Rabu, 27 Juli 2022

PAWANG HUJAN DAN NAGA


 

Saat itu hari Minggu siang, 20 Maret 2022. Sirkuit Mandalika Lombok diguyur hujan deras, yang membuat arena balap di sekeliling lapangan tergenang air, serta membuat jalannya lomba balap menjadi tertunda. Siang menjelang senja adalah saat-saat yang ditunggu-tunggu oleh para pembalap dan penonton, karena akan terpilih juara ajang balap sepeda motor paling bergengsi di dunia ini. Hujan deras dan terciptanya genangan air di atas sirkuit bisa membuat perhelatan kejuaraan itu bisa ditunda entah hingga kapan, dan hal ini tidak diharapkan oleh siapa pun yang hadir di sana.

 

Panitia penyelenggara agaknya telah mengantisipasi kejadian tak terduga yang bisa terjadi di sirkuit teranyar ini. Sekonyong-konyong di arena muncul seorang perempuan yang mengenakan helm berwarna putih. Dia berjalan mengelilingi lapangan sambil membawa sebuah canang, tongkat-pemukul kecil, dan tiga batang hio yang sedang menyala. Sambil berjalan mulut perempuan itu berkomat-kamit mengucapkan doa-doa tertentu, sementara tangan kanannya yang memegang tongkat-pemukul kecil, digerakkan memutar menyapu bibir-atas canang dan sekali-kali tongkat itu dipukulkan ke badan canang. Setelah beberapa lama menjalankan aksinya, hujan deras pun reda, air yang menggenangi sirkuit juga surut, dan sesi balap berikutnya bisa langsung dilaksanakan.

 

Perempuan itu dipanggil Rara Istiati Wulandari, atau disingkat mbak Rara. Sejak umur sembilan tahun dia telah menjadi seorang pawang hujan. Dia memulainya sewaktu di dusunnya diadakan acara pagelaran wayang. "Umur sembilan tahun saya sudah cari uang sendiri dari acara wayangan dan waktu itu saya belum menggunakan kemenyan untuk menjadi pawang hujan. Saya bilang ke dalangnya kalau saya bisa bantu agar hujan tidak turun," kata Rara. Sebagai pawang hujan, Rara juga pernah menjadi pawang hujan di beberapa acara besar dan pernikahan tokoh publik. Selain bisa mencegah turunnya hujan, mbak Rara pun bisa mendatangkan hujan; terbukti setelah sirkuit baru diaspal beberapa minggu sebelumnya dan cuaca di sekitarnya amat terik, panitia penyelenggara meminta mbak Rara mendatangkan hujan gerimis agar pelapisan aspal berjalan dengan baik.

 

Rara menjelaskan bahwa ritual yang dilakukannya hanya membutuhkan es batu dan kayu abu. "Ini harus diawali sembahyang. Sewaktu memanggil panas, es batunya mencair; yang ini untuk memanggil dingin, es batunya ditaruh sudah lama tidak cair-cair," ungkap Rara (Kompas.com, 20/03/2022). Untuk melancarkan kegiatannya, Rara diberi sebuah tempat pribadi di area Sirkuit Mandalika. Lokasi tenda pawang hujan ada di dekat pintu masuk utama, sedikit di belakang pagar. Dalam tenda tersebut diketahui ada sesaji yang digunakan untuk melakukan ritual memanipulasi hujan. Sesaji itu sendiri terdiri dari hio besar dan kecil serta persembahan yang biasanya ada dalam sembahyang orang Tionghoa.

Pawang hujan adalah profesi yang makin langka di zaman kita ini, namun keahlian ini telah berkembang sejak ribuan tahun yang lalu. Kita akan meninjau pada apa yang disebut sebagai Shamanisme. Apa itu? Shamanisme adalah praktik keagamaan yang melibatkan seorang praktisi, yang diyakini mampu berinteraksi dengan dunia roh melalui tingkat kesadaran tertentu, seperti misalnya dalam kondisi 'kesurupan'. Tujuannya utamanya, mengarahkan roh atau energi spiritual ini ke dunia fisik, guna keperluan penyembuhan atau tujuan lainnya. Berkaitan dengan pembahasan Agama Ru tempo hari, kita akan menelusuri Shamanisme ini dari tradisi Tiongkok Kuno. Praktik Shamanisme di sana berkembang sejak masa Dinasti Shang (商朝,Shāng Cháo), dinamakan Wuisme yang berasal dari kata wū jiào (巫教), yang bermakna 'Agama Wū' atau 'Kepercayaan Wū'. Wū () artinya penyihir atau dukun. Selain itu dikenal pula kata 童乩 (tóng jī) yang berarti 'peramal muda', yang membedakannya dari kata 薩滿 (sàmǎn atau 'dukun siberia'), dan dari istilah India 'Shramana', atau 'rahib pengembara', atau 'petapa', atau 喪門 (sàngmén).

 

Kita tidak akan membahas bagaimana para penyihir atau dukun itu, dikatakan mampu meminta para naga atau Kuí () yang menguasai gunung dan sungai, untuk terlibat dalam pengendalian fenomena meteorologi. Penulis di sini hanya ingin menggambarkan apa yang diyakini oleh nenek moyang kita tentang terjadinya hujan dan fenomena yang berkaitan dengan cuaca, berdasarkan kepercayaan dan keyakinan mereka, bahwa apa pun yang terjadi dalam fenomena meteorologi semuanya dikendalikan oleh kekuatan supranatural.

 

Tiongkok Kuno adalah sebuah negeri tempat para dewa, naga, dan manusia hidup berdampingan membentuk ekosistem yang amat berbeda dengan yang dikenal oleh manusia zaman kita ini. Naga memiliki kemampuan supranatural yang amat beragam; mereka mampu mengendalikan air, api, angin, maupun es; hidup di tiga alam dan mampu terbang ke langit tertinggi atau menyelam hingga ke dasar samudera. Setiap tetes air – dari lautan mahaluas, sungai besar dan kecil, hingga mata air atau sumur – berada di bawah kekuasaan sesosok naga atau raja naga. Selain dari itu mereka bisa berubah-wujud menjadi makhluk setengah manusia, setengah ular yang tinggal di dunia-bawah, dan kadang-kadang dapat mengambil bentuk manusia atau tubuh-manusia-sebagian. Bukan hanya itu, konon raja naga memiliki istana kristal yang berada di bawah air, yang serupa dengan istana raja manusia, lengkap dengan fitur-fiturnya yang megah dan mewah.

 

Kisah ini berasal dari masa Dinasti Táng (唐代,Táng Dài), ketika sesosok yaksha (sejenis makhluk halus, yakkha istilah Pali-nya) yang sedang berpatroli, menguping percakapan seorang nelayan yang baru pulang dari menangkap ikan. Nelayan itu dengan bangganya bercerita kepada sahabatnya bahwa dia selalu berhasil menangkap ikan dalam jumlah banyak. Terkejut mendengar isi percakapan itu, sang yaksha bergegas kembali ke istana kristal guna memberikan laporan penting tentang potensi bencana kepada sang raja naga. "Bencana macam apa itu?" tanya sang raja naga, dan sang yaksha menjawab, "Hambamu sedang berpatroli di air dekat dengan tepi sungai, ketika aku mendengar seorang nelayan dan seorang pemotong kayu berbincang-bincang. Ada isi pembicaraan yang kedengerannya cukup menyeramkan. Sang nelayan berkata bahwa ada seorang peramal yang tinggal di Jalan Gerbang Barat di kotaraja Chang'an, yang hasil ramalannya sangat tepat. Sang nelayan setiap hari menghadiahkan si peramal seekor gurami emas, dan peramal itu menyerahkan secarik kertas yang menginformasikan lokasi perburuan yang akurat, bahwa dia pasti akan mendapatkan tangkapan ikan dalam jumlah besar setiap kali dia menebarkan jaringnya atau kailnya. Jika perhitungannya begitu cermat, akankah kita sebagai warga masyarakat-air ini bakal disapu bersih? Bukankah seharusnya kita memperkuat istana air, atau kita ciptakan gelombang besar untuk menyapu sang peramal keparat itu dari sana?"

 

Sang raja naga menghunus pedangnya dengan sangat murka. Dia ingin segera melabrak dan membinasakan sang ahli nujum. Namun para bawahannya mengingatkannya: "Kami minta Paduka Yang Mulia tidak bertindak gegabah sewaktu sedang gusar. Seperti pepatah mengatakan 'kata-kata yang didapat lewat menguping tidak bisa dipercaya.' Jika Paduka akan pergi, engkau bisa memilih untuk ditemani oleh awan dan dibantu oleh hujan. Namun berhati-hatilah, tindakan ini bisa membuat penduduk Chang'an menjadi ketakutan, dan sebagai konsekuensinya Surga akan memberikan perlawanan. Paduka sebetulnya mampu membuat banyak ubah-wujud, seperti seketika muncul dan lenyap tanpa bisa diduga-duga. Jika jurus ini yang dipilih, engkau dapat mengubah-wujudmu sebagai seorang sarjana yang sedang mengunjungi Chang'an. Jika engkau mendapatkan bahwa omongan si yaksha itu benar, engkau dapat menghukum sang peramal itu. Tetapi jika perkiraanmu ternyata keliru, engkau nyaris melakukan pembunuhan terhadap seorang yang tidak-bersalah."

 

Menuruti nasihat mereka, sang raja naga menyingkirkan pedangnya, dan dia tidak jadi pula menunggang awan atau hujan. Dia memilih ke luar dari dalam sungai, menggoyang-goyangkan tubuhnya, dan berubah-wujud menjadi seorang sarjana. Sang raja naga sekarang telah menjelma menjadi sesosok sarjana yang tampan dan mulia, serta dengan mengenakan sepotong jubah sutera hijau dan sehelai selendang kasual, dia melangkah dengan anggunnya ke arah kota. Setelah mencapai jalan di daerah perkotaan dia langsung melangkahkan kakinya ke Jalan Gerbang Barat di kota Chang'an, tempat dia melihat kerumunan orang yang saling mendorong dan berteriak dengan riuhnya. Satu dari mereka menyerukan pernyataan yang memukau, "Dia yang lahir di bawah shio Naga akan berselisih dengan mereka yang berada di bawah shio Harimau. Walaupun watak-watak yang bersiklus cocok satu sama lain, aku khawatir bahwasanya Sang Planet-Tahun dapat bertentangan dengan Sang Matahari." Segera setelah mendengar ucapan tersebut sang raja naga langsung menyadari bahwa di tempat inilah keberuntungan seseorang diungkapkan.

 

Dia pun merangsek ke depan. Di hadapannya tampak sebuah kamar yang dihiasi sutera bersulam. Asap dupa wangi membumbung dari sebuah anglo, dan di sampingnya ada air jernih dalam pot porselen. Di atas sebuah meja ada sebuah batu-tinta dari Kota Duanxi, dan di dalamnya bersandar kuas besar. Keahlian sang ahli nujum terletak pada penafsiran enam baris diagram, dan dia merupakan pakar agung untuk Delapan-Trigram. Konon dia paham betul prinsip Surga dan Bumi; serta mampu menembus perasaan para dewa dan siluman. Dia mengetahui pula semuanya tentang bilangan siklik, serta mampu menafsirkan gambar rasi bintang. Si ahli nujum pun mampu meneropong kejadian-kejadian di masa depan, juga rangkaian peristiwa di masa silam, laksana memandangnya ke dalam sebuah cermin.

 

Jadi siapakah gerangan yang dimaksud dengan sang peramal itu? Di atas dinding tertulis pada sebuah papan nama: "Guru Kedewaan Yuan Shoucheng". Sang ahli nujum merupakan paman dari Yuan Tiang Ang, Sang Astrolog Kekaisaran. Namanya termasyhur di seluruh negeri, dan dia adalah anggota trerkemuka perhimpunan profesi ahli nujum yang berkedudukan di Chang'an.

 

Sang raja naga datang menghampirinya dan ketika pembicaraan pembuka usai, tuan rumah mempersilahkan tamunya duduk, sementara seorang pelayan membawakan teh untuk mereka. "Engkau telah datang dari jauh, jadi apa yang engkau ingin tuan tanyakan?" tanya si peramal, dan sang raja naga menjawab, "Aku meminta engkau menyingkapkan rahasia langit untukku." Sang peramal mengeluarkan secarik kertas dari saku jubahnya dan di sana tertulis, "Awan menutupi puncak gunung, kabut menghalangi kanopi pohon. Jika hujan berkehendak turun, maka itu pasti datang esok hari." - "Kapan hujan akan turun esok hari?" tanya si raja naga, "dan berapa inci air hujan akan jatuh?"

 

"Esok hari awan akan berkumpul di pertengahan-pagi; pada saat berakhirnya pagi, halilintar akan menyambar-nyambar; persis tengah hari hujan mulai turun; dan menjelang sore hujan akan reda. Akan ada 3 kaki dan 3,48 inci air hujan yang jatuh," jawab sang peramal. - "Aku yakin bahwa engkau tidak membual," kata sang raja naga. "Jika hujan turun esok hari pada jam-jam yang engkau sebutkan dan besarnya ketinggian-air persis seperti yang engkau ramalkan, aku akan membayarmu sebagai imbal-jasa nujum ini lima puluh ons emas. Namun jika hari tidak hujan, atau jika hujan berlangsung tidak dalam ritme seperti yang engkau sebutkan, atau jika ketinggian airnya tidak persis seperti yang engkau ramalkan; maka aku berterus terang kepadamu. Aku akan meluluhlantakan etalase tempat praktikmu, mencopot papan nama kebesaranmu, dan mengusirmu ke luar dari kota ini. Dengan begitu selanjutnya engkau tidak akan bisa lagi mengelabui orang-orang di kota ini." - "Semuanya terserah kepadamu," jawab lawan bicaranya dengan riang. "Kita akan berjumpa lagi besok setelah hujan." Sang raja naga lalu pamit dan ia kembali ke istana airnya.

 

Penghuni-penghuni air besar maupun kecil menyambutnya dengan pertanyaan, "Bagaimana pertemuan antara Paduka Yang Mulia tadi dengan sang peramal?" - "Semuanya berjalan lancar," dia menjawab. "Namun ternyata dia adalah seorang ahli nujum yang fasih. Sewaktu aku menanyakan kepadanya kapan akan hujan, dia langsung mengatakan esok hari. Ketika aku menanyakan jam berapa hujan akan turun, dia mengatakan bahwa pada pertengahan-pagi awan akan berkumpul, pada tengah hari hujan mulai turun, dan pada saat menjelang sore hujan akan reda. ... ." Seluruh anggota masyarakat-air tertawa  dan berkata: "Paduka Yang Mulia adalah Kepala Pengawas dari Empat Sungai dan Dewa-Hujan Naga Agung, sehingga hanya engkau yang dapat mengetahui apakah hari akan hujan. Betapa beraninya dia membual seperti itu? Si ahli nujum ini bakal kalah bertaruh, dia pasti kalah bertaruh."

 

Sewaktu semua anggota keluarga raja naga beserta para pejabat di istana air itu tertawa terbahak-bahak dan membicarakan kejadian yang baru dialami oleh raja mereka, sebuah teriakan terdengar dari langit: "Wahai Raja Naga dari Sungai Jing, bersiaplah menerima sebuah Maklumat Kekaisaran." Mereka semua melihat ke atas dan segera tampak sesosok ksatria yang mengenakan jubah keemasan mendatangi istana air. Tangannya memegang sebuah maklumat dari Kaisar Kemala atau Kaisar Langit. Kejadian ini memperingatkan sang raja naga, yang segera merapikan pakaiannya, berdiri dengan khidmat, membakar dupa wangi, dan menerima maklumat itu dengan penuh hormat. Setelah mengucapkan terima kasih atas berkah kekaisaran, sang ksatria berjubah emas pun terbang kembali ke langit.

 

Selanjutnya sang raja naga membuka surat itu dan membacanya: "Kami memerintahkan Pengawas dari Delapan Sungai untuk bepergian dengan petir dan kilat serta mendatangkan hujan bagi kota Chang'an." Waktu pelaksanaan turunnya hujan dan jumlah air yang turun pada maklumat sama persis dengan yang diramalkan oleh sang peramal; hal mana membuat sang raja naga tersentak kaget begitu dia selesai membaca surat itu. Sesaat kemudian dia berkata kepada masyarakat-air, "Bagaimana mungkin ada seseorang di sana yang memiliki kekuatan sebesar itu padahal dia hidup di dunia fana? Dia sungguh-sungguh seseorang yang mengetahui segala rahasia tentang Surga dan Bumi. Aku telah kalah bertaruh dengannya."

 

"Paduka tidak perlu cemas," demikian usulan Jenderal Hering, salah satu bawahannya. "Tidak ada kesukaran untuk mengalahkan dia. Hambamu mempunyai rencana yang sederhana yang aku jamin bisa menutup mulut si bajingan itu." Ketika sang raja naga bertanya tentang rencana itu, sang jenderal mengemukakan, "Buatlah hujan pada waktu yang keliru dan jumlahnya sedikit dikurangi. Dengan demikian ramalannya akan keliru, dan engkau pasti akan mengalahkannya. Tidak ada yang bisa menghentikanmu untuk menghancurkan papan namanya hingga berkeping-keping dan mengusirnya ke luar kota." Sang raja naga menerima saran itu dan berhenti mencemaskan dirinya.

 

Hari berikutnya sang raja naga memerintahkan Baron Angin, Adipati Petir, Pemuda Awan, dan Ibu Kilat untuk pergi ke langit di atas kota Chang'an. Dia menunggu hingga saat pagi hampir berakhir sebelum menyebarkan awannya, melepaskan kilatnya pada waktu tengah hari, memulai hujan pada awal-sore, serta menghentikannya di akhir-sore. Selanjutnya dia mengatur hanya 3 kaki dan 3,40 inci air hujan yang turun. Dengan demikian dia telah mengubah rencana semula, dengan menunda proses jatuhnya hujan dua jam ke belakang dan mengurangi jumlah air yang dijatuhkan sebanyak 0,08 inci. Setelah hujan reda dia membubarkan para jenderal dan pembantunya serta menyingkirkan awannya. Selanjutnya dia mengubah wujudnya kembali menjadi seorang sarjana berpakaian putih, lalu bergegas menuju tempat ahli nujum Yuan Shoucheng di Jalan Gerbang Barat. Setibanya di sana tanpa memberikan penjelasan apa-apa dia menghantam papan nama Yuan, melempar kuas-tulisnya, menjatuhkan batu-tinta, dan barang-barang lainnya, sementara si peramal tetap tenang duduk di kursinya tanpa bergerak sedikit pun juga.

 

Sang raja naga mengayun-ayunkan daun pintu yang dicopotnya dari tempat praktik si peramal, siap untuk dihantamkan padanya, dan dia mulai melancarkan serangan kata-kata terhadapnya: "Engkau orang jahat, dengan bicaramu yang sembrono tentang keberkahan dan malapetaka. Engkau tidak lebih dari penipu tengik, yang dengan muslihatmu membodohi orang-orang di kota ini. Ramalanmu telah melenceng dan engkau hanya bicara omong kosong. Sekarang engkau baru mengetahuinya, bahwa ramalanmu tentang saat berlangsungnya hujan dan banyaknya air yang jatuh dari langit ternyata keliru. Tetapi engkau masih duduk di situ dengan penuh wibawa dan berkuasa. Enyahlah segera dari kota ini jika engkau masih ingin aku menyelamatkan nyawamu." Yuan Shoucheng, tetap duduk seperti sediakala dengan tenang tanpa merasa takut sedikit pun juga, dan dia memandang ke langit dengan sungging senyum yang mengejek.

 

"Aku tidak takut sama sekali," dia berkata. "Aku tidak takut, karena aku tidak melakukan kejahatan yang serius, namun aku khawatir engkau sendiri yang baru saja melakukannya. Engkau bisa saja mengelabui orang lain, tetapi engkau tidak dapat membohongiku. Aku tahu siapa engkau sebenarnya. Engkau bukanlah seorang sarjana. Engkau adalah Raja Naga dari Sungai Jing. Engkau telah melecehkan maklumat dari Kaisar Kemala, dengan mengubah waktu pelaksanaan hujan dan mengurangi jumlah air yang turun, yang sama saja dengan melakukan kejahatan terhadap hukum Surga. Aku khawatir hidupmu akan berakhir pada tajamnya pedang sang algojo di Panggung Pengiris-Naga. Apakah engkau masih akan mempertahankan penyalahgunaan wewenangmu, demi memenangkan taruhan yang engkau tentukan sendiri?"

 

Mendengar kata-kata ini sang raja naga gemetar karena takut dan bulu kuduknya berdiri. Segera diturunkan daun pintu yang tadinya hendak dihempaskan ke tubuh si peramal. Dia lalu merapikan pakaiannya dan dari bahasa tubuhnya terlihat dia telah takluk sepenuhnya. Lalu dia berlutut di hadapan sang peramal dan berkata, "Mohon jangan marah padaku, tuan. Aku tadi hanya bercanda. Aku tidak pernah berpikir itu akan ditanggapi dengan serius. Apa saja yang harus aku lakukan jika aku melanggar hukum Surga? Aku mohon engkau dapat menyelamatkanku, tuan. Jika tidak, aku akan terus menghantuimu setelah aku mati." - "Aku tidak dapat menyelamatkanmu," jawab Yuan Shoucheng, "tetapi aku dapat menyarankan satu jalan, yang dengan mengikutinya mungkin dapat menyelamatkan jiwamu."

 

 

Dari kisah di atas kita dapat belajar bahwa betapa pun berkuasanya seseorang dia tetap harus tunduk kepada hukum kebenaran. Segala penyimpangan atau kejahatan akan dicatat oleh Surga, dan pada gilirannya Surga akan memberikan ganjarannya. Kita sudah belajar di bangku sekolah bahwa turunnya hujan beserta fenomena cuaca lainnya, ditentukan oleh efek penyinaran matahari terhadap bumi beserta gerak orbit bumi mengelilingi matahari. Namun apakah seluruh kejadian meteorologi di dunia ini sepenuhnya hanya digerakkan secara an sich oleh kekuatan alam itu sendiri? Jika manusia modern dapat merekayasa hujan buatan di satu daerah – dengan cara menaburkan butiran garam di angkasa – berarti manusia bisa mencampuri kekuatan alam. Bukankah demikian? Bagaimana dengan para naga yang perkasa, bukankah mereka juga lebih piawai daripada manusia, berkat kekuatan supranatural yang mereka miliki? Lalu jika ada sosok manusia yang bisa berkomunikasi dengan para naga – katakanlah sang pawang hujan – bukankah cuaca bisa ikut pula diatur untuk kepentingan manusia? Silahkan para pembaca menganalisanya sendiri.

 

Kembali pada cerita di atas tentu ada pembaca yang penasaran, bagaimana nasib Sang Raja Naga Sungai Jing. Apakah dia sampai dipenggal kepalanya karena kesalahannya? Penulis mengambil kisah itu dari novel terkenal abad ke-16 yang berjudul 西遊記 (Xī Yóu Jì) atau Perjalanan ke Barat karya Wú Chéng’ēn, pada Bab ke-10. Anda bisa mencari kelanjutan ceritanya di novel tersebut.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220727

 



Rabu, 13 Juli 2022

BUDDHIS KTP


 

Cerita berikut ini mencoba memberi gambaran tentang apa persepsi mayoritas masyarakat Indonesia terhadap kaum minoritas Tionghoa. Fakta ini didapat setelah penulis berbincang-bincang dengan beberapa sahabat yang berasal dari kalangan yang mengaku sebagai orang pribumi Indonesia. Menurut pandangan mereka, orang Tionghoa di Tanah Air yang memiliki kewarganegaraan Indonesia, kebanyakan beragama Buddha, atau  Kristen, atau Katolik; dan hanya segelintir yang memeluk agama Islam. Mereka juga menganggap bahwa semua orang Tionghoa itu kaya atau berkecukupan, serta mayoritas merupakan bagian dari kelas menengah dalam masyarakat Indonesia.

 

Penulis mengiyakan bahwa adalah benar bahwa sebagian besar etnis Tionghoa memeluk agama Kristen, Katolik, dan Buddha; tetapi tidak setuju dengan pendapat bahwa hampir semua orang Tionghoa di Indonesia adalah orang kaya atau termasuk kelas menengah. Masih banyak orang Tionghoa – terutama di daerah tertentu – yang hidup dalam kondisi kekurangan bahkan berada di bawah garis kemiskinan. Penulis katakan pula kepada mereka, masih banyak warga Tionghoa yang hidupnya susah, dan ini bisa dilihat pada masyarakat Cina Benteng di Tangerang dan etnis Tionghoa di Propinsi Kalimantan Barat. Bahkan tidak usah jauh-jauh, di Jakarta Barat saja banyak warga keturunan yang masih menghuni kawasan kumuh, dan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari pun mereka masih kesulitan.

 

Pembicaraan kami terus berlanjut. Mereka juga memiliki persepsi bahwa umat Buddha yang berasal dari etnis Tionghoa – bukan seperti orang Jawa yang beragama Buddha – bersembahyang di kelenteng dengan cara memasang hio atau dupa. Penulis menjelaskan kepada mereka, adalah umum masyarakat Indonesia menganggap bahwasanya umat Buddha dari etnis Tionghoa itu hanya terdiri dari satu golongan dan mereka semuanya dianggap sama, tetapi dalam kenyataannya praktik ibadah di antara umat itu berbeda.

 

Seperti yang Anda para pembaca ketahui, umat Buddha tidaklah bersifat homogen. Ada banyak mazhab dan sekte yang dianut oleh pengikut Buddhis di Indonesia ini. Bukan maksud penulis untuk menceritakan keberagaman kepercayaan mereka dalam tulisan ini. Penulis kali ini ingin menyoroti umat Buddha di Indonesia, yang bisa disederhanakan menjadi dua golongan saja. Lho koq bisa?

 

Mereka yang memeluk keyakinan Buddhis bisa digolongkan menjadi dua bagian besar, berdasarkan tingkat pemahaman mereka dalam menghayati agamanya. Perlu kita pahami bahwa menjadi Buddhis bukanlah sekedar beragama, karena Buddhis adalah sebuah Pola Pikir, yakni 'Pola Pikir Buddhis'. Orang yang sejak dari kecil rutin ke vihara, beranjak remaja tetap rajin ke vihara, dan sudah kerja juga masih ke vihara; tetapi secara tiba-tiba dia berpindah agama; mengapa bisa demikian? Sebenarnya orang tersebut tidak memiliki 'Pola Pikir Buddhis', tetapi hanyalah umat tradisional yang mengaku sebagai Buddhis. Di kalangan internal kami, mereka sering pula disebut 'Umat Buddha KTP'. Apa maksudnya? Ini berkaitan dengan sejarah kelam Republik kita ini. Pada tahun 1965 terjadi Pemberontakan G 30 S, yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kudeta itu berhasil digagalkan namun mengorbankan nyawa rakyat Indonesia dalam jumlah yang amat besar. PKI pun ditumpas, dibubarkan, dan eksistensinya pun ditiadakan. Pemerintah yang berkuasa pada saat itu yakni Rezim Orde Baru, membuat stigma bahwa Komunis itu jahat dan anti-agama. Orang Indonesia sejak itu takut dicap sebagai pengikut 'Komunis' dan mereka pun ingin disebut sebagai orang beragama. Jadi setiap penduduk Indonesia, wajib mencantumkan agama di kolom KTP-nya. Sekedar perbandingan, yang namanya identity card (semacam KTP) di negara lain, tidak pernah mencantumkan agama si pemegang kartu.

 

Nah, setelah peristiwa pemberontakan G 30 S yang tragis bagi bangsa kita, ternyata membawa implikasi yang serius dalam kehidupan beragama etnis Tionghoa di Indonesia. Terutama ini berdampak pada mereka yang selama itu mengikuti agama leluhur mereka, yang disebut 'Agama Orang Tionghoa'. Di tahun 1965 itu hanya ada lima agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Jadi mereka yang merasa memeluk 'Agama Orang Tionghoa' mau tidak mau akan mencantumkan 'Buddha' di kolom KTP mereka. Dari sinilah muncul istilah 'Umat Buddha KTP'. Jadi apa itu 'Agama Orang Tionghoa'? Bagi mereka itu adalah apa yang disebut sebagai _Sān Jiào_ (三教) atau Sam Kauw (Hokkian), atau diindonesiakan sebagai Tridharma. Tridharma artinya 'Tiga Ajaran', merupakan sinkretisme dari tiga agama, yakni ajaran Taoisme, ajaran agama Buddha Mahayana, dan ajaran agama Ru yakni yang bersumber dari Konghucu. Belakangan pada tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, agama Konghucu resmi menjadi salah satu agama yang diakui di Indonesia. Dengan demikian mereka yang menganut Agama Orang Tionghoa atau mengaku sebagai pemeluk Tridharma, bisa memilih mencantumkan 'Buddha' atau 'Konghucu' pada kolom agama di KTP-nya.

 

Sekarang kita akan membahas lebih lanjut apa yang dinamakan 'Umat Buddha KTP' itu. Agar lebih mudah dipahami, penulis ingin menceritakan pengalaman pribadi penulis sendiri. Penulis lahir dari keturunan etnis Tionghoa suku Hokkian, yang entah sudah berapa generasi bermukim di bumi Nusantara ini. Kami satu keluarga besar, baik dari garis keturunan laki-laki maupun perempuan, adalah penganut agama orang Tionghoa yang taat. Setiap tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan lunar, di meja-abu leluhur dari garis keturunan laki-laki, kami biasa mempersembahkan dupa, lampu-minyak, dan air teh dengan melakukan persembahyangan. Meja-abu yang di atasnya terpampang potret hitam-putih para leluhur kami tersebut, tidaklah berada di rumah orang tua penulis, tetapi ditempatkan di rumah tua peninggalan kakek dan nenek yang berlokasi di kawasan pecinan. Pada saat-saat tertentu sesuai dengan tradisi, seperti perayaan dewa dapur naik ke kahyangan, sembahyang Thian, sembahyang Tahun Baru Imlek, dan sembahyang arwah; ritual akan berlangsung lebih lama dan sesajian yang dipersembahkan di meja-abu lebih banyak dan bervariasi. Menyambut persembahyangan istimewa ini, kami sekeluarga telah menyiapkannya jauh-jauh hari sebelumnya.

 

Acara persembahyangan yang dilakukan secara rutin mengikuti petunjuk penanggalan lunar adalah peristiwa yang membekas kuat dalam memori penulis hingga saat ini. Adalah sosok Jie-kou sebutan bagi kakak-perempuan-kedua papa kami, yang begitu sabar dan telaten, yang mengajarkan kami untuk melakukan persembahyangan di depan altar dengan hikmat. Lewat tutur katanya yang lemah lembut dan tangan halusnya, kami diajarkan bagaimana mengambil hio atau batang-dupa, menyalakannya, memegang dan menggerak-gerakannya di depan dada, sambil mulut-mulut kecil kami berkomat-kamit melantunkan doa dan permohonan kepada para leluhur yang telah tiada. Dia nampak bahagia melihat Sudjana Kecil dan adiknya sudah pintar pai-pai. Sewaktu kami bertanya kepadanya, apa makna di balik barang persembahan dan ritual persembahyangan ini, dia tidak mampu menjelaskannya. Jie-kou almarhumah hanyalah sosok wanita paruh baya yang sederhana, tidak banyak menuntut, dan dia menyiapkan dan melaksanakan ritual persembahyangan dengan tulus dan penuh rasa bakti terhadap agama dan keyakinannya.

 

Mungkin teman-teman dari generasi yang seangkatan dengan penulis banyak juga yang memiliki pengalaman masa kecil yang serupa. Di permulaan dekade 60-an pendidikan dan pengetahuan orang tua kita tentang Agama Orang Tionghoa amatlah minim. Mereka rata-rata tidak memahami apa makna bersembahyang, apa tujuannya meletakkan sesajian di atas altar, apalagi mengerti pesan simbolik dalam upacara yang diadakan di rumah atau tempat ibadah. Segala tata-laku yang dikerjakannya dalam bersembahyang ditiru mentah-mentah dari orang tua atau kakek-nenek mereka. Adalah sosok Tua-kou, yakni kakak-perempuan-tertua dari papa, yang sering mengajak penulis ke bio atau kelenteng tua yang terdapat di kawasan pecinan tersebut. Saat berkunjung ke sana terutama pada hari keagamaan, banyak umat yang bersembahyang dengan dibekali lilin merah, hio, dan 'kertas-uang'. Adalah suatu kenyataan bahwa banyak dari mereka yang memasang lilin di altar, menyulut hio, kemudian melakukan pai-pai di hadapan patung dewa/dewi atau bodhisattva layaknya sesosok robot. Memang ada doa dan harapan yang tercetus di bibirnya agar permohonan atau permintaannya dikabulkan. Inilah yang disindir oleh sementara kalangan internal sebagai umat dung dung cep. Entah dari mana datangnya istilah ini – mungkin saja karena mereka yang melakukannya dua kali bersujud, maka dinamakan dung dung, lalu batang hio itu ditancapkan pada wadah-abu dengan suara cep – satu sebutan yang merendahkan terhadap orang yang melakukannya. Dengan demikian, hingga meningkat remaja penulis bisa digolongkan sebagai salah satu dari 'Umat Buddha KTP' atau golongan dung dung cep ini.

 

Setelah cukup umur penulis memasuki sekolah dasar di perguruan yang berciri khas Katolik, yang berlanjut di SMP yang sama. Kemudian dilanjutkan ke SMA yang dikelola oleh Yayasan Katolik yang berbeda. Jadi selama dua belas tahun penulis tidak pernah mengenal ajaran tentang apa itu agama orang Tionghoa. Di lingkungan pendidikan formal ini penulis diajarkan pengalaman berinteraksi dengan penganut agama lain. Jika biasanya kami sembahyang dengan membakar hio, maka di sekolah ini kami diajarkan untuk berdoa dengan cara memejamkan mata sambil melipat tangan. Di lingkungan ini penulis mulai mengenal sosok Yesus Kristus dan nabi-nabi seperti yang diceritakan dalam Alkitab. Selama menuntut ilmu di sana terkadang kami mendapatkan pelajaran agama Katolik dari frater, bruder, atau suster, dan mereka tidak pernah mempermasalahkan agama yang penulis anut. Bahkan mereka terkesan sangat toleran kepada kami, termasuk kepada beberapa teman yang beragama Islam.

 

Selama ini ada beberapa rekan kerja yang baru mengenal penulis, dengan terheran-heran sempat bertanya : "Sebenarnya you punya agama itu apa sih? Katanya Buddhis, tapi koq tahu banget soal agama Katolik dan Kristen?" "Ya, iyalah. Saya kan dulu sejak kecil bersekolah di perguruan Katolik. Masa nggak tahu?" jawab penulis. Lalu sempat pula ada salah seorang yang bertanya, "Kenapa nggak masuk Katolik sekalian?" Menanggapi pertanyaan itu, penulis hanya menjawab bahwa itu adalah masalah keyakinan yang tidak dapat dipaksakan. Sampai saat ini pun penulis tidak berniat untuk berpaling dari agama leluhur yang telah dianut oleh sekian banyak generasi penulis terdahulu.

 

Kita lanjutkan cerita perjalanan penulis setelah lulus dari sekolah menengah atas. Memasuki perguruan tinggi, di tahun kedua ada mata kuliah dasar umum (MKDU) bernama mata kuliah agama. Universitas tempat penulis menuntut ilmu menyediakan beberapa kuliah agama yang bisa dipilih oleh para mahasiswa. Penulis memilih 'Agama Buddha', dan setelah mengikuti kuliah di kelas, pada akhirnya penulis mengerti doktrin-doktrin utama agama Buddha. Tidak puas sampai di situ di akhir tahun itu penulis mulai berkunjung ke vihara untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ritual agama Buddha. Kebetulan di kota kelahiran penulis ada sebuah vihara milik sekte Buddhayana yang menyelenggarakan puja bakti keagamaan secara teratur, dan di vihara ada perpustakaan tempat kita bisa meminjam buku-buku Dharma. Lewat bertanya, berdiskusi, dan belajar lewat buku, penulis bisa memperluas pengetahuan tentang agama Buddha. Belakangan di kota itu didirikan vihara baru yang beraliran Mahayana, dan demi memuaskan rasa ingin tahu, penulis berkunjung ke sana dan mencoba mempelajari apa yang ditekankan dalam mazhab Mahayana. Beberapa tahun belakangan ini penulis mulai melakukan studi mandiri terhadap Tridharma.

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya, apakah setelah itu penulis sudah berhasil bertransformasi dari 'Umat Buddha KTP' menjadi umat Buddha sesungguhnya? Atau apakah penulis sudah memiliki pola pikir Buddhis yang tidak tergoyahkan? Penulis tidak berbangga-hati mendapat sebutan demikian. Bukan hanya pola pikir Buddhis atau pola pikir Tridharma yang membuat seorang menjadi pemeluk agama yang sesungguhnya, namun ada aspek lain yang juga menentukan. Cerita berikut ini mungkin pernah ditemui oleh para pembaca di media sosial dan akan penulis hadirkan sekali lagi.

 

Engko Acong, demikian orang memanggilnya, adalah seorang pedagang kelontong di sebuah pasar tradisional. Di dekat pasar itu yang kebetulan dekat daerah pecinan, ada sebuah kelenteng kecil yang biasanya dikunjungi oleh orang-orang yang tinggal di sekitar daerah itu. Acong adalah orang yang sederhana dan hanya berpendidikan sekolah menengah pertama dan itu pun juga tidak sampai lulus. Setiap hari sebelum berangkat ke tokonya Acong mampir di kelenteng. Dia terbiasa mengawalinya dengan mengambil sebatang hio, menyulutnya hingga menyala, lalu pergi ke altar dewa utama yang ada di rumah ibadah itu. Seperti orang yang biasa bersembahyang di sana, Acong pun mengayun-ayunkan batang hio di atas kepalanya, dan berkata dengan suara lirih, "Kongco, ini owe, Acong." Hanya kata-kata itu dan selanjutnya hio ditancapkan ke wadah-abu, dan Acong memberi hormat Kongco sekali lagi, kemudian dia melanjutkan perjalanan ke tokonya. Kebiasaan Acong yang sebelum kerja selalu mampir di kelenteng pun sudah dipahami oleh Bio-kong alias 'Juru Kunci' kelenteng tersebut, bahkan kata-katanya "Kongco, ini owe, Acong," sudah menjadi trade mark si orang lugu ini. Demikianlah bertahun-tahun Acong melakukan ibadah rutin ini sebelum dia pergi membuka tokonya. Sekali waktu Acong jatuh sakit dan dia dibawa ke IGD sebuah rumah sakit oleh isterinya. Setelah dirawat beberapa hari penyakit Acong tidak kunjung sembuh bahkan bertambah parah. Terpaksa dia dirawat di ruang ICU (intensive care unit). Di tengah malam saat Acong yang sudah sekarat dan nampaknya tidak tertolong lagi, sekonyong-konyong sambil mengigau dalam tidurnya Acong berkata: "Kongco, ini owe, Acong," Ajaib!! Tiba-tiba dalam penglihatan Acong tampak seorang tua berjubah putih datang menghampirinya; lalu serta-merta orang tua itu mengusap wajah Acong. Tidak berapa lama kemudian Acong pun mendusin, lalu disadarinya bahwa masih ada jarum-infus tertempel di tangannya, ada pula kabel-kabel instrumen-medis terhubung di beberapa bagian tubuhnya, dan di hidung dan mulutnya masih ditutup oleh masker-oksigen. Acong yang merasa sudah sembuh heran mengapa dia berada di tempat itu. Dia pun segera mencopot jarum-infus, plester-kabel, dan masker-oksigen, yang selama ini membelenggunya. Setelah itu dia turun dari tempat tidurnya, mencari pintu ke luar, dan segera pulang ke rumahnya. Tinggal si perawat-jaga di ICU yang kebingungan, melihat pasiennya tiba-tiba bisa bangun dan berjalan sendiri, lalu minggat.

 

Tentu Anda para pembaca bertanya-tanya, bagaimana mungkin Acong seorang Buddhis-KTP atau umat dung dung cep bisa mendapat pertolongan dari Kongco di saat kritis. Kisah mirip si Acong pun terkadang kita baca atau kita tonton di layar TV dalam lintasan peristiwa di dunia ini, meskipun dalam konteks yang berbeda. Intinya hanya dengan bermodalkan keyakinan yang teguh, seorang bisa terselamatkan. Dalam kosakata Buddhis, keyakinan ini dinamakan saddhā (Pali) atau śraddhā (Sans.).

 

Pengalaman penulis sewaktu masih duduk di bangku pendidikan dasar dan menengah semoga tidak terjadi lagi pada umat kita sekarang ini. Kondisi sekarang pasti berbeda dibandingkan enam-puluh atau lima-puluh tahun yang lalu. Pihak vihara, cetiya, kelenteng, bio, litang, dan taokwan pun sudah berbenah dan siap membina umatnya. Mereka sudah bersiaga menghadapi tantangan zaman dalam membina umatnya. Puja bakti mingguan sudah jadi agenda mereka, dan sekolah-minggu pun diadakan secara rutin untuk membina anak-anak dan muda-mudi. Juru-dakwah dalam agama Buddha dan Tridharma alias dharmaduta, pun sudah siap mendidik dan membina umat. Dengan demikian yang namanya umat Buddha KTP pun lama-lama sudah tidak ada lagi.

 

Menutup tulisan ini penulis ingin menyitir ucapan Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14. Sekali waktu pemimpin spiritual rakyat Tibet itu ditanya apakah agama terbaik itu. Dalai Lama menjawab: "Agama terbaik adalah agama yang membuat Anda menjadi orang yang lebih baik." Dan apa itu menjadi lebih baik? Jawabnya: "Menjadi lebih baik berarti membuat Anda lebih berwelas-asih, lebih berpikiran sehat, lebih obyektif dan adil, lebih menyayangi, lebih punya rasa tanggung jawab, dan milikilah kualitas-kualitas seperti itu." Sebagai penutup, tentu penulis berpesan, Lets become a better Buddhist, atau Lets become a better Confucianist, atau Lets become a better Taoist, atau Lets become a better Tridharmaist.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220713