Kamis, 07 Oktober 2021

PAṬĀCĀRĀ



Kisah ini terjadi ketika Buddha kita masih hidup. Kosala adalah salah satu dari enam-belas negeri di Jambudvipa, tepatnya di dataran Indo-Gangga yakni zona utara anak benua India. Rajanya Pasenadi (atau Prasenajit) merupakan sosok penguasa yang disegani, dan ia memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Pusat pemerintahan Kosala terletak di Sāvatthī (atau Shravasti). Sāvatthī adalah satu kota besar, yang sekarang terletak di timur laut Negara Bagian Uttar Pradesh. Sebagian kotanya terletak di bantaran Sungai Aciravatī (sekarang Sungai Rapti). Sāvatthī memiliki lokasi yang strategis dan mudah dicapai dari kota-kota besar lainnya, karena berada di persimpangan jalan raya menuju timur, selatan, dan barat. Dari Rājagaha di timur jalan ini tembus ke Sāvatthī dengan persinggahan di Vesalī, sedangkan menuju ke selatan kita akan sampai di Sāketa dan terus hingga ke Kosambī. Kosala sendiri adalah negeri yang makmur dengan bijih-bijihan dan hasil pertanian yang melimpah, juga menjadi sentra pengrajin yang menghasilkan barang-barang yang bermutu. Menurut Buddhghosa, komentator yang menyusun risalah Tipiṭaka, Sāvatthī dihuni oleh 57 ribu keluarga pada masa itu.

 

Pada masa itu di Sāvatthī hiduplah seorang saudagar yang sangat kaya. Ia memiliki seorang puteri dan seorang putera. Puterinya sangat cantik dan rupawan dan diberi nama Paṭācārā. Jika Anda terlahir sebagai seorang anak perempuan di masa itu, tidak banyak pilihan yang dapat dilakukan, walaupun Anda dilahirkan dalam satu keluarga kaya dan terpandang. Dalam tatanan masyarakat yang mendambakan dan mengagungkan kelahiran bayi laki-laki, kelahiran bayi perempuan dianggap sebagai ketidakberuntungan bagi ayah dan ibunya. Anak laki-laki setelah cukup umurnya, yakni setelah ia berusia lima hingga delapan tahun, wajib mengikuti brahmacharya ashrama atau pendidikan intensif di tempat seorang guru. Sebaliknya anak perempuan hanya diasuh oleh ibunya atau kerabat wanitanya di dekat tempat tinggalnya, agar kelak mereka terampil mengurus rumah tangganya.

 

Setelah Paṭācārā berusia enam belas tahun atau setelah akil balig, orang tuanya mengurungnya di lantai atas sebuah rumah besar, tempat dia dikelilingi oleh para penjaga guna mencegahnya berhubungan dengan laki-laki. Ayah adalah sosok yang dominan dalam menentukan nasib puterinya. Ia akan mencari dan memilihkan seorang pemuda dari kasta dan keluarga terpandang, yang memiliki latar belakang yang sepadan dengan kedudukannya. Ia juga berhak menentukan besarnya mas kawin yang akan diminta dari keluarga calon menantunya. Sikap otoriter orang tua dalam menentukan jodoh puterinya tentu tidak hanya terjadi di India Kuno. Anda para pembaca tentu masih ingat novel Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli dengan tokohnya Siti Nurbaya, yang ditulis kira-kira seratus tahun yang lalu.

 

Paṭācārā boleh dipingit untuk menghindari bertemu lelaki yang tidak direstui orang tuanya, Paṭācārā boleh dikurung dalam istana keluarganya, tetapi segala pembatasan itu tidak menghalangi dirinya bertemu dengan sang pujaan hatinya. Secara diam-diam sang gadis terlibat dalam percintaan dengan seorang pembantu di rumah orang tuanya. Tibalah saatnya hingga kedua orang tuanya memutuskan untuk menikahkan dia dengan seorang pria muda dengan status sosial yang sama. Paṭācārā menjadi panik dan ia memutuskan untuk segera bertindak.

 

Dia tidak ingin berpisah dengan kekasihnya, apalagi menikah dengan orang asing yang tidak dikenalnya. Setelah berunding dengan kekasihnya, Paṭācārā memutuskan untuk kawin lari. Keduanya berencana pada hari yang ditentukan, mereka akan bertemu di sebuah pasar yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Paṭācārā berteman akrab dengan seorang inang pengasuhnya, yang kebetulan memiliki postur tubuh yang hampir sama dengannya. Ia sudah terbiasa bersenda gurau dengan pengasuhnya dan Paṭācārā bebas memasuki kamar tidurnya. Paṭācārā diam-diam mengambil sepotong sari, gaun-luar yang umum dipakai oleh wanita India, milik pengasuhnya dan menyimpannya. Ia pun segera bersiap-siap. Malam sebelum kepergiannya dikeluarkannya seluruh perhiasan pemberian kedua orang tuanya – gelang, kalung, anting-anting, cincin, uang emas dan perak – lalu semuanya dibungkusnya dengan hati-hati dan diikatkan ke bagian dalam tubuhnya. Setelah itu ia bersolek seadanya dengan meniru gaya berdandan pengasuhnya. Dikenakannya sari curian itu dan tidak lupa ia menata bantal dan selimut di pembaringannya, agar tampak seolah-olah ia sedang tidur. Kemudian di pagi buta itu Paṭācārā menyelinap ke luar dengan menyamar sebagai gadis pelayan. Beberapa penjaga laki-laki yang masih mengantuk membiarkan saja, yang membuat dia minggat dengan mudah dari rumah yang mereka jaga.

 

Keesokan paginya para pelayan dan inang pengasuhnya terheran-heran, majikan mereka tidur dengan pulasnya dan tidak bangun-bangun. Hingga lewat waktu makan siang dia masih terlelap. Dua atau tiga orang dari mereka memberanikan diri untuk menghampiri dan membangunkannya. Namun alangkah terkejutnya mereka mendapati tuan puteri sudah lenyap dari sana. Dalam sekejap terjadi kegemparan, dan semua penghuni rumah sibuk mencari majikan mereka yang telah raib entah kemana. Sang Saudagar baru dilaporkan perihal kehilangan puterinya sore harinya, dan selidik punya selidik salah seorang pelayan laki-laki di rumah itu pun ikut lenyap. Sang Saudagar pun murka atas ketidakbecusan para pembantunya dan pengkhianatan salah seorang pegawainya. Esoknya dan beberapa hari kemudian dengan dibantu para punggawa istana, mereka semua sibuk mencari Paṭācārā ke seantero kotaraja, namun gadis muda dan pembantu lelakinya tetap hilang bak ditelan bumi.

 

Kita kembali kepada Paṭācārā. Setelah bertemu dengan kekasihnya di sebuah pasar di Sāvatthī, mereka mencari tumpangan karavan milik pedagang besar yang berniaga lintas-negara. Segera setelah mereka naik wahana tersebut, kereta pun berangkat dan tidak berapa lama mereka telah melewati gerbang penjagaan kotaraja. Mereka baru turun dari kereta setelah mencapai sebuah dusun yang letaknya jauh dari Sāvatthī. Paṭācārā terhenyak kelelahan dan masih merasakan ketegangan atas pelarian dirinya. Pupus sudah impian seorang gadis cilik, yang dulu mengharapkan untuk menjadi ratu-sehari dengan pasangan tercinta, disertai pesta pora meriah yang dihadiri oleh khalayak ramai. Sebaliknya ia sekarang hanya bisa menikah dengan mengucap ikrar setia sehidup-semati di hadapan dewata, disaksikan bumi yang luas dan di bawah hamparan langit. Dengan menjual sebagian perhiasannya, pasangan muda itu pun membangun gubuk seadanya dan menyewa sebidang tanah garapan di dusun itu. Sang suami sehari-hari bercocok tanam di ladangnya, sedangkan isterinya bekerja keras melakukan semua pekerjaan kasar, sesuatu yang sebelumnya dilakukan oleh para pelayan orang tuanya.

 

Waktu pun berjalan dengan cepatnya, sampai satu waktu Paṭācārā mengandung anak pertamanya. Sesuai dengan norma yang berlaku di India Kuno, walaupun seorang isteri sudah bermukim di rumah suaminya sejak mereka berumah tangga, tetapi ia biasanya pulang ke rumah orang tuanya ketika akan melakukan persalinan. Paṭācārā memohon kepada suaminya: "Wahai kakanda, anak kita akan segera lahir. Inilah saatnya kita pulang ke rumah orang tuaku." Mendengar permintaan itu sang suami menolaknya mentah-mentah, karena dia khawatir akan dianiaya atau dibunuh oleh mertuanya. Paṭācārā melanjutkan: "Sebuas-buasnya harimau, tidak akan dia memangsa anak atau keturunannya sendiri. Mereka pasti akan memaafkan kita, dan keduanya akan menerima saat cucunya lahir."  Paṭācārā ngotot ingin pulang sementara suaminya bersikeras tidak akan pergi. Karena tidak diizinkan, keesokan harinya Paṭācārā memutuskan untuk pergi sendirian, ketika suaminya sedang bekerja. Suaminya pun menyusul setelah ia mendengar kepergian isterinya dari tetangga mereka. Di tengah perjalanan keduanya bertemu. Sebelum mereka bisa mencapai Sāvatthī, rasa sakit persalinan dimulai dan Paṭācārā melahirkan seorang bayi laki-laki dengan selamat. Karena dia tidak punya alasan lagi untuk pergi ke rumah orang tuanya, mereka pun berbalik.

 

Beberapa waktu kemudian Paṭācārā hamil untuk kedua kalinya, dan kejadian serupa berulang kembali, tetapi kali ini dia pergi dengan menggendong anaknya. Ketika suaminya berhasil kembali menyusulnya, dia kembali menolak untuk menurutinya. Saat itu mereka telah menempuh setengah perjalanan ke Sāvatthī. Sungguh di luar dugaan sekonyong-konyong muncul badai yang menakutkan di luar musim, disertai guntur dan kilat yang menyambar-nyambar dan hujan yang turun tak henti-hentinya. Saat itu pun Paṭācārā merasakan kelahiran anak keduanya sudah semakin dekat. Dia meminta suaminya untuk mencarikan tempat berteduh. Sang suami pergi mencari kayu dan dedaunan untuk membangun naungan sementara. Sewaktu dia menebang pohon, beberapa anakan ular berbisa yang bersembunyi di sarang semut, ke luar dan memagutnya. Racunnya seperti lava cair dan sang suami naas itu tewas seketika. Paṭācārā sangat mengharapkan bantuan tetapi harapannya sia-sia belaka. Kemudian dia melahirkan anak laki-laki keduanya. Sepanjang malam kedua anak itu ketakutan oleh dahsyatnya badai, menangis sekuat-kuatnya, tapi satu-satunya perlindungan yang bisa ditawarkan ibu mereka hanyalah berlindung di balik tubuhnya.

 

Keesokan paginya Paṭācārā menyangga dan mengamankan bayi yang baru lahir di depan perutnya, lalu sambil menuntun si sulung, mereka melanjutkan perjalanan dengan terlebih dahulu memutar ke jalan setapak yang mereka lalui kemarin. Ketika dia berbalik di tikungan jalan, tampak jasad suaminya telah terbujur kaku laksana sebatang papan. Seketika dia dan anak sulungnya menangis meraung-raung memeluk orang yang sudah tidak bernyawa itu. Paṭācārā terisak-isak dan dengan terbata-bata berbisik, "semua ini salahku sendiri." Dengan susah payah keduanya menggali sebuah lubang, menyeret jenazah orang yang mereka cintai, dan menutupinya dengan tanah dan ranting-ranting.

 

Selang beberapa waktu ketiganya tiba di tepi Sungai Aciravatī. Hujan lebat semalaman menjadikan aliran air menderu dengan buasnya setinggi pinggang. Merasa terlalu lemah untuk menyeberang dengan kedua anak, Paṭācārā meninggalkan si sulung di bantaran sungai serta membawa bayinya ke seberang dan meletakkannya di tanah kering Kemudian dia berbalik untuk membawa anak satunya lagi. Saat dia berada di tengah sungai, seekor burung nasar yang sedang mencari mangsa melihat bayi yang masih merah tergeletak begitu saja. Mengira itu sebongkah daging, burung jahanam itu segera menukik, mencengkeram dengan cakarnya yang kuat, lalu membawa terbang mangsanya. Paṭācārā hanya bisa menyaksikan kejadian memilukan itu tanpa daya dan ia pun berteriak-teriak. Si sulung yang melihat ibunya berhenti di tengah sungai mendengar jeritannya, berpikir sang ibu memanggilnya. Ia pun segera melangkah ke dalam air, namun sungai yang sedang bergolak menelan tubuh mungilnya tanpa ampun. Menyaksikan anaknya ditelan arus air tanpa dia mampu berbuat sesuatu, Paṭācārā meraung-raung seperti orang gila.


Paṭācārā meratap, mengenang sikap keras kepalanya, menyesali kebodohannya;

Suami, bayi, dan sang putera tewas susul-menyusul.

Apa daya, bajak telah terdorong ke bencah,

Dan nasi pun sudah menjadi bubur.

 

Ya, Paṭācārā menjelma menjadi wanita setengah gila. Sepanjang jalan dia meracau, menyebut, dan memanggil nama suami dan puteranya, serta menjerit-jerit saat teringat nasib bayinya yang malang. Langkah kaki perempuan itu akhirnya menuntunnya mendekati rumah orang tuanya. Seorang lelaki setengah baya masih mengenali sang gadis muda, yang beberapa tahun silam menghilang secara tiba-tiba dari Sāvatthī. Ditatapnya wanita muda yang lusuh dan berpakaian compang-camping itu, lalu dengan ragu-ragu ia menyapa, "wahai nyonya. Benarkah engkau Paṭācārā?" Yang ditanya menjawab, "benar, Paman. Aku hendak pulang ke rumah orang tuaku. Bisakah engkau menunjukkan jalan ke sana?" Lelaki itu hanya diam dan enggan menanggapi permintaan itu. Paṭācārā menjadi tidak sabar dan mendesak terus, "apa yang terjadi dengan mereka, Paman. Katakanlah." Setelah beberapa saat, lelaki itu berkata: "Malam sebelumnya, setelah amukan badai yang mengerikan, rumah mereka runtuh, lalu kedapatan suami-isteri dan puteranya telah meninggal dunia. Baru saja kami mengkremasikan jasad ketiganya. Engkau bisa melihatnya pada tumpukan kayu bakar yang masih menyala di sana."

 

Tak perlu disuruh lagi, Paṭācārā berlari menuju tempat pembakaran mayat. Di sana dia menangis sejadi-jadinya dan meratap: "Wahai Dewata nan Agung. Sampai hati Dikau membiarkan hambamu merana. Suami dan kedua anakku telah direnggut dari hidupku, serta kini ayah, ibu, dan saudaraku juga sudah tiada. Perbuatan keji dan jahat macam apa yang telah aku lakukan di kehidupanku yang lalu?"

 

Tidak kuat menahan kesengsaraan itu lebih lama, Paṭācārā menjadi gila. Dia mengembara ke mana pun kakinya melangkah, dengan tidak lagi memperhatikan penampilannya. Dia hampir telanjang! Mereka yang menaruh rasa kasihan memberinya makan-minum, tetapi masih ada pula yang tidak punya nurani, yang mana mereka mengata-ngatai dan melemparinya dengan tanah dan batu. Pada satu pagi sampailah Paṭācārā ke Taman Jeta, sebuah kebun luas dan permai, tempat bermukimnya ribuan rahib Buddhis. Beberapa jemaat mengenalinya dan berteriak, "jangan biarkan perempuan gila itu menemui Guru." Tetapi Sang Buddha Mahatahu berkata, "biarkan anakku datang kepadaku."

 

Seorang lelaki setengah baya memberikan jubahnya kepada Paṭācārā sambil berpesan, "kenakanlah gaun ini, saudari." Paṭācārā bersimpuh di hadapan Sang Guru dan dia menceritakan kisahnya yang tragis itu. Sang Buddha bersabda: "Wahai Paṭācārā. Bukan sekali ini saja engkau kehilangan mereka semua. Dalam pengelanaanmu mengarungi samudera kehidupan dan kematian, entah sudah berapa banyak engkau kehilangan suami, anak, ayah, ibu, dan saudara. Selama itu pula engkau berduka dan meneteskan air mata. Jika air matamu bisa ditampung dalam satu bejana besar, maka banyaknya air matamu akan jauh melebihi air di empat samudera besar. Paṭācārā, sadarlah." Ajaib! Kata-kata itu sanggup membuat Paṭācārā eling. Pikirannya terbuka dan dia pun segera mendapatkan mata-dharma.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211006