Alkisah pada zaman
dahulu kala di Tiongkok ada seorang anak laki-laki yang sejak kecil sudah yatim-piatu.
Anak itu tinggal bersama kakak lelakinya dan kakak iparnya. Isteri kakaknya itu
sangat tidak suka dengan kehadiran adik iparnya, yang terpaksa harus tinggal
serumah dengan mereka. Dia sering menghardik si bocah kecil itu. Si kecil tumbuh
menjadi pribadi yang pendiam dan penyendiri. Kesibukannya sehari-hari hanya
menggembalakan seekor lembu tua yang dimiliki keluarga tersebut. Nama si bocah
itu tidak banyak diketahui oleh orang dusun itu, dan dia sering dipanggil
sebagai sang penggembala sapi atau Niú Láng (牛郎).
Niú Láng tidak punya sahabat atau orang yang
bisa diajak berteman. Satu-satunya makhluk yang bisa diajak bicara tidak lain si
lembu tua. Bila ada masalah dia mulai bercakap-cakap dengan hewan
piaraannya. Lucunya sang lembu sepuh menanggapinya dengan menggerak-gerakkan
mulutnya atau memainkan ekor. Agaknya hewan itu mengerti apa yang menjadi
kegundahan majikannya. Niú Láng sangat menyayangi sapinya, dengan selalu
memberikan rumput segar dan hijau, serta disediakannya air bersih dari mata air
dekat rumahnya. Di musim dingin dia akan membangun naungan sederhana agar hewan
kesayangannya tidak kedinginan, dan di musim panas lembunya akan digiring ke
padang yang diteduhi pepohonan.
Ketidaksukaan sang
kakak ipar terhadap si bocah disadari oleh suaminya, yang juga tidak berdaya menghadapi
perilaku isterinya yang semena-mena. Niú Láng hanya diberi makan seadanya, dan pakaian
yang dikenakannya hanyalah pakaian bekas yang telah usang. Sejak lama si kakak
ipar sebenarnya ingin sekali mengusir anak itu dari rumah mereka, tetapi dia
selalu bisa mengurungkan niat buruknya itu, karena dia tidak ingin digunjingkan
oleh para penduduk di dusun itu. Sampai akhirnya Niú Láng mencapai kedewasaan.
Suatu hari abangnya
memanggilnya, "Sekarang engkau sudah besar. Sudah waktunya hidup sendiri. Tugasku
sebagai kakak telah selesai." Dengan wajah ketakutan karena sejak tadi dia
diawasi oleh isterinya, sang kakak melanjutkan: "Sebelum engkau pergi,
kamu boleh mengambil salah satu peninggalan almarhum ayah kita." Si kakak
ipar yang sedang panas hatinya langsung berseru: "Buat apa meminta dia
memilih barang warisan? Anak macam itu tidak berguna. Kita berdua sudah memelihara
dan merawatnya sejak kecil, tetapi apa balas budinya? Jika engkau mau
memberikan warisan kepadanya, serahkan saja lembu tua itu. Lalu enyahkan dia segera
dari rumah kita."
Niú Láng hanya bisa mengelus dada mendengar
ucapan kakak iparnya. Pikirnya, "Asalkan aku diizinkan pergi dari rumah ini bersama
lembu tua itu, kami berdua sudah merasa senang. Kami akan hidup bersama-sama." Setelah
berpamitan dengan keduanya, Niú Láng dengan menggiring hewan piaraannya segera
meninggalkan dusun itu. Mereka pergi jauh, hingga akhirnya berhenti di sebuah
kaki bukit. Di tempat itu Niú Láng membangun gubuk kecil beserta kandang ternak
secara sederhana. Dia dituntut untuk bekerja keras agar bisa mandiri di tempat
tinggalnya yang baru. Hari-harinya dihabiskan untuk membuka ladang, bercocok
tanam, dan melakukan pekerjaan rumah; hanya dengan ditemani sang lembu sepuh.
Pada suatu malam ketika Niú Láng bersiap-siap
untuk tidur, sekonyong-konyong telinganya mendengar ada seseorang yang
memanggil namanya. Dengan terheran-heran, karena dia hanya tinggal sendirian di
tempat terpencil itu, Niú Láng pun segera mencari asal suara panggilan itu.
Betapa terkejutnya dia setelah tahu suara yang mirip ucapan manusia itu
ternyata berasal dari mulut lembunya. Sang sapi sepuh ternyata bisa bicara!! "Besok senja
di tepi telaga sana, sekelompok wanita muda akan mandi di air yang jernih itu. Jika
engkau tertarik dengan salah satu di antara mereka, engkau bisa menjadikan dia sebagai
isterimu. Cukup engkau ambil gaunnya dan sembunyikanlah benda berharga tersebut." Niú Láng tertegun beberapa saat. Dia menyadari usianya sudah cukup
untuk berkeluarga. Namun siapa gerangan wanita yang mau menjadi pasangannya.
Dia sendiri hidup sebatang kara dan tidak memiliki kekayaan apa pun.
Keesokan harinya dengan hati berdebar-debar,
dia sudah mengendap-endap di tepi telaga yang berada tidak jauh dari gubuknya.
Sore itu cuaca amat cerah dan angin berhembus semilir. Telaga bagaikan permandian-surgawi,
yang di satu sisinya dibatasi oleh bukit tinggi yang menjulang kehijauan. Burung-burung
hinggap di pepohonan dan mereka semua menyanyikan cericit merdunya. Niú Láng
sengaja menyembunyikan dirinya agar tidak terlihat oleh siapa pun.
Benar saja perkataan sang lembu sepuh!
Beberapa saat kemudian tujuh bidadari turun dari langit dan mereka semua turun
ke tepi telaga. Mereka semua sangat rupawan. Masing-masing mengenakan
gaun-surgawi yang berwarna putih, merah, kuning, abu-abu, hijau, biru, dan
ungu. Seperti yang dilakukan oleh perempuan manusia, mereka bertujuh
menanggalkan busananya dan segera menceburkan diri ke air yang jernih itu. Niú
Láng menatap pada tujuh peri itu dengan perasaan takjub. Hatinya terguncang
melihat kecantikan mereka. Dia pun langsung jatuh cinta kepada sang bidadari
yang tadinya mengenakan gaun merah.
Dengan sembunyi-sembunyi Niú Láng mendekati
tempat para peri itu meletakkan pakaian mereka. Segera diambilnya gaun-surgawi
yang berwarna merah, lalu dimasukkannya ke dalam kantung yang dibawanya. Belum pernah seumur hidupnya sang
penggembala melihat dan memegang gaun merah, yang terbuat dari kain sutera-surgawi
itu. Lalu dengan secepat kilat Niú Láng pun segera membawa lari kantung berisi
busana peri itu ke sebuah tempat rahasia di ladangnya.
Setelah puas mandi dan berenang di telaga,
para bidadari pun menepi untuk mengambil busana mereka. Alangkah kagetnya sang
peri yang semula mengenakan gaun merah, ketika mendapatkan busananya hilang.
Mereka semua menyisir bantaran telaga itu, namun usaha mereka tidak membuahkan
hasil. Karena hari menjelang gelap enam bidadari yang telah mengenakan
busananya segera meninggalkan telaga, dengan terbang kembali ke kahyangan. Si
peri yang tadinya mengenakan gaun merah tidak bisa terbang, dan makhluk kahyangan
yang malang itu pun hanya bisa tinggal di tempat sambil menangis tersedu-sedu.
Dengan berpura-pura iba Niú Láng menemui sang
peri yang malang itu. Dia menawarkan jubah luarnya untuk dipakai oleh sang
bidadari. Karena terpaksa dia pun menerima tawaran pemuda itu. Keduanya pun segera
pulang ke gubuk sang penggembala. Lama kelamaan tumbuh rasa cinta dan sayang di
antara keduanya. Mereka pun akhirnya menikah sebagai pasangan suami-isteri.
Belakangan sang peri bercerita bahwa dia adalah salah satu puteri dari Sang
Ibunda Ratu dari Barat atau Xī Wáng Mǔ (西王母). Sang Ibu Suri ini masih kerabat dari Kaisar Kemala atau Yù Huáng Dà
Dì (玉皇大帝).
Sang peri yang suka
mengenakan gaun merah ini dikenal sebagai Sang Gadis Penenun atau Zhī Nǚ (織女). Sejak kecil dia
ditugaskan oleh ibunya untuk menenun awan guna mendekorasi langit. Setiap hari
dia melakukan tugasnya dengan rajin. Pagi hari dia menenun awan putih,
sedangkan di saat senja sang peri membuat awan lembayung. Waktu pun berlalu
dengan cepat. Keluarga Niú Láng dan Zhī Nǚ tambah sejahtera. Dengan
keterampilannya menenun, sekarang Zhī Nǚ dapat dengan mudah membuat kain sutera
yang indah. Sedangkan Niú Láng tetap mengerjakan ladang dan bercocok tanam.
Mereka pun sudah memiliki seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
Pada suatu hari ketika
Niú Láng sedang memberi makan hewan piaraannya, tiba-tiba lembu itu menangis. Niú
Láng merasa heran dan bertanya kepadanya: "Wahai lembu sepuh. Mengapa
engkau menangis?" Sambil menghela napas panjang si sapi berkata: "Engkau
sudah bersikap baik selama ini kepadaku. Tetapi aku tidak bisa menemanimu
selamanya. Ajalku sudah dekat. Setelah aku mati, ambillah kulitku. Jahitlah
menjadi sebuah pakaian. Jika engkau terdesak, engkau langsung bisa memakai gaun
kulit sapi itu, dan benda ini akan membantumu." Segera setelah sapi tua
itu mati, suami-isteri itu segera menguliti jasad hewan itu. Sisa tubuhnya
dikuburkan dan kulitnya dibuat menjadi sebuah gaun.
Waktu di bumi sudah
berjalan sekitar tujuh tahun, tetapi di kahyangan waktu baru beringsut satu
minggu. Sang Ibunda Ratu baru sadar, salah satu puterinya selama ini belum
pulang ke kahyangan. Dengan penuh rasa penasaran dia meminta bawahannya, sesosok
dewa, untuk mencari puterinya. Setelah mencarinya di bumi, dewa itu menemukan
sang peri, yang ternyata sudah menikah dengan seorang manusia. Ibunda Ratu
menjadi murka dan bersama dengan beberapa pengawalnya, dia pun segera turun ke
bumi.
Rombongan dewata pun
segera menerobos rumah Zhī Nǚ. Kebetulan saat itu Niú Láng sedang berada di
ladang. Tanpa berkata panjang lebar Sang Ibunda Ratu langsung menangkap Zhī Nǚ,
agar bisa dibawa dan diadili di kahyangan. Kedua anaknya sambil menangis
berupaya memegang gaun ibunya. Sang Ibunda Ratu langsung melepaskan cengkraman
kedua anak kecil itu dan mendorong mereka ke belakang. Dari ketinggian, Zhī Nǚ yang melihat anak-anaknya menangis dan menjerit-jerit, segera
berteriak: "Cepat panggil ayahmu dan minta dia segera menyusulku."
Tatkala Niú Láng kembali ke rumah beserta kedua
anaknya, tempat tinggal mereka sudah porak poranda, dan Zhī Nǚ sudah menghilang
di balik awan. Dua anak itu menangis terus dan Niú Láng bingung harus berbuat
apa. Sekonyong-konyong dia teringat pada pesan si lembu tua. Segera dimasukkan kedua
anaknya ke dalam keranjang. Lalu diikatkan kedua wadah itu ke tubuhnya.
Kemudian mereka bertiga menyelimuti sekujur
tubuh mereka dengan gaun kulit sapi itu. Ajaib!! Tubuh
Niú Láng mendadak menjadi ringan dan dia dengan mudah melesat ke angkasa. Tubuh
Niú Láng bergerak makin cepat dan diperkirakan sebentar lagi dia bisa menyusul
Zhī Nǚ. Niú Láng pun berteriak: "Zhī Nǚ, jangan khawatir, sebentar lagi aku
akan menjemputmu!" Sang Ibunda Ratu geram mendengar teriakan itu. Dilihatnya ke belakang, Niú
Láng hampir menyusul mereka.
Pada saat yang kritis itu Sang Ibunda Ratu
mencabut sebuah tusuk konde kemala dari gelungan rambutnya. Lalu dilemparkannya
benda pusaka itu ke arah Niú Láng. Dalam sekejap tiba-tiba muncullah sebuah sungai yang terbentang di
hadapan Niú Láng. Sungai itu sangatlah lebar dan arusnya amatlah derasnya. Betapa
pun keras usaha Niú Láng untuk menyeberangi sungai itu, tetaplah dia tidak
dapat berbuat banyak. Bapak dengan kedua anaknya hanya bisa menatap air sungai
yang bergelora. Niú Láng bersumpah – apa pun yang terjadi – dia harus
bertemu dengan Zhī Nǚ.
Mitologi Tiongkok Kuno ini bisa ditelusuri
sebelum masa Dinasti Han. Jika orang pada zaman kuno memandang langit (di bumi belahan utara), mereka akan melihat Niú Láng di sebelah barat sebagai bintang Altair
dan Zhī Nǚ di sisi timur sebagai bintang Vega. Keduanya dipisahkan oleh sungai
deras di langit, yakni Galaksi Bima Sakti. Kedua bintang itu akan berdekatan
sekitar tanggal tujuh bulan tujuh menurut penanggalan Tionghoa; atau antara akhir bulan Juli hingga akhir
Agustus. Jika langit cerah tak berawan orang dapat
melihatnya dengan jelas. Biasanya pada musim tersebut, sekawanan burung murai
yang tidak terhitung banyaknya, akan terbang melintasi Bima Sakti dan membentuk
sebuah jembatan. Di tengah jembatan ini dipercaya Niú Láng dan Zhī Nǚ akan
bertemu. Setiap kali bertemu, pertemuan keduanya bagai diselimuti kegembiraan
sekaligus kesedihan. Rasanya sulit untuk menahan jatuhnya air mata. Konon pada
malam harinya, jika seseorang bersembunyi di bawah belukar pohon anggur, dia
akan mendengar suara Niú Láng dan Zhī Nǚ yang sedang berbincang-bincang.
Keduanya saling mengutarakan kerinduannya setelah setahun mereka tidak
berjumpa.
Itulah asal mula
Festival Qī Xì (七夕) atau Perayaan Hari Ketujuh-Bulan-Ketujuh
atau Perayaan Malam Serba-Tujuh; juga dinamakan Qǐ Qiǎo (乞巧) atau diindonesiakan sebagai "Perayaan Sang Pengrajin yang Putus
Asa". Malam pertemuan antara Niú Láng
dan Zhī Nǚ dikenal oleh masyarakat Tionghoa dan Diasporanya di mancanegara sebagai
"Hari
Valentine Tionghoa", atau "Hari Kasih Sayang Tionghoa".
sdjn/dpn/241214