Pada suatu ketika di Negeri-Peri yang
letaknya nun jauh di sana, hiduplah dua sosok peri, yang diberi nama Peri-Putih
dan Peri-Hitam. Mereka berdua adalah dua bersaudara kakak beradik. Peri-Putih
bertabiat baik dan selalu memikirkan apa yang bisa dilakukannya demi menolong
orang lain. Sebaliknya Peri-Hitam adalah sosok yang usil, nakal, dan gemar
membuat orang lain susah. Namanya juga saudara, mereka sehari-hari menghabiskan
waktu bersama.
Pada suatu hari ketika Peri-Putih dan
Peri-Hitam sedang bermain di atas dahan sebatang pohon di sebuah padang
penggembalaan, keduanya tiba-tiba melihat seorang gadis yang sedang berjalan
menggenggam dua ember-kayu yang penuh berisi susu di tangan kiri dan kanannya.
Melihat pelayan yang membawa susu, satu gagasan nakal muncul di kepala
Peri-Hitam. Ia lalu terbang ke bawah salah satu ember, mengeluarkan
tongkat-sihirnya, mengucapkan sepatah mantra, dan tiba-tiba tangannya sudah
menggenggam sebuah perkakas bor, yang lalu digunakan untuk melubangi salah satu
ember. Pada saat yang bersamaan, Peri-Putih melihat ulah saudaranya, ia pun
meluncur ke tempat itu, mengeluarkan tongkat sihirnya, mengucapkan kata-bertuah
"sim-sala-bim", lalu di tangannya sudah muncul sebuah sumbat dari
gabus, yang lalu dipakai untuk menambal ember yang bocor tadi. Dengan demikian
gagallah upaya Peri-Hitam melakukan sabotase terhadap sang gadis pembawa susu
tersebut. Peri-Hitam menggerutu yang ditujukan kepada saudaranya, "mengapa
engkau selalu mencampuri urusan orang lain, dan merusak kesenangan yang aku
lakukan?"
Peri-Putih dan Peri-Hitam yang baru
diceritakan itu tentu hanya ada di Negeri Dongeng. Namun bagi sebagian orang
Peri-Putih dan Peri-Hitam itu bersemayam di dalam batin kita. Peri-Putih adalah
tokoh di dalam diri kita yang senantiasa membimbing kita ke arah yang baik atau
bermanfaat. Ada sementara orang yang percaya bahwa Peri-Putih adalah
Malaikat-Pelindung atau Guardian Angel
dalam diri kita. Sebaliknya Peri-Hitam adalah tokoh yang berusaha menjerumuskan
atau mengarahkan kita untuk berbuat yang jahat atau yang tidak-bermanfaat. Kita
akan membahas lebih lanjut peran Peri-Hitam ini menurut kacamata Buddhisme.
Adanya Peri-Putih dan Peri-Hitam yang
bercokol dalam diri seseorang tentu saja sulit diterima oleh mereka yang
bersikap rasional. Penjelasan yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Sigmund
Freud (1856 - 1939), seorang ilmuwan yang membidani teori Psiko Analisa. Freud
menemukan bahwa perkembangan jiwa manusia dipengaruhi oleh tiga elemen, yang
berpadu dalam membentuk karakter seseorang. Ketiga elemen itu adalah id, ego,
dan superego.
Id sebagai energi psikis adalah komponen utama dari sifat
manusia yang telah ada sejak seseorang dilahirkan. Aspek ini sepenuhnya terjadi
tanpa disadari serta melibatkan perilaku primitif dan didasarkan pada insting. Id digerakkan oleh nafsu, keinginan, dan
kebutuhan. Apabila id itu tidak
segera terpenuhi, akan muncul rasa gelisah hingga marah. Contoh ketika seorang
anak kehausan atau kelaparan, segera muncul rasa ingin minum dan makan. Elemen id ini sangat penting bagi makhluk hidup
untuk menjamin kebutuhan dasarnya agar bisa terpenuhi. Elemen id yang bekerja berdasarkan insting
tetap akan ada, walaupun orang tersebut telah menua sekali pun.
Elemen berikutnya dalam perkembangan
diri manusia adalah munculnya ego.
Dengan adanya elemen ego keinginan atau nafsu yang muncul bisa
terpenuhi lewat cara yang bisa diterima di dunia nyata. Elemen ego ini berlangsung pada pola pikir
sadar, pra-sadar, dan bawah-sadar. Ketika seseorang melakukan sesuatu dengan
mempertimbangkan ego, artinya ada
hitungan tentang untung-rugi sebuah tindakan. Contohnya pada anak kecil tadi
yang sekarang kelaparan ketika ia sedang menghadiri kelas di sekolahnya. Ego
membuat dirinya tetap bertahan dan tidak meninggalkan kelas secara
tiba-tiba. Dengan bimbingan ego ia
bisa mencari makan di waktu yang tepat, yakni menundanya hingga jam-istirahat
tiba. Lebih jauh lagi, Freud membandingkan id
sebagai seekor kuda, sementara ego
adalah penunggangnya. Id memberikan
tenaga dan kemampuan bergerak, sementara ego
menjadi kendali ke mana kuda bergerak. Tanpa adanya ego, id bisa berkelana ke
mana pun tanpa pertimbangan logis. Komponen ketiga pada pembentukan karakter
manusia adalah superego. Menurut
Freud, superego muncul sejak usia sekitar 5 tahun. Akar dari superego ini adalah nilai moral dari orangtua
dan lingkungan sekitarnya. Elemen superego
inilah yang membentuk karakter manusia untuk memilih, mana tindakan yang benar
dan mana yang salah.
Penulis tidak ingin berpanjang-panjang
menceritakan tiga elemen yang membentuk karakter seseorang. Anda boleh saja
tidak percaya pada bisikan nasihat Peri-baik atau rayuan Peri-jahat yang saling
bertarung dalam diri Anda. Anda juga bebas untuk tidak meyakini teori Psiko Analisa
Sigmund Freud di atas. Tetapi kita terkadang mengalami apa yang dinamakan
pergulatan-batin. Contohnya ketika satu saat kita terpaksa berbohong. Di satu
pihak id akan berargumentasi bahwa
berdusta itu perlu dilakukan untuk kepentingan, keuntungan, atau demi harga
diri kita. Tetapi di lain pihak superego
mati-matian bersikeras bahwa berbohong itu melawan kaidah moral. Kita pun
selama beberapa saat terombang-ambing dalam pertentangan batin, dan peristiwa
itu adalah satu kenyataan yang tidak bisa dibantah.
Mereka yang pernah membaca riwayat
hidup Sang Buddha pasti mengetahui, bahwa untuk merealisasikan cita-citanya
yakni mencapai pencerahan, banyak rintangan yang harus Beliau hadapi. Setelah
bersusah-payah meninggalkan istananya, pangeran kita ini bertekad untuk
meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang petapa. Peristiwa ini dikenal
sebagai pelepasan agung. Baru saja petapa kita menyerahkan perlengkapan dan
atribut kebesarannya, Māra membujuknya untuk kembali ke rumah. Māra dengan
kelihaiannya membujuk, menggoda, dan merayu. Ia berjanji, jika sang petapa
kembali menjadi pangeran-mahkota, dalam tempo tujuh hari dia akan menjadikannya
seorang raja agung yang menguasai dunia ini (cakkavatti mahārāja).
Menanggapi tawaran Māra yang menggiurkan itu, sang petapa tidak tertarik
sedikit pun dan tidak menggubrisnya. Māra pun naik pitam, dan berjanji untuk
mengikutinya ke mana pun si petapa pergi. Dan saat sang petapa lengah, dia akan
kembali menggoda dan menjebaknya.
Anda tahu siapa itu Māra? Māra adalah
tokoh yang menghalangi seseorang yang berusaha untuk menjadi orang suci. Māra
adalah penggoda. Dia selalu ingin sang petapa menjadi seorang raja, seorang
penguasa digdaya, menjalankan pemerintahannya, menaklukkan negeri-negeri lain,
menjalankan bisnis, menghasilkan banyak uang, memupuk harta kekayaan, memiliki
banyak wanita cantik, termasyhur hingga kemana-mana, dan apa pun lainnya yang
ditawarkan oleh dunia ini. Itulah Māra.
Siapakah sesungguhnya Māra itu? Ananda
Guruge dalam risalahnya The Buddha’s
Encounters with Māra the Tempter, mengemukakan bahwa Māra dapat dilihat
sebagai alegorisasi dengan personifikasi yang hampir seketika. Dia adalah
kekuatan penggoda, pihak yang berkecenderungan ke arah kejahatan, dan pelaku
yang menciptakan konflik moral. Māra mirip dengan Setan atau Syaitan dalam
agama Wahyu. Māra digambarkan sebagai Pāpimā
atau Si Jahat (Ingg., The Evil One), juga sebagai Kanha atau Si Hitam.
Māra bukan saja personifikasi Si Jahat,
tetapi dia sesungguhnya merupakan sosok dewa antropomorfik yang memerintah
surga di alam indria atau kāmāvacara-devaloka
di alam Paranimmita-Vasavatti. Jadi Māra dinamakan pula sebagai kāmadhāturāja atau raja alam inderia.
Dalam posisi ini, dia sama pentingnya dan sepadan prestisiusnya dengan Sakka
dan Mahābrahma, yang mana kedua tokoh ini sering disebut-sebut dalam literatur
kanonik. Māra atau Māradevaputta ini bukan melulu dewa yang sangat kuat, tetapi
juga bertekad mempersulit hidup orang suci. Jadi siapa sebenarnya Māra? Oleh
Maha Moggallāna, siswa utama Sang Buddha, Māra berhasil diperdaya dan dibongkar
kedoknya. Sang siswa yang memiliki kesaktian yang hebat bisa mengetahui, bahwa
dalam kehidupan mereka yang terdahulu, Māra adalah sosok yang bernama Namuci.
Pernah ada yang bertanya kepada penulis, apakah Māra itu sama dengan setan?
Walaupun keduanya dikatakan sebagai Si Jahat, tetapi cara Buddhisme memandang
kejahatan tidaklah sama dengan konsep yang ada dalam agama Wahyu. Perbedaan
yang lain, Setan adalah Raja Neraka, padahal Raja Dunia Bawah dalam pandangan
Buddhis dipegang oleh Dewa Yama. Sedangkan Māra adalah penguasa yang berasal
dari alam dewa tingkat tinggi.
Kita lanjutkan cerita kita. Māra yang
mengikuti petapa kita selama kurang lebih enam tahun, mendapat peluang untuk
menggodanya kembali dalam beberapa kesempatan, tetapi dia gagal untuk
membujuknya. Māra yang sudah amat murka sekarang menjelma menjadi Dewa Kematian
atau Sang Pencabut Nyawa, dan ia akan beraksi pada saat sang petapa akan
mencapai pencerahan agungnya. Māra menunggangi gajah yang dinamakan Girimekhalā dan sepuluh skuadron pasukannya, disiapkan untuk menyerang
sang petapa. Ia mendekati sang petapa yang sedang duduk dalam meditasi yang
khusuk di bawah pohon Bodhi. Māra sekali lagi mengulangi tawarannya, yang mana
sang petapa akan memperoleh segala kejayaan dan kekuasaan atas dunia ini. Sang
penantang menolak tawaran itu mentah-mentah : Ia sama sekali tidak tertarik
pada ambisi-ambisi yang memikat itu.
Pertempuran pun tidak bisa dielakkan
lagi. Māra segera memerintahkan bala tentaranya, kuasa-kuasa gelap alam, untuk
menyerang Sang Pemberani. Seluruh kuasa gelap alam telah disiapkan dalam
suasana hinggar-bingar. Halilintar berdentum menghantam bumi, petir
berkilau-binar menyilaukan mata, gempa bumi mengamuk menggetarkan benua, hujan
badai menumpahkan terjangan air bah yang mengancam menenggelamkan apa pun yang
dilewatinya, angin puting-beliung siap merobohkan akar pohon yang paling kuat
sekali pun, serta serpihan-serpihan batu gunung mendekat siap menerjang sang
penantang. Sang Pemberani tetap tenang di tengah ancaman bahaya dan horor yang
mengerikan itu, serta Ia tetap terlelap dalam meditasinya. Bahkan rasa takut
pada kematian pun tak lagi mempan mengusiknya. Māra yang murkanya sudah sampai
di ubun-ubun, terpaksa mengeluarkan senjata simpanan pamungkasnya, sebuah
cakram pusaka yang dilemparkan ke arah si penantang. Namun dari langit muncul
sebuah tirai tembus-pandang, yang melindungi Sang Pemberani ini dari amukan
semua senjata itu, disertai turunnya kuntum-kuntum bunga surgawi di sekelilingnya.
Melihat sang petapa berhasil mengalahkan senjata pamungkas itu, pertempuran
telah berakhir. Dipenuhi rasa kecewa, Māra meninggalkan arena pertempuran: ia
merasa takhtanya goyah. Sang Penantang telah menghempaskan dirinya ke jurang
kekalahan.
sdjn/dharmaprimapustaka/210811