Rabu, 26 Januari 2022

QIN SHI HUANG



Ketika itu tahun 260 sebelum Masehi. Tiongkok berada pada zaman Negara-negara berperang (475-221 seb.M.), setelah melemahnya Dinasti Zhou sejak abad kedelapan sebelum Masehi. Jika kita melihat kondisi dunia pada saat itu, populasi manusia pada pertengahan abad ketiga sebelum Masehi diperkirakan hanya sekitar 200 juta orang. Pada saat yang bersamaan di belahan dunia lain, pasukan Romawi terlibat Perang Punik melawan kekuatan Kartago di Sisilia; sedangkan di anak benua India Kaisar Ashoka dari Dinasti Maurya berhasil menaklukkan Kalinga.

 

Pada tahun 259 seb.M. tokoh yang akan dikisahkan di sini lahir di negara bagian Qin sebagai Yíng Zhèng (嬴政) atau Zhào Zhèng (趙政). Ayahnya adalah Pangeran Yiren yang berasal dari negara Qin. Penulis menceritakan terlebih dahulu siapa itu Pangeran Yiren. Seperti yang disebutkan di atas tujuh negara yang ada saat itu dalam status sedang berperang, termasuk negara Qin dan negara Zhou. Pangeran Yiren yang masuk dalam daftar pewaris takhta Qin pada waktu itu tinggal di istana Zhào. Ia dijadikan sandera untuk menjamin gencatan senjata yang telah disepakati antara kedua negara tersebut.

 

Tersebutlah seorang saudagar dan politikus yang bernama Lü Buwei (291-235 seb.M.) yang berasal dari negara Wei. Dia adalah seorang pedagang yang sukses dan berniaga lintas-negara. Pada usia muda dia berhasil mengumpulkan "ribuan emas lantakan". Sebelum memutuskan untuk menjadi politikus, ayahnya menasehati: "Jika kekayaan itu diinvestasikan di sawah atau ladang nilainya akan berlipat ganda menjadi sepuluh kali. Jika dimanfaatkan dalam bisnis mutiara dan batu permata, nilainya kelak bertambah seratus kali lipat. Namun jika dipakai untuk mengantarkan seseorang menjadi pemimpin dan mengamankan negaranya, nilai yang didapatkan tidak-terbilang. Lü yang cerdas membulatkan tekadnya untuk menginvestasikan kekayaannya demi mendapatkan kemaslahatan bagi generasi yang akan datang. Dia pun mendekati Pangeran Yiren. Dengan bermodalkan kekayaan yang begitu besar, Lü sebentar saja masuk ke lingkar dalam istana negara Zhào.

 

Dalam waktu singkat Lü dan Pangeran Yiren bersahabat akrab. Kebetulan pada saat itu Lu baru mengambil seorang selir cantik yang pintar menari. Pangeran Yiren jatuh cinta pada pandangan pertama dengan selir Lü Buwei. Lü kemudian menyetujui selir itu untuk menjadi isteri Pangeran Yiren, yang di kemudian hari perempuan ini dikenal sebagai Nyonya Zhao (Zhao Ji). Setelah mengalami masa kehamilan yang panjang Nyonya Zhao melahirkan seorang putera di Handan yang bernama Yíng Zhèng atau Zhào Zhèng tadi. Di sini kontroversi terjadi. Menurut Sima Qian, Sejarawan Agung dari zaman Dinasti Han, mengklaim bahwa Yíng Zhèng bukanlah putera Pangeran Yiren yang sebenarnya, melainkan putera Lü Buwei. Hal ini masuk akal karena Nyonya Zhao semula adalah selir Lü Buwei.

 

Kejadian yang berikutnya adalah kelihaian dan kekuatan uang yang dimiliki oleh Lü Buwei. Pangeran Yiren yang semula seorang sandera berhasil diboyong kembali ke negeri Qin. Sang pangeran yang tadinya hanya merupakan salah satu dari sekitar dua puluh anak raja Xiaowen dari Qin (303-251 seb.M.), berhasil dijadikan putera mahkota. Setelah sang raja mangkat, Pangeran Yiren naik tahta dengan gelar Raja Zhungxiang dari Qin dan Nyonya Zhao menjadi permaisuri. Raja yang baru kemudian mengangkat Lü Buwei sebagai kanselir atau perdana menteri dengan gelar "Adipati Wenxin".

 

Namun baru tiga tahun menjadi raja, Zhungxiang mangkat dan Yíng Zhèng yang belum dewasa tidak mungkin menjadi penggantinya. Terpaksa Nyonya Zhao yang kini menjabat sebagai Ibu Suri memerintah Kerajaan Qin atas nama puteranya. Lü Buwei yang masih menjabat sebagai kanselir tentu merasa tidak enak hati karena Ibu Suri pernah menjadi isterinya, dan hal ini bisa memancing skandal baru di lingkungan istana. Belakangan dia memperkenalkan seorang pria bernama Lao Ai dan selanjutnya Ibu Suri jatuh cinta kepadanya. Bagaimana hubungan keduanya bisa berlangsung? Lao Ai berpura-pura menjadi pelayan dan menyamar sebagai orang kasim di lingkungan istana. Hubungan gelap keduanya berlangsung bertahun-tahun dan pasangan ini sampai memiliki dua anak.

 

Waktu berjalan terus dan kini pangeran mahkota, Yíng Zhèng, beranjak dewasa dan semakin dilibatkan dalam urusan-urusan kerajaan. Kekasih Ibu Suri, Lao Ai yang saat itu telah mendapatkan kehormatan dan menjadi "Adipati Changxin", berambisi besar agar salah satu anaknya bisa menjadi putera mahkota. Kemudian pada tahun 238 seb.M. – ketika Yíng Zhèng berusia 21 tahun – Lao Ai membuat blunder dengan melakukan kudeta yang didukung oleh Ibu Suri. Karena Lao Ai hanya mengandalkan orang-dalam istana dan tidak mendapat dukungan kekuatan militer, kudeta itu pun dengan mudah digagalkan. Akibatnya sungguh dahsyat. Yíng Zhèng menangkap Lao Ai dan dia segera dihukum mati. Demikian pula hukuman yang sama dijatuhkan kepada dua orang anak hasil hubungan gelap beserta kerabat dekat Lao Ai. Ibu Suri Nyonya Zhao, ibu kandung Yíng Zhèng, tidak sampai dibunuh tetapi dibuang ke tempat yang jauh. Lü Buwei pun dicopot jabatannya dan dikembalikan ke kampung halamannya.

 

Yíng Zhèng kemudian naik tahta dan mengendalikan Negara Qin sepenuhnya. Inilah sosok raja yang pernah dikhianati oleh lingkungan terdekatnya, yang kelak membentuknya menjadi seorang tiran yang kejam dan tangannya pun berlumuran darah. Sejarah mencatat selama menduduki singgasana, tiga kali upaya pembunuhan terhadap dirinya dilakukan oleh musuh-musuhnya, namun semuanya berakhir dengan kegagalan.

 

Dalam menjalankan pemerintahan Yíng Zhèng menganut ajaran Legalisme-Tiongkok, yang ajarannya terkadang menyerupai doktrin Niccolò Machiavelli yang dikembangkan belakangan di Eropa. Adalah Han Fei (c. 280-233 seb.M.) yang mensintesekan gagasan pemikir pendahulunya, dan dia menulis buku legendaris aliran pemikiran para Legalis, yang diberi judul Han Feizi. Aksioma Legalisme ini bertolak belakang dengan Konfusianisme yang berasal dari Nabi Kongzi, yang sudah berurat-akar di masyarakat Tionghoa. Konfusius mengemukakan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, sedangkan para Legalis berpendapat bahwa manusia itu sesungguhnya jahat. Maka dari itu, Konfusianisme mendorong agar manusia itu bertanggung jawab. Sebaliknya Legalisme menekankan perlunya pemberlakuan aturan yang keras dan hukuman yang setimpal.

 

Sebelum Yíng Zhèng naik tahta, masa itu dianggap sebagai zaman keemasan pemikiran bebas. Setelah naik tahta, dia menghilangkan sekitar seratus aliran pemikiran, yang mencakup Konfusianisme, Taoisme, dan sistem filosofi lainnya. Yang boleh dipelajari dan dikembangkan hanya Legalisme yang menjadi ideologi negara. Dimulai tahun 213 seb.M., atas dorongan Kanselir Li Si (pengganti Lü Buwei), Raja Zhèng memerintahkan sebagian besar buku yang ada di kerajaannya dibakar; dengan pengecualian buku-buku tentang astrologi, pertanian, kedokteran, ramalan, dan sejarah. Kebrutalannya tidak sampai di situ saja. Sebanyak 460 orang sarjana Konfusian dikubur hidup-hidup. Kekejamannya dilukiskan dalam empat aksara Mandarin: 焚書坑儒 fénshū kēngrú : "Dia membakar buku-buku dan mengubur sarjana Konfusian hidup-hidup."

 

Ambisi Raja Zhèng untuk memperluas kerajaannya dimulai pada tahun 230 seb.M. yakni ketika dia menginjak usia ke-29. Negara pertama yang jatuh adalah Hán (terkadang disebut Hànn untuk membedakannya dari Dinasti Han), pada 230 seb.M. Kemudian Qin memanfaatkan bencana alam yang terjadi pada tahun 229 seb.M. untuk menyerang dan menaklukkan Zhào, yakni negeri tempat lahirnya Yíng Zhèng. Ke sana dia datang untuk membalas perlakuan buruknya sewaktu dia menjadi sandera anak, dan semua musuhnya dihabiskan tak-bersisa. Tentara Qin menaklukkan seluruh negara Zhào pada 228 seb.M., negara utara Yan pada 226 seb.M., negara kecil Wei pada 225 seb.M., dan negara besar Chu yang paling banyak tantangannya, pada 223 seb.M. Pada tahun 222 seb.M., sisa-sisa terakhir laskar dan keluarga kerajaan Yan ditangkap di Liaodong di timur laut. Satu-satunya negara merdeka yang tersisa sekarang adalah negara Qi, di timur jauh, yang sekarang terletak di Semenanjung Shandong. Ketakutan, raja muda Qi mengirim 200 ribu orang untuk mempertahankan perbatasan baratnya. Tetapi pada 221 seb.M., bala tentara Qin menyerbu dari utara, menangkap raja, dan mencaplok Qi.

 

Apa yang membuat bala tentara Qin berhasil mendapatkan kemenangan yang gilang gemilang dalam waktu kurang dari sepuluh tahun? Semuanya itu kembali pada gaya kepemimpinan Raja Zhèng dan para jenderal perangnya yang keras dan tidak kenal kompromi. Selain itu pada zaman itu sudah dikenal pemakaian busur-silang – yakni busur panah yang berbentuk senapan dengan sistem pegas yang bisa membidik sasaran lebih cepat dan lebih tepat – yang membantu Raja Zhèng bisa menjalankan mesin perangnya dengan lebih efektif. Kemenangan Raja Zhèng dengan menyatukan tujuh negara di Tiongkok Kuno ke dalam satu negara besar adalah prestasi besar yang baru dicapai di zamannya. Selama beberapa abad sebelumnya tidak ada satu pun raja yang berhasil menyatukan Tiongkok.

 

Raja Zhèng kemudian menobatkan dirinya sendiri sebagai Qín S Huáng (秦始皇) harfiah bermakna "Kaisar Pertama Qín". Kata 皇帝(Huángdì) adalah kosakata baru yang berarti maharaja, padahal pimpinan kerajaan sebelumnya disebut sebagai 王(wáng) atau "raja". Seperti doktrin yang dikenal pada masa sebelumnya Qín S Huáng pun memiliki keyakinan dia mendapat mandat dari Kaisar Langit untuk memerintah di bumi. Sebagai buktinya dia memiliki harta pusaka yang dikenal sebagai 傳國璽 atau chuán guó xǐ. Diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Heirloom Seal of the Realm atau "Segel Pusaka Dunia". Benda itu disebut 和氏璧 atau Hé shì bì, terbuat dari batu giok seremonial berwarna hijau-muda, yang dianggap sebagai tanda kebesaran dan memiliki peran penting dalam sejarah Tiongkok. Muncul pada pertengahan abad ke-8 seb.M., pusaka itu dipotong menjadi dua dengan lubang bundar di tengah dan diakui sebagai harta kekaisaran. Pusaka itu adalah simbol Amanat Surga dan diwariskan secara bergilir ke dinasti yang memerintah Tiongkok. Pusaka yang sebelumnya milik negara Zhào itu kemudian diserahkan ke tangannya dan dia memerintahkan agar harta karun itu menjadi segel kekaisarannya. Kanselir Li Si menuliskan kata-kata, "Setelah menerima Amanat dari Surga, semoga Kaisar panjang umur dan sejahtera." Anda para pembaca pasti ingin tahu dimana harta karun itu disimpan sekarang? Benda yang sangat berharga di kolong langit itu hilang tak tentu rimbanya sejak sebelum Dinasti Ming berdiri. Menurut para kolektor barang purbakala, nilai harta pusaka itu bisa mencapai satu triliun dolar. Konon sampai sekarang Segel Pusaka Dunia masih dicari-cari oleh Pemerintah Beijing dan Pemerintah Taipei.

 

Selain mempersatukan Tiongkok menjadi satu negara besar, Qín S Huáng juga menghapuskan feodalisme. Kekaisaran dibagi menjadi 36 propinsi. Seluruh Tiongkok dengan demikian dibagi menjadi unit-unit administratif: komando pertama, kemudian kabupaten, kotapraja, dan unit seratus keluarga yang kira-kira sesuai dengan subdistrik dalam komunitas modern. Dalam bidang ekonomi Qín S Huáng menyatukan Tiongkok dengan menstandardisasi satuan pengukuran Tiongkok seperti berat dan takaran, mata uang, dan panjang as roda gerobak untuk memfasilitasi transportasi di sistem jalan raya. Kaisar juga mengembangkan jaringan jalan dan kanal yang luas yang menghubungkan propinsi-propinsi untuk meningkatkan perdagangan dan pergerakan orang. Mata uang negara-negara sebelumnya yang berbeda juga distandarisasi ke koin Ban Liang. Mungkin yang paling penting, aksara Mandarin disatukan. Aksara standar yang baru ini kemudian diresmikan di seluruh wilayah taklukan, sehingga menghapus semua aksara daerah, demi untuk membentuk satu bahasa, satu sistem komunikasi untuk seluruh rakyat Tiongkok.

 

Setelah berhasil mewujudkan semua ambisinya tibalah saatnya dia mengalahkan musuh yang berikutnya, yakni kematian. Dia mengenang, kakeknya meninggal tiga hari setelah dinobatkan sebagai raja, kemudian ayahnya wafat tiga tahun setelah diangkat menjadi pimpinan negara Qin. Menjelang akhir hidupnya, Qín S Huáng menjadi orang yang takut mati dan dia berusaha keras mencari ramuan-keabadian, yang konon akan membuat dia hidup selamanya.

 

Dalam satu misi dia mengutus Xu Fu, seorang penduduk pulau Zhifu, melakukan perjalanan dengan kapal yang membawa ratusan pria dan wanita muda untuk mencari Gunung Penglai yang mitis. Mereka diutus untuk menemukan Anqi Sheng di sana, yakni seorang penyihir yang katanya telah berusia 1.000 tahun; yang diduga pernah ditemui Qín S Huáng dalam salah satu perjalanannya, dan pernah pula mengundang Sang Kaisar untuk mencarinya di sana. Orang-orang yang disuruh mencari gunung mitis ini tidak pernah kembali; mungkin karena mereka tahu, jika mereka kembali tanpa ramuan yang dijanjikan, mereka pasti akan dieksekusi. Legenda mengisahkan bahwa para penjelajah itu mencapai Kepulauan Jepang dan kemudian mereka menetap di sana.

 

Selama perjalanan kelimanya di Tiongkok Timur, Kaisar menderita sakit parah. Dan setelah dia tiba di Pingyuanjin (di Kabupaten Pingyuan, Shandong) Sang Kaisar Pertama mangkat antara bulan Juli - Agustus 210 seb.M. di istananya di prefektur Shaqiu. Penyebab kematian Qín S Huáng tidak diketahui dengan pasti, tetapi diduga karena dia meminum ramuan-keabadian. Obat-keabadian yang sedianya mampu membuatnya hidup-kekal, sebenarnya mengandung unsur merkuri yang malahan memperpendek hidupnya. Kaisar mangkat dalam usia 49 tahun dan penggantinya masih meneruskan kelangsungan Dinasti Qín selama tiga tahun berikutnya. Setelah itu Dinasti yang didirikannya pun runtuh dan Tiongkok sekali lagi memasuki zaman pergolakan. Mungkin Kaisar Langit tidak berkenan dengan apa yang dilakukan oleh Qín S Huáng di dunia ini.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220126 

 


Rabu, 12 Januari 2022

NANDA DAN BIDADARI


 

Kisah ini terjadi setelah Guru kita, Sang Buddha, kembali ke negeri kelahirannya yakni pada tahun ketujuh setelah Beliau mencapai Pencerahan Agung. Pada hari ketiga kepulangannnya, Mahāpajāpati sang permaisuri, setelah mendengarkan ajaran Beliau berhasil  merealisasikan tingkat kesucian yang pertama. Pada hari yang istimewa itu, di istana bertepatan pula dengan perayaan pertunangan putera kandungnya, Pangeran Nanda. 

 

Pangeran Nanda Shakya tidak lain merupakan adik tiri dari Sang Buddha. Mereka berdua berayahkan Raja Suddhodana tetapi berlainan ibu. Pangeran Nanda juga dikenal sebagai Sundarananda Shakya, artinya "Nanda yang tampan". Kedua kakak-beradik itu memang memiliki wajah yang mirip, juga postur perawakan tubuhnya serupa, hanya saja Yang Terberkahi lebih tinggi sekitar selebar empat-jari-telunjuk. 

 

Demikianlah hari itu menjelang tengah hari, Sang Guru beserta rombongan besar pengikutnya diundang untuk menerima persembahan dana makanan di istana Raja Suddhodana. Selesai menyantap hidangan yang disajikan, Guru bangkit dari duduknya dan mencuci mangkuk-sedekahnya, lalu menyerahkan mangkuk yang sudah bersih itu kepada Pangeran Nanda sambil mengucapkan 'Semoga sukses!'. Adalah kebiasaan yang dianut oleh Sang Buddha, bahwa Beliau selalu menitipkan barang pribadinya – termasuk mangkuk-sedekahnya – kepada seorang bhikkhu-pengiring, yang berfungsi sebagai ajudannya. 

 

Mengapa mangkuk-sedekah itu diserahkan kepada adiknya, alih-alih diberikan kepada sang bhikkhu-pengiring? Sang Guru mahatahu dengan kemampuan cenayangnya yang hebat, sudah mampu menebak takdir apa yang akan dijalani oleh adik tirinya itu, pula takdir tunangannya! 

 

Pangeran Nanda kaget dan tidak menyangka mangkuk-sedekah itu diserahkan kepadanya. Karena rasa hormatnya kepada Sang Tathāgata, Sang Pangeran tidak berani berkata, "Bhante, terimalah kembali mangkuk-sedekah ini," tetapi dia berharap seperti ini: "Dia akan mengambil mangkuknya di ujung tangga." Namun bahkan ketika Guru mencapai ujung tangga, dia tidak mengambil mangkuknya. Nanda berpikir, "Dia akan mengambil mangkuknya di kaki tangga." Tetapi Sang Guru bahkan terus saja berjalan. Pikir Nanda, "Dia akan mengambil mangkuknya di pelataran istana." Tidak sesuai dengan harapannya, Sang Guru terus melangkah maju dan tidak mempedulikan mangkuknya sama sekali. Sampai di sini kegelisahan Nanda memuncak, karena dia sangat ingin kembali pulang demi mendampingi tunangannya.

 

Benar saja, sekonyong-konyong seorang perempuan muda yang mengenakan sari dengan tergopoh-gopoh mengejarnya. Perempuan muda itu bernama Janapada Kalyāṇi. Makna harfiahnya: "Berkah Kerajaan", atau arti lainnya, "gadis yang paling cantik di negeri itu". Demi melihat kekasihnya sedang membawa mangkuk dan membuntuti Sang Guru, perempuan itu berseru: "Pangeran, jangan pergi terlalu lama. Cepatlah pulang!" 

 

Kata-kata perempuan itu menimbulkan getaran di hati Nanda. Pangeran Nanda pun semakin gundah dan kata-kata ini semakin mengiang-ngiang di telinganya: “Dia akan mengambil mangkuknya di sini. Dia akan menerima mangkuknya di sana!" Setelah berjalan kaki melewati pagar istana, sampailah rombongan besar itu di Taman Nigrodha, tempat kediaman Sang Buddha di Kapilavatthu. Sesampainya di sana Sang Guru mengambil kembali mangkuk-sedekahnya dan berkata kepadanya, “Nanda, apakah kamu ingin menjadi seorang bhikkhu?” Begitu besar penghormatan Pangeran Nanda kepada Sang Buddha dibandingkan dengan kecondongan hatinya, sehingga dia menahan diri untuk tidak mengatakan, “Aku tidak ingin menjadi seorang bhikkhu,” Sebaliknya malahan dia kelepasan omong, "ya, aku ingin menjadi seorang bhikkhu." Sang Guru berkata, “Kalau begitu, Sāriputta, tahbiskanlah dia menjadi seorang bhikkhu." Demikianlah terjadi bahwa pada hari ketiga setelah kedatangan Sang Guru ke Kapilavatthu, Nanda resmi dilantik sebagai seorang bhikkhu.

 

Ketika Yang Terberkahi telah memenuhi misinya di negeri yang membesarkannya, dia kembali lagi ke Rājagaha dengan ditemani oleh rombongan besar para bhikkhu. Selang beberapa lama kemudian Yang Terberkahi melanjutkan perjalanannya ke Sāvatthī dan di sana Beliau bermukim di Hutan Jeta pada Taman Anāthapiṇḍika. Sekarang yang mulia Nanda, adik tiri Yang Terberkahi, mengenakan jubah yang telah digosok dan diseterika serta dia meminyaki kedua matanya, lalu dia mengambil sebuah mangkuk-sedekah berglasir. Kemudian dia pergi menghadap Yang Terberkahi, dan setelah memberikan penghormatan kepadanya, dia duduk di satu sisi. Setelah itu Yang Terberkahi berkata kepadanya: “Nanda, adalah tidak pantas bagimu, seorang pemuka suku yang dengan keyakinannya telah pergi dari kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah, untuk mengenakan jubah yang telah digosok dan diseterika, meminyaki kedua mata, serta menggunakan sebuah mangkuk berglasir. Apa yang sesungguhnya pantas bagimu ... adalah menjadi seorang pemukim-hutan, makan hanya diperoleh dari sedekah orang, seorang pemakai jubah dari kain-bekas, serta berdiam tanpa pamrih terhadap keinginan inderawi." 

 

Demikianlah setelah menjalani kehidupan-kebhikkhuan selama beberapa waktu, Nanda merasa tidak puas dan dia berkeluh-kesah kepada sesama bhikkhu. "Para sahabat, aku menjalani kehidupan suci dengan perasaan tidak puas. Ada terlalu banyak aturan! Terlalu sedikit kesenangan! Aku akan melepaskan latihan ini, serta aku akan kembali pada apa yang telah aku tinggalkan selama ini." Salah satu bhikkhu teman baik Nanda, yang khawatir sahabatnya akan mengalami depresi, lantas pergi menemui Sang Buddha untuk meminta nasihatnya. Sang Buddha hanya tersenyum dan memberi tahu bhikkhu muda itu, "pergi dan carilah Nanda, dan katakan kepadanya 'Guru memanggilmu'."

 

Nanda pun pergi menemui Sang Guru, yang lalu bertanya: "Nanda, apakah benar, agaknya, bahwa engkau menjalani kehidupan suci dengan perasaan tidak puas. Bahwa engkau tidak mampu lagi melaksanakan kehidupan suci ini. Bahwa engkau akan melepaskan latihan ini, serta engkau akan kembali pada apa yang telah engkau tinggalkan selama ini?"   "Ya, benar, Yang Mulia."   "Tetapi, Nanda, mengapa engkau akan melakukan hal itu?"

 

"Yang Mulia, ketika aku meninggalkan kehidupan-berumah, sang primadona Sakya yang jelita, Janapada Kalyāṇi, memandang sendu kepadaku dengan rambutnya yang sebagian bergelung ke belakang, seraya dia berkata: 'Pangeran, jangan pergi terlalu lama. Cepatlah pulang!'. Sekarang setiap kali aku duduk bermeditasi, yang muncul dalam benakku tidak lain sang primadona dengan rambutnya yang setengah acak-acakan. Setiap kali aku memikirkannya, aku mereka sangat berduka. Sewaktu aku mengingatnya, aku menjalani kehidupan suci ini dengan perasaan tidak puas."

 

Sang Buddha memegang lengan Nanda dengan lembut dan Beliau berkata kepadanya, "biarkan aku menunjukkan sesuatu kepadamu. Segera setelah itu laksana seorang yang perkasa, Beliau merentangkan kedua lengannya yang tertekuk atau menekukkan lengannya yang terentang. Keduanya segera menghilang dari Hutan Jeta dan meluncur dengan derasnya menuju Alam Dewa-dewa. Di tengah perjalanan Sang Guru menunjukkan kepada Nanda satu bidang ladang yang sedang terbakar. Di sana keduanya melihat seekor kera betina yang menderita. Hewan malang itu duduk di atas sebatang tunggul yang terbakar, dan dia kehilangan telinga, hidung, dan ekornya karena dilalap oleh si jago merah. Akhirnya keduanya tiba di Surga Tavatimsa atau Trāyastriṃśa. Di Surga Loka yang permai itu Nanda menyaksikan para bidadari surgawi dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati, sedang bersiap-siap menunggu dan memberikan segala kesenangan kepada Sakka, raja para dewa. Sesungguhnya:

 

Accharā atau Apsara para penghuni Surga Tiga-puluh-tiga,

Dengan pinggul bulat yang elok dan pinggang yang ramping

Sambil menggoyangkan dada mereka yang indah, disertai kerling-pandang memikat siapa pun di dekatnya,

Mata besarnya laksana bunga teratai, menatap sang deva dalam wajah nan memikat.

 

Para bidadari itu memiliki tubuh yang simetris-sempurna dan amat rupawan,

Kulitnya bersih ibarat bulan sabit dan di kala diam nampak seperti patung emas;

Mereka mudah bersenang-senang, menghibur, memainkan musik, dan menari

Semuanya menggairahkan dan menginspirasi cinta di bumi maupun di surga.

 

Sang Guru bertanya, "Nanda, apakah engkau menyaksikan para bidadari dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati?"   "Tentu, Yang Mulia."   "Bagaimana menurut pendapatmu, Nanda. Yang mana yang lebih elok, lebih cantik, lebih memikat, sang primadona Sakya yang jelita, Janapada Kalyāṇi, atau para bidadari dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati?"   "Yang Mulia. Sang primadona Sakya, Janapada Kalyāṇi, layaknya seperti seekor kera betina yang hidung dan telinganya melepuh terkelupas, dibandingkan para bidadari dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati. Tidak ada cara untuk memperbandingkan di antara keduanya. Para bidadari ini jauh lebih elok, jauh lebih cantik, dan jauh lebih memikat."   "Oleh karena itu, jalani kehidupan suci, Nanda. Nikmati kehidupan suci dan aku memberikan jaminan engkau bisa mendapatkan para bidadari dengan dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati."   "Yang Mulia, jika Yang Terberkahi menjamin aku bisa mendapatkan para bidadari dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati, maka aku akan menikmati kehidupan suci."  Kemudian Yang Terberkahi memegang lengan Nanda dan melakukannya seperti sebelumnya. Mereka lenyap dari Surga Tavatimsa dan muncul kembali di Hutan Jeta.

 

Sang lelaki sekali waktu merantau di negeri orang,

Ketika melihat anak orang lain, dia teringat anak sendiri,

Namun saat menyaksikan perempuan lain, dia lupa isterinya sendiri.

 

Pangeran Nanda diajak Sang Guru ke Swarga Loka,

Di kahyangan nan permai dirinya terpesona bidadari berkaki segemulai burung merpati,

Dan melupakan sang primadona Sakya, Janapada Kalyāṇi.

 

Para bhikkhu mendengar: "Agaknya yang mulia Nanda menjalani kehidupan suci demi memperoleh bidadari. Karena agaknya Yang Terberkahi telah menjamin untuk memperoleh para bidadari dengan dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati." Kemudian para sahabatnya diantara para bhikkhu di sana memperlakukannya sebagai orang sewaan yang menjual dirinya sendiri: "Yang mulia Nanda adalah orang sewaan, agaknya, yang menjual dirinya sendiri, karena dia menjalani kehidupan suci demi mendapatkan bidadari."

 

Ia lalu dihina, dipermalukan, dan direndahkan dengan kata-kata cemoohan oleh kelompoknya. Sehingga dia pergi mengasingkan dan tinggal menyendiri; lalu dengan rajin, bersemangat, dan berpengendalin-diri, dia akhirnya merealisasikan dirinya dengan pengetahuan langsung. Sekarang dan di sini pula ia memasuki dan berdiam pada sasaran agung kehidupan suci, yang sesungguhnya menjadi dambaan seorang pemuka suku. Ia langsung mengetahui: "Kelahiran telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dijalankan, apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, tidak akan ada lagi penjelmaan berikutnya." Dan yang mulia Nanda menjadi salah satu dari para Arahanta.

 

Demikianlah Nanda kemudian menarik kembali permintaan untuk mendapatkan bidadari dari Sang Guru. Bagaimana nasib Janapada Kalyāṇi yang pernah menjadi tunangan Pangeran Nanda? Perlu para pembaca ketahui, bahwa di belakang hari Janapada Kalyāṇi pun menjadi seorang bhikkhuni yang terkemuka, mencapai tingkat kesucian tertinggi, dan ia juga merupakan bagian dari para Arahanta.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220112