Rabu, 17 Mei 2023

HUKUM KARMA



Seorang sahabat penulis terbiasa menjajakan buku-buku bekas di media sosial. Secara berkala dia menawarkan barang dagangannya, dengan cara memajang foto sampul depan, sampul belakang, daftar isi, dan harga buku. Buku-buku yang dijualnya masih layak-baca dan harganya pun murah. Dari kumpulan pustaka yang diperjualbelikannya kadang-kadang ada buku-buku agama Buddha atau kepercayaan dari Dunia Timur. Terakhir ini penulis membeli sebuah buku bekas berjudul The Cause and Effect Sutra, Sutra Sebab dan Akibat. Bukunya berukuran 11,5 cm kali 17,5 cm, dengan tebal 185 halaman. Setelah memeriksa isi buku dengan saksama, tidak ditemukan nama penerbitnya maupun tahun buku itu dicetak. Di halaman belakang tercetak: Not for Sale, Tidak Untuk Dijual. Di sampul-dalam ada tulisan: "Milik Vihara", tetapi tidak tercantum vihara mana. Penulis membeli buku tersebut seharga lima ribu rupiah.

 

Buku ini mirip komik, dengan setiap halamannya berisi gambar-gambar; serta isinya ditulis dalam tiga bahasa: bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa Mandarin. Setelah menelusuri dari mana ajaran ini berasal, penulis akhirnya mendapatkan bahwa naskah ini berasal dari Sutra Sebab-Musabab Masa Lalu-Sekarang atau 過去現在因果経 (Guòqù xiànzài yīnguǒ jīng). Naskah ini dinamakan pula Sutra Sebab dan Akibat Yang Ada, serta diterjemahkan dari bahasa Sanskerta ke bahasa Mandarin oleh Liú Sòngqiú Nàbátuóluó pada zaman Dinasti Jìn Timur. Dalam  kepustakaan Buddhisme Tiongkok Sutra tersebut dimasukkan dalam jilid ketiga Koleksi Taisho. Sutra ini juga merupakan Karma Sutra dalam bentuk gulungan gambar, dan versi ini populer di Jepang; dengan sebutan Kakogenzaiingakyō.

 

Pada bagian pembuka sutra ini bisa kita baca kalimat berikut ini: "Pada suatu pertemuan di Majelis Lin-Shan, di mana 1250 pengikut hadir, Ānanda, salah satu murid utama, setelah berputar tiga kali dengan tangan terlipat di sekeliling Buddha Sakyamuni, membungkuk hormat, dan dengan rendah hati bertanya: 'Di zaman kegelapan sekarang, di mana kebanyakan orang-orang kita menuruti ketidakbenaran, tidak menghormati ajaran Buddha, tidak berbakti kepada orang tua mereka, tidak bermoral, sengsara dan menjijikkan. Di antara mereka ada yang tuli, ada yang buta, ada yang bisu, ada yang bodoh, ada yang cacat dalam jiwa dan raganya, dan kebanyakan orang terbiasa dengan membunuh ... . Bagaimana kita bisa memahami prinsip-prinsip atas kasus-kasus samar dan mendasar, yang telah sampai pada realitasnya, serta konsekuensi apa yang pada akhirnya akan diderita oleh setiap individu atas perbuatannya. Yang Mulia, maukah Dikau menjelaskan perkara ini kepada kami?' ... ."

 

Apa yang dimaksud dengan sebab-musabab pada judul Sutra tersebut? Artinya apa pun yang terjadi dalam kehidupan manusia itu, semuanya tidak lain merupakan rangkaian sebab dan akibat; bukan terjadi karena alasan lainnya. Penulis teringat sewaktu pertama kali mempelajari ajaran agama Buddha. Pada waktu itu tahun 1977, penulis meminjam sebuah buku di perpustakaan vihara. Judulnya Dhamma Sari, karangan Pandita Vidyadharma. Dalam buku itu dituliskan bahwa segala kejadian yang menimpa diri kita, semata-mata disebabkan oleh perbuatan kita sendiri. Perbuatan yang mana? Dalam perspektif Buddhis, perbuatan yang kita lakukan pada masa yang lampau, tidak hanya terbatas sejak kita dilahirkan. Dalam pandangan Buddhisme, ada kehidupan lain sebelum kehidupan yang sekarang, dan sebagai konsekuensinya ada kehidupan lain di masa mendatang setelah kita meninggal dunia.

 

Untuk memahami bekerjanya hukum sebab dan akibat atas segala perbuatan kita, Pandita Vidyadharma memberi satu contoh kasus. Ada seorang laki-laki muda yang baru ke luar dari pintu rumahnya. Dalam perjalanan ke satu tempat, sekonyong-konyong sebutir buah kelapa jatuh dari pohonnya, dan lelaki yang naas itu tertimpa buah yang cukup berat itu. Alangkah malangnya! Dia langsung tewas di tempat. Jika dipikirkan, seolah-olah tidak ada hubungannya antara buah kelapa yang jatuh dan lelaki muda yang meninggal itu. Orang awam menyebutkan bahwa peristiwa itu hanyalah kebetulan belaka. Namun menurut hukum sebab-akibat, peristiwa tersebut disebabkan karena di kehidupannya yang lampau orang tersebut pernah melakukan satu perbuatan, yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang atau sesosok makhluk. Implikasi dari ajaran ini: di dunia ini tidak ada peristiwa atau kejadian yang kebetulan atau bersifat untung-untungan belaka.

 

Kita lanjutkan membahas isi Sutra Sebab-Musabab Masa Lalu-Sekarang. "Apa itu Hukum Sebab-Musabab? Sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukan pada masa lalu kehidupan, pada masa sekarang ada yang miskin, ada yang kaya; ada yang hidup dalam kebahagiaan, sedangkan yang lain hidup dalam penderitaan." Kemudian Sang Buddha menguraikan ajaran Hukum Karma. "Takdir adalah karma dari kumpulan perbuatan di masa lalu. Karma masa lalu menjadi takdir pada kehidupan sekarang. Karma saat ini adalah pembentuk kehidupan selanjutnya. Hayatilah Hukum Karma karena karma tidak dapat dihindari, dan kata-kataku berdasarkan Kebenaran."

 

Lebih jauh pada Sutra itu diuraikan berbagai perbuatan baik dan buruk, beserta konsekuensi atau buah perbuatan tersebut, berdasarkan hukum sebab dan akibat. Contohnya: (1) Bisa memiliki berbagai berbagai fasilitas transportasi dalam kehidupan sekarang. Penyebabnya: Memperbaiki jembatan dan membangun jalan untuk kepentingan umum pada kehidupan yang lalu. (2) Memiliki pakaian yang berlimpah dalam kehidupan sekarang. Penyebabnya: Mendermakan pakaian kepada biarawan maupun orang-orang yang membutuhkan busana itu di kehidupan yang lalu. (3) Mempunyai makanan yang berkecukupan dalam kehidupan sekarang. Penyebabnya: Memberikan makanan kepada orang miskin pada kehidupan yang terdahulu.

 

Bulan April 2023 yang lalu penulis berkesempatan mengunjungi Kuil Giác Lâm (bahasa Vietnam: Giác Lâm Tự), sebuah kuil Buddha bersejarah di Kota Ho Chi Minh, kota terbesar di Vietnam. Dibangun pada tahun 1744, ini adalah salah satu kuil tertua di kota yang bersejarah ini. Dalam kompleks vihara yang luas ini ada beberapa bangunan, dengan satu buah pagoda bertingkat tujuh. Di salah satu sudut pekarangannya, penulis menemukan rangkaian gambar yang dipasang setinggi orang dewasa. Dilindungi oleh jendela kaca, kita dapat melihat lukisan indah, yang berisi fragmen kehidupan manusia. Penulis sempat memfoto rangkaian lukisan itu, dan sebagian hasil jepretan itu tampak pada gambar di atas. Seperti fragmen lukisan yang terletak di tengah, memperlihatkan sebuah adegan, yang mempertanyakan mengapa seorang terlahir miskin. Jawabnya: Karena dia terlalu pelit, dan tidak pernah berderma kepada fakir miskin di kehidupan yang lampau. Keterangan gambar ditulis dalam bahasa Vietnam dan bahasa Inggris. Adanya rangkaian gambar yang mempertontonkan nasib manusia, mungkin dimaksudkan oleh pengelola vihara, agar para pengunjung selalu mengingat bekerjanya karma dan konsekuensi yang dihadapi mereka dalam kehidupan ini.

 

Dalam koleksi-besar Kanon Pāli kita dapat menemukan ajaran tentang hukum karma ini, yakni pada Cullakammavibhanga Sutta, dalam kitab Majjhima Nikāya No. 135. Berikut potongan kutipan Sutta tersebut. "Guru Gotama, apakah sebab dan kondisi mengapa manusia terlihat hina dan mulia, orang-orang tertentu berumur pendek dan berusia panjang, berpenyakit dan sehat, rupawan dan buruk rupa, berpengaruh dan tidak-berpengaruh, miskin dan kaya, lahir di keluarga terpandang dan terhina, bodoh dan bijaksana. Apakah sebabnya, wahai Guru Gotama?" ... "Jika seseorang memiliki kebiasaan mencelakakan orang lain dengan tangannya, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau; ketika dia lahir sebagai manusia, dia akan menderita berbagai jenis penyakit. Jika seseorang menjauhi tabiat mencelakakan orang lain, sebagai buah tiada-kekerasan pada sesamanya; ketika dia terlahir sebagai manusia, dia akan mendapatkan kesehatan yang baik." Di dalam Sutta ini pun dijelaskan berbagai nasib seorang anak manusia. Bagi Anda yang tertarik mengetahui dan mempelajarinya lebih lanjut, silahkan mencarinya di berbagai situs Buddhis.

 

Jika nasib atau takdir manusia bukan ditentukan berdasarkan faktor kebetulan atau untung-untungan, padahal antara satu manusia dengan manusia lainnya terjadi ketidaksamaan atau keberagaman, faktor apa yang menjadi penentunya? Dalam buku Atthasālinī yang dikarang oleh Buddhaghosa, disebutkan: "Bergantung pada perbedaan dalam Kamma, muncul ketidaksamaan kelahiran makhluk-makhluk; menjadi tinggi dan rendah, hina dan mulia, berbahagia dan menderita. Bergantung pada perbedaan dalam Kamma, muncul keberagaman kualitas individual, seperti rupawan dan buruk rupa, berkedudukan tinggi dan berstatus rendah, lengkap-sempurna organ tubuhnya dan cacat fisik. Bergantung pada perbedaan dalam Kamma, muncul perbedaan dalam kondisi duniawi, seperti untung dan rugi, populer dan terpuruk, dipuji dan dihina, suka dan duka."

 

Bagaimana ilmu pengetahuan menjelaskan ketidaksamaan atau keberagaman, yang terjadi di antara individu-individu manusia? Ilmu pengetahuan menjelaskannya dengan teori keturunan atau hereditas, dan pengaruh lingkungan; atau disebabkan oleh dua faktor yakni nature dan nurture. Teori keturunan menyebutkan bahwa seorang anak mewarisi ciri-ciri fisik dari ayah dan ibunya. Tetapi hereditas hanya mampu menjelaskan bagian raga atau jasmani manusia, serta belum mampu menerangkan perbedaan intelektual, mental, dan moral; apakah bisa diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya. Contohnya adalah Guru kita, Sang Buddha. Beliau adalah seorang manusia agung, padahal kedua orang tuanya dan juga putera tunggalnya, sama sekali tidak menyamai dalam kualitas fisik, intelektual, mental, dan moralitasnya.

 

Di dalam Samyutta Nikāya I, 227 dinyatakan: "Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang akan dituai. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebajikan, dan pembuat kejahatan akan menerima kejahatan pula. Tertaburlah olehmu biji-biji benih, dan engkau pulalah yang akan memetik buah-buah daripadanya." Kalau kita melihat lewat kacamata duniawi, pernyataan tersebut tampak bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Kita sering mendapatkan orang yang banyak melakukan kebajikan tetapi masih saja dia mengalami penderitaan; sebaliknya orang yang banyak berbuat jahat, malahan hidupnya senang-senang saja. Mengapa demikian? Apakah karmanya berbuah keliru? Sebetulnya tidak ada yang salah. Kita ambil sebuah lahan pertanian yang mulai ditanami dengan ketela dan jagung pada saat bersamaan, yang mana tanaman ketela dan jagung tersebut masing-masing memiliki saat panen yang berbeda. Jelas tanaman jagung akan panen terlebih dahulu dibandingkan tanaman ketela. Demikian pula perbuatan baik dan buruk. Kalau kita sudah berbuat baik tetapi masih menderita, ini disebabkan karena perbuatan baik kita belum saatnya dituai. Dalam kasus ini kita memetik buah dari perbuatan buruk terlebih dahulu. Sedangkan perbuatan baiknya belum saatnya masak.

 

Kita harus yakin bahwa hukum karma menjamin keadilan. Orang yang berbuat jahat pada akhirnya harus menanggung akibat perbuatan buruknya. Hukum karma tidak akan salah dalam mengejar si pelakunya. Mungkin orang jahat itu bisa mengelabui hukum negara yang notabene hukum itu buatan manusia, sehingga dia bisa memanfaatkan celah-celah hukum, yang pada akhirnya dia lolos dari hukuman penjara atau vonisnya di-ringankan. Namun hukum karma tidak bisa diakali dan diajak kompromi; hukum karma bekerja secara otomatis walaupun kadang kala harus menunggu lama untuk mencapai kematangannya.

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya perihal fragmen gambar di atas, yang memperlihatkan orang yang berkecukupan bahkan berkelimpahan hidupnya, karena dalam kehidupan yang lampau dia banyak berderma kepada fakir miskin. Apakah hanya dengan berderma saja, orang bisa menjadi orang yang kaya pada kehidupan mendatang? Bukankah ini melulu hanya ajaran yang naif dan cenderung dogmatis? Mungkin ada orang yang memiliki jalan pikiran seperti ini: "Engkau terlahir miskin dalam kehidupan ini karena karma buruk masa lalumu. Dia terlahir kaya karena karma baik masa lalunya. Jadi bersyukurlah dengan keadaanmu yang sederhana, tetapi berbuat baiklah sekarang agar engkau menjadi kaya di kehidupanmu yang selanjutnya." Doktrin karma dalam pandangan Buddhis tidak mendukung pandangan fatalistik semacam itu, juga tidak mengajarkan keadilan post-mortem. Sang Buddha yang Maha-Welas-Asih, tidak memiliki motif egois tersembunyi. Beliau tidak mengajarkan hukum karma ini untuk mempertahankan orang kaya agar tetap berkelimpahan di kehidupannya yang kemudian, lalu menghibur orang miskin dengan menjanjikan kebahagiaan ilusif di kehidupan yang akan datang.

 

Menurut doktrin Buddhis tentang Karma, seseorang tidak selalu dipaksa oleh keniscayaan belaka. Karena Karma bukanlah takdir atau predistinasi yang dipaksakan kepada kita, oleh suatu kekuatan misterius yang tidak diketahui, yang mana kita menyerah tanpa daya. Karma pada hakikatnya adalah perbuatan sendiri yang bereaksi terhadap diri sendiri, sehingga seseorang sampai batas tertentu memiliki kekuatan untuk mengalihkan arah Karma. Seberapa jauh seseorang mengalihkannya, tergantung pada orang itu sendiri. Penulis cukupkan bekerjanya hukum karma sampai di sini, agar tidak membingungkan para pembaca. Penulis mungkin akan membahas cara bekerjanya karma dalam artikel yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230517




Rabu, 03 Mei 2023

AŚOKA


 

India bagian utara dan tengah pada abad ke-6 hingga ke-5 sebelum Masehi, terbagi menjadi 16 mahājanapada atau negeri, yang berbentuk kerajaan atau republik oligarki. Dari 16 negeri tersebut ada dua yang terkuat, yakni Magadha dan Kosala. Inilah zaman yang penuh dengan pembaharuan, dengan munculnya gerakan asketis dan keagamaan yang baru, termasuk kebangkitan Jainisme dan Buddhisme serta lahirnya berbagai aliran filsafat. Gerakan asketis ini menentang dominasi Brahmanisme yang selama ribuan tahun mengutamakan segi ritual keagamaan, yang pedoman keagamaannya bersumber dari Kitab Veda. Strata masyarakat pun berubah. Selama ribuan tahun, kasta Brahmana yang beranggotakan para pendeta bertugas memimpin upacara keagamaan, dianggap sebagai kasta tertinggi. Namun dengan melemahnya Brahmanisme, perlahan-lahan para Ksatria yang terdiri dari para raja, bangsawan, dan pejabat pemerintahan menduduki strata tertinggi di masyarakat India.

 

Sumber-sumber awal, dari Kanon Pāli, Pustaka Jain, dan Purana Hindu, menyebutkan bahwa Magadha diperintah oleh Dinasti Pradyota (kira-kira 682 - 544 seb.M.) dan Dinasti Haryanka (kira-kira 544 - 413 seb M.) kurang lebih sekitar 270 tahun, dan kita sebut kerajaannya Magadha-Raya. Raja Bimbisara dari Dinasti Haryanka memimpin kebijakan aktif dan ekspansif, menaklukkan Angga di tempat yang sekarang disebut Bihar Timur dan Benggala Barat. Selanjutnya kita pernah bahas dalam tulisan yang lalu, Raja Bimbisara digulingkan dan dibunuh oleh puteranya sendiri, Pangeran Ajatashatru. Putera Bimbisara ini kemudian melanjutkan kebijakan ekspansi Magadha-Raya. Selama periode Bimbisara dan Ajatashatru, Buddha Gautama, pendiri agama Buddha, menjalani sebagian besar hidupnya di kerajaan Magadha dan Kosala.

 

Dinasti Haryanka yang diperintah oleh keturunan Ajatashatru digulingkan oleh dinasti Shaishunaga (kira-kira 413–345 seb.M.). Penguasa Shishunaga terakhir, Kalasoka, dibunuh oleh Mahapadma Nanda pada tahun 345 seb.M., yang pertama dari apa yang disebut Sembilan Nanda, yaitu Mahapadma dan delapan puteranya. Kekaisaran Nanda (kira-kira 345–322 seb.M.), pada jangkauan terbesarnya, terbentang dari Benggala di timur, hingga wilayah Punjab di barat dan sejauh selatan hingga Pegunungan Vindhya. Dinasti Nanda terkenal karena kekayaannya yang luar biasa. Dinasti ini dibangun di atas pondasi yang diletakkan oleh pendahulu Haryanka dan Shishunaga, dan mereka mendirikan kerajaan besar pertama di India Utara. Menurut sejarawan Yunani, Plutarch, jumlah pasukan Nanda sangat besar, meliputi 200.000 infanteri, 80.000 kavaleri, 8.000 kereta perang, dan 6.000 gajah perang. Namun Kekaisaran Nanda tidak memiliki kesempatan untuk menjajal balatentara Alexander Agung, yang saat itu tengah menginvasi wilayah India Barat-laut. Alexander Agung terpaksa membatasi invasinya di dataran Punjab dan Sindh, karena pasukannya melakukan desersi di bantaran sungai Beas dan menolak untuk melangkah lebih jauh, saat menghadapi pasukan Dhana Nanda.

 

Selanjutnya pada 322 seb.M. Chandragupta Maurya dengan bimbingan patihnya, Acharya Chanakya, berhasil menumbangkan Kerajaan Nanda dan mendirikan kerajaan besar pertama di India Kuno. Sebagian besar anak benua India ditaklukkan oleh Kekaisaran Maurya selama abad ke-4 dan ke-3 seb.M. Sejak abad ke-3 seb.M. dan seterusnya, sastra Prakrit dan Pāli di India Utara dan sastra Tamil Sangam di India Selatan mulai berkembang. Kekaisaran Maurya (322–185 seb.M.) ini menyatukan sebagian besar anak benua India menjadi satu negara besar, dan merupakan kerajaan terbesar yang pernah ada di anak benua India. Pada puncak kejayaannya, Kekaisaran Maurya membentang ke utara sampai ke batas alami Himalaya dan ke timur ke tempat yang sekarang disebut Assam. Di sebelah barat mencapai luar Pakistan modern, ke pegunungan Hindu Kush di tempat yang sekarang disebut Afghanistan. Kekaisaran didirikan oleh Chandragupta Maurya, dibantu oleh Chanakya (Kautilya) di Magadha (di Bihar modern), ketika dia menggulingkan Kekaisaran Nanda.

 

Chandragupta dengan cepat memperluas kekuasaannya ke arah barat melintasi India tengah dan barat, dan pada 317 seb.M. kekaisaran telah sepenuhnya menduduki India Barat-laut. Kekaisaran Maurya kemudian mengalahkan Seleukus I, seorang diadochus dan pendiri Kerajaan Seleukia, selama perang Seleukia–Maurya, sehingga memperoleh wilayah tambahan di sebelah barat Sungai Indus. Putera Chandragupta, Bindusara, naik takhta sekitar tahun 297 seb.M.. Pada saat dia meninggal di tahun 272 seb.M., sebagian besar anak benua India berada di bawah kekuasaan Maurya. Namun, wilayah Kalinga (sekitar wilayah Odisha modern) tetap berada di luar kendali Maurya. Setelah melihat sejarah panjang dari masa Bimbisara hingga Bindusara, sekarang kita sampai pada pewaris tahta Kekaisaran Mauya yang ketiga, yakni Aśoka (diperkirakan lahir pada tahun 304 seb.M.).

 

Aśokavadana menyebutkan bahwa ibu Aśoka adalah puteri seorang brahmana dari Champa, dan dinubuatkan akan menikah dengan seorang raja. Oleh karena itu, ayahnya membawanya ke Pataliputra, di mana dia dilantik menjadi selir Bindusara, dan akhirnya menjadi permaisuri utamanya. Aśokavadana tidak menyebutkan namanya, meskipun legenda lain memberikan nama yang berbeda untuknya. Juga menurut naskah tersebut, Bindusara tidak menyukai Aśoka karena kulitnya yang kasar. Suatu hari, Bindusara meminta petapa Pingala-vatsajiva untuk menentukan putera mana yang layak menjadi penggantinya. Dia meminta semua pangeran untuk berkumpul di Taman Paviliun Emas atas saran sang petapa. Aśoka enggan pergi ke sana karena ayahnya tidak menyukainya, tetapi ibunya meyakinkannya untuk pergi. Ketika menteri Radhagupta melihat Aśoka meninggalkan ibu kota menuju Taman, dia menawarkan untuk memberikan pangeran sebuah gajah kerajaan untuk perjalanan tersebut. Di Taman, Pingala-vatsajiva memeriksa para pangeran dan menyadari bahwa Aśoka akan menjadi raja berikutnya. Untuk menghindari Bindusara yang menentangnya, petapa itu menolak menyebutkan nama penggantinya. Sebaliknya, dia berkata bahwa orang yang memiliki tunggangan, tempat duduk, minuman, bejana, dan makanan terbaik akan menjadi raja berikutnya. Kemudian sang petapa memberi tahu ibu Aśoka bahwa puteranya akan menjadi raja berikutnya, dan atas sarannya, Aśoka pun meninggalkan kerajaan untuk menghindari kemarahan Bindusara.

 

Menurut Aśokavadana, Bindusara mengutus pangeran Aśoka untuk menumpas pemberontakan di kota Takshashila. Episode ini tidak disebutkan dalam tradisi Sri Lanka, yang malah menyatakan bahwa Bindusara mengirim Aśoka untuk memerintah Ujjain. Dua teks Buddhis lainnya – Aśoka-sutra dan Kunala-sutra – menyatakan bahwa Bindusara menunjuk Aśoka sebagai raja muda di Gandhara (tempat Takshashila berada), dan bukan Ujjain. Aśokavadana menyatakan bahwa Bindusara memberi Aśoka pasukan empat lapis (terdiri dari kavaleri, gajah, kereta, dan infanteri) tetapi menolak memberikan senjata apa pun untuk pasukan ini. Aśoka menyatakan bahwa senjata akan muncul di hadapannya jika dia layak menjadi raja, dan kemudian, para dewa muncul dari bumi dan memberikan senjata kepada tentara. Ketika Aśoka mencapai Takshashila, warga menyambutnya dan mengatakan kepadanya bahwa pemberontakan mereka hanya melawan para menteri jahat, bukan raja. Beberapa waktu kemudian, Aśoka disambut dengan cara yang sama di wilayah Khasa dan para dewa menyatakan bahwa dia akan terus menaklukkan seluruh bumi.

 

Menurut Mahavamsa, Bindusara menunjuk Aśoka sebagai raja muda Ujjain (Ujjeni) saat itu, yang merupakan pusat administrasi dan komersial penting di provinsi Avanti di India tengah. Tradisi ini dikuatkan dengan prasasti Saru Maru yang ditemukan di India tengah. Prasasti ini menyatakan bahwa dia mengunjungi tempat itu sebagai seorang pangeran. Dekrit batu yang dibangun oleh Aśoka sendiri, menyebutkan kehadiran pangeran raja muda di Ujjain selama masa pemerintahannya, yang selanjutnya mendukung tradisi bahwa dia sendiri menjabat sebagai raja muda di Ujjain.

 

Menurut tradisi Sri Lanka, Aśoka mengunjungi Vidisha, di mana dia jatuh cinta dengan seorang wanita cantik dalam perjalanannya ke Ujjain. Menurut Dipamvamsa dan Mahamvamsa, wanita itu adalah Devi – puteri seorang saudagar. Menurut Mahabodhi-vamsa, dia adalah Vidisha-Mahadevi dan berasal dari klen Sakya. Penulis sejarah Buddhis mungkin telah mengarang hubungan Sakya untuk menghubungkan keluarga Aśoka dengan Sang Buddha. Teks-teks Buddhis menyinggung dia menjadi seorang Buddhis di tahun-tahun terakhirnya tetapi tidak menggambarkan pertobatannya ke agama Buddha. Oleh karena itu, kemungkinan besar dia sudah menjadi seorang Buddhis ketika dia bertemu Aśoka.

 

Mahavamsa menyatakan bahwa Devi melahirkan putera Aśoka, Mahinda, di Ujjain, dan dua tahun kemudian, seorang puteri yang bernama Sanghamitta. Menurut Mahavamsa, putera Aśoka, Mahinda, ditahbiskan menjadi bhikkhu pada usia 20 tahun, pada tahun keenam pemerintahan Aśoka. Itu berarti Mahinda pasti berusia 14 tahun ketika Aśoka naik tahta. Bahkan jika Mahinda lahir ketika Aśoka masih berusia 20 tahun, Aśoka harus naik tahta pada usia 34 tahun, yang berarti dia harus menjabat sebagai raja muda selama beberapa tahun. Sejarah mencatat bahwa Aśoka mengutus putera dan puterinya ke Sri Lanka untuk menyebarkan agama Buddha di sana. Mahinda kelak menjadi seorang Arahant dan Sanghamitta mendirikan Sangha Bhikkhuni di sana.

 

Legenda menyatakan bahwa Aśoka bukanlah putera mahkota, dan kenaikan tahtanya sempat diperdebatkan orang. Aśokavadana menyatakan bahwa putera tertua Bindusara, Susima, pernah menampar kepala seorang menteri botak sambil bercanda. Sang menteri khawatir setelah naik tahta, Susima mungkin bercanda melukainya dengan pedang. Oleh karena itu, dia menghasut lima ratus menteri untuk mendukung klaim Aśoka atas takhta ketika saatnya tiba, dengan menyebutkan bahwa Aśoka diprediksi akan menjadi seorang chakravartin (raja besar). Beberapa waktu kemudian, Takshashila memberontak lagi, dan Bindusara mengutus Susima untuk meredam pemberontakan tersebut. Tak lama kemudian, Bindusara jatuh sakit dan diperkirakan akan segera meninggal. Susima masih di Takshashila, karena tidak berhasil menekan pemberontakan. Bindusara memanggilnya kembali ke ibu kota dan meminta Aśoka untuk segera kembali ke Takshashila. Namun, para menteri mengatakan kepadanya bahwa Aśoka sedang sakit dan menyarankan agar ia mengangkat Aśoka untuk sementara waktu sampai Susima kembali dari Takshashila. Ketika Bindusara menolak untuk melakukannya, Aśoka menyatakan bahwa jika tahta itu menjadi haknya, para dewa akan menobatkannya sebagai raja berikutnya. Pada saat itu para dewa mengabulkannya, Bindusara meninggal, dan kekuasaan Aśoka meluas ke seluruh dunia, termasuk wilayah Yaksha yang terletak di atas bumi dan wilayah Naga yang terletak di bawah bumi. Ketika Susima kembali ke ibu kota, patih Aśoka yang baru diangkat Radhagupta memperdayainya, dan menjebaknya ke dalam lubang arang. Susima meninggal dengan kematian yang menyakitkan, dan jendral Bhadrayudha, bawahan Susima, menjadi bhikkhu buddhis.

 

Jika melihat dari beberapa sumber tertulis, penobatan Aśoka pun memiliki berbagai versi, sehingga sulit untuk diverifikasi mana yang paling sahih. Yang jelas Aśoka bukanlah figur yang disukai oleh ayahnya sendiri, dan penjuangan Aśoka untuk menduduki tahta diperoleh dengan cara menyingkirkan saingan-saingannya yang tidak lain saudaranya sendiri. Suksesi kepemimpinan berdarah ini juga bukan hanya terjadi di tanah India, juga berlangsung sepanjang sejarah umat manusia di Tiongkok dan negeri-negeri lainnya, seperti yang akan kita temukan dalam artikel penulis selanjutnya. Kesulitan berikutnya adalah penentuan kapan Aśoka dinobatkan sebagai kaisar, karena orang India Kuno tidak suka mencatat rangkaian peristiwa berdasarkan kronologinya. Setelah membanding-bandingkan dengan data pada prasasti dan tulisan kuno, para sejarawan memilih 268 seb.M. sebagai tahun penobatan Aśoka, yakni ketika dia berusia 36 tahun. Ini berarti empat tahun setelah wafatnya Bindusara, yang berarti Aśoka tidak serta-merta menjadi kaisar sepeninggal ayahnya.

 

Menurut Dekrit Batu Utama Aśoka 13, dia menaklukkan Kalinga delapan tahun setelah naik takhta. Dekrit tersebut menyatakan bahwa selama penaklukannya atas Kalinga, 100 ribu manusia dan hewan dibunuh dalam perang yang brutal; dan 150 ribu pria dan hewan dibawa pergi dari Kalinga sebagai tawanan dan pampasan perang. Aśoka menyatakan bahwa belajar dari penderitaan dan kesengsaraan ini, menyebabkan dia bertobat dengan mengabdikan dirinya pada praktik dan penyebaran dharma. Dia menyatakan bahwa dia sekarang menganggap pembantaian, kematian, dan deportasi yang disebabkan selama penaklukan suatu negara menyakitkan dan menyedihkan; dan bahwa dia menganggap kesengsaraan yang dialami oleh orang-orang yang tidak berdosa bahkan lebih menyedihkan lagi.

 

Baik tradisi Sri Lanka maupun India Utara menyatakan bahwa Aśoka adalah orang yang kejam sebelum dia mengenal agama Buddha. Tāranātha (1575 - 1634, seorang Lama dan sarjana Tibet yang terkemuka), juga menyatakan bahwa Aśoka awalnya disebut Kamaśoka karena dia menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam gelimang kesenangan-duniawi (kama). Selanjutnya dia kemudian dipanggil Chandaśoka­ (artinya: "Aśoka si bengis") karena dia menghabiskan beberapa tahun untuk melakukan perbuatan jahat. Terakhir, dia dikenal sebagai Dhammaśoka (maknanya: "Aśoka yang saleh"), setelah pertobatannya dengan memeluk agama Buddha. Perubahan dari seorang jahat menjadi seorang yang saleh disebutkan dalam dekrit berikut ini:

 

"Secara langsung, setelah Kalinga dianeksasi, Yang Mulia mulai dengan bersemangat melindungi Hukum Kesalehan. Kecintaannya pada Hukum itu, dan menanamkan Hukum itu. Dari situ timbul penyesalan Yang Mulia karena telah menaklukkan Kalinga. Penaklukan suatu negara yang sebelumnya tidak ditaklukkan melibatkan pembantaian, kematian, dan pengangkutan tawanan rakyat. Itu adalah masalah kesedihan dan penyesalan yang mendalam bagi Yang Mulia." (Dekrit ke-13, Prasasti Batu Utama Aśoka).

 

­Dipavamsa menyatakan bahwa Aśoka mengundang beberapa pemimpin agama bukan-Buddhis ke istananya dan menjanjikan hadiah besar kepada mereka, dengan harapan mereka bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh sang raja. Naskah tersebut tidak menyebutkan apa pertanyaannya, tetapi sampai pertemuan usai tidak ada satu pun dari para undangan yang dapat menjawabnya. Suatu hari, Aśoka melihat seorang bhikkhu Buddhis muda bernama Nigrodha, yang sedang mencari sedekah makanan di sebuah jalan di Pataliputra. Dia adalah keponakan kaisar, meskipun kaisar tidak mengetahui hal ini: dia adalah putera anumerta dari kakak laki-laki tertua Aśoka, Susima, yang telah dibunuh Aśoka selama konflik memperebutkan takhta. Aśoka terkesan dengan penampilan Nigrodha yang tenang dan tak kenal takut, dan memintanya untuk mengajarkan keyakinannya. Sebagai tanggapan, Nigrodha memberinya khotbah tentang appamada (kesungguhan). Kaisar menjadi upasaka, dan mulai mengunjungi kuil Kukkutarama di Pataliputra. Di kuil tersebut, dia bertemu dengan bhikkhu Moggaliputta Tissa, dan menjadi lebih yakin lagi terhadap ajaran Buddha.

 

Aśokavadana menyatakan bahwa Aśoka mengumpulkan tujuh dari delapan bagian relik Buddha Gautama, dan bagiannya disimpan dalam 84.000 kotak yang terbuat dari emas, perak, mata kucing, dan kristal. Dia memerintahkan pembangunan 84.000 stupa di seluruh bumi, di kota-kota yang berpenduduk 100.000 atau lebih. Dia memberi tahu bhikkhu tua Yashas, seorang bhikkhu di biara Kukkutarama, bahwa dia ingin stupa-stupa ini diselesaikan pada hari yang sama. Yashas menyatakan bahwa dia akan memberi tanda waktu penyelesaian dengan menutupi matahari dengan tangannya. Ketika dia melakukannya, 84.000 stupa diselesaikan sekaligus. Mahavamsa menyatakan bahwa Aśoka memerintahkan pembangunan 84.000 vihara daripada stupa untuk menyimpan relik. Seperti Aśokavadana, Mahavamsa menggambarkan kumpulan relik Aśoka, tetapi tidak menyebutkan episode ini dalam konteks kegiatan pembangunan. Dinyatakan bahwa Aśoka memutuskan untuk membangun 84.000 vihara ketika Moggaliputta Tissa memberitahunya bahwa ada 84.000 bagian dari Dhamma Sang Buddha. Menurut penulis, angka 84.000 adalah ungkapan sastra Pāli, yang berarti "banyak sekali". Sampai sekarang stupa-stupa yang dibangun pada masa pemerintahan Aśoka, masih tersisa di banyak tempat di wilayah India dan Pakistan.

 

Piagam batu Aśoka menunjukkan bahwa selama tahun kedelapan hingga kesembilan pemerintahannya, dia berziarah ke Pohon Bodhi (maksudnya ke Bodhi-Gāyā), mulai menyebarkan dhamma, dan melakukan kegiatan kesejahteraan sosial. Kegiatan kesejahteraan meliputi pendirian fasilitas perawatan medis untuk manusia dan hewan, perkebunan tanaman obat, serta penggalian sumur dan penanaman pohon di sepanjang jalan. Kegiatan ini dilakukan di kerajaan tetangga, termasuk kerajaan Chola, Pandya, Satiyaputra, Tamraparni, kerajaan Yunani Antiyoka. Prasasti Batu Aśoka ke-13 juga menyatakan bahwa Aśoka merayakan "kemenangan dhamma" dengan mengirimkan utusan yang menyebarkan ajaran Buddha ke lima kerajaan utama dan beberapa kerajaan lainnya.

 

Tradisi Sri Lanka menghadirkan peran yang lebih besar bagi Aśoka dalam komunitas Buddhis. Dalam tradisi ini, Aśoka mulai memberi makan para bhikkhu dalam skala besar. Upaya perlindungan negara terhadap komunitas para rahib menyebabkan banyak bhikkhu palsu bergabung dengan Sangha. Para bhikkhu sejati menolak bekerja sama dengan para bhikkhu palsu ini, dan karena itu tidak ada upacara uposatha yang diadakan selama tujuh tahun. Kaisar mencoba membasmi bhikkhu gadungan, tetapi selama upaya pembersihan ini, seorang menteri yang terlalu bersemangat akhirnya membunuh beberapa bhikkhu sejati. Kaisar kemudian mengundang bhikkhu senior Moggaliputta-Tissa, untuk membantunya mengusir bhikkhu gadungan dari vihara yang didirikan olehnya di Pataliputra. Sebanyak 60 ribu rahib palsu dihukum karena bidah, kemudian dicopot dalam proses berikutnya. Upacara uposatha kemudian diadakan kembali, dan Tissa selanjutnya menyelenggarakan Pasamuan Agung Ketiga pada tahun pemerintahan Aśoka yang ke-17.

 

Menurut tradisi Sri Lanka, Aśoka mangkat pada tahun pemerintahannya yang ke-37, yang menunjukkan bahwa ia meninggal sekitar tahun 232 seb.M. Menurut Aśokavadana, Kaisar menderita sakit parah pada hari-hari terakhirnya. Aśoka kemudian mulai menyumbangkan barang-barang pribadinya, tetapi dilarang melakukannya. Di ranjang kematiannya, satu-satunya miliknya adalah setengah dari buah myrobalan, yang dia persembahkan kepada Sangha sebagai sumbangan terakhirnya. Teladan semacam itu memperlihatkan dana kepada Sangha, dan menyoroti peran kerajaan dalam mendukung keyakinan Buddhis. Legenda menyebutkan bahwa selama kremasi, tubuhnya terbakar selama tujuh hari tujuh malam.

 

Keberadaan Aśoka sebagai seorang tokoh sejarah yang pernah menggoreskan nama besar di India hampir terlupakan selama berabad-abad, namun hal ini berubah dengan penguraian dan pemahaman aksara Brahmi pada abad ke-19. Sejarawan menghubungkan gelar Priyadasi dan Devanampriya dalam dekritnya dengan Aśoka dalam legenda Buddhis, dan menetapkan reputasi Aśoka sebagai salah satu kaisar India terbesar. Lambang Republik India modern merupakan adaptasi dari hulu-tiang Singa Aśoka. Cakra Aśoka diadopsi di tengah Bendera Nasional India.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230503