Rabu, 20 April 2022

KORUPSI


 

Anda yang sering mendengar dan melihat berita di televisi atau media lainnya, pasti sering mendapatkan kabar tentang kasus korupsi yang menimpa para pejabat negara. Tidak asing lagi di telinga kita bahwa kepala daerah anu ditangkap oleh KPK (Komite Pemberantasan Korupsi), karena kedapatan menerima uang tunai dari seorang pemberi suap. Atau sering kita baca pula, seorang mantan pejabat divonis sekian tahun penjara, karena terbukti melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara sebesar puluhan milyar rupiah.

 

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan korupsi itu? Korupsi diambil dari kata Latin corruptio sebagai kata benda, yang berasal dari kata kerja corrumpere yang bermakna membusuk, menggoyahkan, memutarbalikkan, menyogok, mencuri. Jadi korupsi kurang lebih berarti pembusukan, penggoyahan, pemutarbalikan, penyogokan, atau pencurian. Korupsi dikenal pula sebagai "rasuah", berkonotasi negatif, kriminal, dan merupakan tindak kejahatan.

 

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi diartikan perbuatan melawan hukum sekaligus penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana. Tujuannya adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tentu saja korupsi bisa terjadi dalam lingkup lembaga swasta, dan tidak selalu berakhir pada tuntutan hukum. Supaya lebih mudah bagi kita untuk memahaminya, korupsi itu tidak lain penyalahgunaan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada seseorang, untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Sejak Masa Reformasi korupsi lebih populer disebut KKN atau Korupsi-Kolusi-Nepotisme. Kolusi adalah kerja sama atau pemufakatan antar penyelenggara negara yang melawan hukum, sedangkan nepotisme tidak lain tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh penyelenggara negara untuk kepentingan keluarga atau kroninya di atas kepentingan umum.

 

Sejak runtuhnya rezim Orde Baru, mahasiswa dan kaum reformis telah menyadari, bahwa Indonesia terpuruk lantaran para pejabat negara melakukan praktik KKN. Namun setelah pergantian rezim, dan pimpinan pemerintahan berganti beberapa kali, setiap kali dilakukan berbagai upaya agar penyakit KKN bisa dibasmi hingga tuntas. Namun lewat dua dekade kemudian, upaya itu belum menghasilkan perubahan yang signifikan.

 

Dengan berbagai bonus geografis, yang kemudian ditunjang dengan sumber daya alam yang melimpah, penduduk dan luas wilayah yang sungguh besar, sudah seharusnya Indonesia tumbuh menjadi negara yang maju. Namun apa daya, jangankan maju; beranjak untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik saja, dirasa masih sangat sulit. Pengamat politik dan pertahanan, Salim Said, mengungkapkan alasan mengapa Indonesia tak menjadi negara maju dibanding negara-negara lain di dunia.

 

Dalam ceramahnya di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat malam 6-Oktober-2017, pakar politik dan pertahanan itu mengemukakan pendapatnya. Indonesia tidak bisa maju lantaran mentalitas pejabatnya yang rendah. Kata Salim, para pejabatnya banyak yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena 'makan duit negara'. "Nah, sekarang di Indonesia, semua pejabat pemerintah, anggota parlemen, dan para pemangku kekuasaan yudikatif itu disumpah secara agama. Tetapi kemudian melanggar sumpah, karena tidak takut pada Tuhan," kata Salim. Karenanya, kata Salim, Indonesia tidak akan bisa menjadi negara maju, selama Tuhan tak lagi ditakuti oleh para pejabat di negeri ini.

"Jadi, negeri ini tidak maju karena tidak ada apa pun yang ditakuti. Dosen dan penulis itu lalu beralih dengan membandingkan Indonesia dan negara lainnya, seperti Korea Selatan (Korsel), Taiwan, hingga Israel. "Mengapa sekarang orang Indonesia banyak membeli telepon dan kulkas dari Korsel. Kenapa Korsel maju dan kita tidak maju? Orang Korsel takut sama Korea Utara, jadi dia harus unggul," kata Salim. "Taiwan, pulau kecil, takut kalau dicaplok Tiongkok. Makanya banyak produk yang kita beli berasal dari Taiwan. Israel, Yahudi di tengah lautan Arab, kalau tidak hebat di-kremus dia," tambahnya. "Korea Selatan, Taiwan, Singapura semuanya maju karena ada yang mereka takuti. Taiwan takut sama Tiongkok Daratan, Korea Selatan takut sama Korea Utara, Singapura takut karena dia mayoritas masyarakat Tionghoa di tengah lautan Melayu. Israel takut karena berada di tengah negara-negara Arab. Keadaannya lain dengan Indonesia. Di sini kondisinya berbeda; jangankan KPK, Tuhan pun tidak ditakuti," kata Salim, yang disambut tawa terbahak-bahak dari para peserta diskusi.

Semua orang yang jadi pegawai negeri – termasuk semua pejabat negara wajib mengucapkan sumpah atau janji sebelum mereka memangku sebuah jabatan. Namun setelah mereka mendapatkan jabatan itu, sebagian dari mereka melanggar sumpah atau janji dengan melakukan korupsi dan perbuatan tercela lainnya. Dari penulusuran mereka yang bersalah dan dihukum, ternyata tidak hanya orang yang beragama X atau Y saja yang melakukan korupsi, melainkan orang-orang dari semua agama pernah melakukannya. Jadi, apakah kita setuju dengan sinyalemen di atas bahwa pejabat-pejabat di Indonesia tidak peduli apa agamanya benar-benar tidak takut kepada Tuhan?

 

Lalu apa yang dimaksud dengan takut terhadap Tuhan? Menurut ajaran Islam, takut atau khasyyah kepada Allah SWT artinya dia berupaya untuk menaati semua yang diperintahkan, serta menjauhkan segala yang dilarang oleh Allah SWT, dengan berpedoman pada Al Qur'an dan sabda Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Kristen, orang yang takut akan Tuhan tahu mana dosa mana tidak, mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang. Orang yang takut akan Tuhan tidak mau berbuat dosa dan Alkitab memberi tahu semuanya. Melakukan korupsi sama dengan mencuri alias mendapatkan harta dengan cara yang tidak halal, juga dikategorikan masuk dalam perbuatan dosa.

 

Bagaimana dengan pandangan agama Buddha tentang takut terhadap Tuhan? Jika korupsi sama dengan mencuri atau mengambil barang (baca : uang) yang tidak diberikan kepadanya, ini jelas tindakan yang melanggar sila kedua. Dalam pengertian Buddhis dikenal istilah yang dinamakan Ottappa, yang bermakna "takut melakukan perbuatan jahat". Lebih jauh Ottappa sebenarnya adalah sikap batin yang enggan melakukan perbuatan salah, keliru, atau tidak bermanfaat; dengan kata lain tidak berani melanggar sila.

 

Pengertian Ottappa sering disandingkan dengan pasangannya, yakni Hiri yang bermakna "malu berbuat jahat". Jadi Hiri dan Ottappa itu sama dengan malu berbuat jahat dan takut akibat perbuatan jahat. Tanpa perlu dijelaskan panjang lebar penulis yakin, Anda para pembaca sekalian pasti sudah paham makna kedua istilah Pali di atas. Coba saja kalau misalnya saya ini seorang pejabat negara yang tertangkap-tangan melakukan korupsi. Pasti teman-teman sekantor begitu mengetahuinya akan mengatakan, "oh, tidak nyangka ya. Atasan kita ternyata korupsi, padahal selama ini kita mengenal Bapak kita orangnya jujur dan lurus-lurus saja." Belum lagi begitu tertangkap saya harus mengenakan rompi oranye dengan kedua tangan diborgol. Selanjutnya saya digiring ke mobil-tahanan dan muka saya disorot kamera televisi. Seketika itu juga nama saya disiarkan oleh media massa dan mendadak saya jadi terkenal. Tapi buat apa terkenal kalau itu karena keburukannya! Jika saya kemudian dinyatakan bersalah mungkin setelah bebas dari hukuman saya akan mengisolasi diri, tidak berani ke luar rumah untuk menampakkan diri. Inilah yang namanya malu melakukan kejahatan.

 

Jika saya sebagai pejabat didakwa melakukan korupsi maka dimulailah proses hukum yang membuat saya tidak nyaman. Ruang kantor dan rumah saya digeledah. Selama berjam-jam dan berhari-hari saya dihujani puluhan pertanyaan oleh penyidik. Saya harus menjawabnya dengan hati-hati. Salah jawab bisa membuat hukuman menjadi lebih berat. Saya juga harus menyewa pengacara yang bayarannya sangat menguras kantong itu. Selanjutnya harus menjalani persidangan yang bertele-tele dan melelahkan. Tibalah harinya saya mendengarkan putusan hakim, yang mana saya divonis sekian tahun penjara. Belum lagi hukuman lainnya, yakni harta benda saya disita untuk membayar kerugian negara, dan saya pun dimiskinkan. Kemudian saya menjadi penghuni hotel-prodeo. Meskipun kita bisa tinggal di sana secara gratis, tetapi hati ini sengsara karena kita dikurung bak ayam peliharaan. Tidak cukup itu saja guys! Dengan dijebloskan ke penjara kita sedang menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh manusia. Padahal menurut hukum karma, pasti perbuatan buruk akan membuahkan penderitaan. Entah itu berupa kita kelak menjadi orang yang tidak berkecukupan, sering kehilangan barang, atau terlahir-kembali di alam rendah.

 

Jadi jelas kita berusaha untuk tidak melakukan korupsi, karena kita takut akan akibat perbuatan terkutuk itu. Dengan memiliki Hiri dan Ottappa, bukan berarti kita tertekan karena selalu ketakutan. Takut di sini bermakna positif, meskipun orang salah menterjemahkannya sebagai sikap pengecut. Penulis akan memberi contoh lain. Misalnya kita takut terhadap polisi lalu-lintas. Kita takut jika tidak mengenakan helm atau memakai sabuk pengaman saat mengendarai kendaraan. Takut terhadap kehadiran polisi atau takut ditilang itu adalah hal yang positif bukan negatif, karena ada dasarnya. Coba jika Anda tidak mengenakan helm atau memakai sabuk pengaman, walaupun pada saat itu tidak ada polisi yang berjaga, tiba-tiba Anda mengalami kecelakaan fatal. Dengan tetap mengenakan helm atau sabuk pengaman, Anda mungkin hanya menderita cidera ringan, dan Anda tidak jadi mati.

 

Bisa kita bayangkan jika setiap orang tidak memiliki rasa malu dan takut, dunia ini akan menjadi kacau balau. Seandainya setiap pejabat negara takut kepada Tuhan, maka korupsi akan lenyap dari Bumi Pertiwi ini. Lembaga seperti KPK tidak diperlukan lagi, dan Indonesia akan menjelma menjadi sebuah negara yang maju. Semoga demikian.

 

Sebagai penutup, penulis akan menceritakan kembali sebuah kisah nyata tentang orang berintegritas, yang melakukan kebajikan yang buahnya dinikmati oleh keturunannya. Anda mungkin pernah membacanya, dan kami menganggap kisah ini masih relevan untuk tulisan kita kali ini.

 

Menjelang akhir hayatnya, Tom Smith, seorang pensiunan pegawai negeri di satu Kementerian, masih sempat berpesan kepada puteri semata-wayangnya. Dia menasehati keturunannya agar mengikuti jejaknya dalam meniti karier. Tahun-tahun yang panjang dihabiskan dalam kerja yang tulus dan jujur di Kantor Pemerintahan hingga dia pensiun dari sana. Semuanya dibekali oleh keyakinan agar mereka sekeluarga memiliki ketenangan batin selama hidup. Dia sendiri hanya bisa hidup sewajarnya dengan membesarkan anaknya hingga dewasa. Isterinya sudah mendahuluinya beberapa tahun sebelumnya.

 

Puterinya, Sarah Smith, mengungkapkan ketidaksetujuannya meskipun hanya diucapkan dalam hati: "Ayah, aku kecewa, karena ayah tidak meninggalkan kami warisan yang memadai. Para orang tua lain, yang ayah katakan sebagai koruptor dan pencuri dana masyarakat bisa mewariskan simpanan deposito yang cukup besar jumlahnya di Bank, atau meninggalkan sebuah rumah tinggal untuk keturunannya. Aku anakmu satu-satunya hanya bisa tinggal di sebuah apartemen sewa. Maafkan aku, ayah. Aku tidak akan mengikuti jejak hidupmu." Tom Smith mungkin kecewa di saat dia hendak menutup mata.

 

Beberapa bulan kemudian, Sarah melamar posisi di sebuah korporasi besar. Saat dia diwawancarai, ketua panitia penerimaan pegawai bertanya, "apa nama lengkap Anda?" Dia menjawab, "Sarah Smith." "Apa nama ayah Anda?" Dia menjawab, "Tom Smith." "Apa yang dia kerjakan sekarang?" Sarah pun menjelaskan, "ayahku telah tiada. Dulu dia bekerja di Kantor Kementerian, yang ditugaskan untuk perekrutan pegawai negeri dan dia banyak menangani pekerjaan kesekretariatan. Dia kerap diminta sarannya dalam menerima pegawai baru oleh atasannya."

 

Air muka sang pewawancara berubah, dan sikapnya berubah menjadi baik. "Apakah Anda adalah puteri dari Tom Smith yang bekerja di Kementerian Anu?" Sarah menjawab, "benar." "Anda pasti tidak tahu. Tuan Smith ini yang bertanggung jawab sehingga aku bisa duduk di sini sekarang. Dia yang menandatangani surat penunjukanku tanpa meminta imbal jasa apa pun, pula tanpa bertanya lebih lanjut. Dia hanya melihat daftar riwayat pekerjaanku yang sebelumnya beserta referensinya, lalu dia menyatakan persetujuannya. Hari ini aku bisa duduk di sini itu juga berkat dia."

 

"Nona muda, dengan pertimbangan itu Anda diterima. Kembalilah esok pagi dan bawalah dokumen lain yang diperlukan." "Luar biasa," kata Sarah dalam hatinya, "tidak ada pertanyaan lagi, tidak ada pula wawancara lanjutan, dan aku diterima begitu saja." Sekonyong-konyong hatinya teriris pedih, "ya Tuhan! Ayahku dulu bersusah payah mencari uang hingga dia tidak bisa menabung. Dia bukan orang kaya. Dia berpulang dengan tidak meninggalkan harta, tetapi kekayaannya masih tersisa. Dan inilah warisannya. Aku mendapatkan pekerjaan itu berkat nama baiknya." Penyesalan pun muncul belakangan.


Setelah bertahun-tahun bekerja dengan giat dan jujur, Sarah Smith menjadi Corporate Affairs Manager korporasi tersebut dengan dua mobil dan sopirnya. Apartmen dua lantai disediakan merangkap kantor pribadinya, dan gaji besar di luar tunjangan, ditambah fasilitas lainnya. Setelah beberapa tahun waktu berlalu, pimpinan perusahaan datang dari Amerika mengumumkan niatnya untuk mengundurkan diri dan mencari penggantinya. Orang dengan kepribadian dan integritas tinggi yang dicari. Para konsultan korporasi menominasikan Sarah Smith, dan dalam selang waktu tidak berapa lama Sarah sudah menduduki jabatan puncak.

 

Dalam sebuah wawancara, Sarah Smith ditanya rahasia kesuksesannya. Dengan air mata berlinang, dia menjawab, "ayahku telah membuka jalan bagiku." "Lalu mengapa Anda menangis?" Dia menjawab, "pada saat kematiannya aku diam-diam menghina ayah, karena menjadi orang jujur dan berintegritas tinggi. Aku menyesali perbuatanku itu, dan justru setelah itu aku meniru teladan yang dia berikan. Semoga dalam kuburnya dia mau memaafkan diriku ini."

Demikianlah wahai para pembaca. Kisah Sara Smith ini menutup tulisan ini. Kita belajar bagaimana Tom Smith bekerja keras membangun sebuah nama baik seumur hidupnya. Buahnya tidak dipetik dengan cepat, tetapi justru belakangan dinikmati oleh keturunannya. Semoga kisah ini memberikan inspirasi kepada kita untuk turut meneladaninya.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220420 



Rabu, 06 April 2022

BIMBISĀRA



Asia Selatan yang sekarang ini menjadi negara India, Pakistan, dan Bangladesh, akan kita lihat keadaan dan situasinya pada abad keenam sebelum Masehi. Abad ke-6 sampai abad ke-5 merupakan titik balik utama dalam sejarah India Kuno. Dilihat dari sisi siapa yang berkuasa, ada enam-belas negeri atau dinamakan pula 16 Mahājanapada. Sebagian dari negeri ini ada yang berbentuk kerajaan dan ada pula yang berupa republik oligarki. Mengapa dinamakan titik balik? Pada masa ini nama tokoh-tokoh penting mulai dicatat setelah sebelumnya peran mereka diabaikan secara pribadi, serta penulisan sejarah memiliki pijakan yang pasti, tidak seperti yang terjadi pada zaman sebelumnya. Pada masa sebelumnya penulisan sejarah bercampur dengan mitos, yang belum teruji kebenarannya.

 

Dengan kemunculan enam-belas Mahājanapada tersebut, India mengalami perubahan besar-besaran, setelah sebelumnya negeri akbar ini memiliki "Peradaban Lembah Sungai Indus" yang termasyhur itu. Sejalan dengan arus zaman, terjadi pula urbanisasi periode kedua – yakni perpindahan orang dari desa ke kota –, serta munculnya kota-kota besar di India. Dari segi kepercayaan, ortodoksi kaum Brahmana yang memegang teguh tradisi Veda sebagai pedoman dasar kehidupan mereka, mulai terkikis dengan lahirnya gerakan Sramana. Pemikiran dan gagasan yang baru ini, terutama dengan lahirnya Buddhisme dan Jainisme, mulai menggerus pengaruh Brahmanisme yang selama lebih dari dua milenia telah berurat-akar dalam masyarakat India Kuno.

 

Di antara enam belas negeri itu, kali ini kita akan melihat salah satu negeri, yang ke depannya akan memberikan kontribusi bagi munculnya kekaisaran agung di India pada zaman selanjutnya. Negeri yang dimaksud adalah Magadha, yang berbentuk kerajaan. Jika mengacu pada peta masa kini, Magadha kurang lebih mencakup distrik modern Patna dan Gaya di selatan Negara Bagian Bihar, dan sebagian Bengal di timur. Kotaraja Pataliputra di utara dibatasi oleh sungai Gangga, di timur oleh sungai Champa, di selatan oleh pegunungan Vindhya, dan di barat oleh sungai Sona. Kotaraja yang paling awal adalah Girivraja atau Rājagaha atau Rājagṛha, sekarang menjadi Rajgir modern di distrik Nalanda, Negara Bagian Bihar.

 

Penguasa Kerajaan Magadha adalah Dinasti Haryanka. Generasi keduanya dipegang oleh seorang raja yang bernama Bhāttiya atau dipanggil Mahāpaduma. Lewat perkawinannya dengan permaisuri Bimbī, lahirlah putera pertamanya yang diberi nama Bimbisāra (adalah lazim seorang anak lelaki mengambil nama ibu kandungnya di India). Tokoh kita kali ini, Bimbisāra lahir pada 558 seb.M., dan dia juga dikenal dengan nama Shrenika. Di usianya yang ke-lima-belas dia sudah mewarisi tahta ayahnya, berarti dia sudah menjadi raja pada tahun 543.

 

Selama masa kecilnya, Bimbisāra menyaksikan ayahnya melakukan peperangan melawan penguasa negeri tetangganya yakni Anga. Anga adalah sebuah mahājanapada yang letaknya di sebelah timur, dengan lokasi yang strategis karena memiliki akses langsung ke Teluk Benggala. Raja Anga pada waktu itu adalah Brahmadatta, ternyata sangat liat dan tidak dapat dikalahkan oleh Bhāttiya. Ketika Bimbisāra naik tahta pemuda yang baru beranjak dewasa ini telah menjadi seorang jenderal yang cakap dan terlatih untuk bertempur di medan perang India Kuno. Setelah melakukan persiapan yang cukup, hal pertama yang dia lakukan adalah melanjutkan cita-cita ayahnya yang belum tercapai. Ternyata di bawah kendali Bimbisāra pasukan Magadha menundukkan bala tentara Anga dengan mudah. Selain menundukkan penguasa negeri jirannya sebagai prestasi awal yang membanggakan, konon Bimbisāra juga membangun kota Rājagaha di awal masa pemerintahannya. Rājagaha merupakan tempat perlindungan yang nyaman karena di semua sisi ditutupi oleh lima bukit yang sekaligus menciptakan benteng alami, dan kelak oleh Ajatashatru – putera Bimbisāra – celah yang tersisa dapat ditutup dengan dinding batu.

 

Kesuksesan dan prestasi yang dicapai oleh Bimbisāra bukan semata-mata karena dia merupakan seorang raja yang berkuasa, melainkan juga karena insting, kecerdasan-bawaan, dan perilakunya yang luhur. Dalam kitab Sutta Nipāta diceritakan bagaimana Bimbisāra berkenalan dengan Sang Buddha (563 - 483 seb.M.). Pada saat itu Buddha yang masih berstatus sebagai Petapa Gotama dan ia baru saja melakukan Pelepasan Agung atau meninggalkan istananya (Petapa Gotama meninggalkan istananya ketika berusia 29 tahun). Diketahui Sang Buddha lebih tua lima tahun dari Bimbisāra. Jadi peristiwa itu berlangsung pada tahun 534 seb.M., yakni sembilan tahun setelah Bimbisāra memegang tampuk kepemimpinan Kerajaan Magadha. Dikisahkan Petapa Gotama saat itu sedang meminta-minta dan mengumpulkan sedekah makanan di Rājagaha, dan setelah selesai dia lewat di depan jendela istana sang raja. Terkesima, namun cukup dengan melihat ciri-ciri fisik seorang manusia agung, Bimbisāra segera mengirim utusan untuk mengejarnya. Mengetahui, bahwa sang petapa sedang beristirahat setelah makan siang di Bukit Pandava di luar kota Rājagaha, Bimbisāra mengikutinya dan setelah keduanya berbincang-bincang sang raja menawarkan satu jabatan tinggi di kerajaannya. Dia bahkan meminta agar sang petapa mau memerintah bersama-sama, yakni disertai tawaran agar Gotama menjadi penguasa negeri Anga. Namun permintaan itu ditolak secara halus oleh sang petapa, karena dia justru meninggalkan hidup sebagai perumah-tangga dengan maksud mencapai pencerahan. Tetapi Petapa Gotama berjanji dan bersedia kembali ke Rājagaha setelah cita-citanya tercapai.

 

Enam tahun kemudian setelah Petapa Gotama menjadi Buddha, dia ingat akan janjinya untuk menemui Bimbisāra di Rājagaha. Dengan ditemani oleh dua-belas nahuta perumah tangga, Bimbisāra pergi ke Supatittha Cetiya di dekat kotaraja untuk memberikan penghormatan kepadanya. Sang Buddha kemudian membabarkan ajarannya kepada mereka semua. Setelah wejangan Dharma itu usai, sebelas nahuta dengan Bimbisāra sebagai pimpinan mereka, mencapai pencerahan. Sang Raja memperoleh tingkat kesucian yang pertama. Dengan diperolehnya mata-dharma, sang raja mengakui bahwa semenjak masih kanak-kanak dia mempunyai lima cita-cita; yaitu: (1) jika sekali waktu dia dapat dinobatkan sebagai raja, (2) jika dalam kurun waktu hidupnya dia bisa bertemu dengan seorang Arahant yang tercerahkan sempurna, (3) jika dia bisa menghormati Yang Terberkahi, (4) jika Yang Terberkahi berkenan mengajarkan dia Dharma, dan (5) jika dia bisa memahami Dharma Yang Terberkahi. Bimbisāra pun dengan tulus bersedia menjadi pengikut awam Sang Buddha.

 

Pada hari berikutnya Sang Buddha dan rombongan besar para bhikkhu menerima keramahan Bimbisāra. Sakka – Raja para Dewa – yang menyamar sebagai seorang pemuda, mendahului mereka ke istana sambil menyanyikan lagu-lagu kemuliaan untuk Sang Buddha. Di akhir acara jamuan-makan, Bimbisāra menuangkan air dari tempayan emas ke tangan Sang Buddha, serta mempersembahkan Hutan Bambu atau Veluvana, untuk digunakan oleh Sang Buddha dan para pengikutnya.

 

Tidak saja berhubungan baik dengan Buddhisme, Bimbisāra juga dekat dan menyokong Jainisme. Mahavira, atau dikenal pula sebagai Vardhamana (599 - 527 seb.M.) – pendiri Jainisme – atau dalam teks Buddhis lebih dikenal sebagai Nigaṇṭha Nātaputta konon pernah bertemu dengan Bimbisāra. Kitab suci Jain menyebut Bimbisāra sebagai Shrenika, dan dia sering mengunjungi para petapa Jain untuk berdiskusi. Selain itu Bimbisāra juga mendukung para petapa lainnya dalam mengembangkan ajaran mereka, tidak terkecuali kaum brahmana, sehingga dia mampu mengembangkan toleransi yang begitu tinggi. Memang zaman itu merupakan masa keemasan bagi bertumbuhkembangnya ajaran agama dan filsafat di India.

 

Setelah mencaplok Anga, Bimbisāra mengalihkan perhatiannya pada kerajaan atau republik lainnya di anak benua itu. Dia merupakan seorang ahli strategi dan jenderal militer yang ulung. Untuk memperkuat kerajaannya, dia menyadari keterbatasan pasukannya melawan penguasa yang lebih besar. Guna menjaga keselamatan negerinya Bimbisāra mendapatkan jalan keluarnya, yakni dengan membentuk aliansi-perkawinan dengan para pemimpin negeri jiran.  Bimbisāra kemudian meminang Puteri Kosaladevī, anak perempuan dari Sanjaya Mahākosala, yang juga merupakan saudara kandung dari Pasenadi (atau Prasenajit). Nah Pasenadi ini sepeninggal ayahnya, lalu dinobatkan sebagai Raja Kosala, sebuah negeri yang luas dan maju yang letaknya berbatasan dengan Magadha. Pada hari pernikahannya, Bimbisāra menerima bagian dari mas kawinnya, sebuah kota suci di Kāsi,

 

Tidak cukup dengan mengambil seorang perempuan, Bimbisāra kemudian menikahi Puteri Chellana sebagai isteri kedua. Chellana adalah seorang Puteri Licchavi dari Vaishali (atau Vesālī), dan merupakan anak perempuan dari Raja Chetaka, pemimpin Konfederasi Vrijji atau Vajji yang kuat. Menurut Indologis Hermann Jacobi, Trishala – ibunda dari Mahavira – adalah saudara perempuan dari Chetaka. Dengan demikian Chellana dan Mahavira merupakan saudara sepupu. Jadi tidak mengherankan Chellana menjadi seorang penganut Jain yang soleh. Selanjutnya Bimbisāra juga mengambil Puteri Khemā (atau Kshema), seorang Puteri yang amat jelita, anak dari kepala Wangsa Madra dari Punjab, menjadi isterinya yang ketiga. Dikisahkan dalam literatur Buddhis, Khemā pada awalnya bahkan tidak mau mengunjungi Sang Buddha. Namun sekali waktu dia terpikat oleh cerita Bimbisāra tentang keindahan Veluvana. Belakangan Khemā meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi seorang bhikkhuni. Selanjutnya dia menjadi salah satu siswi Sang Buddha yang terkemuka.

 

Setelah mengamankan negerinya dari kemungkinan diserang atau diinvasi kekuatan luar, Magadha pun menjadi negeri yang stabil dan kuat di bawah kendali Bimbisāra. Negeri ini adalah salah satu mahājanapada yang paling menonjol dan makmur. Selain Rājagaha kota besar lainnya adalah Pataliputra, yang terletak di pertemuan sungai-sungai besar seperti Gangga, Putra, Punpun, dan Gandak. Dataran aluvial di wilayah ini dan kedekatannya dengan daerah kaya tembaga dan besi di Bihar serta Jharkhand, membantu rakyat Magadha menambang logam berharga ini. Penambangan ini mendukung pembuatan perkakas dan senjata yang berkualitas, serta mendukung ekonomi agraris bagi sebagian besar rakyatnya. Ditambah lagi dataran Gangga yang subur selalu memberikan hasil panen yang berlimpah, serta hutan di sekitarnya menyediakan kayu dan hewan buruan untuk dieksploitasi. Lokasi Magadha di pusat jalan raya perdagangan pada masa itu berkontribusi pula terhadap kekayaannya. Belum lagi penguasaannya pada Negeri Anga, memberikan Magadha akses ke rute laut, sehingga memperluas aktivitas perdagangan mereka hingga ke luar wilayah India

 

Jika kita menilai apa saja yang telah dicapai oleh Bimbisāra, mungkin bisa disebutkan bahwa dia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, menciptakan kestabilan politik dan keamanan selama masa pemerintahannya, membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya, serta memberikan dukungan moril dan material bagi berkembangnya agama orang India. Sebenarnya warisan yang tidak kalah pentingnya adalah manajemen pemerintahan dan sistem administrasi yang diterapkan di seluruh kerajaan. Bimbisāra membentuk rantai komando yang jelas, yang memastikan pemungutan pajak yang efisien dan pengawasan para pejabat di bawahnya. Magadha memiliki sekitar 80.000 dusun yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala-desa. Bimbisāra juga mengangkat pejabat yang berkompeten di bidang keuangan, urusan sipil, militer, dan pengadilan. Pejabat yang malas dan tidak becus segera diganti. Bimbisāra juga memiliki menteri-menteri dan pejabat tinggi yang ahli di bidangnya dan dapat dipercaya. Kelak sistem pemerintahan ini ditiru oleh Dinasti yang menguasai seluruh wilayah India, di antaranya Dinasti Maurya dan Dinasti Gupta.

 

Bimbisara dengan segala kecerdasan, insting, dan kebajikan luar biasa yang dimilikinya, ternyata kecolongan juga. Saking terlalu percaya kepada putera mahkotanya, Ajatashatru, dia secara sukarela menyerahkan tahtanya. Padahal jauh sebelumnya, bahkan sebelum anaknya lahir, para cenayang istana telah meramalkan bahwa sang putera yang masih dalam kandungan akan menjadi musuh besar ayahnya sendiri. Setelah menjadi raja Ajatashatru malahan memenjarakan ayahnya sendiri. Semua itu dilakukan atas hasutan Devadatta, saudara sepupu Sang Buddha yang jahat. Riwayat Bimbisāra ternyata berakhir tragis; dia meninggal dunia dalam tahanan puteranya sendiri pada tahun 491 seb.M. pada usia 67 tahun.


 

sdjn/dharmaprimapustaka/220406