Ketika itu
tahun 260 sebelum Masehi. Tiongkok berada pada zaman Negara-negara berperang
(475-221 seb.M.), setelah melemahnya Dinasti Zhou sejak abad kedelapan sebelum
Masehi. Jika kita melihat kondisi dunia pada saat itu, populasi manusia pada
pertengahan abad ketiga sebelum Masehi diperkirakan hanya sekitar 200 juta
orang. Pada saat yang bersamaan di belahan dunia lain, pasukan Romawi terlibat
Perang Punik melawan kekuatan Kartago di Sisilia; sedangkan di anak benua India
Kaisar Ashoka dari Dinasti Maurya berhasil menaklukkan Kalinga.
Pada tahun 259
seb.M. tokoh yang akan dikisahkan di sini lahir di negara bagian Qin sebagai Yíng Zhèng (嬴政) atau Zhào Zhèng (趙政). Ayahnya adalah Pangeran Yiren yang berasal dari
negara Qin. Penulis menceritakan terlebih dahulu siapa itu Pangeran Yiren.
Seperti yang disebutkan di atas tujuh negara yang ada saat itu dalam status
sedang berperang, termasuk negara Qin dan negara Zhou. Pangeran Yiren yang
masuk dalam daftar pewaris takhta Qin pada waktu itu tinggal di istana Zhào. Ia
dijadikan sandera untuk menjamin gencatan senjata yang telah disepakati antara
kedua negara tersebut.
Tersebutlah
seorang saudagar dan politikus yang bernama Lü Buwei (291-235 seb.M.) yang
berasal dari negara Wei. Dia adalah seorang pedagang yang sukses dan berniaga
lintas-negara. Pada usia muda dia berhasil mengumpulkan "ribuan emas
lantakan". Sebelum memutuskan untuk menjadi politikus, ayahnya menasehati:
"Jika kekayaan itu diinvestasikan di sawah atau ladang nilainya akan
berlipat ganda menjadi sepuluh kali. Jika dimanfaatkan dalam bisnis mutiara dan
batu permata, nilainya kelak bertambah seratus kali lipat. Namun jika dipakai
untuk mengantarkan seseorang menjadi pemimpin dan mengamankan negaranya, nilai
yang didapatkan tidak-terbilang. Lü yang cerdas membulatkan tekadnya untuk
menginvestasikan kekayaannya demi mendapatkan kemaslahatan bagi generasi yang
akan datang. Dia pun mendekati Pangeran Yiren. Dengan bermodalkan kekayaan yang
begitu besar, Lü sebentar saja masuk ke lingkar dalam istana negara Zhào.
Dalam waktu
singkat Lü dan Pangeran Yiren bersahabat akrab. Kebetulan pada saat itu Lu baru
mengambil seorang selir cantik yang pintar menari. Pangeran Yiren jatuh cinta
pada pandangan pertama dengan selir Lü Buwei. Lü kemudian menyetujui selir itu
untuk menjadi isteri Pangeran Yiren, yang di kemudian hari perempuan ini
dikenal sebagai Nyonya Zhao (Zhao Ji). Setelah mengalami masa kehamilan yang
panjang Nyonya Zhao melahirkan seorang putera di Handan yang bernama Yíng Zhèng atau Zhào Zhèng tadi. Di sini
kontroversi terjadi. Menurut Sima Qian, Sejarawan Agung dari zaman Dinasti Han,
mengklaim bahwa Yíng Zhèng bukanlah
putera Pangeran Yiren yang sebenarnya, melainkan putera Lü Buwei. Hal ini masuk
akal karena Nyonya Zhao semula adalah selir Lü Buwei.
Kejadian yang
berikutnya adalah kelihaian dan kekuatan uang yang dimiliki oleh Lü Buwei.
Pangeran Yiren yang semula seorang sandera berhasil diboyong kembali ke negeri
Qin. Sang pangeran yang tadinya hanya merupakan salah satu dari sekitar dua
puluh anak raja Xiaowen dari Qin (303-251 seb.M.), berhasil dijadikan putera
mahkota. Setelah sang raja mangkat, Pangeran Yiren naik tahta dengan gelar Raja
Zhungxiang dari Qin dan Nyonya Zhao menjadi permaisuri. Raja yang baru kemudian
mengangkat Lü Buwei sebagai kanselir atau perdana menteri dengan gelar
"Adipati Wenxin".
Namun baru tiga
tahun menjadi raja, Zhungxiang mangkat dan Yíng Zhèng yang belum dewasa tidak mungkin menjadi penggantinya. Terpaksa Nyonya Zhao
yang kini menjabat sebagai Ibu Suri memerintah Kerajaan Qin atas nama
puteranya. Lü Buwei yang masih menjabat sebagai kanselir tentu merasa tidak
enak hati karena Ibu Suri pernah menjadi isterinya, dan hal ini bisa memancing
skandal baru di lingkungan istana. Belakangan dia memperkenalkan seorang pria
bernama Lao Ai dan selanjutnya Ibu Suri jatuh cinta kepadanya. Bagaimana
hubungan keduanya bisa berlangsung? Lao Ai berpura-pura menjadi pelayan dan
menyamar sebagai orang kasim di lingkungan istana. Hubungan gelap keduanya
berlangsung bertahun-tahun dan pasangan ini sampai memiliki dua anak.
Waktu berjalan
terus dan kini pangeran mahkota, Yíng Zhèng, beranjak dewasa dan
semakin dilibatkan dalam urusan-urusan kerajaan. Kekasih Ibu Suri, Lao Ai yang
saat itu telah mendapatkan kehormatan dan menjadi "Adipati Changxin",
berambisi besar agar salah satu anaknya bisa menjadi putera mahkota. Kemudian
pada tahun 238 seb.M. – ketika Yíng Zhèng berusia 21 tahun –
Lao Ai membuat blunder dengan melakukan kudeta yang didukung oleh Ibu Suri.
Karena Lao Ai hanya mengandalkan orang-dalam istana dan tidak mendapat dukungan
kekuatan militer, kudeta itu pun dengan mudah digagalkan. Akibatnya sungguh
dahsyat. Yíng Zhèng menangkap Lao Ai dan
dia segera dihukum mati. Demikian pula hukuman yang sama dijatuhkan kepada dua
orang anak hasil hubungan gelap beserta kerabat dekat Lao Ai. Ibu Suri Nyonya
Zhao, ibu kandung Yíng Zhèng, tidak sampai dibunuh
tetapi dibuang ke tempat yang jauh. Lü Buwei pun dicopot jabatannya dan
dikembalikan ke kampung halamannya.
Yíng Zhèng kemudian naik tahta dan mengendalikan Negara Qin sepenuhnya. Inilah sosok
raja yang pernah dikhianati oleh lingkungan terdekatnya, yang kelak
membentuknya menjadi seorang tiran yang kejam dan tangannya pun berlumuran
darah. Sejarah mencatat selama menduduki singgasana, tiga kali upaya pembunuhan
terhadap dirinya dilakukan oleh musuh-musuhnya, namun semuanya berakhir dengan
kegagalan.
Dalam
menjalankan pemerintahan Yíng Zhèng menganut ajaran
Legalisme-Tiongkok, yang ajarannya terkadang menyerupai doktrin Niccolò Machiavelli yang dikembangkan belakangan di Eropa. Adalah Han Fei (c.
280-233 seb.M.) yang mensintesekan gagasan pemikir pendahulunya, dan dia
menulis buku legendaris aliran pemikiran para Legalis, yang diberi judul Han Feizi. Aksioma Legalisme ini
bertolak belakang dengan Konfusianisme yang berasal dari Nabi Kongzi, yang
sudah berurat-akar di masyarakat Tionghoa. Konfusius mengemukakan bahwa manusia
pada dasarnya adalah baik, sedangkan para Legalis berpendapat bahwa manusia itu
sesungguhnya jahat. Maka dari itu, Konfusianisme mendorong agar manusia itu
bertanggung jawab. Sebaliknya Legalisme menekankan perlunya pemberlakuan aturan
yang keras dan hukuman yang setimpal.
Sebelum Yíng Zhèng naik tahta, masa itu dianggap sebagai zaman keemasan pemikiran bebas.
Setelah naik tahta, dia menghilangkan sekitar seratus aliran pemikiran, yang
mencakup Konfusianisme, Taoisme, dan sistem filosofi lainnya. Yang boleh
dipelajari dan dikembangkan hanya Legalisme yang menjadi ideologi negara.
Dimulai tahun 213 seb.M., atas dorongan Kanselir Li Si (pengganti Lü Buwei),
Raja Zhèng memerintahkan sebagian besar buku yang ada di kerajaannya dibakar; dengan
pengecualian buku-buku tentang astrologi, pertanian, kedokteran, ramalan, dan
sejarah. Kebrutalannya tidak sampai di situ saja. Sebanyak 460 orang sarjana
Konfusian dikubur hidup-hidup. Kekejamannya dilukiskan dalam empat aksara
Mandarin: 焚書坑儒 fénshū
kēngrú : "Dia
membakar buku-buku dan mengubur sarjana Konfusian hidup-hidup."
Ambisi Raja Zhèng untuk memperluas kerajaannya dimulai pada tahun 230 seb.M. yakni ketika
dia menginjak usia ke-29. Negara pertama yang jatuh adalah Hán (terkadang
disebut Hànn untuk
membedakannya dari Dinasti Han), pada 230 seb.M. Kemudian Qin memanfaatkan
bencana alam yang terjadi pada tahun 229 seb.M. untuk menyerang dan menaklukkan
Zhào, yakni negeri tempat lahirnya Yíng Zhèng. Ke sana dia datang
untuk membalas perlakuan buruknya sewaktu dia menjadi sandera anak, dan semua musuhnya
dihabiskan tak-bersisa. Tentara Qin menaklukkan seluruh negara Zhào pada 228
seb.M., negara utara Yan pada 226 seb.M., negara kecil Wei pada 225 seb.M., dan
negara besar Chu yang paling banyak tantangannya, pada 223 seb.M. Pada tahun
222 seb.M., sisa-sisa terakhir laskar dan keluarga kerajaan Yan ditangkap di
Liaodong di timur laut. Satu-satunya negara merdeka yang tersisa sekarang
adalah negara Qi, di timur jauh, yang sekarang terletak di Semenanjung
Shandong. Ketakutan, raja muda Qi mengirim 200 ribu orang untuk mempertahankan
perbatasan baratnya. Tetapi pada 221 seb.M., bala tentara Qin menyerbu dari
utara, menangkap raja, dan mencaplok Qi.
Apa yang
membuat bala tentara Qin berhasil mendapatkan kemenangan yang gilang gemilang
dalam waktu kurang dari sepuluh tahun? Semuanya itu kembali pada gaya
kepemimpinan Raja Zhèng dan para jenderal perangnya yang keras dan tidak kenal kompromi. Selain
itu pada zaman itu sudah dikenal pemakaian busur-silang – yakni busur panah
yang berbentuk senapan dengan sistem pegas yang bisa membidik sasaran lebih
cepat dan lebih tepat – yang membantu Raja Zhèng bisa menjalankan mesin perangnya dengan
lebih efektif. Kemenangan Raja
Zhèng dengan menyatukan tujuh negara di Tiongkok Kuno ke dalam satu negara besar
adalah prestasi besar yang baru dicapai di zamannya. Selama beberapa abad
sebelumnya tidak ada satu pun raja yang berhasil menyatukan Tiongkok.
Raja Zhèng kemudian menobatkan dirinya sendiri
sebagai Qín Shǐ Huáng (秦始皇)
harfiah bermakna "Kaisar Pertama Qín". Kata 皇帝(Huángdì) adalah kosakata baru yang berarti maharaja, padahal pimpinan kerajaan
sebelumnya disebut sebagai 王(wáng) atau "raja". Seperti doktrin yang dikenal
pada masa sebelumnya Qín Shǐ Huáng pun memiliki keyakinan dia mendapat
mandat dari Kaisar Langit untuk memerintah di bumi. Sebagai buktinya dia
memiliki harta pusaka yang dikenal sebagai 傳國璽 atau chuán guó xǐ.
Diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Heirloom Seal of the Realm
atau "Segel Pusaka Dunia". Benda itu disebut 和氏璧 atau Hé shì bì, terbuat dari batu
giok seremonial berwarna
hijau-muda, yang dianggap sebagai
tanda kebesaran dan memiliki peran penting dalam sejarah Tiongkok. Muncul pada pertengahan abad ke-8 seb.M., pusaka itu dipotong menjadi dua dengan
lubang bundar di tengah dan diakui sebagai harta kekaisaran. Pusaka itu adalah
simbol Amanat Surga dan diwariskan secara bergilir ke dinasti yang memerintah Tiongkok.
Pusaka yang sebelumnya milik negara Zhào itu
kemudian diserahkan ke tangannya dan dia memerintahkan agar harta karun itu
menjadi segel kekaisarannya. Kanselir Li Si menuliskan
kata-kata, "Setelah menerima Amanat dari Surga, semoga Kaisar panjang
umur dan sejahtera." Anda para pembaca pasti
ingin tahu dimana harta karun itu disimpan sekarang? Benda yang sangat berharga
di kolong langit itu hilang tak tentu rimbanya sejak sebelum Dinasti Ming
berdiri. Menurut para kolektor barang purbakala, nilai harta pusaka itu bisa
mencapai satu triliun dolar. Konon sampai sekarang Segel Pusaka Dunia masih
dicari-cari oleh Pemerintah Beijing dan Pemerintah Taipei.
Selain
mempersatukan Tiongkok menjadi satu negara besar, Qín Shǐ Huáng juga menghapuskan feodalisme. Kekaisaran dibagi menjadi 36 propinsi. Seluruh Tiongkok dengan demikian
dibagi menjadi unit-unit administratif: komando pertama, kemudian kabupaten,
kotapraja, dan unit seratus keluarga yang kira-kira sesuai dengan subdistrik dalam
komunitas modern. Dalam bidang ekonomi Qín Shǐ Huáng menyatukan
Tiongkok dengan menstandardisasi satuan pengukuran Tiongkok seperti berat dan
takaran, mata uang, dan panjang as roda gerobak untuk memfasilitasi
transportasi di sistem jalan raya. Kaisar juga mengembangkan jaringan jalan dan
kanal yang luas yang menghubungkan propinsi-propinsi untuk meningkatkan
perdagangan dan pergerakan orang. Mata uang negara-negara sebelumnya yang
berbeda juga distandarisasi ke koin Ban Liang. Mungkin yang paling penting,
aksara Mandarin disatukan. Aksara standar yang baru ini kemudian diresmikan di
seluruh wilayah taklukan, sehingga menghapus semua aksara daerah, demi untuk
membentuk satu bahasa, satu sistem komunikasi untuk seluruh rakyat Tiongkok.
Setelah
berhasil mewujudkan semua ambisinya tibalah saatnya dia mengalahkan musuh yang
berikutnya, yakni kematian. Dia mengenang, kakeknya meninggal tiga hari setelah
dinobatkan sebagai raja, kemudian ayahnya wafat tiga tahun setelah diangkat
menjadi pimpinan negara Qin. Menjelang akhir hidupnya, Qín Shǐ Huáng menjadi orang yang takut mati dan
dia berusaha keras mencari ramuan-keabadian, yang konon akan membuat dia hidup
selamanya.
Dalam satu misi
dia mengutus Xu Fu, seorang penduduk pulau Zhifu, melakukan perjalanan dengan
kapal yang membawa ratusan pria dan wanita muda untuk mencari Gunung Penglai
yang mitis. Mereka diutus untuk menemukan Anqi Sheng di sana, yakni seorang
penyihir yang katanya telah berusia 1.000 tahun; yang diduga pernah ditemui Qín Shǐ Huáng dalam salah satu perjalanannya,
dan pernah pula mengundang Sang Kaisar untuk mencarinya di sana. Orang-orang yang
disuruh mencari gunung mitis ini tidak pernah kembali; mungkin karena mereka
tahu, jika mereka kembali tanpa ramuan yang dijanjikan, mereka pasti akan
dieksekusi. Legenda mengisahkan bahwa para penjelajah itu mencapai Kepulauan Jepang
dan kemudian mereka menetap di sana.
Selama
perjalanan kelimanya di Tiongkok Timur, Kaisar menderita sakit parah. Dan
setelah dia tiba di Pingyuanjin (di Kabupaten Pingyuan, Shandong) Sang Kaisar
Pertama mangkat antara bulan Juli - Agustus 210 seb.M. di istananya di
prefektur Shaqiu. Penyebab kematian Qín Shǐ Huáng tidak diketahui
dengan pasti, tetapi diduga karena dia meminum ramuan-keabadian. Obat-keabadian
yang sedianya mampu membuatnya hidup-kekal, sebenarnya mengandung unsur merkuri
yang malahan memperpendek hidupnya. Kaisar mangkat dalam usia 49 tahun dan
penggantinya masih meneruskan kelangsungan Dinasti Qín selama tiga tahun berikutnya. Setelah itu Dinasti yang didirikannya pun
runtuh dan Tiongkok sekali lagi memasuki zaman pergolakan. Mungkin Kaisar
Langit tidak berkenan dengan apa yang dilakukan oleh Qín Shǐ Huáng di dunia ini.
sdjn/dharmaprimapustaka/220126