Jumat, 13 Agustus 2021

PERI-BAIK DAN PERI-JAHAT


 


Pada suatu ketika di Negeri-Peri yang letaknya nun jauh di sana, hiduplah dua sosok peri, yang diberi nama Peri-Putih dan Peri-Hitam. Mereka berdua adalah dua bersaudara kakak beradik. Peri-Putih bertabiat baik dan selalu memikirkan apa yang bisa dilakukannya demi menolong orang lain. Sebaliknya Peri-Hitam adalah sosok yang usil, nakal, dan gemar membuat orang lain susah. Namanya juga saudara, mereka sehari-hari menghabiskan waktu bersama.

 

Pada suatu hari ketika Peri-Putih dan Peri-Hitam sedang bermain di atas dahan sebatang pohon di sebuah padang penggembalaan, keduanya tiba-tiba melihat seorang gadis yang sedang berjalan menggenggam dua ember-kayu yang penuh berisi susu di tangan kiri dan kanannya. Melihat pelayan yang membawa susu, satu gagasan nakal muncul di kepala Peri-Hitam. Ia lalu terbang ke bawah salah satu ember, mengeluarkan tongkat-sihirnya, mengucapkan sepatah mantra, dan tiba-tiba tangannya sudah menggenggam sebuah perkakas bor, yang lalu digunakan untuk melubangi salah satu ember. Pada saat yang bersamaan, Peri-Putih melihat ulah saudaranya, ia pun meluncur ke tempat itu, mengeluarkan tongkat sihirnya, mengucapkan kata-bertuah "sim-sala-bim", lalu di tangannya sudah muncul sebuah sumbat dari gabus, yang lalu dipakai untuk menambal ember yang bocor tadi. Dengan demikian gagallah upaya Peri-Hitam melakukan sabotase terhadap sang gadis pembawa susu tersebut. Peri-Hitam menggerutu yang ditujukan kepada saudaranya, "mengapa engkau selalu mencampuri urusan orang lain, dan merusak kesenangan yang aku lakukan?"

 

Peri-Putih dan Peri-Hitam yang baru diceritakan itu tentu hanya ada di Negeri Dongeng. Namun bagi sebagian orang Peri-Putih dan Peri-Hitam itu bersemayam di dalam batin kita. Peri-Putih adalah tokoh di dalam diri kita yang senantiasa membimbing kita ke arah yang baik atau bermanfaat. Ada sementara orang yang percaya bahwa Peri-Putih adalah Malaikat-Pelindung atau Guardian Angel dalam diri kita. Sebaliknya Peri-Hitam adalah tokoh yang berusaha menjerumuskan atau mengarahkan kita untuk berbuat yang jahat atau yang tidak-bermanfaat. Kita akan membahas lebih lanjut peran Peri-Hitam ini menurut kacamata Buddhisme.

 

Adanya Peri-Putih dan Peri-Hitam yang bercokol dalam diri seseorang tentu saja sulit diterima oleh mereka yang bersikap rasional. Penjelasan yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Sigmund Freud (1856 - 1939), seorang ilmuwan yang membidani teori Psiko Analisa. Freud menemukan bahwa perkembangan jiwa manusia dipengaruhi oleh tiga elemen, yang berpadu dalam membentuk karakter seseorang. Ketiga elemen itu adalah id, ego, dan superego.

 

Id sebagai energi psikis adalah komponen utama dari sifat manusia yang telah ada sejak seseorang dilahirkan. Aspek ini sepenuhnya terjadi tanpa disadari serta melibatkan perilaku primitif dan didasarkan pada insting. Id digerakkan oleh nafsu, keinginan, dan kebutuhan. Apabila id itu tidak segera terpenuhi, akan muncul rasa gelisah hingga marah. Contoh ketika seorang anak kehausan atau kelaparan, segera muncul rasa ingin minum dan makan. Elemen id ini sangat penting bagi makhluk hidup untuk menjamin kebutuhan dasarnya agar bisa terpenuhi. Elemen id yang bekerja berdasarkan insting tetap akan ada, walaupun orang tersebut telah menua sekali pun.

 

Elemen berikutnya dalam perkembangan diri manusia adalah munculnya ego. Dengan adanya elemen ego  keinginan atau nafsu yang muncul bisa terpenuhi lewat cara yang bisa diterima di dunia nyata. Elemen ego ini berlangsung pada pola pikir sadar, pra-sadar, dan bawah-sadar. Ketika seseorang melakukan sesuatu dengan mempertimbangkan ego, artinya ada hitungan tentang untung-rugi sebuah tindakan. Contohnya pada anak kecil tadi yang sekarang kelaparan ketika ia sedang menghadiri kelas di sekolahnya. Ego  membuat dirinya tetap bertahan dan tidak meninggalkan kelas secara tiba-tiba. Dengan bimbingan ego ia bisa mencari makan di waktu yang tepat, yakni menundanya hingga jam-istirahat tiba. Lebih jauh lagi, Freud membandingkan id sebagai seekor kuda, sementara ego adalah penunggangnya. Id memberikan tenaga dan kemampuan bergerak, sementara ego menjadi kendali ke mana kuda bergerak. Tanpa adanya ego, id bisa berkelana ke mana pun tanpa pertimbangan logis. Komponen ketiga pada pembentukan karakter manusia adalah superego. Menurut Freud,  superego muncul sejak usia sekitar 5 tahun. Akar dari superego ini adalah nilai moral dari orangtua dan lingkungan sekitarnya. Elemen superego inilah yang membentuk karakter manusia untuk memilih, mana tindakan yang benar dan mana yang salah.

 

Penulis tidak ingin berpanjang-panjang menceritakan tiga elemen yang membentuk karakter seseorang. Anda boleh saja tidak percaya pada bisikan nasihat Peri-baik atau rayuan Peri-jahat yang saling bertarung dalam diri Anda. Anda juga bebas untuk tidak meyakini teori Psiko Analisa Sigmund Freud di atas. Tetapi kita terkadang mengalami apa yang dinamakan pergulatan-batin. Contohnya ketika satu saat kita terpaksa berbohong. Di satu pihak id akan berargumentasi bahwa berdusta itu perlu dilakukan untuk kepentingan, keuntungan, atau demi harga diri kita. Tetapi di lain pihak superego mati-matian bersikeras bahwa berbohong itu melawan kaidah moral. Kita pun selama beberapa saat terombang-ambing dalam pertentangan batin, dan peristiwa itu adalah satu kenyataan yang tidak bisa dibantah.

 

Mereka yang pernah membaca riwayat hidup Sang Buddha pasti mengetahui, bahwa untuk merealisasikan cita-citanya yakni mencapai pencerahan, banyak rintangan yang harus Beliau hadapi. Setelah bersusah-payah meninggalkan istananya, pangeran kita ini bertekad untuk meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang petapa. Peristiwa ini dikenal sebagai pelepasan agung. Baru saja petapa kita menyerahkan perlengkapan dan atribut kebesarannya, Māra membujuknya untuk kembali ke rumah. Māra dengan kelihaiannya membujuk, menggoda, dan merayu. Ia berjanji, jika sang petapa kembali menjadi pangeran-mahkota, dalam tempo tujuh hari dia akan menjadikannya seorang raja agung yang menguasai dunia ini (cakkavatti mahārāja). Menanggapi tawaran Māra yang menggiurkan itu, sang petapa tidak tertarik sedikit pun dan tidak menggubrisnya. Māra pun naik pitam, dan berjanji untuk mengikutinya ke mana pun si petapa pergi. Dan saat sang petapa lengah, dia akan kembali menggoda dan menjebaknya.

 

Anda tahu siapa itu Māra? Māra adalah tokoh yang menghalangi seseorang yang berusaha untuk menjadi orang suci. Māra adalah penggoda. Dia selalu ingin sang petapa menjadi seorang raja, seorang penguasa digdaya, menjalankan pemerintahannya, menaklukkan negeri-negeri lain, menjalankan bisnis, menghasilkan banyak uang, memupuk harta kekayaan, memiliki banyak wanita cantik, termasyhur hingga kemana-mana, dan apa pun lainnya yang ditawarkan oleh dunia ini. Itulah Māra.

 

Siapakah sesungguhnya Māra itu? Ananda Guruge dalam risalahnya The Buddha’s Encounters with Māra the Tempter, mengemukakan bahwa Māra dapat dilihat sebagai alegorisasi dengan personifikasi yang hampir seketika. Dia adalah kekuatan penggoda, pihak yang berkecenderungan ke arah kejahatan, dan pelaku yang menciptakan konflik moral. Māra mirip dengan Setan atau Syaitan dalam agama Wahyu. Māra digambarkan sebagai Pāpimā atau Si Jahat  (Ingg., The Evil One), juga sebagai Kanha atau Si Hitam.

 

Māra bukan saja personifikasi Si Jahat, tetapi dia sesungguhnya merupakan sosok dewa antropomorfik yang memerintah surga di alam indria atau kāmāvacara-devaloka di alam Paranimmita-Vasavatti. Jadi Māra dinamakan pula sebagai kāmadhāturāja atau raja alam inderia. Dalam posisi ini, dia sama pentingnya dan sepadan prestisiusnya dengan Sakka dan Mahābrahma, yang mana kedua tokoh ini sering disebut-sebut dalam literatur kanonik. Māra atau Māradevaputta ini bukan melulu dewa yang sangat kuat, tetapi juga bertekad mempersulit hidup orang suci. Jadi siapa sebenarnya Māra? Oleh Maha Moggallāna, siswa utama Sang Buddha, Māra berhasil diperdaya dan dibongkar kedoknya. Sang siswa yang memiliki kesaktian yang hebat bisa mengetahui, bahwa dalam kehidupan mereka yang terdahulu, Māra adalah sosok yang bernama Namuci. Pernah ada yang bertanya kepada penulis, apakah Māra itu sama dengan setan? Walaupun keduanya dikatakan sebagai Si Jahat, tetapi cara Buddhisme memandang kejahatan tidaklah sama dengan konsep yang ada dalam agama Wahyu. Perbedaan yang lain, Setan adalah Raja Neraka, padahal Raja Dunia Bawah dalam pandangan Buddhis dipegang oleh Dewa Yama. Sedangkan Māra adalah penguasa yang berasal dari alam dewa tingkat tinggi.

 

Kita lanjutkan cerita kita. Māra yang mengikuti petapa kita selama kurang lebih enam tahun, mendapat peluang untuk menggodanya kembali dalam beberapa kesempatan, tetapi dia gagal untuk membujuknya. Māra yang sudah amat murka sekarang menjelma menjadi Dewa Kematian atau Sang Pencabut Nyawa, dan ia akan beraksi pada saat sang petapa akan mencapai pencerahan agungnya. Māra menunggangi gajah yang dinamakan Girimekhalā dan sepuluh skuadron pasukannya, disiapkan untuk menyerang sang petapa. Ia mendekati sang petapa yang sedang duduk dalam meditasi yang khusuk di bawah pohon Bodhi. Māra sekali lagi mengulangi tawarannya, yang mana sang petapa akan memperoleh segala kejayaan dan kekuasaan atas dunia ini. Sang penantang menolak tawaran itu mentah-mentah : Ia sama sekali tidak tertarik pada ambisi-ambisi yang memikat itu.

 

Pertempuran pun tidak bisa dielakkan lagi. Māra segera memerintahkan bala tentaranya, kuasa-kuasa gelap alam, untuk menyerang Sang Pemberani. Seluruh kuasa gelap alam telah disiapkan dalam suasana hinggar-bingar. Halilintar berdentum menghantam bumi, petir berkilau-binar menyilaukan mata, gempa bumi mengamuk menggetarkan benua, hujan badai menumpahkan terjangan air bah yang mengancam menenggelamkan apa pun yang dilewatinya, angin puting-beliung siap merobohkan akar pohon yang paling kuat sekali pun, serta serpihan-serpihan batu gunung mendekat siap menerjang sang penantang. Sang Pemberani tetap tenang di tengah ancaman bahaya dan horor yang mengerikan itu, serta Ia tetap terlelap dalam meditasinya. Bahkan rasa takut pada kematian pun tak lagi mempan mengusiknya. Māra yang murkanya sudah sampai di ubun-ubun, terpaksa mengeluarkan senjata simpanan pamungkasnya, sebuah cakram pusaka yang dilemparkan ke arah si penantang. Namun dari langit muncul sebuah tirai tembus-pandang, yang melindungi Sang Pemberani ini dari amukan semua senjata itu, disertai turunnya kuntum-kuntum bunga surgawi di sekelilingnya. Melihat sang petapa berhasil mengalahkan senjata pamungkas itu, pertempuran telah berakhir. Dipenuhi rasa kecewa, Māra meninggalkan arena pertempuran: ia merasa takhtanya goyah. Sang Penantang telah menghempaskan dirinya ke jurang kekalahan.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210811