjaya, mereka berdua berpikir: "Jika demikian keadaannya, adalah sia-sia belaka kami melanjutkan kehidupan suci di bawah bimbingannya. Kami telah pergi dari kehidupan berumah menuju kehidupan tanpa-rumah guna memperoleh ajaran tentang pembebasan, tetapi di bawah pengajarannya kami tidak berhasil mendapatkannya. Jambudvipa ini begitu luas, dan jika kami mengembara melalui desa-desa, kota-kota, dan kota raja, kami pasti akan menemukan lagi seorang guru yang dapat menunjukkan jalan yang sedang kami cari." Dan dengan keyakinan sedemikian, kapan saja mereka mendengar ada petapa atau brahmana yang bijaksana di satu tempat, mereka langsung pergi ke sana dan mempelajari doktrin mereka. Setelah berkelana ke seluruh Jambudvipa, mereka akhirnya kembali ke Rājagaha. Di sana mereka membuat satu perjanjian yang menyatakan bahwa barang siapa yang pertama kali menemukan Yang Tanpa-Kematian, akan segera memberitahukannya kepada yang lain. Itu adalah ikrar-persaudaraan, yang terlahir dari persahabatan sejati di antara dua orang muda.

 

Selang beberapa waktu kemudian, Yang Terberkahi, Sang Buddha, melakukan perjalanan ke Rājagaha. Diantara enam puluh satu orang arahanta yang mana Sang Guru mengirimkan mereka ke seantero negeri untuk menyebarkan pesan pembebasan kepada dunia, ada seorang siswa sesepuh yang bernama Assaji. Assaji adalah salah satu dari lima petapa yang melayani Sang Bodhisattva ketika beliau mempraktikkan asketisme ekstrim, dan dia sendiri juga salah satu dari lima siswa Sang Buddha yang pertama. Pada suatu pagi ketika Assaji sedang berjalan berkeliling di Rājagaha untuk mengumpulkan dana makanan, Upatissa melihatnya sewaktu dia berjalan dari pintu ke pintu sambil membawa mangkuk-sedekahnya. Terpesona oleh penampilan Assaji yang tenang dan berwibawa, Upatissa berpikir: "Belum pernah aku melihat seorang rahib seperti dia. Dia pasti salah satu dari para arahanta, atau seseorang yang sedang menempuh jalan menuju ke tingkat itu. Bukankah lebih baik aku menghampirinya dan bertanya langsung kepadanya?"

 

Setelah Assaji selesai menyantap makan siangnya, keduanya saling bertukar salam dan diikuti dengan percakapan pembuka. Lalu Upatissa berkata: "Sangat tenang penampilanmu, wahai Yang Mulia. Begitu bersih dan cemerlang rupa wajahmu. Di bawah siapa Yang Mulia telah pergi dari kehidupan berumah kemudian menjadi petapa? Siapakah guru Yang Mulia dan ajaran apa Yang Mulia ikuti?" - "Demikianlah wahai sahabat, ada seorang Rahib Agung, keturunan suku Sākya, yang telah meninggalkan kehidupan berumah. Aku juga telah meninggalkan kehidupan berumah dan aku menjadi pengikutnya; dia adalah Yang Terberkahi. Demikianlah Yang Terberkahi itu adalah guruku, dan adalah Dhamma ini yang aku ikuti." - "Jika demikian, apa yang diajarkan oleh guru Yang Mulia, atau doktrin apa yang Dia babarkan?"

 

Ditanya seperti itu, Sang Sesepuh Assaji berpikir dalam hati: "Para petapa pengelana ini menjalani doktrin yang bertentangan dengan ajaran Sang Buddha. Aku akan menunjukkan kepadanya betapa dalamnya ajaran ini." Kemudian dia berkata: "Aku sendiri belum lama menjalani pelatihan ini, wahai sahabat. Baru berselang sebentar sejak aku pergi dari kehidupan berumah. Aku tidak mampu menerangkan Dhamma ini secara panjang lebar lengkap dengan rinciannya." Sang pengelana menjawab: "Aku dipanggil Upatissa, Yang Mulia. Mohon jelaskan kepadaku sesuai dengan kemampuanmu. Terserah banyak atau pun sedikit. Adalah tugasku selanjutnya untuk menyerap maknanya dengan bantuan seratus atau seribu metode." Sebagai jawabannya, Sang Sesepuh Assaji mengutarakan syair berikut ini:

 

"Dari segala apa pun yang muncul oleh suatu sebab,

Sang Tathāgata telah menyebutkan sebab tersebut;

Serta juga penghentiannya:

Demikianlah ajaran Sang Rahib Agung."

 

Sesaat setelah mendengar dua bait syair yang pertama, seketika muncul dalam diri si pengelana Upatissa pandangan benar Dhamma yang jernih dan tanpa-noda penglihatan sekilas tentang Yang Tanpa-Kematian, yakni jalan menuju pemasuk-arus (tingkat kesucian pertama) serta pada akhir dua bait pamungkasnya, dia telah mendengarnya sebagai seorang pemasuk-arus. Dalam sekejap mata dia telah memahaminya: "Inilah makna pembebasan yang baru saja kutemukan!" Serta ia berkata kepada sang sesepuh: "Tidak perlu Yang Mulia menambahkan syair Dhamma lebih lanjut. Sejauh ini bait-bait syair tadi telah mencukupi. Tetapi dimana Guru kita bermukim?" - "Di Hutan Bambu, wahai petapa pengelana." - "Kalau begitu jalanlah terlebih dahulu, Yang Mulia. Aku mempunyai seorang sahabat yang dengannya aku telah membuat ikrar persaudaraan, yang mana aku terikat untuk membagi Dhamma yang baru kuperoleh. Aku akan memberitahukan dia terlebih dahulu, baru kemudian kami berdua akan datang menghadap Sang Guru." Upatissa lalu bersimpuh dengan kepalanya di kaki sang sesepuh, selanjutnya dia kembali ke taman para pengelana.

 

Kolita melihat kedatangan sahabatnya dari jauh dan dengan segera ia telah mengetahuinya: "Hari ini penampilan sahabatku sudah sedemikian berubah. Pasti dia telah menemukan Yang Tanpa-Kematian. Dan sewaktu dia ditanya, Upatissa menjawab: "Ya, benar wahai sahabatku, Yang Tanpa-Kematian telah kutemukan!" Selanjutnya Upatissa menceritakan perjumpaannya dengan Sang Sesepuh Assaji, serta ketika ia mengulangi bait-bait syair yang dilantunkannya, Kolita juga menjadi mapan dalam buah seorang pemasuk-arus. "Jika demikian, sahabat, dimana Guru kita tinggal?" - "Aku diberitahu oleh Sang Sesepuh Assaji, bahwasanya dia tinggal di Hutan Bambu." - "Sebaiknya kita langsung berangkat, Upatissa, guna menemui Sang Guru," ujar Kolita. Tetapi Upatissa adalah sedikit orang yang selalu menghargai gurunya. Lalu ia berkata kepada sahabatnya: "Sebaiknya, wahai sahabat, kita sebaiknya pergi menemui dulu guru kita, sang petapa pengelana Sañjaya, lalu menceritakan kepadanya bahwa kita berdua telah menemukan Yang Tanpa-Kematian."

 

Sesudah itu keduanya pergi menghadap Sañjaya dan berkata: "Oh, guru! Ketahuilah seorang Buddha telah muncul di dunia ini! Ajarannya telah dibabarkan dengan sempurna dan komunitas bhikkhunya telah mengikuti jalan yang benar. Ayolah kita bersama pergi dan menemui Sang Guru." Sañjaya terkejut mendengar perkataan itu. "Apa yang barusan kalian katakan, wahai siswa-siswaku tersayang?" Dia menolak pergi bersama mereka. Bahkan dia menawarkan keduanya akan diangkat menjadi pimpinan-bersama, guna mengepalai perguruannya. Bahkan dia menambahkan bahwa keuntungan dan ketenaran akan mengikuti mereka berdua jika mereka menerima tawaran tersebut. Namun keduanya menolak untuk membatalkan keputusan mereka, sambil berkata: "Oh, wahai guru, kami berdua tidak berkeberatan untuk selalu menjadi siswa-siswamu. Tetapi engkau, wahai guru, harus mengetahui demi kepentingan guru sendiri, tidak peduli apakah guru akan pergi atau tidak."

 

Lalu Sañjaya memutuskan: "Kalian boleh pergi, tetapi aku tidak akan." - "Tetapi, mengapa guru?" - "Aku adalah guru banyak orang. Jika aku mengubah diriku menjadi orang yang berstatus sebagai siswa, itu sama saja dengan mengubah sebuah gentong raksasa menjadi sebuah mangkuk mungil. Aku tidak bisa menjalani kehidupan seorang siswa dalam kondisi seperti sekarang ini." Keduanya terus membujuk Sañjaya, tetapi sang petapa tetap pada pendiriannya. Akhirnya, "Bagaimana menurut pendapat kalian, wahai siswa-siswaku: mana yang lebih banyak di dunia ini, orang dungu atau orang bijaksana?" - "Orang dungu jelas lebih banyak, oh guru, sedangkan orang bijaksana jauh lebih sedikit." - "Jika itu memang kebenaran, wahai siswa-siswaku, dengan begitu orang-orang bijaksana akan pergi menemui Rahib Gotama, sedangkan orang-orang dungu akan datang kepadaku. Kalian boleh pergi sekarang, tetapi aku tidak akan mengikuti kalian."

 

Dengan demikian kedua sahabat itu meninggalkan perguruan mereka yang lama, lalu mereka berangkat menuju ke Hutan Bambu. Di sana Sang Buddha sedang duduk dan mengajarkan Dhamma. Melihat kedatangan dua petapa pengelana, dia memberitahukan para siswanya: "Dua orang bersahabat ini, Upatissa dan Kolita, yang sekarang sedang mendatangi kita akan menjadi dua siswa kepalaku. Sungguh mereka berdua adalah satu pasangan yang istimewa." Begitu tiba di tempat itu, kedua sahabat itu memberi hormat dengan bersimpuh di kaki Yang Terberkahi, lalu mereka duduk di satu sisi. Ketika mereka berdua sudah duduk di tempat, mereka meminta kepada Sang Guru: "Hendaklah kami dapat memperoleh, oh Yang Mulia, untuk pergi menuju kehidupan tanpa-rumah di bawah asuhan Yang Terberkahi. Juga hendaknya kami dapat memperoleh penahbisan penuh." Dan Yang Terberkahi berkata: "Marilah, wahai para bhikkhu! Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna. Sekarang jalanilah kehidupan suci demi tercapainya akhir penderitaan." Rangkaian kata-kata ini merupakan penahbisan para yang mulia.

 

Guna menjalani pelatihan yang intensif Kolita lalu pergi ke sebuah desa dekat Magadha yang bernama Kallavālaputta untuk tinggal di sana. Pada hari ketujuh setelah penahbisannya, dia mencapai tataran arahanta. Sedangkan Upatissa melanjutkan upayanya dengan bermukim dekat kediaman Sang Guru, di sebuah goa yang bernama Suaka Babi-hutan, dan setelah setengah bulan dia pun mencapai tingkat kesucian tertinggi. Setelah mereka berdua memasuki Sangha Bhikkhu, naskah-naskah dalam kitab suci selalu menyebut Upatissa dengan nama Śāriputra (शारिपुत्र; Pali: Sāriputta), yang berarti putera dari ibunya Sāri (Rūpasārī). Dalam bahasa Mandarin dia diberi nama 舎利弗 (Shè Lì Fú). Sedangkan Kolita dipanggil dengan sebutan yang berasal dari ibunya yakni Moggallī, yakni dengan nama Mahāmoggallāna (Skt, Mahāmaudgalyāyana), untuk membedakannya dengan Moggallāna yang lain.

 

Śāriputra dianggap sebagai siswa utama Buddha yang pertama, terkemuka dalam kebijaksanaan, serta Maudgalyāyana yang kedua; seperti yang digambarkan dalam Mahāpadāna Sutta, sebagai "pasangan siswa utama, pasangan yang unggul". Dalam Mahāvagga, Sang Buddha menyatakan kedua siswa laki-laki utamanya sebagai yang terdepan dalam kebijaksanaan dan yang terdepan dalam kekuatan batin, masing-masing mengacu pada Śāriputra dan Maudgalyāyana. Tradisi Buddhis Theravāda menyatakan bahwa siswa utama pertama, Sariputra, biasanya duduk di sebelah kanan Sang Buddha, sedangkan siswa utama kedua, Maudgalyāyana, duduk di sebelah kirinya.

 

Sebagai siswa utama yang pertama, peran Śāriputra adalah men-sistematisasikan dan menganalisis ajaran Buddha. Kanon Pāli sering menggambarkan Śāriputra mengajukan pertanyaan kepada Buddha dan memohon kepada Buddha untuk mengajar, lalu dirinya mengklarifikasi pokok-pokok dan menanyai para siswa, dan dalam beberapa kasus tampaknya menguji pengetahuan sesama murid. Sang Buddha sering melontarkan sebuah topik, kemudian meminta Śāriputra menguraikan dan menyampaikan khotbah tentang topik tersebut. Dalam kasus tertentu, Sang Buddha menyatakan bahwa Beliau perlu mengistirahatkan punggungnya dan meminta Śāriputra untuk menggantikan mengajar di tempatnya, sementara Sang Buddha beserta para hadirin ikut mendengarkannya. Karena kemampuannya itu, Śāriputra mendapatkan gelar "Jenderal Dharma" atau Dharmasenapati.

 

Tentu Anda para pembaca ingin tahu, apa yang membedakan antara peran siswa utama yang pertama dengan yang kedua. Hubungan yang terjalin, di antara dua siswa kepala berdiri satu sama lain dalam lingkup pengajaran, seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Saccavibhaṅga Sutta: "Harap dicontoh, oh para bhikkhu. Lihatlah Śāriputra dan Maudgalyāyana, dan tetap bersahabatlah dengan mereka berdua! Mereka adalah bhikkhu-bhikkhu yang bijaksana, juga sang penolong bagi bhikkhu lainnya. Śāriputra layaknya seorang ibu yang melahirkan, dan Maudgalyāyana bagaikan seorang perawat yang mengasuh sang bayi yang baru lahir. Śāriputra melatih (siswa-siswanya) hingga mencapai buah pemasuk-arus, serta Maudgalyāyana membimbing mereka hingga meraih sasaran akhir". (Majjhima Nikaya 141)

 

Dalam menjelaskan kutipan di atas, Komentar Majjhima mengatakan: "Ketika Śāriputra menerima siswa-siswa untuk dilatih, tidak peduli apakah mereka ditahbiskan olehnya atau ditahbiskan oleh orang lain. Dia mengenyangkan mereka dengan materi dan bantuan spiritual, merawat mereka ketika mereka sakit, dan memberikan satu subyek meditasi. Pada akhirnya, ketika dia menyadari bahwa mereka telah menjadi para pemasuk-arus serta telah diangkat dari bahaya agar tidak jatuh ke alam-kehidupan celaka, dia meninggalkan mereka dengan bekal pengetahuan yang dapat diandalkan. 'Sekarang mereka mampu, dengan kekuatan manusia yang mereka miliki, untuk menghasilkan tingkat-tingkat kesucian yang lebih tinggi.' Tanpa perlu mengkhawatirkan masa depan mereka, dia malahan mengajarkan kelompok-kelompok siswa yang baru lagi. Namun bagi Maudgalyāyana, ketika dia melatih para siswa dengan cara yang sama, dia tidak menyerah hingga mereka semua mencapai kearahantaan."

 

Śāriputra dikatakan telah memainkan peran kunci dalam pengembangan teks Abhidharma dari Tripitaka Buddhis. Sarjana Buddhis, seperti Bhikkhu Bodhi yang berasal dari Amerika Serikat, menggambarkan Abhidharma sebagai "sistemisasi doktrin yang abstrak dan sangat teknis". Menurut tradisi Theravāda, Abhidharma atau Abhidhamma (Pāli), atau "Dharma Yang Lebih Tinggi", diceritakan telah dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para dewa ketika Beliau menghabiskan musim hujan di Surga Tavatimsa. Dikatakan pula bahwa Sang Buddha turun kembali ke bumi setiap hari untuk memberikan ringkasan ajaran tersebut kepada Śāriputra, yang lalu mengklasifikasikan dan menyusun kembali ajaran-ajaran itu dan menyampaikannya kepada siswa-siswanya; yang mana kelak risalah ini menjadi cikal-bakal Abhidharma Pitaka.

 

Sering kali Sang Buddha menugaskan dua siswa kepala dengan misi khusus guna mengendalikan satu peristiwa. Pada satu kesempatan ia mengutus mereka untuk merebut kembali sekelompok bhikkhu muda yang telah dipengaruhi secara sesat oleh Devadatta, seorang sepupu Buddha yang sangat ambisius. Sebelumnya Devadatta telah secara resmi memecah belah Sangha dengan mengumumkan bahwa dia akan menetapkan tindakan-tindakan terhadap Sangha secara terpisah. Lalu dia pergi ke Puncak Bukit Nasar dengan lima ratus orang bhikkhu muda yang telah dia bujuk untuk menjadi pengikutnya. Kemudian Sang Buddha mengutus Śāriputra dan Maudgalyāyana ke Puncak Bukit Nasar untuk merebut mereka kembali. Ketika Devadatta melihat kedua sesepuh itu datang, dia mengira mereka berdua telah memutuskan untuk bergabung dengan kelompok bhikkhu bentukannya. Dia menyambut kedatangan keduanya dan memperlakukan mereka berdua layaknya siswa kepala Devadatta. Di malam hari, sewaktu Devadatta sedang beristirahat, dua sesepuh itu membabarkan Dhamma kepada mereka, yang mengarah pada pencapaian tingkat pemasuk-arus serta meyakinkan mereka semua agar kembali kepada Yang Terberkahi (Vin. II: 199–200).

 

Naskah-naskah Buddhis semuanya menyatakan bahwa Śāriputra meninggal tak lama sebelum Sang Buddha parinirvāna, dan menyebutkan bahwa beliau meninggal di kampung halamannya. Menurut komentar-komentar Pāli, Śāriputra bangkit dari meditasi pada suatu hari dan menyadari melalui pandangan-terang meditatifnya, bahwa para siswa utama seharusnya mencapai parinirvāna di hadapan Sang Buddha. Dalam penglihatan berikutnya diketahui bahwa dia memiliki waktu tujuh hari lagi untuk hidup. Śāriputra kemudian pergi ke kampung halamannya untuk mengajar ibunya yang belum mau menerima Dhamma. Setelah mengalihkan keyakinan ibunya, Śāriputra meninggal dengan tenang pada hari bulan purnama Kartika, beberapa bulan sebelum mangkatnya Sang Buddha. Namun, menurut teks Mūlasarvāstivāda, dikatakan bahwa Śāriputra mencapai parinirvāna secara sukarela karena dia tidak ingin menyaksikan kematian Sang Buddha. Sedangkan menurut naskah komentar yang lain, dia juga termotivasi oleh Maudgalyāyana yang berniat mencapai parinirvāna setelah dilukai dan dianiaya hingga sekarat oleh para musuhnya. Sebuah pemakaman diadakan untuk Śāriputra di kota Rājagaha tempat jenazahnya dikremasi. Relik-reliknya kemudian dibawa oleh bhikkhu-pengiring Śāriputra, Cunda, kepada Sang Buddha di Sāvatthī. Dalam Anupada Sutta, Sang Buddha memberikan sanjungan kepada Śāriputra, seraya memuji kecerdasan dan kebajikannya.

 

Umat Buddha tentu tidak akan melupakan sosok Śāriputra dan Maudgalyāyana, yang patungnya biasanya disandingkan dengan sosok Sang Buddha. Ketika stūpa agung di Sāñchī dibuka pada pertengahan abad yang lalu, kamar-relik yang terdapat di dalamnya memiliki dua wadah batu. Satu wadah yang berada di sisi utara menampung relik tubuh Mahāmaudgalyāyana, sementara wadah lainnya yang berada di sisi selatan memuat sisa tubuh Śāriputra. Dengan begitu sisa-sisa tubuh jasmani kedua sahabat itu telah bersemayam dalam damai di tempat yang sama, ketika abad-abad yang silam terus bergulir dan sejarah dua-ribu-enam-ratus tahun lebih telah mementaskan drama ketidakkekalan kehidupan umat manusia.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230726


Kamis, 13 Juli 2023

AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA



(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Dalam tulisan yang lalu telah diceritakan bagaimana agama Konghucu di Indonesia sempat tidak diakui keberadaannya, yakni selama rezim Orde Baru berkuasa. Atas jasa Gus Dur, presiden RI keempat, barulah umat Konghucu memperoleh kebebasan menganut agamanya kembali. Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati, Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Pengakuan agama Konghucu sebagai agama oleh negara, yang sejajar dengan lima agama besar lainnya adalah sebuah keniscayaan, karena di Tiongkok Daratan sendiri ajaran Konghucu atau Rú Jiào dikategorikan sebagai satu aliran filsafat.

 

Seperti yang dipaparkan oleh penulis, bahkan orang yang mengaku beragama Konghucu, tidak mengetahui agamanya dengan benar. Seperti jika kita meninjau tempat umat bersembahyang, masih ada yang beranggapan bahwa kelenteng adalah rumah ibadah agama Konghucu. Padahal kuil atau kelenteng itu bisa saja merupakan kuil Buddhis, atau kuil Taois, atau kuil campuran. Nyatanya kebanyakan kuil di Indonesia adalah kuil campuran, yang dikelola oleh Perkumpulan Tridharma. Ketidakpahaman umat Konghucu terhadap ajaran agamanya itu, telah dikritik oleh Kwee Tek Hoay hampir seratus tahun yang lalu, dengan menyebutkan bahwa mayoritas pemeluk agama hanya berkutat menjalani ritual keagamaan belaka. Oleh MATAKIN telah ditetapkan bahwa rumah ibadah umat Konghucu adalah kǒng miào dan lǐ táng.

 

Pada bagian kedua ini penulis akan menceritakan sejarah singkat perkembangan ajaran Konghucu atau sejarah Sekolah Ruisme, agar para pembaca bisa memahami atau bahkan memperdalam sendiri ajaran yang sesungguhnya dari Kǒng Zǐ. Selama hidupnya beliau dikenal sebagai 'guru dari tiga ribu murid dan tujuh puluh dua orang bijak'. Mungkin ini adalah warisan yang paling berharga yang ditinggalkan oleh Sang Guru Agung bangsa Tionghoa. Dengan begitu banyak siswa yang dicetak oleh Sang Guru, murid-muridnya kemudian menyebarkan etika, ritual, dan berbagai pengetahuan yang dikenal pada zaman itu. Saat berusia 68 tahun Kǒng Zǐ  pulang ke kampung halamannya, setelah menyelesaikan pengembaraan panjangnya. Pada tahun 483 seb.M. Kǒng Lǐ, putera semata wayangnya, meninggal dunia. Lalu dua tahun berikutnya siswa favoritnya, Yán Huí, wafat pada usia yang relatif muda. Sang Guru sendiri menyusul dua tahun kemudian, pada tahun 479 seb.M. Orang yang bertugas mewariskan ajarannya jatuh pada diri Kǒng Jí (孔伋), yang merupakan putera dari Kǒng Lǐ. Anda yang berminat mengetahui riwayat hidup Kǒng Zǐ bisa melihat artikel penulis sebelumnya, yang berjudul Kǒng Zǐ dan Ruisme.

 

Beberapa generasi setelah wafatnya Kǒng Zǐ, lahirlah seorang pemikir besar yang kelak dikenal sebagai Mencius (372-289 seb.M.). Nama lahirnya adalah Mèng Kē (孟軻), dan belakangan dia dipanggil sebagai Mèng Zǐ (孟子) atau Bēng-chú (Hokkian), yang artinya adalah 'Guru Mèng'. Mèng Zǐ adalah seorang filsuf Konfusius Tiongkok yang sering digambarkan sebagai 'Orang Bijak kedua' atau Yà Shèng (亞聖), yakni orang kedua setelah Kǒng Zǐ sendiri. Dia adalah bagian dari generasi keempat murid Kǒng Zǐ. Mencius mewarisi ideologi Ruisme dan mengembangkannya lebih jauh. Hidup selama periode Negara-negara Berperang, dia dikatakan telah menghabiskan sebagian besar hidupnya berkeliling negara bagian untuk menawarkan nasihat kepada penguasa yang berbeda. Percakapan dengan para penguasa ini menjadi dasar dari Mencius, yang nantinya akan dikanonisasi sebagai karya klasik Sekolah Ruisme.

 

Salah satu prinsip utama dari Mèng Zǐ adalah keyakinan bahwa sifat manusia adalah baik. Dia sering melakukan pembicaraan dengan para Raja atau penguasa pada masa itu, untuk meyakinkan mereka agar menjadi pemimpin yang benar dan bermoral. Pada gilirannya, negara dengan kebijakan yang adil dan manusiawi akan berkembang secara alami. Warga negara, dengan kebebasan dari aturan yang baik, kemudian akan mengalokasikan waktu mereka untuk merawat isteri, saudara laki-laki, orang tua, dan anak-anak mereka. Rakyat juga harus dibimbing dengan pendidikan dan ritus-ritus yang tepat, sehingga secara alami mereka akan menjadi warga negara yang lebih baik.

 

Selang satu generasi kemudian lahir seorang pemikir besar lainnya, yang bernama Xún Kuàng (荀況; diperkirakanhidup antara 310 - 238 seb.M.). Dia lebih dikenal sebagai Xún Zǐ (荀子), yang berarti: 'Guru Xún'. Bedanya dengan Mèng Zǐ, dia adalah seorang filsuf yang hidup pada akhir periode masa Negara-Negara Berperang. Setelah pendahulunya Kǒng Zǐ dan Mèng Zǐ, Xún Zǐ sering digolongkan sebagai filsuf besar Ruisme ketiga zaman kuno. Pada masanya, Rú Jiào telah banyak dikritik oleh para pemikir Taois dan Mohist, dan Xún Zǐ secara tradisional dianggap sebagai tokoh yang mempersatukan tradisi-tradisi ini dengan pemikiran sebelumnya. Hasilnya adalah revisi Sekolah Ruisme yang menyeluruh dan kohesif, yang sangat penting bagi fondasi filsafat yang akan berkembang di Dinasti Han dan sepanjang sejarah Asia Timur selanjutnya. Karya-karyanya disusun dalam Eponim Xún Zǐ, dan bertahan dalam kondisi yang sangat baik dan orisinil.

 

Ajaran Xún Zǐ yang paling terkenal dan paling banyak dikutip adalah Bab 23, "Sifat Manusia itu Jahat". Watak atau karakter manusia, yang dikenal sebagai Xìng (), adalah topik yang dikomentari oleh Kǒng Zǐ secara ambigu (atau mengandung kedwi-artian), menyisakan banyak ruang bagi para filsuf selanjutnya untuk memperluasnya. Xún Zǐ percaya bahwa kecenderungan bawaan manusia adalah jahat dan bahwa norma etika diciptakan untuk memperbaiki manusia. Oleh karena itu, pandangannya memiliki rasa yang lebih gelap dan lebih pesimistis dibandingkan dengan pendapat Kǒng Zǐ maupun Mèng Zǐ, yang cenderung memandang manusia memiliki bawaan yang baik. Namun, seperti kebanyakan orang dari Sekolah Ruisme, dia percaya bahwa manusia dapat dimurnikan melalui pendidikan dan ritual.

 

Menjelang akhir hidup Xún , periode Negara-negara Berperang mendekati akhir, dan dari tahun 247 hingga 221 seb.M., Qín Shǐ Huáng berkuasa menjadi kaisar pertama Tiongkok. Inilah masa kelam bagi ajaran Ruisme dan juga aliran-aliran pemikiran lainnya yang diberangus oleh sang penguasa. Bahkan banyak pemikir Ruisme yang dibunuh dan kitab-kitab mereka dimusnahkan. Barulah pada masa pemerintahan Dinasti Hàn ajaran Rú Jiào diterima dan mengalami masa keemasannya. Dalam mempelajari sejarah Sekolah Ruisme, cendekiawan modern berfokus pada Kaisar Wǔ atau Hàn Wǔ Dì (漢武帝) yang memerintah dari tahun 141 hingga 87 seb.M. dan Dǒng Zhòng Shū (董仲舒,179-104 seb.M.), karena keduanya telah memberikan dasar ideologis dan sintesis Sekolah Ruisme.

 

Pada tahun 140 seb.M., Kaisar melakukan pengamatan terhadap lebih dari seratus cendekiawan muda. Setelah direkomendasikan oleh para pejabat, sebagian besar sarjana tersebut adalah rakyat jelata tanpa latar belakang bangsawan. Peristiwa penting ini berdampak besar pada sejarah Tiongkok selanjutnya, yang menandai dimulainya secara resmi pendirian ajaran Jiào sebagai doktrin resmi kekaisaran. Ini terjadi karena seorang cendekiawan muda Konfusius, Dǒng Zhòng Shū, dinilai telah menyerahkan esai terbaik yang mana dia menganjurkan pendirian akademi yang menitikberatkan pada ajaran Kǒng Zǐ. Tidak jelas apakah Kaisar , di usianya yang masih muda, benar-benar memutuskan hal ini berdasarkan pertimbangan pribadi, atau apakah keputusan ini hasil intrik sang perdana menteri Wèi Wǎn (衛綰), yang juga seorang pengikut Konfusianisme. Namun, fakta bahwa beberapa cendekiawan muda lainnya yang mendapat nilai tinggi dalam ujian (tetapi bukan Dǒng), yang kemudian menjadi penasihat tepercaya Kaisar Wǔ, tampaknya menunjukkan bahwa Kaisar sendiri setidaknya telah memiliki inisiatif sendiri.

 

Dǒng Zhòng Shū adalah seorang filsuf, politikus, dan penulis Tiongkok pada masa Dinasti Hàn. Dia secara tradisional dikaitkan dengan promosi ajaran Jiào sebagai ideologi resmi negara kekaisaran Tiongkok. Kaisar Wǔ terkenal pula karena mengkanonisasi pembelajaran Sekolah Ruisme sebagai ortodoksi negara, serta mengangkat Lima Klasik ke status kanonik pada tahun 136 seb.M. Lima Klasik atau Wǔ Jīng (五經) terdiri dari Shī Jīng (詩經) atau Kitab Ode atau Kitab Puisi, Shū Jīng (書經) atau Kitab Dokumen, Yì Jīng atau I Ching atau Kitab Perubahan, Lǐ Jì (禮記) atau Kitab Ritus, dan Chūn Q(春秋) atau 'Musim Semi dan Musim Gugur' atau Kronik Sejarah Negeri Lu. Kaisar juga dikenal karena mendirikan Akademi Kekaisaran pada tahun 124 seb.M., dengan menjadikan pembelajaran sebagai jalan penting untuk penunjukan pejabat birokrat. Selain itu, kebijaksanaan konvensional mengatakan bahwa Dǒng Zhòng Shū menyediakan landasan ideologis dasar bagi Dinasti Hàn dan dinasti Tiongkok berikutnya, dengan menggabungkan kosmologi lima fase dengan etika Sekolah Ruisme dan keilmuan klasik.

 

Sekarang kita coba melihat apa dampak diresmikannya Sekolah Ruisme dalam sistem kenegaraan di Tiongkok Kuno. Pejabat-cendekiawan, juga dikenal sebagai sastrawan, atau sarjana-birokrat, atau S-dàfū (士大夫), adalah pejabat pemerintah dan cendekiawan bergengsi dalam masyarakat Tiongkok, dan selanjutnya membentuk kelas sosial yang berbeda. Pejabat-cendekiawan adalah politisi dan pejabat pemerintah yang ditunjuk oleh kaisar Tiongkok yang berkuasa, untuk menjalankan tugas politik sehari-hari, mulai diberlakukan dari zaman Dinasti Hàn hingga akhir Dinasti Qīng pada tahun 1912 (yakni dinasti kekaisaran terakhir di Tiongkok).

 

Para calon atau mereka yang sudah meraih tingkat pendidikan berjenjang ini paling tidak terdiri dari tiga lapisan. Di Tiongkok Kuno, sesorang yang telah lulus ujian masuk untuk menempuh pendidikan lanjutan di perguruan tinggi dinamakan Shēng Yuán (生員) atau Xiù Cái (秀才). Peringkat berikutnya adalah orang-orang yang lulus ujian Xiāng Shì (鄉試), dan mereka dinamakan Rén (舉人, harfiah: menyala, atau 'orang yang direkomendasikan'). Xiāngshì juga dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai ujian provinsi. Itu adalah peringkat yang lebih tinggi dari mereka yang hanya mencapai Shēng Yuán. Peringkat tertinggi adalah Jìn Shì (進士), yakni gelar tertinggi dan terakhir dalam ujian kekaisaran di Kekaisaran Tiongkok. Ujian biasanya diselenggarakan di ibukota kekaisaran, di istana, dan juga disebut 'Ujian Metropolitan'. Penerima terkadang disebut dalam sumber berbahasa Inggris sebagai Imperial Scholars (Sarjana Kekaisaran, Ind.).

 

Ujian kekaisaran atau Jǔ (科舉, harfiah: 'rekomendasi subjek') adalah sistem ujian pegawai negeri di Kekaisaran Tiongkok, yang diselenggarakan dengan tujuan memilih kandidat untuk birokrasi negara. Konsep memilih birokrat berdasarkan prestasi dan bukan berdasarkan kelahiran, dimulai sejak awal sejarah Tiongkok. Tetapi penerapan ujian tertulis sebagai alat seleksi dimulai dengan sungguh-sungguh selama dinasti Suí yang berlanjut ke dinasti Táng. Sistem tersebut menjadi dominan selama Dinasti Sòng dan bertahan selama hampir satu milenium hingga dihapuskannya menjelang reformasi akhir Dinasti Qīng pada tahun 1905. Penerapan ujian tradisional kekaisaran masih diberlakukan untuk masuk ke dalam pelayanan sipil Tiongkok kontemporer, baik di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) maupun di Republik Tiongkok.

 

Ujian tersebut berfungsi untuk memastikan bahwa kandidat memiliki pengetahuan umum, kemudian menguji kefasihan menulis dalam aksara Mandarin, penguasaan Lima Klasik, dan pengungkapan ucapan dalam gaya sastra, yang harus ditampilkan oleh calon-calon pejabat negara. Penerapan kebiasaan ini bertujuan menyatukan kekaisaran, dan cita-cita pencapaian berdasarkan prestasi, memberi legitimasi pada pemerintahan kekaisaran. Untuk lulus ujian peringkat tertinggi adalah sulit. Contohnya sepanjang pemerintahan Dinasti Táng, setiap tahun hanya sekitar satu hingga dua persen peserta tes yang akan memperoleh gelar Jìn Shì dari total satu hingga dua ribu peserta tes. Setelah dinasti Suí, para pejabat ini sebagian besar berasal dari sarjana-bangsawan atau Shēn S (紳士) yang telah memperoleh gelar akademik (seperti Xiù Cái, Jǔ Rén, atau Jìn Shì) dengan lulus ujian kekaisaran. Pejabat-cendekiawan adalah kelas elit kekaisaran Tiongkok. Mereka berpendidikan tinggi, terutama dalam sastra dan seni, termasuk kaligrafi dan naskah-naskah Konfusianisme. Mereka mendominasi administrasi pemerintahan dan kehidupan lokal masyarakat Tiongkok hingga awal abad ke-20.

 

Setelah Anda para pembaca mengenal pejabat-cendekiawan atau dalam literatur sering dinamakan 'Sarjana Konfusian', kita akan melihat empat macam profesi yang dijalani orang sejak zaman Tiongkok Kuno. Empat pekerjaan atau "empat kategori orang", atau Shì Nóng Gōng Shāng (士农工商), Empat golongan ini terdiri dari Shì atau bangsawan-cendekiawan, Nóng atau petani, Gōng yakni pengrajin, dan Shāng atau pedagang. Keempat profesi tersebut tidak selalu diatur dalam urutan ini. Keempat kategori tersebut bukanlah kelas sosial-ekonomi. Kekayaan dan kedudukan tidak bersesuaian dengan kategori-kategori ini, juga tidak didasarkan pada keturunan. Jelas pembagian kategori orang ini tidak seperti sistem Kasta atau Varna yang berlaku di India, yang ditetapkan berdasarkan keturunan. Jadi anak petani jika dia mampu dan memiliki keterampilan, bisa diangkat menjadi pejabat-cendekiawan.

 

Ternyata warisan dari Kǒng Zǐ dan Sekolah Ruisme tidak hanya diterapkan di Tiongkok saja. Ajarannya termasuk etika Jiào, pandangan hidup, pemikiran filsafat, sistem pendidikan, dan ujian negara diserap pula oleh negara-negara di Asia Timur lainnya, seperti di Korea, Jepang, dan Vietnam, sampai sekarang. Contohnya adalah Nguyễn Sinh Sắc, yang merupakan ayah dari Hồ Chí Minh (negarawan dan presiden pertama Vietnam), yang ternyata bergelar Sarjana Konfusian.

 

Selama Dinasti Sòng dan Míng, para filsuf Sekolah Ruisme menggabungkan pemikiran Taois dan Buddhis untuk menghasilkan aliran Neo-Konfusianisme, yang selanjutnya memperkaya sistem ideologi Sekolah Ruisme. Hal ini secara langsung meningkatkan kemakmuran kelas pejabat-cendekiawan dan juga berkontribusi pada kode moral unik, yang berdampak besar pada sastrawan Tiongkok generasi selanjutnya. Apa itu Neo-Konfusianisme? Kita akan membahasnya dalam artikel mendatang.

 

Akhir abad ke-19 terjadi perubahan besar bagi Kekaisaran Tiongkok untuk menata kembali hubungan luar negerinya, ketika Imperialisme Eropa yang agresif berkembang di seluruh Asia. Selama era yang penuh gejolak ini, Tiongkok berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam memasuki tatanan dunia baru. Untuk memperkuat negara dan mempertahankan kemerdekaan nasional melawan kolonialis Eropa dan Jepang, golongan elit Tiongkok secara aktif membuka diri terhadap pembelajaran Barat. Pada tahun 1905, ujian pegawai negeri berdasarkan tradisi Sekolah Ruisme akhirnya dihapuskan. Selanjutnya memasuki zaman pergolakan yang memicu perang saudara antara Rezim Nasionalis melawan pemberontak Komunis, pihak Komunis memfitnah Konfusianisme sebagai penyebab keterbelakangan dan kehancuran Tiongkok. Selama era Máo Zédōng (毛泽东), ajaran Rú Jiào terus digaungkan sebagai penyebab stagnannya masyarakat Tiongkok, yang membuat negeri besar ini terpuruk.

 

Máo Zédōng dengan pemerintahan berdasarkan azas komunisme pun tidak berhasil menyejahterakan masyarakat Tiongkok. Menjalankan program Lompatan Besar ke Depan (1958-1962) yang terbukti gagal total; dan mengakibatkan 15 hingga 55 juta rakyat Tiongkok menderita kelaparan hebat, serta sebagian dari mereka tewas. Ketika Komunisme tidak lagi menjadi model yang memuaskan bagi Tiongkok, para politisi dan intelektual mencari identitas dan model baru, yang dengannya mereka dapat membentuk masa depan mereka. Akibatnya, meskipun dibuang pada awal abad ke-20 sebagai penyebab kematian Tiongkok, Konfusianisme kembali dilirik sebagai model ideologi Tiongkok Modern.

 

Pada 2013, Xí Jìnpíng (习近平) menjadi ketua pertama dalam sejarah Partai Komunis Tiongkok (CPC) yang mengunjungi Kuil Konfusius, yang terletak di Qūfù. Di sana Xí berpidato tentang keunggulan Konfusianisme, dan pada bulan Januari 2017 untuk memberikan ekspresi konkret gagasan Xí, Kantor Umum di bawah Komite Pusat CPC dan Dewan Negara bersama-sama mengeluarkan "Saran tentang implementasi proyek untuk mempromosikan dan mengembangkan keunggulan budaya tradisional Tiongkok." Proposal ini berisikan inisiatif pemerintah untuk mempromosikan budaya Tionghoa dan Konfusianisme.

 

Demikianlah para pembaca, kita dapat melihat pasang surut ajaran Sekolah Ruisme, sejak ajaran ini diperkenalkan oleh Kǒng Zǐ lalu dilanjutkan oleh para pengikutnya. Jelas terlihat bahwa ajaran Rú Jiào sudah mendarah daging bagi mereka yang pernah makan bangku sekolah di Tiongkok, selama lebih dari dua ribu tahun. Meskipun tidak diajarkan sebagai pelajaran agama, etika dan ketatanegaraan dalam Sekolah Ruisme lebih mirip dengan mata pelajaran PMP atau Pendidikan Moral Pancasila di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Atas dasar itulah alasan mengapa ajaran Kǒng Zǐ tidak dikategorikan sebagai agama yang diakui di Tiongkok Daratan. Namun, walaupun demikian, etika Konfusian sudah melebur ke dalam tradisi dan budaya Tionghoa itu sendiri.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230712