Sewaktu penulis menyusun artikel ini,
beberapa hari lagi kita akan merayakan Tahun Baru. Apa itu Tahun Baru? Tahun
Baru adalah waktu atau saat ketika tahun-kalender yang baru dimulai, dan secara
otomatis orang menyatakan bahwa tahun-kalender yang kita pakai akan bertambah
satu. Terjadinya tahun baru hanya berlaku pada penanggalan yang kita anut – dan
pada saat yang sama – belum tentu terjadi tahun baru di sistem penanggalan yang
lain. Bagian terbesar umat manusia memakai penanggalan Masehi, dan tahun baru berlangsung
pada tanggal 1-Januari. Hari sebelumnya adalah hari terakhir tahun lama yakni
tanggal 31 Desember, dan malam terakhir di tahun tersebut dinamakan Malam Tahun
Baru.
Penanggalan Masehi adalah kalender surya atau solar calendar,
artinya penanggalan yang dibuat berdasarkan pergerakan matahari di langit.
Kalender ini diciptakan oleh bangsa Romawi, dan menurut catatan sejarah
diciptakan oleh Romulus, pendiri Roma, pada abad kedelapan sebelum Masehi.
Untuk memahami kurun waktu selama "satu tahun", yang
menjadi dasar pembuatan kalender surya, kita harus memahami dahulu apa yang
dinamakan "ekuinoks" (equinox, Ingg.). Ekuinoks matahari
adalah momen ketika matahari melintasi ekuator bumi atau garis khatulistiwa,
yakni berada tepat di atas ekuator, bukan di sisi utara atau sisi selatan khatulistiwa.
Pada hari ekuinoks, matahari tampak terbit persis "di timur" dan
terbenam "di barat". Ini hanya terjadi dua kali setiap tahunnya,
sekitar tanggal 20 Maret dan 23 September. Pada hari ekuinoks, panjangnya siang
dan malam kira-kira sama di seluruh planet kita ini. Manusia sudah mengenal
fenomena alam ini sejak zaman purba. Budaya khatulistiwa primitif mencatat hari
istimewa ini, ketika matahari terbit persis di ufuk timur dan terbenam di ufuk
barat; dan ini terjadi pada hari yang paling dekat dengan peristiwa yang
ditentukan secara astronomis. Berdasarkan piranti kuno yang dibuat manusia pada
zaman itu, yakni jam-matahari (sundial, Ingg.), durasi siang hari adalah
tepat 12 jam.
Jika orang dengan teliti mengamati pergerakan matahari di langit
setiap waktu, maka terlihat jalur lintasannya berbeda setiap harinya.
Sebenarnya lintasan matahari di langit adalah gerak semu, karena bumi yang
sesungguhnya berputar mengelilingi matahari dengan sudut yang berubah-ubah. Selanjutnya
kita akan mengenal istilah berikutnya, yakni solstice atau "titik
balik". Solstice adalah peristiwa yang terjadi ketika matahari
tampaknya mencapai sisi paling utara dan sisi paling selatan, relatif terhadap
ekuator pada bola langit. Jadi matahari seolah-olah bergerak di atas ekuator
menuju utara hingga mencapai titik balik utara, kemudian bergeser kembali ke
arah selatan hingga tiba lagi di ekuator. Lalu matahari terus bergerak ke arah
selatan hingga mencapai titik balik selatan. Setelah itu sang surya pun kembali
ke ekuator, dan siklus itu berulang kembali. Perjalanan matahari hingga tiba
kembali di ekuator selama satu siklus penuh itu, yang kita sebut berlangsung satu
tahun tropis.
Dua titik balik matahari terjadi setiap tahun, yakni sekitar
tanggal 21 Juni dan 22 Desember. Di belahan bumi utara, ekuinoks Maret disebut
"ekuinoks musim semi", sedangkan ekuinoks September disebut
"ekuinoks musim gugur". Di belahan bumi selatan justru keadaannya
terbalik. Tepat di saat titik balik matahari terjadi fenomena alam yang
menarik. Pada sekitar tanggal 21 Juni belahan bumi utara mendapatkan sinar
matahari terbanyak dalam setahun, pula durasi siang paling lama dalam setahun
itu (otomatis durasi malam paling pendek). Dikatakan pada hari itu belahan bumi
utara berada pada "titik balik musim panas". Sebaliknya pada 22
Desember terjadi "titik balik musim dingin", dengan durasi siang
paling pendek dalam setahun.
Kita kembali meninjau kalender Masehi. Dikisahkan bahwa Romulus,
raja pertama Romawi, menciptakan kalender awal yang menjadi cikal bakal
penanggalan yang kita pakai sekarang. Kalender Romawi awal hanya terdiri dari
10 bulan dan 304 hari, dengan setiap tahun baru dimulai pada saat terjadinya
ekuinoks musim semi. Penerus Romulus, yakni Numa Pompilius, menambahkan bulan Januarius
dan Februarius, sehingga satu tahun menjadi 12 bulan. Selama
berabad-abad, kalender tidak sinkron dengan pergerakan matahari, dan pada tahun
46 seb.M., saat itu penguasa Romawi, Julius Caesar (13-Jul-100 - 14-Mar-44 seb.M.),
memutuskan untuk memecahkan masalah tersebut. Dia mengundang para astronom dan
matematikawan paling terkemuka pada masanya untuk menyempurnakan kalender yang
selama itu dipergunakan oleh bangsa Romawi. Kalender yang direvisi oleh Julius
ini kelak dinamakan sebagai "Kalender Julian".
Sebagai bagian dari reformasinya, Caesar menetapkan 1 Januari
sebagai hari pertama tahun yang baru. Hari tersebut dimaksudkan untuk
menghormati nama bulan itu: Janus, dewa permulaan Romawi yang memiliki
dua wajah. Janus mampu melihat ke belakang ke masa lalu, serta menatap
maju ke masa depan. Sebelumnya bangsa Romawi merayakan tahun baru pada saat
ekuinoks musim semi, tetapi dengan adanya perubahan tersebut 1 Januari
ditetapkan sepuluh hari setelah titik balik musim dingin. Masih ada sistem
penanggalan lain yang menetapkan tahun baru pada saat berlangsungnya ekuinoks
musim semi. Salah satunya adalah kalender umat Hindu Bali, yang menetapkan
Tahun Baru Saka pada saat bulan-mati di dekat berlangsungnya ekuinoks musim
semi.
Jika Januari dikaitkan dengan Janus, dewa bangsa Romawi,
maka Februari berasal dari Februus, yaitu dewa penyucian dalam mitologi
Etruria. Selanjutnya Maret asalnya dari Martius atau Dewa Mars,
yang dianggap sebagai nenek moyang bangsa Romawi. Menurut legenda, Mars
adalah ayah dari Romulus dan Remus, keduanya penguasa awal Romawi. Dengan
kedudukannya yang terhormat, Mars atau Maret pada awalnya dijadikan
sebagai bulan pertama dalam kalender. April nama yang cukup sulit untuk
dilacak; namun kemungkinan berasal dari Aphrilis, yang diturunkan dari
kata Yunani Aphrodite, yang berarti "Dewi Cinta". Sampai
sekarang "April" masih populer dipakai sebagai nama orang. Seterusnya
Mei berasal dari Maia (ini bukan nama biduan kita!), yakni sesosok dewi
Yunani, yang merupakan ibunda dari Hermes (ini juga bukan merk tas
mahal!). Hermes dikenal sebagai kurir para dewa. Selanjutnya Juni,
berasal dari Juno. Siapa dia gerangan? Juno adalah sosok dewi
Yunani yang penting. Juno merupakan pelindung kota Roma, sekaligus dia
itu permaisuri Jupiter, ratu para dewa.
Bulan ketujuh, kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh, tetap berasal
dari penamaan awal yang digagas oleh Romulus. September dari bahasa Latin septem,
artinya "tujuh". Karena adanya dua bulan tambahan di awal tahun,
September kemudian dinobatkan menjadi bulan kesembilan. Seterusnya Oktober
berasal dari bahasa Latin octo, maknanya "delapan". Mestinya
Oktober adalah bulan kedelapan, tetapi karena ada dua bulan tambahan, Oktober
kini menjadi bulan kesepuluh. Selebihnya para pembaca bisa menebak sendiri.
November asalnya dari kata Latin novem atau "sembilan",
sedangkan Desember berasal dari kata decem, yang maknanya
"sepuluh".
Bulan setelah Juni dinamakan Quinctilis atau Quintilis,
bulan "kelima". Belakangan nama bulan ini berubah menjadi Iulius
atau Julius untuk menghormati Julius Caesar. Sekarang kita menyebut
bulan ketujuh ini sebagai "Juli" atau July (Ingg.). Setelah Quintilis,
urutan berikutnya adalah Sextilis atau "keenam" Setelah reformasi kalender yang menghasilkan
setahun terdiri dari dua belas bulan, Sextilis menjadi bulan kedelapan,
tetapi belakangan penguasa Kekaisaran Romawi mengganti namanya menjadi
"Agustus". Penggantian nama ini untuk memberikan penghormatan kepada
Octavianus Agustus (23-Sep-63 seb.M. - 19-Agu-14 M.). Siapa Agustus itu?
Agustus adalah orang yang mengubah Kerajaan Romawi menjadi Kekaisaran Romawi,
sekaligus menjabat sebagai kaisar yang pertama. Di bawah kepemimpinan Agustus,
kerajaan Romawi berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Agustus pun dikenal
sebagai pimpinan yang cakap, dan tidak ada satu pun penerusnya yang bisa
menyamai prestasinya.
Seperti yang telah disebutkan di atas kalender Romawi awal hanya
terdiri dari 10 bulan, yang sama dengan 304 hari. Oleh Numa Pompilius
ditambahkan dua bulan, sehingga satu tahun menjadi dua-belas bulan,
kurang-lebih sama dengan 365 hari. Dengan bantuan para astronom dan
matematikawan, Julius Caesar telah menyimpulkan bahwa satu tahun sama dengan
365 plus seperempat hari. Mereka pun telah membagi satu tahun menjadi
dua-belas bagian yang kurang lebih sama dan mendekati sempurna. Adapun
pembagiannya sebagai berikut: (1) Bulan ganjil seperti Januari dan Maret
memiliki 31 hari; (2) Bulan genap seperti Februari dan April mempunyai 30 hari.
Dengan demikian dalam satu tahun ada 6 × 31 ditambah 6 × 30, sama dengan 366
hari. Aturan itu berlaku untuk tahun-panjang atau tahun kabisat. Untuk
tahun-biasa, pada bulan genap yang pertama yakni Februari, jumlah harinya
dikurangi satu; sehingga Februari bisa berisi 30 hari atau 29 hari. Kemudian
perubahan terjadi lagi sewaktu Sextilis ditetapkan menjadi
"Agustus". Semula Agustus karena merupakan bulan genap, hanya terdiri
dari 30 hari. Lalu sementara orang melakukan protes, mengapa banyaknya hari
pada bulan Agustus lebih sedikit dibandingkan bulan Juli. Padahal Kaisar
Agustus lebih mulia dibandingkan Julius Caesar. Orang kita bilang hal ini bo
ceng lie alias "tidak patut". Jadi diputuskan agar banyaknya hari
di bulan Agustus ditambahkan menjadi 31. Kelebihan satu hari dalam setahun
dikompensasikan dengan mengurangi banyaknya hari di bulan Februari. Sekarang
Februari memiliki 29 hari di tahun kabisat dan 28 hari pada tahun-biasa. Lalu
September diubah menjadi 30 hari, karena sudah ada dua bulan sebelumnya yang
memiliki 31 hari. Demikian juga perubahan dilakukan pada Oktober, November, dan
Desember.
Selanjutnya kita bahas penentuan tahun Masehi. Setelah agama
Kristen dianut oleh bangsa Eropa, otorisasi untuk urusan publik yang penting –
termasuk kalender – dilakukan oleh pimpinan gereja tertinggi yakni Paus.
Penentuan permulaan kalender, yakni tahun 1 Masehi, mengacu pada tahun kelahiran
Jesus Kristus. Jadi 1 Januari Tahun 1 M. merupakan awal penanggalan kita.
Hari-hari selanjutnya hingga hari ini kita memasuki Anno Domini atau AD,
yang artinya "Tahun Tuhan Kita". Sedangkan masa sebelumnya dalam
bahasa Inggris dinamakan Before Christ disingkat BC,
diindonesiakan "sebelum Masehi". Perlu Anda sekalian ketahui,
penanggalan kita dimulai dari Tahun "1" dan bukan dari Tahun
"0". Jadi malam tahun baru permulaan penanggalan kita adalah
31-Desember Tahun 1 sebelum Masehi.
Kalender Julian yang memuat 365 hari di tahun biasa dan 366 hari
di tahun kabisat, dengan tahun kabisat terjadi empat tahun sekali (dipilih pada
angka tahun yang habis dibagi empat), cukup akurat untuk dipakai di Kekaisaran
Romawi. Namun kenyataannya setelah berabad-abad, Kalender Julian melenceng
juga. Hal ini terjadi karena peredaran bumi mengitari matahari untuk satu
putaran penuh – yakni kurun waktu genap satu tahun lamanya – bukanlah 365,25
hari, tetapi tepatnya 365,2425463 hari. Angka ini termasuk bilangan irasional,
bukan bilangan pecahan biasa. Anda mungkin mengira selisih antara keduanya
kecil, jadi bisa diabaikan. Namun ternyata tahun Julian lebih panjang dari
tahun tropis (atau tahun sesungguhnya); rata-rata sekitar 11,3 menit, atau 1
hari dalam 128 tahun. Selama berabad-abad penyimpangan ini cukup mengganggu.
Misalnya pada tahun 300 M ekuinoks musim semi terjadi pada sekitar 21 Maret,
namun pada tahun 1580-an peristiwa tersebut maju ke 11 Maret. Mengapa hal itu
terjadi? Karena adanya tahun kabisat yang berkelebihan selama 13 abad.
Penyimpangan ini mendorong Paus Gregorius XIII (pemegang tahta
suci: 13-Mei-1572 - 10-Apr-1585), untuk melakukan koreksi terhadap kalender
Julian yang selama ini dipakai di Eropa. Sri Paus ingin mengembalikan momen
perayaan Paskah, yang tanggalnya sudah bergeser jauh dari saat ekuinoks musim
semi pada masa itu. Dengan melakukan pembetulan kalender, dia berusaha agar
saat penentuan Paskah di zaman dia hidup dan di masa depan, kalender akan
menunjukkan tanggal yang sama.
Tersebutlah seorang dokter, merangkap astronom dan sekaligus filsuf yang
telah menghitung kesalahan yang terjadi pada kalender Julian. Dia adalah
Aloysius Lilius alias Luigi Lilio (1510 - 1576). Dalam proposalnya yang
disampaikan kepada Sri Paus, Lilius mengusulkan untuk mengurangi jumlah tahun
kabisat dari 100 menjadi 97 setiap kurun waktu 400 tahun. Dia juga mengusulkan
bahwa pergeseran 10 hari harus diperbaiki, dengan cara menghapus hari kabisat
pada sepuluh kali kemunculannya, selama periode empat puluh tahun.
Atas dasar perhitungan yang dilakukan oleh Lilius, Paus Gregorius XIII pada
tahun 1582 melakukan perubahan kalender Julian, yang telah berlangsung sejak
ditetapkan oleh Julius Caesar. Beliau menetapkan Kamis, 4-Oktober-1582
diteruskan ke hari Jumat, 15-Oktober-1582. Dengan demikian tanggal 5, 6, 7, 8,
9, 10, 11, 12, 13. dan 14 Oktober 1582 tidak pernah ada dalam sejarah umat
manusia. Oktober 1582 pun hanya terdiri dari 21 hari, alih-alih 31 hari. Namun
urutan hari tidak mengalami perubahan, yakni dari Kamis menjadi Jumat. Sri Paus
juga menetapkan untuk tahun yang dua digit terakhirnya 00, tahun kabisat
diberlakukan jika tahun tersebut habis dibagi 400. Jadi tahun 1600 merupakan
tahun kabisat, tetapi tahun 1700 atau 1800 ditetapkan sebagai tahun biasa
(yakni tahun yang bulan Februari-nya hanya sampai tanggal 28).
Setelah dilakukan revisi oleh Paus Gregorius XIII, kalender ini sanggup
memberikan kepastian dan ketelitian; sehingga antara tahun tropis dengan tahun
kalender, akan sinkron sampai beberapa ribu tahun ke depan. Hingga tiba satu
saat terjadi penyimpangan lagi. Apakah ada di antara Anda yang ingin melakukan
koreksi lebih lanjut? Atas jasa-jasa Sri Paus, kalender yang kita pakai
sekarang dinamakan Kalender Gregorian, atau Kalender Julian-Gregorian.
Selain kalender surya atau solar calendar kita mengenal pula
kalender candra atau luni calendar. Kalender candra adalah sistem
penanggalan yang didasarkan atas perhitungan fase bulan, dengan setiap hari
dalam kalender ini menandakan satu penampakan bulan yang dilihat orang di bumi.
Kalender bulan yang sepenuhnya didasarkan pada fase bulan ini adalah Kalender Hijriah dan Kalender Jawa-Islam. Kedua kalender ini terdiri
dari 12 bulan dan biasanya memiliki 354 atau 355 hari setiap tahunnya. Kalender
Hijriah memulai tahun barunya pada tanggal 1 bulan Muharam. Karena banyaknya
hari dalam Kalender Hijriah hanya 354 hari sedangkan pada Kalender Gregorian
jumlah harinya 356 hari, maka pada setiap periodenya Tahun Baru Hijriah maju
sebanyak 11 sampai 12 hari relatif terhadap penanggalan Masehi.
Kalender candra atau disebut pula kalender qamariyah, didasarkan
atas perhitungan fase bulan. Saat bulan tidak terlihat sama sekali dari bumi
dijadikan patokan sebagai tanggal 1, dan pada waktu purnama raya ditetapkan
sebagai tanggal 15. Seperti juga peredaran bumi terhadap matahari dalam satu
periode penuh merupakan bilangan irasional, demikian juga revolusi bulan
mengelilingi bumi. Lamanya bulan mengedari bumi adalah 29,53059 hari atau
kira-kira dua-puluh-sembilan tambah setengah hari. Dengan demikian jika kita
perhatikan penanggalan bulan dalam kalender mana pun, banyaknya hari dalam
sebulan 29 atau 30 hari, tidak lebih tidak kurang.
Mayoritas
kalender candra adalah kalender yang bukan murni mendasarkan perhitungan pada fase
bulan saja, melainkan juga memperhitungkan pergantian musim yang dipengaruhi
oleh peredaran bumi terhadap matahari. Kalender jenis ini disebut sebagai kalender lunisolar atau kalender surya-candra. Banyaknya hari dalam penanggalan surya-candra
berkisar antara 354 hari sampai 384 hari per tahunnya. Salah satu contoh
kalender kalender lunisolar yang terkenal adalah Kalender Tionghoa, yang termasuk satu penanggalan
tertua di dunia yang masih dipakai orang hingga hari ini. Seperti yang kita
tahu bagi orang Tionghoa kalender ini sudah mandarah-daging sejak masa
purbakala. Setiap tanggal 1 ketika bulan mati dan saat bulan purnama-sempurna
(yakni tanggal 15), adalah hari beribadah yang tidak boleh dilewatkan begitu
saja. Dengan demikian kalender ini dijadikan acuan mutlak, dan penanggalan ini
bisa dipercaya karena ketepatan dan ketelitiannya yang luar biasa. Tetapi
selama dua-belas bulan banyaknya hari hanya 354 atau 355 hari, dan kurun waktu
ini belum genap satu tahun tropis. Untuk mengakalinya, para pembuat kalender
menambahkan "bulan kabisat". Bulan kabisat ini merupakan bulan-ganda yang
bisa disisipkan misalnya di bulan kedelapan atau di bulan lainnya; sedemikian
sehingga muncul 7 bulan-ganda setiap 19 tahun. Setiap pergantian tahun, ada
tahun baru yang dinamakan "Tahun Baru Imlek" (jatuh pada tanggal 1
bulan 1), dan tahun Tionghoa pun bertambah satu. Dilihat
dari kalender Gregorian, Tahun Baru Imlek jatuh pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya, tetapi
tidak di luar periode antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari.
Di
dunia ini ada banyak sistem penanggalan yang masih dipakai orang. Tentu ada
keuntungan dan kerugiannya jika banyak macam kalender yang dipakai. Namun jika
setiap orang menggunakan kalender yang berbeda-beda, komunikasi akan berjalan
tidak lancar. Seperti kita memakai sistem ukuran yang berbeda. Misalnya yang
satu mengukur panjang satu barang sepanjang 3,0 cm, yang lain menyebutnya 1,2
inch. Ini karena yang pertama menggunakan sistem metrik sedangkan yang kedua
memakai satuan Inggris, padahal panjangnya sama. Kedua ukuran itu bisa
dikonversikan, tetapi toh kita kehilangan banyak waktu. Demikian juga jika dua
orang bicara tentang satu peristiwa di masa lalu. Yang satu menceritakan dengan
acuan Kalender Tionghoa sedangkan yang kedua memakai penanggalan Hindu Bali,
pasti sulit kita membayangkan kapan peristiwa itu sebenarnya terjadi. Untuk itu
diperlukan kalender yang dipakai oleh mayoritas umat manusia di dunia ini. Dan
penanggalan yang sekarang paling banyak dipakai adalah Kalender Gregorian.
Bangsa
Belanda mengakui dan menggunakan Kalender Gregorian sejak tahun 1582. Dengan
demikian Indonesia yang dulunya bernama Nusantara juga mengikuti kalender yang
sama, karena Belanda selama lebih dari tiga abad menjajah Nusantara.
Negara-negara di Eropa menerima Kalender Gregorian juga tidak serentak, tetapi belakangan
semua negara di Benua Biru itu telah menerimanya. Tiongkok mengganti
penanggalan Tionghoa dan mengadopsi Sistem Gregorian pada tahun 1912. Arab
Saudi mengganti penanggalan Hijriah, dengan menerapkan Kalender Gregorian mulai
tahun 2016 yang lalu.
Ada
cerita menarik di Tiongkok pada saat dilakukan penerapan Kalender Gregorian di
sana. Menurut Nio Joe Lan dalam bukunya, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang,
Gramedia, 2002, bahkan rezim yang berkuasa saat itu sampai melarang rakyatnya
merayakan Tahun Baru Imlek. Mereka meminta agar masyarakat merayakan Tahun Baru
Masehi, karena Tahun Baru Imlek dianggap sudah usang. Tetapi dalam perjalanan
sejarah ternyata Tahun Baru Imlek tidak mudah dihapus begitu saja. Tentu saja
ketika ada pelarangan itu, rakyat tidak berani menantang Pemerintah secara
terang-terangan. Dengan demikian berbagai akal dan cara digunakan untuk tetap
menjalankan tradisi yang telah mengakar sejak zaman nenek moyang mereka.
Misalnya perusahaan surat-kabar harian saat menjelang Imlek, mereka menggunakan
alasan untuk berlibur. Mereka menyatakan bahwa mesin cetak mereka sedang
mengalami kerusakan. Dengan demikian butuh waktu beberapa hari untuk
memperbaiki kerusakan mesin tersebut, dan koran pun tidak terbit. He-he-he!
Jadi bisa dikatakan bahwa sampai tahun 1949, Tahun Baru Imlek tetap dirayakan
oleh rakyat Tiongkok secara diam-diam. Setelah rezim Sun Yat Sen runtuh,
Republik Rakyat Tiongkok tetap menggunakan tarikh Masehi, namun rakyat tidak
dilarang merayakan Imlek.
Sekarang
kita sudah berada di penghujung tahun. Penulis mengucapkan Selamat Tahun Baru
2023 kepada segenap Pembaca. Semoga di tahun yang baru kita akan lebih maju
dibandingkan tahun sebelumnya.
sdjn/dharmaprimapustaka/221228