Rabu, 08 Februari 2023

KISAH CINTA TERBESAR SEPANJANG MASA



Barangkali dari segala macam cerita yang pernah diceritakan orang di kolong langit ini, tidak ada yang bisa begitu menarik perhatian dan dikenang hingga melampaui keperkasaan sang kala; yakni kisah tentang dua insan berlainan jenis, yang berkesempatan memadu kasih. Kisah cinta atau love story hidup di berbagai budaya dan merambah hingga melintasi zaman, mengiringi dan mewarnai sejarah peradaban itu sendiri.

 

Anda para pembaca pasti telah mendengar, bahkan mungkin pernah membaca Kisah Romeo dan Juliet, yang sebenarnya berasal dari cerita rakyat Italia. Kisah cinta ini sebenarnya adalah sebuah roman tragis pada zaman kuno, dan mulai populer pada akhir abad ke-16 setelah digubah menjadi sebuah pentas drama, oleh sang pujangga besar William Shakespeare. Cerita-cerita cinta terkadang berasal dari kisah hidup sesungguhnya sepasang anak manusia, atau hasil imajinasi jenius dari pengarangnya, tidaklah penting bagi orang yang membacanya. Seperti Kisah Cleopatra dan Mark Antony, sesungguhnya berasal dari kisah nyata dari sang penguasa Mesir Kuno; yang juga digubah menjadi karya sastra oleh Shakespeare. Kisah-kisah cinta selanjutnya bisa kita pungut dari khazanah cerita rakyat di mancanegara. Dari Persia ada cerita cinta antara Layla dan Majnun. Di India populer hingga kini kisah kasih antara Shah Jahan dan Mumtaz Mahal. Sedangkan dari Tiongkok ada drama Sam Pek dan Eng Tay, yang berasal dari masa Dinasti Jin, lebih dari 1600 tahun yang lalu. Dan di Indonesia ada kisah Saidjah dan Adinda, yang menjadi buah pena Eduard Douwes Dekker atau Multatuli.

 

Apakah di dalam kepercayaan Buddhis ada kisah cinta yang selalu dikenang oleh para penganutnya? Sebenarnya ada, tetapi hanya sedikit orang yang mengetahuinya. Dalam tulisan kali ini, penulis akan mencoba menarasikan kisah ini, yang sejatinya cerita ini berasal dari kehidupan Sang Bodhisattva itu sendiri.

 

Demikianlah pada satu zaman di masa lalu – yang tidak bisa dibayangkan seberapa jauhnya kurun-waktu tersebut dari masa kini – hiduplah seorang petapa muda yang bernama Sumedha. Mewarisi banyak kekayaan dari kedua orang tuanya pada saat ayah dan ibunya meninggal dunia, tidak membuat Sumedha sebagai putera tunggal keluarga itu menjadi kemaruk. Sebaliknya dia meninggalkan kampung halamannya, dan menyumbangkan bagian besar harta warisannya kepada orang lain. Sumedha sendiri menjalani kehidupannya di hutan sebagai petapa, dan membatasi diri dalam bergaul dengan masyarakat banyak. Karena didukung bakat dan dedikasinya, aspirasi Sumedha untuk mencapai kesucian dapat terealisasi dalam tempo yang tidak terlalu lama; dan dia pun memperoleh kesaktian.

 

Menjalani hidup sehari-hari dengan menyendiri dan bertapa, menjadikan Sumedha tidak mengetahui keadaan yang berlangsung di luar pondok pertapaannya. Pada hari itu penduduk dusun yang tinggal di dekat pertapaannya sibuk bekerja, melakukan berbagai aktivitas untuk menyiapkan suatu perhelatan. Kebisingan itu membuatnya terjaga dan bertanya-tanya, apa gerangan yang telah terjadi. Seorang warga dusun memberitahukannya, "ketahuilah, wahai brahmana. Seorang Samma-Sambuddha telah muncul di dunia ini. Yang Mulia Bhagavan Dīpaṅkara esok akan datang ke kotaraja. Kami semua akan menyambutnya dan melakukan persembahan." Mendengar ada sosok Buddha yang akan bertandang ke kota mereka, kegembiraan Sumedha meluap-luap, dan dia berniat untuk menemuinya dan memberikan penghormatan kepada makhluk yang amat jarang muncul di dunia ini.

 

Sang Buddha Dīpaṅkara mengunjungi kotaraja Divāpati. Semua warga kotaraja dan rakyat dari desa-desa di sekitarnya tumpah ruah memenuhi jalan-jalan yang menuju ke istana kerajaan. Mereka telah membawa barang-barang persembahan dari rumah, yang nantinya akan diberikan kepada Sang Buddha. Raja yang berkuasa di kerajaan itu pun membeli semua bunga yang dijajakan di kotaraja, yang telah dikumpulkannya dalam kereta-kerajaan, yang selanjutnya akan dipersembahkan kepada Bhagavan Dīpaṅkara. Sumedha pun turut bersama rombongan orang-orang yang memasuki kotaraja. Dengan tangan kosong dia berupaya mencari-cari bunga yang biasa ditawarkan oleh para pedagang di kota itu, namun barang yang dicarinya sudah tidak ada lagi. Sesaat sang petapa gelisah karena dia belum memperoleh barang yang pantas untuk dipersembahkan kepada Sang Bhagavan.

 

Sekonyong-konyong muncul di hadapan Sumedha seorang perempuan muda yang amat rupawan, yang di tangannya sedang memegang beberapa kuntum bunga yang amat elok. Dua pasang mata saling bertemu, dan keduanya pun jatuh cinta pada pandangan pertama. Petapa Sumedha kemudian mengajak perempuan muda itu bercakap-cakap, yang mana sang petapa kemudian mengetahui bahwa perempuan itu bernama Sumittā. Sumedha bertanya pada Sumittā: "Berapakah harga untuk teratai-teratai tersebut, wahai nona?" Dia menjawab: “Aku membeli kelima tangkai teratai tersebut seharga 500 purāṇa (koin emas), dan dua tangkai yang lain aku dapatkan dari seorang sahabat." Lalu sang brahmana muda berkata kepadanya: "Aku akan memberikan kepadamu 500 purāṇa untuk lima tangkai teratai itu. Dengan teratai tersebut aku akan menghormat pada Bhagavan Dīpaṅkara, dan engkau tetap dapat menghormatiNya pula dengan dua tangkai lainnya."

 

Sumittā menjawabnya: "Aku akan memberikanmu lima tangkai teratai ini dengan satu syarat, yaitu engkau akan mengambilku sebagai isterimu dan engkau akan menjadi suamiku." Brahmana muda Sumedha menjawab: "Aku sedang berusaha untuk melatih pikiranku untuk menjadi sesosok anuttarā samyak-saṃbodhi. Bagaimana kemudian aku berpikir tentang pernikahan?" Sumittā menjawab: “Berusahalah dan capailah aspirasimu. Aku tidak akan sekali-kali menghalangimu."

 

Sumedha pun menerima lima tangkai kuntum teratai yang elok itu tanpa mampu berkata apa-apa. Sementara itu Sang Buddha Dīpaṅkara semakin mendekatinya. Saat Sang Bhagavan menghampirinya, Sumedha mencoba melontarkan bunga yang dipegangnya ke hadapan sang makhluk mulia, tetapi bunga itu malah melayang melingkar di sekitar kepalanya. Menanggapi keajaiban ini, Sumedha segera menjatuhkan dirinya ke tanah berlumpur yang berada di hadapannya. Dia berbaring di depan Sang Bhagavan, membentangkan rambutnya sendiri di tanah agar Sang Buddha dan para pengikutnya bisa melintasi jalan yang rusak itu dengan nyaman. Seketika muncul keinginannya yang luhur untuk menjadi sosok yang serupa dengan Sang Bhagavan. "Jika aku menghendaki, hari ini juga aku bisa menjadi seorang siswa Sang Buddha, lalu berjuang dengan tekun untuk mencapai Pantai Seberang di bawah bimbinganNya. Tetapi aspirasiku tidaklah seperti itu. Aku akan menundanya, dan memilih untuk merintis jalan seperti yang pernah dilintasi oleh Yang Mulia Bhagavan Dīpaṅkara."

 

Sang Buddha Dīpaṅkara dan para Arahanta siswanya berjalan terus melewati Sumedha yang masih menelungkupkan dirinya di tanah. Mukjizat pun terjadi, Sumedha tidak merasakan beban berat sedikit pun saat diinjak oleh rombongan para suciwan itu. Orang banyak pun memberikan persembahan kepada Buddha dan para pengikutnya, termasuk Sumittā yang memberikan dua tangkai bunga seroja indah yang masih tersisa di tangannya.

 

Setelah menerima semua persembahan dari sang raja beserta segenap rakyatnya, Sang Bhagavan duduk di singgasana yang telah disediakan. Diteruskan dengan memberikan pesan Dharma dan menganugerahkan pemberkahan kepada semua yang hadir, Dīpaṅkara pun melanjutkan perenungan dan meditasinya. Sang Bhagavan yang waskita, bijaksana, serta dengan segala kemahatahuannya, meneropong ke masa depan yang tak-terbilang jauhnya, melintasi siklus-siklus masa hidup dunia yang timbul-tenggelam, seolah-olah tak habis-habisnya melintasi sang kala yang tak pernah-berakhir.

 

Buddha Dīpaṅkara, Yang Tercerahkan Sempurna, yang hidup di kalpa yang penuh kejayaan, membuka matanya. Dia lalu berkata kepada Sumedha: "Wahai, Sumedha. Engkau akan menjadi seorang Yang Tercerahkan Sempurna, setelah empat asańkheyya-kappa dan seratus ribu kappa sejak sekarang. Engkau akan dikenal sebagai Buddha Gotama ... ."


Setelah mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedha dan Sumittā, Sang Bhagavan membuat ramalan di tengah-tengah keramaian: "Oh Sumedha. Perempuan ini, Sumittā, akan menjadi pendampingmu dalam berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang setara, dalam usahamu mencapai Kebuddhaan. Dia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatannya. Dia akan berpenampilan cantik dan menyenangkan, manis tutur katanya, serta mulia hatinya. Dalam usahamu mencapai Pencerahan Agung, dalam kelahiranmu yang terakhir, dia akan menjadi siswa-perempuanmu, yang akan menerima warisan spiritual darimu, menjadi seorang Arahant, lengkap dengan kemampuan batin tertinggi."

Cerita tentang Sumedha, Sumittā, dan Buddha Dīpaṅkara, penulis sadur dari kitab Buddhavasa dan Mahāvastu Avadāna. Kisah kasih antara Sumedha dan Sumittā diawali dengan mata bertemu mata, dan keduanya pun saling jatuh cinta. Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah kehidupan dua sejoli anak manusia ini? Bukankah perjumpaan antar manusia berlainan jenis didorong dari rasa cinta, ketika keduanya bertemu untuk pertama kalinya? Inilah yang disebut orang awam sebagai jodoh. Jodoh inilah dalam pandangan Buddhis dan agama orang Tionghoa dikenal sebagai hukum sebab dan akibat. Pernahkah Anda sekalian mengalaminya sendiri? Begitu kita bertemu dengan orang yang asing untuk pertama kalinya, kita bisa merasa suka, atau benci, atau netral kepadanya. Penjelasan yang paling masuk akal: ada keterikatan tertentu antara kita dengan orang asing tersebut di masa lampau.

 

Jika cinta berlanjut ke pelaminan dan kedua sejoli itu hidup bersama, maka mereka berdua boleh tetap bersama dalam kehidupan ini. Namun seiring dengan datangnya kematian, keduanya harus berpisah. Dan jika Anda percaya ada kehidupan lagi setelah kehidupan yang sekarang berakhir, kita akan melanjutkan kehidupan yang baru dengan pasangan yang lain. Adalah kasus yang langka terjadi, suami dan isteri akan bersatu lagi di kehidupan selanjutnya. Dalam kisah di atas Sang Buddha Dīpaṅkara sendiri turut meramalkan, bahwa Sumittā kelak akan menjadi pasangan Sumedha dalam banyak kehidupan selanjutnya. Bukankah ini kasus yang luar biasa? Hanya seorang Calon Buddha atau Bodhisattva yang dapat mengalaminya!!

 

Kita ambil contoh perjalanan kehidupan selanjutnya dari Sumedha dan Sumittā, seperti yang dikisahkan dalam kitab Jātakamala (yakni dalam Vishvantara Jātaka). Tersebutlah cerita, yang memperlihatkan eratnya hubungan sepasang suami-isteri. Alkisah pada masa itu hiduplah sang permaisuri Madri bersama dengan suaminya, sang raja Vishvantara. Madri dulunya adalah Sumittā, sedangkan Vishvantara dulunya tidak lain Sumedha. Kata Madri pada suatu waktu, "kemana engkau akan pergi, aku harus ikut, suamiku. Bersamamu, bahkan kematian akan menjadi kegembiraan bagiku. Hidup tanpamu tak mungkin dapat kujalani." Lalu Vishvantara alias Sang Bodhisattva pergi bersama isteri dan anak-anaknya. Mereka bersama-sama menjalankan praktik Dharma di tengah sebuah rimba yang permai.

 

Guna menguji sampai tingkat mana Sang Bodhisattva telah berhasil menjalankan parami-nya, Sakra raja para dewa, menyamar menjadi seorang brahmana. Dia meminta kepada Sang Bodhisattva hartanya yang paling berharga. Apa itu? Ya, isterinya sendiri. Bodhisattva yang teguh dalam keutamaan ketidakmelekatannya, akhirnya menyerahkan Madri kepada brahmana tersebut. Madri yang walaupun menderita, tetap tidak menangis, karena dia amat memahami karakter suaminya. Sakra yang kemudian tersentuh oleh kejadian tersebut, dia pun berteriak: "Untuk menghargai cinta kasih seorang isteri kepada suami dan anak-anaknya, keduanya mempertunjukkan ikrar tanpa-kemelekatan. Tadinya kuperkirakan, mustahil bagiku menyaksikan kemuliaan yang seluhur ini?" "Sekarang aku mengembalikan Madri, isterimu kepadamu. Di mana lagi cahaya-bulan harus berdiam, jika bukan di bulan itu sendiri?"

 

 

Demikianlah Sumedha bersama dengan Sumittā mengarungi kehidupan demi kehidupan, yang tak-terhitung banyaknya. Terkadang mereka berkesempatan hidup bersama, lain waktu masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Namun keutamaan atau parami yang mereka jalankan semakin meningkat kualitasnya dan mencapai tingkat kematangannya. Akhirnya lebih dari 2.500 tahun yang lalu, di sebuah kerajaan yang terletak di daerah subur di Jambudvipa, hiduplah seorang raja bernama Suppabuddha dengan permaisurinya, Pamita. Kabar baik telah datang kepada mereka. Setelah bertahun-tahun menikah sang permaisuri pun hamil. Pada saat yang sama, di kerajaan tetangga, adik perempuan sang raja, permaisuri Māyā – yang suaminya bernama raja Suddodhana – juga juga sedang mengandung. Tanda-tanda kehamilan pada kedua permaisuri itu menunjukkan bahwa anak-anak yang akan dilahirkan oleh mereka bukanlah anak-anak biasa. Kedua pasangan penguasa itu berharap kedua anak yang lahir nantinya adalah anak laki-laki. Tetapi betapa kecewanya raja Suppabuddha, dia ternyata mendapatkan seorang anak perempuan. Kecewa karena tidak sesuai dengan harapan semula, bayi itu tetap dihormati berkat tanda-tanda fisik yang menunjukkan keberuntungannya. Sang raja membungkuk di hadapannya dan anak itu diberi nama Yasodharā. Seminggu setelah kelahirannya, ibunya meninggal, dan anak itu lalu dibesarkan dan dididik oleh pembimbing istana dan para brahmana.

 

Yasodharā tumbuh menjadi seorang anak yang cantik, dermawan, dan sosok muda yang penuh kasih. Dia mempertanyakan mengapa pelayannya tidak makan makanan yang sama dengan para anggota keluarga istana. Rasanya tidak adil baginya bahwa beberapa orang memiliki begitu banyak keberlimpahan, sedangkan yang lain menderita karena mereka amat kekurangan. Ketika dia berusia 16 tahun dia mendengar bahwa sepupunya, Siddhartha, sedang bersiap untuk memilih seorang pengantin. Semua gadis yang memenuhi syarat dari dua wilayah kerajaan itu memberanikan diri datang ke istana raja Suddhodana, untuk bertemu dan berkenalan dengan pemuda yang tampan dan cerdas ini. Yasodharā telah mendengar tentang Siddhartha dari kakaknya Devadatta. Devadatta bercerita tentang bagaimana dia memanah jatuh seekor burung bangau yang sedang terbang. Siddhartha berusaha menyelamatkan kembali makhluk malang itu dan meng-klaim hewan itu sebagai miliknya.

 

"Burung itu milik orang yang menyelamatkan nyawanya, bukan kepunyaan orang yang hendak membunuhnya," tukas Siddhartha. Ketika Yasodharā mendengar cerita ini, dia sangat gembira dan ingin bertemu pemuda penyayang, yang memiliki prinsip dan berjuang mempromosikan nilai-nilai kebajikan. Seperti semua gadis lainnya yang memenuhi syarat, Yasodharā melakukan perjalanan ke istana sepupunya. Saat dia masuk ke aula istana, tempat Siddhartha menyapa para wanita muda, mata Yasodharā bertemu mata sang pemuda, dan Siddhartha merasakan kerinduan yang amat dalam. Siddhartha tahu dia telah mencintainya selama mengarungi banyak kehidupan. Mereka berdua mengingat kembali penjelajahan melintasi ruang dan waktu, sejak mereka masih sebagai Sumedha dan Sumittā. Siddhartha berlutut dan menawarkan Yasodharā perhiasan dan mahkota yang sedang dikenakannya, memintanya untuk menjadi pengantinnya. Yasodharā kembali ke rumah dan memberitahu ayahnya kabar baik ini.

 

Tatapan prihatin kepada putri kesayangannya tampak pada wajah sang raja, Suppabuddha. Dia membungkuk dekat dengan anak kesayangannya itu. "Kamu tahu, puteriku. Para cerdik pandai dan peramal istana menyebutkan bahwa Siddhartha itu akan pergi dan meninggalkan keluarganya, demi mengejar pencerahan agung." "Ya ayah, saya paham hal itu," jawab Yasodharā, "tetapi saya akan melakukannya, dengan memilih Siddhartha sebagai suami saya. Kami telah berikrar untuk bersama selama begitu banyak kehidupan. Sekarang dalam kehidupan ini, akan menjadi kesempatan terakhir bagi kami untuk bersatu kembali, dan kami akan menuntaskan tugas terakhir ini bersama-sama." Demikianlah perhelatan akbar diadakan untuk mempererat kembali dua kerajaan itu, serta Siddhartha dan Yasodharā pun menjadi pasangan suami dan isteri untuk terakhir kalinya.

 

Dan takdir pun memang berjalan sesuai dengan ramalan para pinisepuh. Siddhartha meninggalkan istananya, anak dan isterinya, serta segala sesuatu yang merintangi jalannya menuju cita-citanya. Devadatta, setelah mendengar Siddhartha pergi meninggalkan adiknya, dia menuju ke istana dan memaksa adiknya untuk pulang serta menikah dengan laki-laki lain yang lebih bertanggung jawab. Namun, Yasodharā menolaknya, dan akan selalu setia kepada Siddhartha. Hatinya hanya untuk Siddhartha, bahkan dia tak akan mengizinkan laki-laki lain selain Siddhartha untuk sekadar mencium aroma tubuhnya.

Merindukan Siddhartha akhirnya menjadi rutinitas hariannya. Ia selalu memandangi tempat-tempat yang pernah disinggahinya, pakaian-pakaian yang pernah dikenakannya, dan mengingat semua kenangan mereka bersama. Namun, biar bagaimana pun dia sadar bahwa pengalaman itu tak akan terulang kembali. Alih-alih melamun, dia mengobati seluruh kerinduannya dengan berpuja-bakti, memohon kepada para dewata, semoga Siddhartha selalu mendapatkan kemudahan dan mendapatkan apa yang dia cari. Kebekuan di musim dingin menjadi tak sedingin hari-harinya, terutama dia yang kehilangan belahan jiwa yang amat dicintainya. Yasodharā kerap menangis melihat hujan, sebab di luar sana Siddhartha pasti juga kehujanan. Kesedihan semakin bertambah ketika anaknya, Rahula, selalu menanyakan kemana ayahnya pergi. Setelah enam tahun kepergiannya, Yasodharā melihat alam seolah mengabarkan pesan rahasia. Sebuah daun Bodhi berbentuk hati terbawa angin memasuki kamarnya, dan jatuh tergetak di atas barang-barang Siddhartha. Yasodharā menjadi bahagia dan terharu, sebab dia yakin bahwa saat itulah Siddhartha telah menjadi Buddha.

Setelah itu hanya satu kali Buddha mengunjunginya di kamarnya, dengan diantar oleh keluarga istana. Yasodharā terdiam melihat sosok suaminya yang kini telah menjadi Buddha. Ia mendekat ke kaki Buddha dan menundukkan kepalanya di kakinya. Yasodharā menumpahkan seluruh kesedihannya dan kerinduaannya, sambil memeluk kedua kakinya. Raja bermaksud menghentikannya, namun Buddha melarangnya dan tetap mengizinkan Yasodharā untuk menangis di atas kakinya sekehendak hatinya. Akhirnya kerinduannya pun terobati, dan Yasodharā sadar bagaimana dia harus menempatkan dirinya sekarang.

 

Meski ayah dan mertuanya meminta Yasodharā untuk tinggal di istana dan memerintah kerajaan, dia lebih tertarik untuk memenuhi takdir spiritualnya. Dia memasuki ordo biarawati pada saat yang sama dengan mertua perempuannya. Diantara ratusan bhikkhunī, Yasodharā adalah salah satu dari siswi utama Sang Buddha. Dia memperoleh kekuatan adibiasa dan salah satu kemampuannya, mengingat era yang tak-terbatas di masa lalu. Suatu hari Yasodharā mendatangi Sang Buddha dan berkata, "Malam ini usiaku akan berakhir." Dia datang untuk berterima kasih, dan sekaligus berpamitan. Dia memberi tahu laki-laki yang pernah menjadi suaminya dan sekaligus menjadi gurunya. Setelah malam berlalu dia pun berangkat menuju Yang Tanpa-Kematian.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230208

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar