Kisah ini terjadi ketika Buddha kita masih
hidup. Kosala adalah salah satu dari enam-belas negeri di Jambudvipa, tepatnya
di dataran Indo-Gangga yakni zona utara anak benua India. Rajanya Pasenadi
(atau Prasenajit) merupakan sosok penguasa yang disegani, dan ia memiliki
angkatan bersenjata yang kuat. Pusat pemerintahan Kosala terletak di Sāvatthī
(atau Shravasti). Sāvatthī adalah satu kota besar, yang sekarang terletak di
timur laut Negara Bagian Uttar Pradesh. Sebagian kotanya terletak di bantaran
Sungai Aciravatī (sekarang Sungai Rapti). Sāvatthī memiliki lokasi yang
strategis dan mudah dicapai dari kota-kota besar lainnya, karena berada di
persimpangan jalan raya menuju timur, selatan, dan barat. Dari Rājagaha di
timur jalan ini tembus ke Sāvatthī dengan persinggahan di Vesalī, sedangkan
menuju ke selatan kita akan sampai di Sāketa dan terus hingga ke Kosambī.
Kosala sendiri adalah negeri yang makmur dengan bijih-bijihan dan hasil
pertanian yang melimpah, juga menjadi sentra pengrajin yang menghasilkan
barang-barang yang bermutu. Menurut Buddhghosa, komentator yang menyusun
risalah Tipiṭaka, Sāvatthī dihuni oleh 57 ribu keluarga pada masa itu.
Pada masa itu di Sāvatthī hiduplah seorang
saudagar yang sangat kaya. Ia memiliki seorang puteri dan seorang putera. Puterinya
sangat cantik dan rupawan dan diberi nama Paṭācārā. Jika Anda terlahir sebagai
seorang anak perempuan di masa itu, tidak banyak pilihan yang dapat dilakukan,
walaupun Anda dilahirkan dalam satu keluarga kaya dan terpandang. Dalam tatanan
masyarakat yang mendambakan dan mengagungkan kelahiran bayi laki-laki,
kelahiran bayi perempuan dianggap sebagai ketidakberuntungan bagi ayah dan
ibunya. Anak laki-laki setelah cukup umurnya, yakni setelah ia berusia lima
hingga delapan tahun, wajib mengikuti brahmacharya
ashrama atau pendidikan intensif di tempat seorang guru. Sebaliknya anak
perempuan hanya diasuh oleh ibunya atau kerabat wanitanya di dekat tempat
tinggalnya, agar kelak mereka terampil mengurus rumah tangganya.
Setelah Paṭācārā berusia enam belas tahun
atau setelah akil balig, orang tuanya mengurungnya di lantai atas sebuah rumah
besar, tempat dia dikelilingi oleh para penjaga guna mencegahnya berhubungan
dengan laki-laki. Ayah adalah sosok yang dominan dalam menentukan nasib
puterinya. Ia akan mencari dan memilihkan seorang pemuda dari kasta dan
keluarga terpandang, yang memiliki latar belakang yang sepadan dengan
kedudukannya. Ia juga berhak menentukan besarnya mas kawin yang akan diminta
dari keluarga calon menantunya. Sikap otoriter orang tua dalam menentukan jodoh
puterinya tentu tidak hanya terjadi di India Kuno. Anda para pembaca tentu
masih ingat novel Kasih Tak Sampai
karya Marah Rusli dengan tokohnya Siti Nurbaya, yang ditulis kira-kira seratus
tahun yang lalu.
Paṭācārā boleh dipingit untuk menghindari
bertemu lelaki yang tidak direstui orang tuanya, Paṭācārā boleh dikurung dalam
istana keluarganya, tetapi segala pembatasan itu tidak menghalangi dirinya
bertemu dengan sang pujaan hatinya. Secara diam-diam sang gadis terlibat dalam
percintaan dengan seorang pembantu di rumah orang tuanya. Tibalah saatnya
hingga kedua orang tuanya memutuskan untuk menikahkan dia dengan seorang pria muda dengan
status sosial yang sama. Paṭācārā menjadi panik dan
ia memutuskan untuk segera bertindak.
Dia tidak ingin berpisah dengan kekasihnya,
apalagi menikah dengan orang asing yang tidak dikenalnya. Setelah berunding
dengan kekasihnya, Paṭācārā memutuskan untuk kawin lari. Keduanya berencana
pada hari yang ditentukan, mereka akan bertemu di sebuah pasar yang letaknya
tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Paṭācārā berteman akrab dengan
seorang inang pengasuhnya, yang kebetulan memiliki postur tubuh yang hampir
sama dengannya. Ia sudah terbiasa bersenda gurau dengan pengasuhnya dan Paṭācārā
bebas memasuki kamar tidurnya. Paṭācārā diam-diam mengambil sepotong sari, gaun-luar yang umum dipakai oleh
wanita India, milik pengasuhnya dan menyimpannya. Ia pun segera bersiap-siap.
Malam sebelum kepergiannya dikeluarkannya seluruh perhiasan pemberian kedua
orang tuanya – gelang, kalung, anting-anting, cincin, uang emas dan perak –
lalu semuanya dibungkusnya dengan hati-hati dan diikatkan ke bagian dalam
tubuhnya. Setelah itu ia bersolek seadanya dengan meniru gaya berdandan
pengasuhnya. Dikenakannya sari curian
itu dan tidak lupa ia menata bantal dan selimut di pembaringannya, agar tampak
seolah-olah ia sedang tidur. Kemudian di pagi buta itu Paṭācārā menyelinap ke
luar dengan menyamar sebagai gadis pelayan. Beberapa penjaga laki-laki yang
masih mengantuk membiarkan saja, yang membuat dia minggat dengan mudah dari
rumah yang mereka jaga.
Keesokan paginya para pelayan dan inang
pengasuhnya terheran-heran, majikan mereka tidur dengan pulasnya dan tidak
bangun-bangun. Hingga lewat waktu makan siang dia masih terlelap. Dua atau tiga
orang dari mereka memberanikan diri untuk menghampiri dan membangunkannya.
Namun alangkah terkejutnya mereka mendapati tuan puteri sudah lenyap dari sana.
Dalam sekejap terjadi kegemparan, dan semua penghuni rumah sibuk mencari
majikan mereka yang telah raib entah kemana. Sang Saudagar baru dilaporkan
perihal kehilangan puterinya sore harinya, dan selidik punya selidik salah
seorang pelayan laki-laki di rumah itu pun ikut lenyap. Sang Saudagar pun murka
atas ketidakbecusan para pembantunya dan pengkhianatan salah seorang
pegawainya. Esoknya dan beberapa hari kemudian dengan dibantu para punggawa
istana, mereka semua sibuk mencari Paṭācārā ke seantero kotaraja, namun gadis
muda dan pembantu lelakinya tetap hilang bak ditelan bumi.
Kita kembali kepada Paṭācārā. Setelah bertemu
dengan kekasihnya di sebuah pasar di Sāvatthī, mereka mencari tumpangan karavan
milik pedagang besar yang berniaga lintas-negara. Segera setelah mereka naik
wahana tersebut, kereta pun berangkat dan tidak berapa lama mereka telah
melewati gerbang penjagaan kotaraja. Mereka baru turun dari kereta setelah
mencapai sebuah dusun yang letaknya jauh dari Sāvatthī. Paṭācārā terhenyak
kelelahan dan masih merasakan ketegangan atas pelarian dirinya. Pupus sudah
impian seorang gadis cilik, yang dulu mengharapkan untuk menjadi ratu-sehari
dengan pasangan tercinta, disertai pesta pora meriah yang dihadiri oleh
khalayak ramai. Sebaliknya ia sekarang hanya bisa menikah dengan mengucap ikrar
setia sehidup-semati di hadapan dewata, disaksikan bumi yang luas dan di bawah
hamparan langit. Dengan menjual sebagian perhiasannya, pasangan muda itu pun
membangun gubuk seadanya dan menyewa sebidang tanah garapan di dusun itu. Sang
suami sehari-hari bercocok tanam di ladangnya, sedangkan isterinya bekerja
keras melakukan semua pekerjaan kasar, sesuatu yang sebelumnya dilakukan oleh
para pelayan orang tuanya.
Waktu pun
berjalan dengan cepatnya, sampai satu waktu Paṭācārā mengandung anak
pertamanya. Sesuai dengan norma yang berlaku di India Kuno, walaupun seorang
isteri sudah bermukim di rumah suaminya sejak mereka berumah tangga, tetapi ia
biasanya pulang ke rumah orang tuanya ketika akan melakukan persalinan. Paṭācārā
memohon kepada suaminya: "Wahai kakanda, anak kita akan segera lahir.
Inilah saatnya kita pulang ke rumah orang tuaku." Mendengar permintaan itu
sang suami menolaknya mentah-mentah, karena dia khawatir akan dianiaya atau
dibunuh oleh mertuanya. Paṭācārā melanjutkan: "Sebuas-buasnya harimau,
tidak akan dia memangsa anak atau keturunannya sendiri. Mereka pasti akan
memaafkan kita, dan keduanya akan menerima saat cucunya lahir." Paṭācārā ngotot ingin pulang sementara
suaminya bersikeras tidak akan pergi. Karena tidak diizinkan, keesokan harinya
Paṭācārā memutuskan untuk pergi sendirian, ketika suaminya sedang
bekerja. Suaminya
pun menyusul setelah
ia mendengar kepergian isterinya dari tetangga mereka.
Di tengah perjalanan keduanya bertemu. Sebelum mereka bisa mencapai Sāvatthī, rasa sakit persalinan dimulai dan Paṭācārā
melahirkan seorang bayi laki-laki dengan selamat. Karena
dia tidak punya alasan lagi untuk pergi ke rumah orang tuanya, mereka pun berbalik.
Beberapa waktu kemudian Paṭācārā hamil untuk kedua
kalinya, dan kejadian serupa berulang kembali, tetapi
kali ini dia pergi
dengan menggendong anaknya. Ketika suaminya berhasil
kembali menyusulnya,
dia kembali menolak untuk menurutinya. Saat itu mereka telah
menempuh setengah perjalanan ke Sāvatthī.
Sungguh di luar dugaan sekonyong-konyong muncul badai yang menakutkan di
luar musim, disertai guntur dan kilat yang menyambar-nyambar dan hujan yang turun tak henti-hentinya. Saat itu pun Paṭācārā merasakan kelahiran anak keduanya sudah semakin dekat. Dia meminta suaminya untuk mencarikan tempat berteduh. Sang suami pergi mencari kayu
dan dedaunan untuk membangun naungan sementara. Sewaktu dia menebang
pohon, beberapa anakan ular berbisa yang
bersembunyi di sarang semut, ke luar dan memagutnya. Racunnya seperti lava cair dan sang suami naas itu
tewas seketika. Paṭācārā sangat mengharapkan
bantuan tetapi
harapannya sia-sia belaka. Kemudian dia melahirkan anak laki-laki keduanya. Sepanjang
malam kedua anak itu ketakutan oleh dahsyatnya badai, menangis
sekuat-kuatnya, tapi satu-satunya perlindungan
yang bisa ditawarkan ibu mereka hanyalah berlindung
di balik tubuhnya.
Keesokan paginya
Paṭācārā menyangga
dan mengamankan bayi yang baru lahir di depan
perutnya, lalu sambil menuntun si sulung,
mereka melanjutkan perjalanan dengan terlebih dahulu memutar ke jalan setapak
yang mereka lalui kemarin. Ketika dia berbalik di tikungan jalan, tampak jasad suaminya telah terbujur kaku laksana
sebatang papan.
Seketika dia dan anak sulungnya menangis meraung-raung memeluk orang yang sudah tidak bernyawa itu. Paṭācārā
terisak-isak dan dengan terbata-bata berbisik,
"semua ini salahku sendiri." Dengan
susah payah keduanya menggali sebuah lubang, menyeret jenazah orang yang mereka
cintai, dan menutupinya dengan tanah dan ranting-ranting.
Selang beberapa waktu ketiganya tiba di tepi
Sungai Aciravatī. Hujan lebat semalaman
menjadikan aliran air menderu dengan buasnya setinggi
pinggang. Merasa terlalu lemah untuk
menyeberang dengan kedua anak, Paṭācārā meninggalkan si
sulung di bantaran sungai serta membawa bayinya
ke seberang dan meletakkannya di tanah kering Kemudian
dia berbalik untuk membawa anak satunya lagi. Saat dia
berada di tengah sungai, seekor burung nasar
yang sedang mencari mangsa melihat bayi yang masih
merah tergeletak begitu saja. Mengira itu sebongkah
daging, burung jahanam itu segera menukik, mencengkeram dengan
cakarnya yang kuat, lalu membawa terbang
mangsanya. Paṭācārā hanya bisa menyaksikan kejadian memilukan itu tanpa daya dan ia pun berteriak-teriak. Si sulung yang melihat ibunya berhenti di tengah
sungai mendengar jeritannya, berpikir sang ibu memanggilnya. Ia pun segera melangkah ke dalam air, namun sungai yang sedang
bergolak menelan tubuh mungilnya tanpa ampun.
Menyaksikan anaknya ditelan arus air tanpa dia mampu berbuat sesuatu, Paṭācārā
meraung-raung seperti orang gila.
Paṭācārā meratap,
mengenang sikap keras kepalanya, menyesali kebodohannya;
Suami, bayi,
dan sang putera tewas susul-menyusul.
Apa daya, bajak
telah terdorong ke bencah,
Dan nasi pun
sudah menjadi bubur.
Ya, Paṭācārā
menjelma menjadi wanita setengah gila. Sepanjang jalan dia meracau, menyebut,
dan memanggil nama suami dan puteranya, serta menjerit-jerit saat teringat
nasib bayinya yang malang. Langkah kaki perempuan itu akhirnya menuntunnya
mendekati rumah orang tuanya. Seorang lelaki setengah baya masih mengenali sang
gadis muda, yang beberapa tahun silam menghilang secara tiba-tiba dari
Sāvatthī. Ditatapnya wanita muda yang lusuh dan berpakaian compang-camping itu,
lalu dengan ragu-ragu ia menyapa, "wahai nyonya. Benarkah engkau Paṭācārā?"
Yang ditanya menjawab, "benar, Paman. Aku hendak pulang ke rumah orang
tuaku. Bisakah engkau menunjukkan jalan ke sana?" Lelaki itu hanya diam
dan enggan menanggapi permintaan itu. Paṭācārā menjadi tidak sabar dan mendesak
terus, "apa yang terjadi dengan mereka, Paman. Katakanlah." Setelah
beberapa saat, lelaki itu berkata: "Malam sebelumnya, setelah amukan badai
yang mengerikan, rumah mereka runtuh, lalu kedapatan suami-isteri dan puteranya
telah meninggal dunia. Baru saja kami mengkremasikan jasad ketiganya. Engkau
bisa melihatnya pada tumpukan kayu bakar yang masih menyala di sana."
Tak perlu
disuruh lagi, Paṭācārā berlari menuju tempat pembakaran mayat. Di sana dia
menangis sejadi-jadinya dan meratap: "Wahai Dewata nan Agung. Sampai hati
Dikau membiarkan hambamu merana. Suami dan kedua anakku telah direnggut dari
hidupku, serta kini ayah, ibu, dan saudaraku juga sudah tiada. Perbuatan keji
dan jahat macam apa yang telah aku lakukan di kehidupanku yang lalu?"
Tidak kuat menahan kesengsaraan itu lebih
lama, Paṭācārā menjadi gila. Dia mengembara ke mana pun kakinya melangkah, dengan tidak
lagi memperhatikan penampilannya. Dia hampir telanjang! Mereka yang menaruh rasa kasihan memberinya makan-minum,
tetapi masih ada pula yang tidak punya nurani, yang mana mereka mengata-ngatai
dan melemparinya dengan tanah dan batu. Pada
satu pagi sampailah Paṭācārā ke Taman Jeta,
sebuah kebun luas dan permai, tempat bermukimnya ribuan rahib Buddhis. Beberapa
jemaat mengenalinya dan berteriak, "jangan biarkan perempuan gila itu
menemui Guru." Tetapi Sang Buddha Mahatahu berkata, "biarkan anakku
datang kepadaku."
Seorang lelaki setengah baya memberikan
jubahnya kepada Paṭācārā sambil berpesan, "kenakanlah gaun ini,
saudari." Paṭācārā bersimpuh di hadapan Sang Guru dan dia menceritakan
kisahnya yang tragis itu. Sang Buddha bersabda: "Wahai Paṭācārā. Bukan
sekali ini saja engkau kehilangan mereka semua. Dalam pengelanaanmu mengarungi
samudera kehidupan dan kematian, entah sudah berapa banyak engkau kehilangan
suami, anak, ayah, ibu, dan saudara. Selama itu pula engkau berduka dan
meneteskan air mata. Jika air matamu bisa ditampung dalam satu bejana besar,
maka banyaknya air matamu akan jauh melebihi air di empat samudera besar. Paṭācārā,
sadarlah." Ajaib! Kata-kata itu sanggup membuat Paṭācārā eling. Pikirannya
terbuka dan dia pun segera mendapatkan mata-dharma.
sdjn/dharmaprimapustaka/211006