Anda yang sering mendengar dan melihat
berita di televisi atau media lainnya, pasti sering mendapatkan kabar tentang
kasus korupsi yang menimpa para pejabat negara. Tidak asing lagi di telinga
kita bahwa kepala daerah anu ditangkap oleh KPK (Komite Pemberantasan Korupsi),
karena kedapatan menerima uang tunai dari seorang pemberi suap. Atau sering
kita baca pula, seorang mantan pejabat divonis sekian tahun penjara, karena
terbukti melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara sebesar puluhan
milyar rupiah.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan
korupsi itu? Korupsi diambil dari kata Latin corruptio sebagai kata benda, yang berasal dari kata kerja corrumpere yang bermakna membusuk,
menggoyahkan, memutarbalikkan, menyogok, mencuri. Jadi korupsi kurang lebih
berarti pembusukan, penggoyahan, pemutarbalikan, penyogokan, atau pencurian.
Korupsi dikenal pula sebagai "rasuah", berkonotasi negatif, kriminal,
dan merupakan tindak kejahatan.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana
korupsi diartikan perbuatan melawan hukum sekaligus penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan, atau sarana. Tujuannya adalah memperkaya diri sendiri atau orang
lain, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tentu saja
korupsi bisa terjadi dalam lingkup lembaga swasta, dan tidak selalu berakhir
pada tuntutan hukum. Supaya lebih mudah bagi kita untuk memahaminya, korupsi
itu tidak lain penyalahgunaan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada
seseorang, untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Sejak Masa Reformasi korupsi lebih
populer disebut KKN atau Korupsi-Kolusi-Nepotisme. Kolusi adalah kerja sama
atau pemufakatan antar penyelenggara negara yang melawan hukum, sedangkan
nepotisme tidak lain tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh penyelenggara
negara untuk kepentingan keluarga atau kroninya di atas kepentingan umum.
Sejak runtuhnya rezim Orde Baru,
mahasiswa dan kaum reformis telah menyadari, bahwa Indonesia terpuruk lantaran
para pejabat negara melakukan praktik KKN. Namun setelah pergantian rezim, dan
pimpinan pemerintahan berganti beberapa kali, setiap kali dilakukan berbagai
upaya agar penyakit KKN bisa dibasmi hingga tuntas. Namun lewat dua dekade
kemudian, upaya itu belum menghasilkan perubahan yang signifikan.
Dengan berbagai bonus geografis, yang
kemudian ditunjang dengan sumber daya alam yang melimpah, penduduk dan luas
wilayah yang sungguh besar, sudah seharusnya Indonesia tumbuh menjadi negara
yang maju. Namun apa daya, jangankan maju; beranjak untuk kehidupan masyarakat
yang lebih baik saja, dirasa masih sangat sulit. Pengamat politik dan pertahanan, Salim Said, mengungkapkan alasan
mengapa Indonesia tak menjadi negara maju dibanding negara-negara lain di
dunia.
Semua orang yang jadi pegawai negeri – termasuk semua pejabat negara – wajib mengucapkan sumpah atau janji sebelum mereka memangku
sebuah jabatan. Namun setelah mereka mendapatkan jabatan itu, sebagian dari
mereka melanggar sumpah atau janji dengan melakukan korupsi dan perbuatan
tercela lainnya. Dari penulusuran mereka yang bersalah dan dihukum, ternyata
tidak hanya orang yang beragama X atau Y saja yang melakukan korupsi, melainkan
orang-orang dari semua agama pernah melakukannya. Jadi, apakah kita setuju
dengan sinyalemen di atas bahwa pejabat-pejabat di Indonesia – tidak peduli
apa agamanya – benar-benar tidak takut kepada Tuhan?
Lalu apa yang dimaksud dengan takut terhadap Tuhan? Menurut
ajaran Islam, takut atau khasyyah
kepada Allah SWT artinya dia berupaya untuk menaati semua yang diperintahkan,
serta menjauhkan segala yang dilarang oleh Allah SWT, dengan berpedoman pada Al
Qur'an dan sabda Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Kristen, orang yang takut
akan Tuhan tahu mana dosa mana tidak, mana yang boleh dilakukan dan mana yang
dilarang. Orang yang takut akan Tuhan tidak mau berbuat dosa dan Alkitab
memberi tahu semuanya. Melakukan korupsi sama dengan mencuri alias mendapatkan
harta dengan cara yang tidak halal, juga dikategorikan masuk dalam perbuatan
dosa.
Bagaimana dengan pandangan agama Buddha
tentang takut terhadap Tuhan? Jika korupsi sama dengan mencuri atau mengambil
barang (baca : uang) yang tidak diberikan kepadanya, ini jelas tindakan yang
melanggar sila kedua. Dalam pengertian Buddhis dikenal istilah yang dinamakan Ottappa, yang bermakna "takut
melakukan perbuatan jahat". Lebih jauh Ottappa
sebenarnya adalah sikap batin yang enggan melakukan perbuatan salah, keliru,
atau tidak bermanfaat; dengan kata lain tidak berani melanggar sila.
Pengertian Ottappa sering disandingkan dengan pasangannya, yakni Hiri yang bermakna "malu berbuat
jahat". Jadi Hiri dan Ottappa itu sama dengan malu berbuat
jahat dan takut akibat perbuatan jahat. Tanpa perlu dijelaskan panjang lebar
penulis yakin, Anda para pembaca sekalian pasti sudah paham makna kedua istilah
Pali di atas. Coba saja kalau misalnya saya ini seorang pejabat negara yang
tertangkap-tangan melakukan korupsi. Pasti teman-teman sekantor begitu
mengetahuinya akan mengatakan, "oh, tidak nyangka ya. Atasan kita ternyata korupsi, padahal selama ini kita
mengenal Bapak kita orangnya jujur dan lurus-lurus saja." Belum lagi
begitu tertangkap saya harus mengenakan rompi oranye dengan kedua tangan
diborgol. Selanjutnya saya digiring ke mobil-tahanan dan muka saya disorot
kamera televisi. Seketika itu juga nama saya disiarkan oleh media massa dan
mendadak saya jadi terkenal. Tapi buat apa terkenal kalau itu karena
keburukannya! Jika saya kemudian dinyatakan bersalah mungkin setelah bebas dari
hukuman saya akan mengisolasi diri, tidak berani ke luar rumah untuk
menampakkan diri. Inilah yang namanya malu melakukan kejahatan.
Jika saya sebagai pejabat didakwa
melakukan korupsi maka dimulailah proses hukum yang membuat saya tidak nyaman.
Ruang kantor dan rumah saya digeledah. Selama berjam-jam dan berhari-hari saya
dihujani puluhan pertanyaan oleh penyidik. Saya harus menjawabnya dengan
hati-hati. Salah jawab bisa membuat hukuman menjadi lebih berat. Saya juga
harus menyewa pengacara yang bayarannya sangat menguras kantong itu.
Selanjutnya harus menjalani persidangan yang bertele-tele dan melelahkan.
Tibalah harinya saya mendengarkan putusan hakim, yang mana saya divonis sekian
tahun penjara. Belum lagi hukuman lainnya, yakni harta benda saya disita untuk
membayar kerugian negara, dan saya pun dimiskinkan. Kemudian saya menjadi
penghuni hotel-prodeo. Meskipun kita bisa tinggal di sana secara gratis, tetapi
hati ini sengsara karena kita dikurung bak ayam peliharaan. Tidak cukup itu
saja guys! Dengan dijebloskan ke
penjara kita sedang menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh manusia. Padahal
menurut hukum karma, pasti perbuatan buruk akan membuahkan penderitaan. Entah
itu berupa kita kelak menjadi orang yang tidak berkecukupan, sering kehilangan
barang, atau terlahir-kembali di alam rendah.
Jadi jelas kita berusaha untuk tidak
melakukan korupsi, karena kita takut akan akibat perbuatan terkutuk itu. Dengan
memiliki Hiri dan Ottappa, bukan berarti kita tertekan
karena selalu ketakutan. Takut di sini bermakna positif, meskipun orang salah
menterjemahkannya sebagai sikap pengecut. Penulis akan memberi contoh lain.
Misalnya kita takut terhadap polisi lalu-lintas. Kita takut jika tidak
mengenakan helm atau memakai sabuk pengaman saat mengendarai kendaraan. Takut
terhadap kehadiran polisi atau takut ditilang itu adalah hal yang positif bukan
negatif, karena ada dasarnya. Coba jika Anda tidak mengenakan helm atau memakai
sabuk pengaman, walaupun pada saat itu tidak ada polisi yang berjaga, tiba-tiba
Anda mengalami kecelakaan fatal. Dengan tetap mengenakan helm atau sabuk
pengaman, Anda mungkin hanya menderita cidera ringan, dan Anda tidak jadi mati.
Bisa kita bayangkan jika setiap orang
tidak memiliki rasa malu dan takut, dunia ini akan menjadi kacau balau.
Seandainya setiap pejabat negara takut kepada Tuhan, maka korupsi akan lenyap
dari Bumi Pertiwi ini. Lembaga seperti KPK tidak diperlukan lagi, dan Indonesia
akan menjelma menjadi sebuah negara yang maju. Semoga demikian.
Sebagai penutup, penulis akan
menceritakan kembali sebuah kisah nyata tentang orang berintegritas, yang
melakukan kebajikan yang buahnya dinikmati oleh keturunannya. Anda mungkin
pernah membacanya, dan kami menganggap kisah ini masih relevan untuk tulisan
kita kali ini.
Menjelang akhir hayatnya, Tom Smith,
seorang pensiunan pegawai negeri di satu Kementerian, masih sempat berpesan
kepada puteri semata-wayangnya. Dia menasehati keturunannya agar mengikuti
jejaknya dalam meniti karier. Tahun-tahun yang panjang dihabiskan dalam kerja
yang tulus dan jujur di Kantor Pemerintahan hingga dia pensiun dari sana.
Semuanya dibekali oleh keyakinan agar mereka sekeluarga memiliki ketenangan
batin selama hidup. Dia sendiri hanya bisa hidup sewajarnya dengan membesarkan
anaknya hingga dewasa. Isterinya sudah mendahuluinya beberapa tahun sebelumnya.
Puterinya, Sarah Smith, mengungkapkan
ketidaksetujuannya meskipun hanya diucapkan dalam hati: "Ayah, aku kecewa,
karena ayah tidak meninggalkan kami warisan yang memadai. Para orang tua lain,
yang ayah katakan sebagai koruptor dan pencuri dana masyarakat bisa mewariskan
simpanan deposito yang cukup besar jumlahnya di Bank, atau meninggalkan sebuah
rumah tinggal untuk keturunannya. Aku anakmu satu-satunya hanya bisa tinggal di
sebuah apartemen sewa. Maafkan aku, ayah. Aku tidak akan mengikuti jejak
hidupmu." Tom Smith mungkin kecewa di saat dia hendak menutup mata.
Beberapa bulan kemudian, Sarah melamar posisi di
sebuah korporasi besar. Saat dia diwawancarai, ketua panitia penerimaan pegawai bertanya, "apa nama
lengkap Anda?" Dia menjawab, "Sarah Smith." "Apa nama ayah
Anda?" Dia menjawab, "Tom Smith." "Apa yang dia kerjakan
sekarang?" Sarah pun menjelaskan, "ayahku telah tiada. Dulu dia
bekerja di Kantor Kementerian, yang ditugaskan untuk perekrutan pegawai negeri
dan dia banyak menangani pekerjaan kesekretariatan. Dia kerap diminta sarannya
dalam menerima pegawai baru oleh atasannya."
Air muka sang pewawancara berubah, dan sikapnya
berubah menjadi baik. "Apakah Anda adalah puteri dari Tom Smith yang
bekerja di Kementerian Anu?" Sarah menjawab, "benar." "Anda
pasti tidak tahu. Tuan Smith ini yang bertanggung jawab sehingga aku bisa duduk
di sini sekarang. Dia yang menandatangani surat penunjukanku tanpa meminta
imbal jasa apa pun, pula tanpa bertanya lebih lanjut. Dia hanya melihat daftar
riwayat pekerjaanku yang sebelumnya beserta referensinya, lalu dia menyatakan persetujuannya.
Hari ini aku bisa duduk di sini itu juga berkat dia."
"Nona muda, dengan pertimbangan itu Anda
diterima. Kembalilah esok pagi dan bawalah dokumen lain yang diperlukan."
"Luar biasa," kata Sarah dalam hatinya, "tidak ada pertanyaan
lagi, tidak ada pula wawancara lanjutan, dan aku diterima begitu saja."
Sekonyong-konyong hatinya teriris pedih, "ya Tuhan! Ayahku dulu bersusah
payah mencari uang hingga dia tidak bisa menabung. Dia bukan orang kaya. Dia berpulang
dengan tidak meninggalkan harta, tetapi kekayaannya masih tersisa. Dan inilah
warisannya. Aku mendapatkan pekerjaan itu berkat nama baiknya." Penyesalan
pun muncul belakangan.
Demikianlah wahai para pembaca. Kisah Sara Smith
ini menutup tulisan ini. Kita belajar bagaimana Tom Smith bekerja keras
membangun sebuah nama baik seumur hidupnya. Buahnya tidak dipetik dengan cepat,
tetapi justru belakangan dinikmati oleh keturunannya. Semoga kisah ini
memberikan inspirasi kepada kita untuk turut meneladaninya.
sdjn/dharmaprimapustaka/220420