Saat itu hari Minggu siang, 20 Maret
2022. Sirkuit Mandalika Lombok diguyur hujan deras, yang membuat arena balap di
sekeliling lapangan tergenang air, serta membuat jalannya lomba balap menjadi
tertunda. Siang menjelang senja adalah saat-saat yang ditunggu-tunggu oleh para
pembalap dan penonton, karena akan terpilih juara ajang balap sepeda motor
paling bergengsi di dunia ini. Hujan deras dan terciptanya genangan air di atas
sirkuit bisa membuat perhelatan kejuaraan itu bisa ditunda entah hingga kapan,
dan hal ini tidak diharapkan oleh siapa pun yang hadir di sana.
Panitia penyelenggara agaknya telah
mengantisipasi kejadian tak terduga yang bisa terjadi di sirkuit teranyar ini.
Sekonyong-konyong di arena muncul seorang perempuan yang mengenakan helm berwarna
putih. Dia berjalan mengelilingi lapangan sambil membawa sebuah canang,
tongkat-pemukul kecil, dan tiga batang hio
yang sedang menyala. Sambil berjalan mulut perempuan itu berkomat-kamit
mengucapkan doa-doa tertentu, sementara tangan kanannya yang memegang
tongkat-pemukul kecil, digerakkan memutar menyapu bibir-atas canang dan
sekali-kali tongkat itu dipukulkan ke badan canang. Setelah beberapa lama
menjalankan aksinya, hujan deras pun reda, air yang menggenangi sirkuit juga
surut, dan sesi balap berikutnya bisa langsung dilaksanakan.
Perempuan itu dipanggil Rara Istiati
Wulandari, atau disingkat mbak Rara. Sejak umur sembilan tahun dia telah
menjadi seorang pawang hujan. Dia memulainya sewaktu di dusunnya diadakan acara
pagelaran wayang. "Umur sembilan tahun saya sudah cari uang sendiri dari
acara wayangan dan waktu itu saya belum menggunakan kemenyan untuk menjadi pawang
hujan. Saya bilang ke dalangnya kalau saya bisa bantu agar hujan tidak
turun," kata Rara. Sebagai pawang hujan, Rara juga pernah menjadi pawang
hujan di beberapa acara besar dan pernikahan tokoh publik. Selain bisa mencegah
turunnya hujan, mbak Rara pun bisa mendatangkan hujan; terbukti setelah sirkuit
baru diaspal beberapa minggu sebelumnya dan cuaca di sekitarnya amat terik,
panitia penyelenggara meminta mbak Rara mendatangkan hujan gerimis agar
pelapisan aspal berjalan dengan baik.
Pawang hujan adalah profesi yang makin
langka di zaman kita ini, namun keahlian ini telah berkembang sejak ribuan
tahun yang lalu. Kita akan meninjau pada apa yang disebut sebagai Shamanisme.
Apa itu? Shamanisme adalah praktik keagamaan yang melibatkan seorang praktisi,
yang diyakini mampu berinteraksi dengan dunia roh melalui tingkat kesadaran tertentu, seperti misalnya dalam kondisi 'kesurupan'. Tujuannya utamanya,
mengarahkan roh atau energi spiritual ini ke dunia fisik, guna keperluan
penyembuhan atau tujuan lainnya. Berkaitan dengan pembahasan Agama Ru tempo
hari, kita akan menelusuri Shamanisme ini dari tradisi Tiongkok Kuno. Praktik
Shamanisme di sana berkembang sejak masa Dinasti Shang (商朝,Shāng Cháo), dinamakan Wuisme yang
berasal dari kata wū jiào (巫教), yang bermakna 'Agama Wū' atau 'Kepercayaan Wū'. Wū (巫) artinya penyihir atau dukun.
Selain itu dikenal pula kata 童乩 (tóng jī) yang
berarti 'peramal muda', yang membedakannya dari kata 薩滿 (sàmǎn atau 'dukun siberia'),
dan dari istilah India 'Shramana', atau 'rahib pengembara', atau 'petapa',
atau 喪門 (sàngmén).
Kita tidak akan membahas bagaimana para
penyihir atau dukun itu, dikatakan mampu meminta para naga atau Kuí (夔) yang
menguasai gunung dan sungai, untuk terlibat dalam pengendalian fenomena
meteorologi. Penulis di sini hanya ingin menggambarkan apa yang diyakini oleh
nenek moyang kita tentang terjadinya hujan dan fenomena yang berkaitan dengan
cuaca, berdasarkan kepercayaan dan keyakinan mereka, bahwa apa pun yang terjadi
dalam fenomena meteorologi semuanya dikendalikan oleh kekuatan supranatural.
Tiongkok Kuno adalah sebuah negeri
tempat para dewa, naga, dan manusia hidup berdampingan membentuk ekosistem yang
amat berbeda dengan yang dikenal oleh manusia zaman kita ini. Naga memiliki
kemampuan supranatural yang amat beragam; mereka mampu mengendalikan air, api,
angin, maupun es; hidup di tiga alam dan mampu terbang ke langit tertinggi atau
menyelam hingga ke dasar samudera. Setiap tetes air – dari lautan mahaluas,
sungai besar dan kecil, hingga mata air atau sumur – berada di bawah kekuasaan
sesosok naga atau raja naga. Selain dari itu mereka bisa berubah-wujud menjadi makhluk setengah manusia, setengah ular yang
tinggal di dunia-bawah, dan kadang-kadang
dapat mengambil bentuk manusia atau tubuh-manusia-sebagian. Bukan hanya itu, konon raja naga memiliki
istana kristal yang berada di bawah air, yang serupa dengan istana raja
manusia, lengkap dengan fitur-fiturnya yang megah dan mewah.
Kisah ini berasal dari masa Dinasti Táng (唐代,Táng Dài), ketika sesosok yaksha
(sejenis makhluk halus, yakkha
istilah Pali-nya) yang sedang berpatroli, menguping percakapan seorang nelayan
yang baru pulang dari menangkap ikan. Nelayan itu dengan bangganya bercerita
kepada sahabatnya bahwa dia selalu berhasil menangkap ikan dalam jumlah banyak.
Terkejut mendengar isi percakapan itu, sang yaksha
bergegas kembali ke istana kristal guna memberikan laporan penting tentang
potensi bencana kepada sang raja naga. "Bencana macam apa itu?" tanya
sang raja naga, dan sang yaksha menjawab, "Hambamu sedang berpatroli di
air dekat dengan tepi sungai, ketika aku mendengar seorang nelayan dan seorang
pemotong kayu berbincang-bincang. Ada isi pembicaraan yang kedengerannya cukup
menyeramkan. Sang nelayan berkata bahwa ada seorang peramal yang tinggal di
Jalan Gerbang Barat di kotaraja Chang'an, yang hasil ramalannya sangat tepat.
Sang nelayan setiap hari menghadiahkan si peramal seekor gurami emas, dan
peramal itu menyerahkan secarik kertas yang menginformasikan lokasi perburuan
yang akurat, bahwa dia pasti akan mendapatkan tangkapan ikan dalam jumlah besar
setiap kali dia menebarkan jaringnya atau kailnya. Jika perhitungannya begitu
cermat, akankah kita sebagai warga masyarakat-air ini bakal disapu bersih?
Bukankah seharusnya kita memperkuat istana air, atau kita ciptakan gelombang
besar untuk menyapu sang peramal keparat itu dari sana?"
Sang raja naga menghunus pedangnya
dengan sangat murka. Dia ingin segera melabrak dan membinasakan sang ahli
nujum. Namun para bawahannya mengingatkannya: "Kami minta Paduka Yang
Mulia tidak bertindak gegabah sewaktu sedang gusar. Seperti pepatah mengatakan
'kata-kata yang didapat lewat menguping tidak bisa dipercaya.' Jika Paduka akan
pergi, engkau bisa memilih untuk ditemani oleh awan dan dibantu oleh hujan.
Namun berhati-hatilah, tindakan ini bisa membuat penduduk Chang'an menjadi
ketakutan, dan sebagai konsekuensinya Surga akan memberikan perlawanan. Paduka sebetulnya
mampu membuat banyak ubah-wujud, seperti seketika muncul dan lenyap tanpa bisa
diduga-duga. Jika jurus ini yang dipilih, engkau dapat mengubah-wujudmu sebagai
seorang sarjana yang sedang mengunjungi Chang'an. Jika engkau mendapatkan bahwa
omongan si yaksha itu benar, engkau
dapat menghukum sang peramal itu. Tetapi jika perkiraanmu ternyata keliru,
engkau nyaris melakukan pembunuhan terhadap seorang yang tidak-bersalah."
Menuruti nasihat mereka, sang raja naga
menyingkirkan pedangnya, dan dia tidak jadi pula menunggang awan atau hujan. Dia
memilih ke luar dari dalam sungai, menggoyang-goyangkan tubuhnya, dan
berubah-wujud menjadi seorang sarjana. Sang raja naga sekarang telah menjelma
menjadi sesosok sarjana yang tampan dan mulia, serta dengan mengenakan sepotong
jubah sutera hijau dan sehelai selendang kasual, dia melangkah dengan anggunnya
ke arah kota. Setelah mencapai jalan di daerah perkotaan dia langsung
melangkahkan kakinya ke Jalan Gerbang Barat di kota Chang'an, tempat dia
melihat kerumunan orang yang saling mendorong dan berteriak dengan riuhnya.
Satu dari mereka menyerukan pernyataan yang memukau, "Dia yang lahir di
bawah shio Naga akan berselisih dengan mereka yang berada di bawah shio
Harimau. Walaupun watak-watak yang bersiklus cocok satu sama lain, aku khawatir
bahwasanya Sang Planet-Tahun dapat bertentangan dengan Sang Matahari."
Segera setelah mendengar ucapan tersebut sang raja naga langsung menyadari
bahwa di tempat inilah keberuntungan seseorang diungkapkan.
Dia pun merangsek ke depan. Di
hadapannya tampak sebuah kamar yang dihiasi sutera bersulam. Asap dupa wangi
membumbung dari sebuah anglo, dan di sampingnya ada air jernih dalam pot
porselen. Di atas sebuah meja ada sebuah batu-tinta dari Kota Duanxi, dan di
dalamnya bersandar kuas besar. Keahlian sang ahli nujum terletak pada penafsiran
enam baris diagram, dan dia merupakan pakar agung untuk Delapan-Trigram. Konon dia
paham betul prinsip Surga dan Bumi; serta mampu menembus perasaan para dewa dan
siluman. Dia mengetahui pula semuanya tentang bilangan siklik, serta mampu
menafsirkan gambar rasi bintang. Si ahli nujum pun mampu meneropong
kejadian-kejadian di masa depan, juga rangkaian peristiwa di masa silam,
laksana memandangnya ke dalam sebuah cermin.
Jadi siapakah gerangan yang dimaksud
dengan sang peramal itu? Di atas dinding tertulis pada sebuah papan nama:
"Guru Kedewaan Yuan Shoucheng". Sang ahli nujum merupakan paman dari
Yuan Tiang Ang, Sang Astrolog Kekaisaran. Namanya termasyhur di seluruh negeri,
dan dia adalah anggota trerkemuka perhimpunan profesi ahli nujum yang
berkedudukan di Chang'an.
Sang raja naga datang menghampirinya
dan ketika pembicaraan pembuka usai, tuan rumah mempersilahkan tamunya duduk,
sementara seorang pelayan membawakan teh untuk mereka. "Engkau telah
datang dari jauh, jadi apa yang engkau ingin tuan tanyakan?" tanya si
peramal, dan sang raja naga menjawab, "Aku meminta engkau menyingkapkan
rahasia langit untukku." Sang peramal mengeluarkan secarik kertas dari
saku jubahnya dan di sana tertulis, "Awan menutupi puncak gunung, kabut
menghalangi kanopi pohon. Jika hujan berkehendak turun, maka itu pasti datang
esok hari." - "Kapan hujan akan turun esok hari?" tanya si raja
naga, "dan berapa inci air hujan akan jatuh?"
"Esok hari awan akan berkumpul di
pertengahan-pagi; pada saat berakhirnya pagi, halilintar akan
menyambar-nyambar; persis tengah hari hujan mulai turun; dan menjelang sore
hujan akan reda. Akan ada 3 kaki dan 3,48 inci air hujan yang jatuh,"
jawab sang peramal. - "Aku yakin bahwa engkau tidak membual," kata
sang raja naga. "Jika hujan turun esok hari pada jam-jam yang engkau
sebutkan dan besarnya ketinggian-air persis seperti yang engkau ramalkan, aku
akan membayarmu sebagai imbal-jasa nujum ini lima puluh ons emas. Namun jika
hari tidak hujan, atau jika hujan berlangsung tidak dalam ritme seperti yang
engkau sebutkan, atau jika ketinggian airnya tidak persis seperti yang engkau
ramalkan; maka aku berterus terang kepadamu. Aku akan meluluhlantakan etalase
tempat praktikmu, mencopot papan nama kebesaranmu, dan mengusirmu ke luar dari
kota ini. Dengan begitu selanjutnya engkau tidak akan bisa lagi mengelabui
orang-orang di kota ini." - "Semuanya terserah kepadamu," jawab
lawan bicaranya dengan riang. "Kita akan berjumpa lagi besok setelah
hujan." Sang raja naga lalu pamit dan ia kembali ke istana airnya.
Penghuni-penghuni air besar maupun
kecil menyambutnya dengan pertanyaan, "Bagaimana pertemuan antara Paduka
Yang Mulia tadi dengan sang peramal?" - "Semuanya berjalan
lancar," dia menjawab. "Namun ternyata dia adalah seorang ahli nujum
yang fasih. Sewaktu aku menanyakan kepadanya kapan akan hujan, dia langsung
mengatakan esok hari. Ketika aku menanyakan jam berapa hujan akan turun, dia
mengatakan bahwa pada pertengahan-pagi awan akan berkumpul, pada tengah hari
hujan mulai turun, dan pada saat menjelang sore hujan akan reda. ... ."
Seluruh anggota masyarakat-air tertawa
dan berkata: "Paduka Yang Mulia adalah Kepala Pengawas dari Empat
Sungai dan Dewa-Hujan Naga Agung, sehingga hanya engkau yang dapat mengetahui
apakah hari akan hujan. Betapa beraninya dia membual seperti itu? Si ahli nujum
ini bakal kalah bertaruh, dia pasti kalah bertaruh."
Sewaktu semua anggota keluarga raja
naga beserta para pejabat di istana air itu tertawa terbahak-bahak dan
membicarakan kejadian yang baru dialami oleh raja mereka, sebuah teriakan
terdengar dari langit: "Wahai Raja Naga dari Sungai Jing, bersiaplah
menerima sebuah Maklumat Kekaisaran." Mereka semua melihat ke atas dan
segera tampak sesosok ksatria yang mengenakan jubah keemasan mendatangi istana
air. Tangannya memegang sebuah maklumat dari Kaisar Kemala atau Kaisar Langit.
Kejadian ini memperingatkan sang raja naga, yang segera merapikan pakaiannya,
berdiri dengan khidmat, membakar dupa wangi, dan menerima maklumat itu dengan
penuh hormat. Setelah mengucapkan terima kasih atas berkah kekaisaran, sang
ksatria berjubah emas pun terbang kembali ke langit.
Selanjutnya sang raja naga membuka
surat itu dan membacanya: "Kami memerintahkan Pengawas dari Delapan Sungai
untuk bepergian dengan petir dan kilat serta mendatangkan hujan bagi kota
Chang'an." Waktu pelaksanaan turunnya hujan dan jumlah air yang turun pada
maklumat sama persis dengan yang diramalkan oleh sang peramal; hal mana membuat
sang raja naga tersentak kaget begitu dia selesai membaca surat itu. Sesaat
kemudian dia berkata kepada masyarakat-air, "Bagaimana mungkin ada
seseorang di sana yang memiliki kekuatan sebesar itu padahal dia hidup di dunia
fana? Dia sungguh-sungguh seseorang yang mengetahui segala rahasia tentang
Surga dan Bumi. Aku telah kalah bertaruh dengannya."
"Paduka tidak perlu cemas,"
demikian usulan Jenderal Hering, salah satu bawahannya. "Tidak ada
kesukaran untuk mengalahkan dia. Hambamu mempunyai rencana yang sederhana yang
aku jamin bisa menutup mulut si bajingan itu." Ketika sang raja naga
bertanya tentang rencana itu, sang jenderal mengemukakan, "Buatlah hujan
pada waktu yang keliru dan jumlahnya sedikit dikurangi. Dengan demikian
ramalannya akan keliru, dan engkau pasti akan mengalahkannya. Tidak ada yang
bisa menghentikanmu untuk menghancurkan papan namanya hingga berkeping-keping
dan mengusirnya ke luar kota." Sang raja naga menerima saran itu dan
berhenti mencemaskan dirinya.
Hari berikutnya sang raja naga
memerintahkan Baron Angin, Adipati Petir, Pemuda Awan, dan Ibu Kilat untuk
pergi ke langit di atas kota Chang'an. Dia menunggu hingga saat pagi hampir
berakhir sebelum menyebarkan awannya, melepaskan kilatnya pada waktu tengah
hari, memulai hujan pada awal-sore, serta menghentikannya di akhir-sore.
Selanjutnya dia mengatur hanya 3 kaki dan 3,40 inci air hujan yang turun.
Dengan demikian dia telah mengubah rencana semula, dengan menunda proses
jatuhnya hujan dua jam ke belakang dan mengurangi jumlah air yang dijatuhkan
sebanyak 0,08 inci. Setelah hujan reda dia membubarkan para jenderal dan
pembantunya serta menyingkirkan awannya. Selanjutnya dia mengubah wujudnya
kembali menjadi seorang sarjana berpakaian putih, lalu bergegas menuju tempat
ahli nujum Yuan Shoucheng di Jalan Gerbang Barat. Setibanya di sana tanpa
memberikan penjelasan apa-apa dia menghantam papan nama Yuan, melempar
kuas-tulisnya, menjatuhkan batu-tinta, dan barang-barang lainnya, sementara si
peramal tetap tenang duduk di kursinya tanpa bergerak sedikit pun juga.
Sang raja naga mengayun-ayunkan daun
pintu yang dicopotnya dari tempat praktik si peramal, siap untuk dihantamkan
padanya, dan dia mulai melancarkan serangan kata-kata terhadapnya: "Engkau
orang jahat, dengan bicaramu yang sembrono tentang keberkahan dan malapetaka.
Engkau tidak lebih dari penipu tengik, yang dengan muslihatmu membodohi orang-orang
di kota ini. Ramalanmu telah melenceng dan engkau hanya bicara omong kosong.
Sekarang engkau baru mengetahuinya, bahwa ramalanmu tentang saat berlangsungnya
hujan dan banyaknya air yang jatuh dari langit ternyata keliru. Tetapi engkau
masih duduk di situ dengan penuh wibawa dan berkuasa. Enyahlah segera dari kota
ini jika engkau masih ingin aku menyelamatkan nyawamu." Yuan Shoucheng,
tetap duduk seperti sediakala dengan tenang tanpa merasa takut sedikit pun
juga, dan dia memandang ke langit dengan sungging senyum yang mengejek.
"Aku tidak takut sama
sekali," dia berkata. "Aku tidak takut, karena aku tidak melakukan
kejahatan yang serius, namun aku khawatir engkau sendiri yang baru saja
melakukannya. Engkau bisa saja mengelabui orang lain, tetapi engkau tidak dapat
membohongiku. Aku tahu siapa engkau sebenarnya. Engkau bukanlah seorang
sarjana. Engkau adalah Raja Naga dari Sungai Jing. Engkau telah melecehkan
maklumat dari Kaisar Kemala, dengan mengubah waktu pelaksanaan hujan dan
mengurangi jumlah air yang turun, yang sama saja dengan melakukan kejahatan
terhadap hukum Surga. Aku khawatir hidupmu akan berakhir pada tajamnya pedang
sang algojo di Panggung Pengiris-Naga. Apakah engkau masih akan mempertahankan
penyalahgunaan wewenangmu, demi memenangkan taruhan yang engkau tentukan
sendiri?"
Mendengar kata-kata ini sang raja naga
gemetar karena takut dan bulu kuduknya berdiri. Segera diturunkan daun pintu
yang tadinya hendak dihempaskan ke tubuh si peramal. Dia lalu merapikan
pakaiannya dan dari bahasa tubuhnya terlihat dia telah takluk sepenuhnya. Lalu
dia berlutut di hadapan sang peramal dan berkata, "Mohon jangan marah
padaku, tuan. Aku tadi hanya bercanda. Aku tidak pernah berpikir itu akan
ditanggapi dengan serius. Apa saja yang harus aku lakukan jika aku melanggar
hukum Surga? Aku mohon engkau dapat menyelamatkanku, tuan. Jika tidak, aku akan
terus menghantuimu setelah aku mati." - "Aku tidak dapat
menyelamatkanmu," jawab Yuan Shoucheng, "tetapi aku dapat menyarankan
satu jalan, yang dengan mengikutinya mungkin dapat menyelamatkan jiwamu."
Dari kisah di atas kita dapat belajar
bahwa betapa pun berkuasanya seseorang dia tetap harus tunduk kepada hukum
kebenaran. Segala penyimpangan atau kejahatan akan dicatat oleh Surga, dan pada
gilirannya Surga akan memberikan ganjarannya. Kita sudah belajar di bangku
sekolah bahwa turunnya hujan beserta fenomena cuaca lainnya, ditentukan oleh
efek penyinaran matahari terhadap bumi beserta gerak orbit bumi mengelilingi
matahari. Namun apakah seluruh kejadian meteorologi di dunia ini sepenuhnya
hanya digerakkan secara an sich oleh
kekuatan alam itu sendiri? Jika manusia modern dapat merekayasa hujan buatan di
satu daerah – dengan cara menaburkan butiran garam di angkasa – berarti manusia
bisa mencampuri kekuatan alam. Bukankah demikian? Bagaimana dengan para naga
yang perkasa, bukankah mereka juga lebih piawai daripada manusia, berkat
kekuatan supranatural yang mereka miliki? Lalu jika ada sosok manusia yang bisa
berkomunikasi dengan para naga – katakanlah sang pawang hujan – bukankah cuaca
bisa ikut pula diatur untuk kepentingan manusia? Silahkan para pembaca
menganalisanya sendiri.
Kembali pada cerita di atas tentu ada
pembaca yang penasaran, bagaimana nasib Sang Raja Naga Sungai Jing. Apakah dia
sampai dipenggal kepalanya karena kesalahannya? Penulis mengambil kisah itu
dari novel terkenal abad ke-16 yang berjudul 西遊記 (Xī Yóu Jì) atau Perjalanan ke Barat karya Wú Chéng’ēn,
pada Bab ke-10. Anda bisa mencari kelanjutan ceritanya di novel tersebut.
sdjn/dharmaprimapustaka/220727